***

***

Ads

Selasa, 21 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 131

“Ha-ha-ha, karena gelap dan karena dia tidak tahu aku siapa! Disangkanya aku sama dengan si laknat Bouw Song Khi yang menculiknya. Kau lihat saja, adikku, dan coba buktikan apakah aku memperkosa wanita atau bukan?”

Setelah berkata demikian, Han Houw lalu mengebut-ngebutkan pakaiannya, memakai kembali topinya yang tadi terjatuh, kemudian dengan langkah lembut dia menghampiri gadis yang masih duduk di atas rumput.

Melihat pemuda tampan bertopi indah itu menghampirinya, gadis itu memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang dia melihat betapa orang yang semalam melarikannya itu ternyata adalah seorang pemuda yang demikian tampan dan gagahnya! Sama sekali tidak disangkanya hal ini maka dia terheran-heran, juga hatinya ragu-ragu dan masih takut-takut.

Han Houw tersenyum manis dan memang wajah pangeran ini amat tampan dan sikapnya halus serta gagah. Dia menggunakan bahasa daerah, dengan lembut dia lalu berkata kepada gadis dusun itu.

“Nona, aku telah menolongmu dari rumah terbakar, membebaskanmu dari tangan penjahat-penjahat kejam, mengapa engkau malah meronta-ronta dan menangis semalam suntuk sehingga saudaraku ini mengira yang bukan-bukan?” Suara itu halus dan dengan muka manis sehingga dara itu kehilangan rasa takutnya.

“Maafkan saya...saya tidak tahu dan mengira... kawanan penjahat yang melarikan saya...”

“Hemm, anak manis. Engkau tidak tahu siapa aku maka kau mengira aku seorang jahat? Coba pandang wajahku dengan teliti. Apakah engkau tidak pernah mendengar tentang Pangeran Oguthai?”

Dara itu terbelalak dan memandang wajah pangeran itu dengan takjub.
“Pangeran... pangeran...”

“Akulah Pangeran Oguthai, putera Raja Sabutai!”

“Ahhh... ampunkan hamba, pangeran...” Dan gadis dusun itu segera menjatuhkan diri berlutut sampai hampir menelungkup di atas tanah, di depan kaki pangeran itu.

Han Houw tersenyum dan menoleh ke arah Sin Liong yang hanya memandang dengan penuh perhatian.

“Bangunlah, manis. Aku tidak ingin melihat pakaian dan wajahmu yang manis itu kotor oleh tanah. Bangunlah, aku mengampunimu.”

Gadis itu bangun dan masih berlutut, lalu menengadah, wajahnya berseri dan bertambah manis.

“Ah, terima kasih, pangeran...”

Sikapnya berubah sama sekali, kini sama sekali tidak lagi kelihatan takut, bahkan tersenyum manis sekali!






“Manis, engkau cantik dan aku suka padamu. Kalau aku minta padamu agar engkau suka melayaniku, karena aku cinta padamu, apakah engkau akan menolak?”

Wajah yang berseri itu seketika menjadi merah sekali dan wajah itu menunduk kelihatan malu-malu akan tetapi bibirnya tetap tersenyum. Gadis itu menggeleng kepala karena rasa malu membuat dia sukar untuk menjawab dengan mulut.

“Bagus!” kata Han Houw sambil tertawa dan mengangkat bangun gadis itu.

Ketika berdiri, ternyata gadis itu hanya setinggi pundaknya. Gadis dusun itu bertubuh ramping padat dan kini wajahnya yang merah itu kelihatan bertambah manis.

“Sekarang, untuk membuktikan kepada saudaraku bahwa aku tidak memaksamu...” Pangeran itu mendekatkan mulutnya di telinga dara itu dan berbisik-bisik.

Gadis dusun itu menahan ketawa dan mukanya makin tersipu-sipu, matanya melirik ke arah Sin Liong dan akhirnya, tiba-tiba dia menahan ketawa dan merangkulkan kedua lengannya ke leher Han How, mencium pipi pangeran itu di depan Sin Liong!

Kiranya itulah yang diminta oleh Han Houw kepada dara dusun itu untuk membuktikan kepada Sin Liong bahwa dia tidak perlu memperkosa wanita! Ketika gadis itu menciumnya, Han Houw tertawa dan menoleh ke arah Sin Liong. Ketawanya makin kenas ketika dia melihat Sin Liong membuang muka dan cemberut.

“Ha-ha, adikku yang baik, kau tunggulah di situ sebentar!” kata Han Houw yang masih tertawa gembira lalu pangeran itu memondong tubuh gadis dusun yang masih merangkul lehernya, dibawanya menghilang ke balik semak-semak tak jauh dari tempat itu!

Sin Liong mendengar suara ketawa tertahan kedua orang itu dan dia merasa muak, lalu dijauhinya tempat itu sampai dia tidak mendengar apa-apa lagi dan dia lalu menghempaskan dirinya duduk di atas tanah berumput sambil termenung. Dia mengusir bayangan yang muncul dalam benaknya, bayangan Han Houw dan gadis itu dan dia menggigit bibirnya.

Ceng Han Houw bukan manusia baik-baik! Suara ini terdengar olehnya, seperti dibisikkan oleh hatinya. Memang benar bahwa Han Houw tidak memperkosa gadis itu dengan kekerasan, akan tetapi apa bedanya pemerkosaan dengan kekerasan kalau dibandingkan dengan bujukan? Gadis itu memang tidak menyerahkan diri karena paksaan, akan tetapi menyerahkan diri karena silau oleh kedudukan dan ketampanan yang akhirnya toh sama juga!

Dia tahu benar bahwa Han Houw tidak melakukan perbuatan itu karena cintanya kepada gadis yang sama sekali tidak dikenalnya itu, melainkan terdorong oleh nafsu seperti yang sering dilakukannya dengan wanita-wanita muda suguhan para pembesar. Ceng Han Houw adalah seorang pemuda mata keranjang, seorang laki-laki yang gila perempuan, hamba dari nafsu berahinya sendiri!

Betapapun juga sikapnya amat baik kepadanya! Dan penyerangan Han Houw tadipun hanya untuk menguji kepandaiannya! Dan di dalam dasar hatinya memang terdapat rasa suka kepada pangeran itu. Sin Liong merasa bingung dan penuh keraguan. Haruskah dia melanjutkan pendekatan diri dengan pangeran itu? Ataukah seharusnya dia cepat meninggalkannya?

Kesenangan atau kenikmatan, yaitu perasaan menikmati kesenangan, adalah berkah yang dimiliki setiap manusia. Namun, berkah ini berubah menjadi sumber kesengsaraan kalau kesenangan sudah mencengkeram dan memperbudak kita. Suatu peristiwa apapun dapat mendatangkan suka cita, mendatangkan kebahagiaan pada saat itu juga.

Akan tetapi kalau pikiran kita mencatat pengalaman itu, mengingatkan dan menginginkan terulangnya kembali pengalaman penuh nikmat itu, maka suka cita itu berubah menjadi kesenangan yang dikejar-kejar dan setelah kita menjadi pengejar kesenangan, muncullah pelbagai konflik dan terseretlah kita ke dalam kesengsaraan.

Memang selera manusia berbeda-beda, tergantung dari lingkungan hidup dan pendidikan masing-masing. Setiap orang manusia merasa benar dalam pengejarannya masing-masing terhadap sesuatu yang dinamakan cita-cita, yang dianggap benar dan akan mendatangkan kebahagiaan hidup.

Seorang sasterawan akan mengejar dan mendewa-dewakan kesusasteraan dan dia menganggap bahwa kesusasteraan itulah yang paling berharga dalam kehidupan, yang dianggapnya merupakan satu-satunya sarana menuju kebahagiaan. Seorang ahli silat akan mengejar-ngejar ilmu sliat dan menganggap ilmu silat sebagai satu-satunya hal yang terpenting dalam kehidupan. Seorang hartawan akan mengejar-ngejar harta dan menganggap bahwa hanya hartalah yang akan dapat membahagiakan kehidupan manusia. Seorang pembesar akan mengejar kedudukan atau nama yang dianggapnya terpenting di dunia ini. Seorang pendeta akan mengejar-ngejar kedamaian batin, dan sebagainya lagi.

Semua pengejaran itu, biar diselimuti dengan nama apapun, yang rendah atau yang tinggi, yang hina atau yang agung, pada hakekatnya adalah sama saja! Segala sesuatu yang dikejar-kejar dan diinginkan, atau merupakan suatu hal yang dianggap akan mendatangkan kesenangan, baik kesenangan lahir maupun kesenangan batin yang sesungguhnya sama saja, bagi si pengejar!

Dan karena pandangan setiap orang pengejar terhadap kesenangan itu berbeda-beda, tergantung dari keadaan dirinya yang dibentuk oleh lingkungan dan pendidikan, maka semua pengejaran kesenangan dalam berbagai bentuk itu hanyalah merupakan perpecahan. Yang dikejar-kejar itu hanya merupakan sebagian saja dari kehidupan, sebagian yang dipentingkan. Oleh karena itu, akhirnya akan mendatangkan kekecewaan karena tanpa yang lain-lain, maka satu yang dikejarnya itu takkan lengkap!

Si pengejar uang, biarpun berhasil menumpuk uang banyak, namun kalau tidak memiliki kesehatan, akan merasa kecewa dan sengsara. Si kaya dan sehat, kalau merasa rendah kedudukannya dan tidak terpandang, akan merasa kecewa juga. Demikianlah, pengejaran selalu menimbulkan pengejaran akan suatu yang lain dan tidak akan ada habisnya sebelum kita mati!

Kita akan menjadi hamba dari keinginan ini, selama hidup mengejar-ngejar apa yang kita anggap akan membahagiakan kehidupan kita, seperti mengejar bayangan sendiri yang takkan mungkin pernah dapat tertangkap. Pengejaran menunjukkan adanya ketidakpuasan, dan hati yang tidak puas, mengejar dan memperoleh apapun juga akan tetap tidak puas dan akan terus mengejar yang lain, yang dianggap lebih menyenangkan daripada apa yang telah diperoleh atau dimiliki. Beginilah kenyataannya dalam kehidupan kita sehari-hari.

Oleh karena itu, timbul pertanyaan yang amat penting bagi kita semua, yaitu : Apakah mungkin bagi kita untuk hidup tanpa mengejar apapun? Bukan berarti kita lalu tidur pulas atau bermalas-malasan, bukan berarti kita menjadi tidak perdulian, bukan berarti kita putus asa! Sama sekali bukan! Bahkan sebaliknya! Dengan bebas dari keinginan mengejar kesenangan, kita benar-benar hidup! Kita benar-benar waspada akan kehidupan saat demi saat, membuka mata melihat segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan kita, tidak dibuai oleh khayal dan bayangan cita-cita yang abstrak. Dan kalau kita sudah tidak ingin apa-apa yang tidak ada, maka barulah kita dapat waspada terhadap apa yang ada!

Sesungguhnya, kebahagiaan hanya terdapat dalam apa yang ada! Dan perhatian terhadap apa yang ada setiap saat ini, tanpa membiarkan diri diseret oleh lingkaran setan berupa kenangan masa lalu dan bayangan atau harapan masa depan, adalah benar-benar hidup yang sesungguhnya. Hidup adalah kenyataan setiap saat ini, bukan kenangan masa lalu, bukan pula bayangan khayal masa depan. Sekali lagi, dapatkah kita hidup tanpa mengejar kesenangan dalam bentuk apapun? Kalau sudah begitu, mungkin akan nampak oleh kita bahwa kebahagiaan terdapat di mana-mana, dalam segala waktu dan keadaan, karena kebahagiaan bukanlah soal di luar diri, melainkan soal batin, dan mungkin mata kita akan dapat melihat keindahan di mana-mana, dalam senyum seorang manusia lain, dalam pandang mata isteri, suami, anak atau siapa saja, dalam lambaian ujung daun, dalam sinar matahari, dalam awan berarak, dalam air hujan, dalam apa saja!

“Liong-te, apakah engkau sekarang masih menuduhku pemerkosa dan pemaksa wanita?”

Suara ini mengejutkan Sin Liong yang sedang melamun. Dia bangkit berdiri, membalikkan tubuhnya dan ternyata Ceng Han Houw telah berdiri di situ, wajahnya berseri dan lengan kirinya merangkul leher dan pundak gadis tadi yang berdiri dengan muka merah dan malu-malu namun matanya juga bersinar-sinar dan berseri penuh kegembiraan.

Sin Liong sebentar memandang keduanya dengan sinar mata marah. Dia merasa jijik terhadap mereka, kemudian dengan bersungut-sungut dia meninggalkan mereka, mencari kudanya.

“Manis, kaupulanglah ke dusunmu. Kelak aku akan datang mencarimu,” terdengar Han Houw berkata.

Gadis itu mengeluh, kemudian menangis ingin ikut. Han Houw membentaknya dan gadis itu diam. Dari sudut matanya Sin Liong melihat betapa mereka berciuman, kemudian gadis itu pergi dengan muka tunduk. Dan tak lama kemudian Han Houw juga sudah meloncat ke atas kudanya.

“Ha-ha, Liong-te, jangan murung. Mari kita pergi!”

“Aku juga akan kembali ke selatan!” Sin Liong berkata, suaranya masih kaku.

“Aku juga akan kembali ke selatan. Ingat, kita akan mencari suhu Bu Beng Hud-couw bersama. Mari kita pergi ke kota Ceng-lun di tepi Sungai Luan, di sana aku akan menyuruh orang mengabarkan kepada ayahku bahwa tugas kita telah selesai dan Jeng-hwa-pang telah kita basmi.”

Sin Liong tidak banyak membantah. Hatinya masih terasa panas dan tidak enak. Dia masih marah karena urusan gadis dusun tadi. Akan tetapi Han Houw bersikap ramah sekali dan di sepanjang perjalanan dia bicara dengan gembira, menceritakan tentang daerah yang mereka lewati.

Sebagai putera raja, tentu saja dia banyak mempelajari tentang daerah-daerah di luar tembok besar dan dengan bangga dia menceritakan betapa ayahnya, Raja Sabutai sudah menjelajahi seluruh daerah itu dan bahkan pernah menaklukkan hampir semua daerah di luar tembok besar.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: