***

***

Ads

Selasa, 21 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 132

Karena sikap ramah dan ceritanya menarik, mau tak mau Sin Liong mendengarkan dengan hati tertarik dan sikap kakak angkatnya itu sebentar saja sudah menghapus rasa marah dari dalam hatinya. Pangeran ini memang mata keranjang dan suka bermain gila dengan wanita, pikirnya, akan tetapi dia melihat pula kenyataan bahwa biarpun pangeran ini mempergunakan kedudukan dan ketampanannya untuk menjatuhkan hati wanita, namun si wanita sendirilah yang salah.

Dia melihat kenyataan bahwa wanita itu memang lemah, mudah terbujuk dan secara murah saja menyerahkan dirinya. Kalau wanita itu berhati bersih, tidak mungkin mau menyerahkan diri secara sedemikian mudah dan murahnya. Dan dia berjanji dalam hati bahwa kalau dia bertemu dengan wanita seperti itu, dia akan melindunginya dan kalau perlu dia akan menentang kakak angkatnya!

Beberapa kali Sin Liong menoleh ke arah kakak angkatnya yang menjalankan kudanya perlahan di sampingnya. Dia heran melihat pangeran ini. Sekarang kelihatan begitu baik, begitu ramah, dan seolah-olah pengalaman dengan wanita tadi, perkelahiannya dengan dia, hanya merupakan hal remeh yang boleh dilupakan dalam sekejap mata saja!

“Houw-ko...”

“Ada apakah, Liong-te?” Han Houw menoleh dan tersenyum.

“Siapakah nama perempuan tadi?”

Han Houw terbelalak, senyumnya melebar.
“Ahhh...? Mana aku tahu?”

Sin Liong mengerutkan alisnya, keheranannya membesar.
“Tidak tahu namanya?”

Amat sukar dipercaya bahwa orang yang sudah berhubungan selekat itu masih belum diketahui namanya!

“Ha-ha, Liong-te. Perempuan seperti itu saja, mana pantas kita ingat namanya? Di dunia ini terdapat laksaan perempuan seperti itu, yang menyerah dengan mudah karena bangga melayani kita. Kalau kita memperhatikan mereka, wah, kiranya tidak ada apa-apa lagi yang dapat kita pikir karena sudah penuh dengan nama-nama mereka. Ha-ha-ha! Dia tidak ada harganya untuk diingat.”

“Tapi... tapi... dia seorang gadis, dan kau... kau sudah... dan kau janjikan dia suruh menanti di dusunnya...”

Kembali pangeran itu tertawa bergelak.
“Wah, adikku yang baik. Engkau sungguh hijau, jujur dan masih polos benar-benar! Kalau aku tidak muncul dalam waktu beberapa bulan saja, dia, gadis seperti itu, tentu sudah memperoleh penggantiku. Eh, Sin Liong, apakah benar-benar engkau tidak suka kepada wanita?”

Sin Liong mengerutkan alisnya, masih terlalu kaget dan terheran mendengar keterangan kakak angkatnya. Pangeran ini menganggap hubungan antara pria dan wanita sedemikian remehnya! Kemudian pertanyaan terakhir itu mengejutkannya dan kembali wajahnya menjadi merah.






“Aku bukannya tidak suka atau suka, akan tetapi jelas aku tidak akan melakukan perbuatan seperti yang kau lakukan itu, Houw-ko!” katanya tegas dan dia menyuruh kudanya lari congklang. Han Houw tertawa bergelak dan mengejar.

Kota Ceng-lun adalah sebuah kota di tepi Sungai Luan yang berada di sebelah utara Peking dan berada di luar tembok besar. Kota ini cukup ramai dan kota ini pernah diduduki pasukan Raja Sabutai, bahkan dijadikan benteng ketika raja ini memimpin pasukannya untuk menyerbu ke dalam tembok besar di selatan. Biarpun kini daerah itu dikepalai oleh pasukan liar dari bangsa Nomad lain yang bersahabat dengan pemerintah Kerajaan Beng-tiauw pada waktu itu, akan tetapi suku bangsa inipun masih tunduk akan kekuasaan Raja Sabutai yang amat kuat dan yang merupakah bahaya lebih dekat dan lebih besar bagi suku bangsa itu daripada bahaya yang datang dari tembok besar.

Inilah sebabnya maka ketika Pangeran Oguthai atau Ceng Han Houw bersama Sin Liong tiba di kota Ceng-lun, dan para pembesar setempat mengenal pangeran ini, dua orang muda itu disambut dengan hormat dan meriah! Apalagi ketika Ceng Han Houw membuktikan dirinya sebagai seorang pangeran Kerajaan Beng, dan dapat memperlihatkan tanda kekuasaan yang diperolehnya dari Kaisar Beng yang baru, maka semua orang makin menyembah-nyembahnya!

Kembali Sin Liong melihat dengan hati tidak senang betapa kakak angkatnya itu bersikap congkak dan tinggi hati, menganggap fihak tuan rumah, yaitu para pembesar seperti anak buah saja, dan anehnya, yang diperlakukan seperti itu malah kelihatan senang dan menjilat-jilat! Lebih lagi ketika mereka berdua dijamu dengan hidangan yang serba mewah dan dilayani makan minum oleh sekumpulan gadis-gadis cantik.

Sin Liong merasa sungkan, malu dan juga muak. Sejak kecil dia sudah hidup bebas dan seadanya, sederhana namun kebebasannya mendatangkan rasa nikmat dan bahagia yang luar biasa. Maka kini, keadaan yang mewah dan dikurung kesopanan dan peraturan yang memuakkan hatinya itu, tentu saja dia merasa tidak enak dan tidak senang.

Bagi Sin Liong yang berjiwa bebas, kebebasan yang diperolehnya karena keadaan hidupnya di waktu kecil, tentu saja nampak tidak menyenangkan dan merepotkan malah, semua peraturan dan sopan santun, semua kebudayaan yang jelas kelihatan amat palsu olehnya itu.

Memang, kalau kita mau membuka mata dan melihat apa adanya, akan nampak oleh kita betapa kita ini hidup di alam kepalsuan! Sikap kita, senyum kita, ucapan-ucapan kita, semua itu terkendali, semua itu munafik dan palsu, tidak sewajarnya, semua itu “demi kesopanan”. Sopankah sikap yang dibuat-buat itu? Kalau kita bicara dengan orang lain, terutama kalau kita bicara dengan orang yang lebih tinggi kedudukannya daripada kita, atau lebih kaya, atau lebih pintar menurut anggapan kita, maka otomatis muncullah kepalsuan kita, senyum kita, pandang mata kita, kata-kata kita, semua itu “disesuaikan” dalam pertemuan itu dan kita menjadi manusia lain, yang berbeda dengan pembantu kita, dengan keluarga kita dan sebagainya!

Sopan santun pura-pura dan palsu! Beginikah kebudayaan kita? Beginikah peradaban kita? Betapa menyedihkan kalau kita namakan kebudayaan, peradaban itu hanya merupakan kepintaran berpura-pura belaka, pandai bermanis selagi perasaan sepahit-pahitnya, pandai menghormat dan bersikap sopan selagi hati menghina dan membenci! Dan kita telah terdidik semenjak kecil untuk berpura-pura seperti itu!

Semenjak kecil kita dijejali pelajaran-pelajaran bagaimana harus bersikap sebagai seorang sopan, sebagai seorang berbudaya, terpelajar dan sebagainya! Kita tidak pernah diperkenalkan kepada apa yang dinamakan kesopanan itu, dalam arti kata menyelami, mendalami, mengerti dan menghayati, bukan sekedar sikap lahiriah yang pura-pura belaka!

Kalau sudah ada rasa hormat dalam batin kita terhadap sesamanya, rasa hormat yang timbul bukan karena pura-pura, bukan karena penjilatan, melainkan rasa hormat yang dengan sendirinya muncul di mana terdapat cinta kasih terhadap sesama, kalau sudah ada rasa cinta seperti itu di dalam batin kita, maka segala kepura-puraan itu, segala kesopanan hampa, segala kemunafikan, akan sirna dan hubungan antara manusia akan menjadi lain sama sekali!

Kalau segala kepalsuan itu sudah tidak ada, dan kalau hubungan antara manusia didasari cinta kasih, maka barulah akan benar-benar ada hubungan itu! Sebaliknya, hubungan seperti adanya sekarang ini, hanyalah hubungan semu belaka, hubungan antara dua gambaran dari aku dan engkau yang keduanya palsu, tidak sewajarnya, tidak seadanya, dan dalam hubungan seperti itu, tentu saja muncul pertentangan-pertentangan.

Ketika Han Houw minta kepada pembesar kota Ceng-lung untuk menyampaikan laporannya kepada Raja Sabutai tentang hasilnya membasmi Jeng-hwa-pang, pembesar itu terkejut bukan main, akan tetapi tergopoh-gopoh dia lalu mengutus pasukan kecil untuk menyampaikan berita itu ke utara. Barulah para pembesar itu tahu bahwa dua orang pemuda ini ternyata memiliki kepandaian luar biasa, karena kalau tidak demikian, mana mungkin dua orang itu mampu membasmi perkumpulan Jeng-hwa-pang yang amat ditakuti itu?

Malam harinya, kembali dua orang muda itu dijamu secara besar-besaran oleh para pejabat di Ceng-lun. Han Houw nampak gembira bukan main dan minum sampai hampir mabuk. Malam makin larut dan akhirnya para pembesar itu minta diri, meninggalkan dua orang muda itu melanjutkan bersenang-senang dilayani oleh delapan orang gadis cantik manis yang melayani sambil tersenyum-senyum. Karena dipaksa dan dibujuk oleh Han Houw, Sin Liong minum arak agak banyak pula. Biarpun dia tidak sampai mabuk, akan tetapi seluruh tubuhnya terasa panas dan dia mulai pening.

“Houw-ko, akupun hendak mengaso. Biarlah aku kembali ke kamar lebih dulu dan kalau engkau belum puas, kau lanjutkan sendiri pesta ini,” katanya sambil bangkit berdiri.

Han Houw tertawa bergelak dan mengangkat cawan yang penuh arak.
“Ha-ha-ha, engkau sudah ingin tidur? Bagus, bagus, dan selamat Liong-te, selamat bersenang-senang, ha-ha-ha!”

Sin Liong memandang kakak angkatnya dengan alis berkerut, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakaknya itu. Akan tetapi Han Houw hanya tertawa sambil merangkul pinggang seorang di antara empat orang gadis cantik yang berpakaian serba merah, maka diapun mengira bahwa kakak angkatnya itu sudah mabuk. Dia tersenyum, menggeleng kepala lalu membalikkan tubuhnya meninggalkan ruangan itu untuk pergi ke kamar yang sudah disediakan untuknya.

Dia tidak tahu bahwa empat orang yang berpakaian serba hijau, saling pandang, tersenyum lalu merekapun membayanginya dari jauh. Karena terlalu banyak minum, Sin Liong segera melemparkan tubuhnya ke atas pembaringan tanpa membuka pakaian atau sepatunya. Kepalanya terasa pening dan tubuhnya panas.

Tiba-tiba dia terkejut karena biarpun dia pening dan mengantuk, namun pendengarannya masih tajam sekali dan sedikit gerakan di pintu itu cukup membuat dia terkejut dan menoleh. Dia terbelalak heran ketika melihat empat orang gadis berpakaian serba hijau yang tadi melayaninya makan minum, kini memasuki kamarnya itu dan gadis terakhir menutupkan pintu kamar. Mereka itu tersenyum-senyum memandang kepadanya dengan sikap amat genit.

“Hee! Mau apa kalian masuk ke sini...?”

Sin Liong sudah bangkit duduk dan menegur dengan gugup. Empat orang pelayan yang muda dan cantik-cantik itu amat genit dan tadi ketika melayaninya makan minum sudah membuat dia bingung dan gugup sehingga dia tidak dapat menolak mereka yang ikut Han Houw membujuknya sehingga dia minum terlalu banyak.

Empat orang itu tertawa cekikikan mendengar pertanyaan ini, dan mereka lalu mulai menanggalkan pakaian luar mereka! Seorang di antara mereka berkata dengan sikap genit.

“Ah, kongcu..., masih bertanya mau apa? Hik-hik, apapun mau asal kongcu yang menyuruh...! Kami berempat memang ditugaskan untuk melayanimu, kongcu...”

Sepasang mata Sin Liong makin terbelalak ketika dia melihat betapa empat orang wanita itu kini memakai pakaian dalam yang tipis berwarna hijau muda sehingga terkena sorotan lampu, nampak lekuk lengkung tubuh mereka membayang di balik pakaian dalam yang tipis itu.

“Tidak..., tidak...! Kalian layani saja Houw-ko...”

“Ahhh, kongcu tidak usah khawatir. Pangeran sudah ada yang melayani, yaitu empat orang gadis berpakaian merah tadi. Kami bertugas melayanimu, kongcu, dan kami beruntung sekali karena kami merasa lebih senang melayanimu...”

“Eh, mengapa?”

Sin Liong merasa heran mendengar bahwa mereka ini lebih senang melayaninya daripada melayani Han Houw.

“Hik-hik, karena... semua orangpun dapat melihat bahwa kongcu adalah seorang perjaka tulen...”

Wajah Sin Liong menjadi merah dan jantungnya berdebar keras ketika melihat empat orang gadis cantik itu dengan langkah memikat menghampirinya, lenggang mereka seperti empat orang penari.

“Mari kubantu kongcu menanggalkan pakaian. Hawanya begini panas...”

“Biar kupijit badanmu, kongcu, engkau tentu lelah...”

“Kongcu hendak minum apa?”

“Aku yang akan mengipasimu, kongcu...”

Akan tetapi Sin Liong meloncat menghindarkan mereka.
“Aku... aku... mau mencari hawa sejuk...” katanya gagap dan seperti orang takut setan pemuda ini lari keluar dari kamar itu.

Tentu saja empat orang gadis itu melongo, saling pandang lalu tertawa cekikikan. Sikap pemuda itu malah menimbulkan gairah di hati mereka karena jelaslah bahwa pemuda itu belum pernah berdekatan dengan wanita, dan hal ini amat menarik hati mereka. Sambil tertawa-tawa mereka menyambar pakaian luar mereka, memakainya kembali dan mereka lalu keluar dari kamar, cekikikan dan berlumba untuk mencari pemuda itu.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: