***

***

Ads

Senin, 13 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 128

“Gak Song Kam, buka matamu yang lamur itu lebar-lebar! Aku pernah datang bersama suci Kim Hong Liu-nio membasmi sarangmu ini! Sudah lupa lagikah engkau? Dan buka matamu, lihat anak panah siapa ini? Utusanmu yang hendak membunuhku telah mampus dan ini, anak panahnya kuantarkan kembali kepadamu, harus kau tukar dengan kepalamu! Dan kau tidak mengenal saudaraku ini?” Han Houw menoleh kepada Sin Liong.

“Houw-ko, tentu saja dia mengenalku. Tentu engkau tidak lupa ketika melemparku ke dalam lubang ular itu, pangcu!” kata Sin Liong.

Sepasang mata itu terbelalak dan muka yang merah itu makin merah. Kini Gak Song Kam mengenal dua orang pemuda remaja ini dan kemarahannya makin memuncak.

“Pasukan Api, maju!” teriaknya.

Tiba-tiba nampak sinar terang dan dua belas orang laki-laki yang bertubuh tegap berloncatan ke depan. Mereka itu masing-masing memegang sebatang obor, namun bukanlah sembarang obor karena obor itu gagangnya terbuat dari baja dan tempat apinya besar sehingga apinya berkobar besar. Gagangnya cukup panjang, dapat dipergunakan sebagai pedang atau juga sebagai toya pendek.

Cara mereka memegang gagang obor menunjukkan bahwa mereka itu sudah mahir sekali memainkan obor ini sebagai senjata dan gerakan mereka teratur rapi ketika mereka maju mengurung. Kaki mereka bergerak perlahan dan mereka melangkah mengelilingi tempat itu, makin lama makin menyempit dan mereka menggerak-gerakkan obor di tangan dengan teratur pula dan berbareng sehingga nampak indah karena mereka itu seolah-olah sedang mainkan tari obor.

“Houw-ko, mundurlah, biar aku menghadapi badut-badut ini!” kata Sin Liong yang dapat menduga akan kelihaian pasukan obor itu.

Diam-diam Han Houw memang merasa ngeri melihat pasukan obor itu, dan karena dia tahu betapa lihainya Sin Liong, maka diapun mengangguk dan dengan sikap angkuh dia mundur dan berdiri tenang dengan anak panah rampasan itu masih di tangan kanannya. Diam-diam dia mempersiapkan anak panah itu untuk membantu saudara angkatnya bilamana keadaan memerlukannya.

Pasukan obor yang terdiri dari dua belas orang itu kini mengurung Sin Liong. Setiap kali obor digerakkan, muncratlah bunga api dan terdengar suara mendesis disusul asap hitam bergulung-gulung. Cahaya api obor yang dimainkan itu membuat pemandangan yang indah sekali memecah kegelapan malam. Dengan latar belakang malam gelap, nampak cahaya-cahaya dua belas obor itu saling berkejaran dan asap hitam bergumpal-gumpal membubung tinggi ke angkasa yang kemerahan oleh sinar api obor.

“Sam-kak-tin...!” terdengar seorang di antara mereka membentak.

Dengan teratur sekali dua belas orang itu bergerak dan terbentuklah empat pasukan Sam-kak-tin (Pasukan Segi Tiga) yang rapi dan kini pasukan demi pasukan yang terdiri dari tiga orang mulai menyerbu dan menyerang Sin Liong secara bertubi-tubi!

Ceng Han Houw terkejut bukan main. Serangan-serangan itu amat teratur, dilakukan secara berturut-turut dan hampir berbareng oleh setiap regu dari tiga orang, dari arah tiga jurusan yang membentuk segi tiga dan karena ada empat regu segi tiga, maka serangan-serangan itu hebat bukan main. Sinar-sinar obor menyilaukan mata, seolah-olah ada lautan api bergelombang hendak menelan Sin Liong!






Sin Liong juga terkejut. Dia telah menguasai ilmu amat tinggi dan luar biasa, akan tetapi bagaikan seekor burung, dia baru saja meninggalkan sarangnya dan pengalamannya bertanding masih sempit sekali. Kini, menghadapi serangan bertubi-tubi dari api-api yang menyilaukan mata ini, tentu saja dia terkejut.

Namun, kepercayaannya kepada diri sendiri yang timbul semenjak dia masih kecil dan banyak menghadapi bahaya maka dia bersikap tenang sekali. Dengan penuh kewaspadaan dia menghadapi semua serangan itu dan cepat mempergunakan gerakan ajaib dari Thai-kek Sin-kun. Dengan langkah-langkah ajaib yang dipelajarinya dari kakeknya, maka Sin Liong dapat menghindarkan diri dari setiap sambaran sinar api, menyelinap ke kanan kiri di antara sambaran obor-obor itu sehingga sampai barisan ke empat melakukan serangan, tetap saja tidak ada sebuahpun obor mengenai tubuhnya!

Gak Song Kam dan sutenya, Bouw Song Khi, terkejut dan kagum bukan main. Gak Song Kam merasa panasaran sekali.

“Ngo-heng-tin...!”

Dia berseru nyaring dan dua belas orang itu bergerak otomatis, empat barisan Sam-kak-tin tadi kini bergabung dan membentuk dua barisan Ngo-heng yang terdiri dari masing-masing lima orang berjumlah sepuluh orang dan dua orang yang tersisa kini bertugas sebagai pemimpin pasukan dan berdiri di kanan kiri memberi aba-aba kepada masing-masing pasukan.

Berbeda dengan Pasukan Segi Tiga tadi yang menyerang secara susul-menyusul, kini pasukan Lima Unsur atau Ngo-heng ini bekerja sama saling membantu sesuai dengan aba-aba yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin. Dua pasukan Ngo-heng itu menyerbu dan berputar-putar, kadang-kadang berbareng dan merupakan kerja sama yang amat baik dan rapi.

“Ehhh...?”

Sin Liong terkejut sekali karena biarpun dia masih mempergunakan langkah Thai-kek Sin-kun, tetap saja pundaknya sudah hangus! Untung belum terbakar dan dia sudah menggerakkan tangannya dengan kibasan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang sehingga api itu seperti tertiup membalik dan si pemegang obor sampai terhuyung ke belakang.

Maklum akan kelihaian pasukan Ngo-heng ini, Sin Liong tidak berani bersikap lambat. Di antara kepungan obor-obor itu yang menyambar-nyambar, dia berloncatan dan kini mengerahkan gin-kang untuk menghindarkan diri. Bagaikan seekor naga sakti mengamuk di antara gumpalan awan, tubuh Sin Liong berkelebatan di antara asap-asap hitam dan api-api obor. Para pemegang obor menyerangnya seperti orang-orang yang mainkan pedang dan toya, gerakan mereka selain teratur rapi, juga cepat dan rata-rata mereka memiliki tenaga yang cukup kuat.

Namun, kelincahan pemuda itu benar-benar membuat mereka tidak berdaya. Biarpun mereka telah mengerahkan seluruh kemampuan dari dua pasukan Ngo-heng-tin, tetap saja mereka tidak berhasil menyentuh tubuh Sin Liong.

“Pat-kwa-tin...!”

Gak Song Kam berteriak marah. Kini pasukan itu membentuk pasukan delapan orang yang membentuk pat-kwa (segi delapan) dan menyerang Sin Liong dari delapan penjuru angin. Empat orang yang lainnya siap menggantikan anggauta pasukan yang terdesak! Ternyata pasukan ini lebih lihai daripada Ngo-heng-tin dan kini Sin Liong nampak terdesak!

“Celaka...!” pikir pemuda itu.

Kini dia tidak boleh hanya mengelak, harus membalas kalau dia tidak mau bajunya atau rambutnya terbakar. Mulailah Sin Liong menggerakkan kaki tangannya dan begitu dia mengeluarkan lengking panjang dan tubuhnya membungkuk dengan kedua tangan terpentang mendorong ke kanan kiri, terdengar pekik nyaring dan dua orang pengeroyok roboh bergulingan karena obor tadi membalik, yang satu mengenai mukanya sendiri yang penuh brewok sehingga rambut-rambut muka itu terbakar sedangkan yang ke dua terbakar pakaiannya, sehingga dia bergulingan pula sambil berteriak-teriak.

Itulah satu di antara pukulan sakti Hok-mo Cap-sha-ciang yang terpaksa dikeluarkan oleh Sin Liong karena dia amat terdesak tadi. Melihat akibat pukulannya, Sin Liong menjadi ngeri sendiri, maka kembali dia lalu menggunakan kegesitannya untuk mengelak dan meloncat ke sana ke mari, karena dua orang yang roboh itu kini telah digantikan oleh orang lain.

Namun, dengan tamparan yang mengandung tenaga Thian-te Sin-ciang, Sin Liong dapat merobohkan mereka seorang demi seorang sehingga akhirnya dua belas orang itu roboh semua, obor-obor mereka padam, ada yang patah, dan ada pula yang mengenai badannya sendiri sehingga dua belas orang itu kini hanya mampu merintih-rintih dan merangkak-rangkak mundur!

“Ha-ha-ha, hanya begitu sajakah barisanmu? Mana lagi ilmu-ilmu ampuh dari Jeng-hwa-pang? Dengan kepandaian serendah itu sudah berani menentang kami? Ha-ha-ha, adik Sin Liong, engkau sudah cukup bermain-main, mundurlah!” kata Han Houw sambil mentertawakan Gak Song Kam.

Melihat kesempatan ini, Bouw Song Khi meloncat ke depan. Dia memang sudah merasa jerih terhadap Sin Liong yang pernah dilihatnya menimbulkan kegemparan ketika diadakan pemilihan bengcu. Dia tahu bahwa pemuda remaja itu memang luar biasa sekali, dan yang diperlihatkan oleh Sin Liong ketika menghadapi pasukan obor tadi membuat hatinya makin gentar lagi. Oleh karena itu, begitu melihat Han Houw maju, dia segera mengambil kesempatan ini untuk turun tangan.

Lebih baik melawan pangeran ini daripada menghadapi pemuda perkasa yang luar biasa itu. Memang sesungguhnya dia merasa sungkan pula untuk melawan pangeran yang ditakuti oleh Lam-hai Sam-lo ini, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat tinggal diam tanpa membantu suhengnya setelah untuk beberapa bulan lamanya dia tinggal di Jeng-hwa-pang dan hidup bersenang-senang.

“Wuuuut, ting-tinggg...!”

Senjata rantainya bergerak mengeluarkan suara berdenting nyaring. Melihat ini, Ceng Han Houw tersenyum dan dengan gerakan halus tangannya meraba pinggang dan dia sudah melolos sebatang pedang.

“Hemm, kalau tidak salah aku pernah melihat mukamu ini di selatan. Apakah engkau juga anggauta Jeng-hwa-pang?” tanyanya sambil memperhatikan wajah Maling Sakti itu di bawah sinar obor yang banyak, dipegang oleh para anggauta Jeng-hwa-pang yang mengurung tempat itu.

Bouw Song Khi merasa enggan untuk menjawab dan mukanya berubah merah. Sin Liong segera berkata,

“Han Houw-ko, aku masih ingat. Dia bernama Bouw Song Khi, dahulu menjadi seorang di antara calon-calon bengcu, akan tetapi lalu mundur dan mendukung Lam-hai Sam-lo!”

“Pemuda sombong, lihat senjata!”

Bouw Song Khi membentak karena dia tidak ingin banyak cakap lagi. Senjatanya, rantai yang terbuat daripada baja dan panjangnya sampai satu setengah meter itu menyambar ganas mengeluarkan suara angin berdesing dan menjadi sinar yang mengerikan mengancam kepala pangeran itu.

“Wuuuttt!”

Dengan sedikit menundukkan kepala dan menekuk lututnya, tubuh pangeran itu merendah dan sinar rantai itu menyambar lewat di atas kepalanya. Dari bawah, pedang di tangan Han Houw meluncur seperti anak panah menusuk ke arah perut lawan.

Bouw Song Khi menyondongkan tubuhnya ke kiri sehingga tusukan pedang itu luput, rantainya yang tadi gagal menyambar kepala lawan sudah membuat gerakan memutar dan kini menyambar turun ke arah lambung pangeran itu. Gerakannya cepat dan berbahaya sekali. Rantai di tangannya itu seperti hidup, begitu luput mengenai sasaran dapat membalik dan langsung membuat serangan lanjutan.

Kaget juga Han Houw melihat kecepatan gerakan lawan ini, maka diapun lalu memutar pedangnya ke bawah untuk menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya.

“Cring...!”

Bunga api berpijar dari pertemuan rantai dan pedang. Pada saat kedua senjata bertemu, Bouw Song Khi menggerakkan pergelangan tangannya dan ujung rantai itu seperti ular hidup melibat pedang di tangan Han Houw!

Namun, pangeran muda yang lihai ini tidak menjadi gentar, bahkan dia menggerakkan kakinya maju dan cepat sekali kakinya menendang ke arah pergelangan tangan yang memegang rantai. Terpaksa Bouw Song Khi melepaskan libatan rantainya dan kini ujung rantai menyambar ke arah kaki lawan yang terpaksa pula harus menarik kembali kakinya dan keduanya meloncat ke belakang. Dalam beberapa gebrakan itu, keduanya maklum bahwa mereka masing-masing menghadapi lawan yang lihai.

Namun Sin Liong maklum bahwa kakak angkatnya itu hanya main-main belaka. Dia sudah tahu akan kelihaian Han Houw dan dalam gebrakan-gebrakan pertama tadi dia mengerti bahwa kakak angkatnya itu jauh lebih lihai daripada lawannya. Dan memang dugaannya ini tepat.

Kini, Bouw Song Khi yang mengira bahwa lawannya hanya memiliki tingkat sampai sekian saja, sudah menggerakkan rantainya dan mengirim serangan secara bertubi-tubi. Rantainya berubah menjadi gulungan sinar yang nampaknya mengurung diri lawannya. Bagi penglihatan semua orang, kelihatan pangeran itu terdesak karena dia hanya berloncatan ke sana-sini dan menggerakkan kedua kakinya mengatur langkah-langkah aneh.

Akan tetapi diam-diam Sin Liong tersenyum dan memandang kagum. Kakak angkatnya itu kembali telah memperlihatkan kelihaian Pat-kwa-po, yaitu Langkah Segi Delapan yang amat aneh. Pemuda tampan gagah itu hanya melangkah ke sana-sini seperti orang menari, namun semua sambaran rantai itu luput dan mengenai tempat kosong selalu.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: