***

***

Ads

Selasa, 21 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 134

Sin Liong masuk dan majikan rumah makan itu dengan penuh perhatian memberi hidangan bubur panas kepadanya. Sin Liong makan dengan lahapnya dan sebentar saja sudah menghabiskan bubur empat mangkok besar! Setelah selesai makan, pemuda ini lalu bangkit berdiri, menjura kepada pemilik rumah makan sambil berkata lantang,

“Lopek yang baik. Terima kasih atas kebaikanmu, dan sekarang aku mau bekerja untukmu!”

Mulailah Sin Liong bekerja di rumah makan itu. Mula-mula, dia disuruh membantu tukang masak, mengambil air, membelah kayu, mencuci mangkok piring dan sebagainya.

Karena pemuda itu rajin dan pandai membawa diri, dia disuka dan sebentar saja majikan memberi kepercayaan kepadanya untuk menjadi pelayan. Wajahnya yang tampan dan usianya yang masih muda itu dianggap memenuhi syarat untuk menjadi pelayan yang baik dan menyenangkan tamu, dan pekerjaan ini memang menyenangkan hati Sin Liong karena membuka kesempatan baginya untuk bertemu dengan macam-macam orang dan dari percakapan para tamu dia dapat mengetahui keadaan luar dan bahkan dari para tamu yang terdiri dari orang-orang kang-ouw dia mendapat kesempatan untuk mendengar banyak tentang dunia persilatan sehingga dia dapat melakukan penyelidikan mengenai musuh besarnya.

Sampai berbulan-bulan lamanya Sin Liong bekerja sebagai seorang pelayan restoran. Selama itu, dia tidak pernah lalai untuk melatih ilmu-ilmunya, bahkan dia makin memperdalam ilmu-ilmu aneh yang dipelajarinya dari kitab-kitab ciptaan Bu Beng Hud-couw. Namun tidak ada seorangpun tahu akan keadaan dirinya ini karena Sin Liong pandai menyembunyikan semua kepandaiannya itu dan dia selalu menjauhkan diri dari urusan yang menimbulkan pertentangan atau keributan. Dia selalu mengalah sehingga tidak ada orang pernah memusuhinya.

Ketika melayani para tamu yang datang makan di restoran itu, Sin Liong selalu waspada sehingga dia tidak pernah melewatkan percakapan antara tamu yang penting. Dengan kepandaiannya yang tinggi, dia dapat mempergunakan ketajaman pendengarannya untuk menangkap semua percakapan, biarpun yang dilakukan tamu yang duduk di ujung restoran dan jauh dari tempat dia berdiri sekalipun.

Dengan jalan inilah dia mendengar pula tentang tokoh-tokoh kang-ouw yang berada di kota raja dan sekitarnya. Bahkan dengan hati kaget dia mendengar pula betapa keluarga mendiang kakeknya di Cin-ling-pai, yaitu Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong telah dicap sebagai pemberontak-pemberontak buruan pemerintah!

Berita ini membuatnya termenung sejenak. Betapapun juga, seorang diantara mereka, yaitu Cia Bun Houw, adalah ayah kandungnya! Cerita tentang peristiwa itu selalu memasuki benaknya sungguhpun dia sudah selalu mengusirnya dengan ingatan bahwa ayah kandungnya itu adalah seorang yang tidak baik, yang menyia-nyiakan ibu kandungnya sehingga dia terlahir tanpa ayah dan semenjak lahir tidak pernah ditengok ayahnya!

Pada suatu pagi, rumah makan itu ramai dikunjungi tamu. Hari itu kebetulan jatuh pada Pik-gwe Cap-go (tanggal lima belas bulan delapan), yaitu merupakan satu di antara hari-hari besar di Tiongkok, karena pada hari tanggal itu orang-orang melakukan sembahyang Tiong-ciu.

Seperti biasa, banyak penduduk di luar kota raja pada hari besar itu berduyun-duyun datang ke kota raja, ada yang hanya berpesiar, akan tetapi sebagian besar untuk membeli kuih-kuih tiong-cu-pia yang lezat dan juga untuk berbelanja segala macam barang yang tidak bisa mereka dapatkan di dusun-dusun.






Restoran dimana Sin Liong bekerja penuh dengan tamu sehingga semua pelayan menjadi sibuk, bahkan majikan rumah makan itu sendiri ikut pula menyambut tamu di pintu depan dengan wajah berseri gembira karena keramaian itu meramaikan bahwa hari itu akan memperoleh keuntungan yang tidak sedikit.

Empat orang tamu baru memasuki rumah makan itu. Mereka ini terdiri dari dua orang pemuda dan dua orang gadis, Melihat empat orang muda yang dari pakaiannya saja sudah menunjukkan bahwa mereka orang-orang kaya itu berdiri termangu-mangu dan ragu-ragu karena restoran itu amat penuhnya, majikan restoran itu cepat menyambut mereka dengan senyum ramah.

“Silakan masuk, ji-wi siocia dan ji-wi kongcu, di dalam masih ada tempat duduk yang kosong. A-sin...! Kau sambutlah tamu-tamu kita ini!” teriaknya kepada Sin Liong yang cepat berjalan keluar untuk menyambut tamu-tamu itu seperti yang diteriakkan oleh majikannya.

Begitu melihat empat orang tamu itu, wajah Sin Liong berubah dan jantungnya berdegup tegang. Cepat dia membungkuk-bungkuk untuk menyembunyikan wajahnya dan dia mempersilakan mereka masuk karena di sudut sebelah dalam memang masih ada meja yang kosong, baru saja ditinggalkan tamu lain dan sudah dibersihkannya.

Dia segera mengenal dua orang gadis itu. Andaikata dia salah mengenal dua orang gadis itu dan seorang diantara pemudanya, akan tetapi tidak mungkin dia salah mengenal pemuda ke dua itu. Pemuda itu sudah pasti adalah Beng Sin! Wajahnya yang bulat, tubuhnya yang gendut, mulut yang seperti selalu tersenyum dan mata yang lucu itu! Siapa lagi kalau bukan si gendut Beng Sin, seorang di antara keponakan Kui Hok Boan, ayah tirinya?

Dan dua orang gadis itu, yang sukar dibedakan satu antara yang lain, tentulah si kembar Lan Lan dan Lin Lin, adik-adik tirinya! Dan pemuda tampan gagah itu siapa lagi kalau bukan Siong Bu? Masih nampak pesolek, angkuh dan gagah saja pemuda itu! Dan Lan Lan berdua Lin Lin, kini telah menjadi dara-dara remaja yang cantik manis.

Jantung di dalam dada Sin Liong berdebar tegang. Ingin dia menyapa, akan tetapi teringat bahwa dia hanyalah seorang pelayan restoran, dia menelan kembali seruan yang sudah berada di ujung bibirnya tadi. Jelas bahwa mereka berempat itu tidak mengenalnya. Tentu saja tidak mengenalnya. Dia hanyalah seorang pelayan restoran!

“Tuan-tuan muda dan nona-nona hendak memesan masakan apakah? Dan minum apa?” dia bertanya dengan sikap hormat dan biasa seperti kalau dia melayani para tamu lainnya.

Empat pasang mata memandangnya dan Sin Liong merasa betapa jantungnya makin berdebar.

“Eh, aku pernah melihatmu!” Tiba-tiba Beng Sin si gendut berseru sambil memandang kepada Sin Liong.

Sin Liong terkejut dan cepat memasang aksi terheran-heran dan segera menekankan gaya bahasa selatan dalam kata-katanya.

“Ah, kongcu tentu keliru mengenal orang. Atau barangkali kongcu pernah makan disini, tentu saja pernah melihat saya.”

“Aku belum pernah makan di sini, baru sekali ini,” kata Beng Sin. “Sudahlah, sekarang hidangkan empat masakan yang paling lezat dari restoran ini!”

“Sin-ko, aku hanya ingin makan bubur ayam saja dan minum secangkir air teh panas,” kata Lan Lan.

“Aku juga,” sambung Lin Lin.

“Ha-ha, engkau hanya mengingat makanan saja, Sin-te! Kita berangkat dari rumah untuk berbelanja ke pasar kota raja, akan tetapi begitu masuk kota raja engkau memaksa kami masuk restoran untuk makan!” Siong Bu mencela sambil tertawa.

“Wah, Bu-ko, selagi kita masih hidup, tentu saja kita harus ingat akan makan. Makan merupakan kebutuhan hidup yang pokok, sedangkan berbelanja ke pasar hanya merupakan kesenangan biasa saja. Sesudah makan, baru belanja, dan dapat berbelanja dengan senang karena tidak lagi diganggu perut lapar. Bukankah begitu?”

Lan Lan dan Lin Lin tertawa.
“Bu-ko, sudahlah, berdebat tentang makan melawan Sin-ko, engkau takkan menang!”

Sin Liong melihat dan mendengarkan percakapan antara empat orang muda ini dengan hati berdebar dan penuh keharuan. Terbayanglah dia akan masa kanak-kanak, ketika dia masih berada disamping empat orang ini. Dia merasa terharu karena ternyata mereka itu tidak berubah, atau yang jelas, Beng Sin sama sekali tidak berubah, masih seperti dulu ketika anak-anak. Suka makan, jenaka dan gembira!

Dia lalu menyampaikan pesanan mereka ke dapur dan diam-diam dia merasa heran mengapa empat orang itu kini berada di sini. Agaknya mereka tinggal tidak jauh dari kota raja. Apakah yang terjadi dengan mereka dan sejak kapan mereka pindah dari utara? Tentu saja ingin sekali dia bercakap-cakap dengan mereka, akan tetapi karena dia masih menyembunyikan keadaan dirinya, maka dia menahan hatinya dan melayani mereka tanpa membuka suara.

Akan tetapi, setelah empat orang muda itu selesai makan dan meninggalkan restoran dengan sikap gembira, Sin Liong cepat mendekati majikannya dan tiba-tiba dia mengeluh dan terhuyung-huyung. Majikannya terkejut sekali dan cepat memegang lengannya.

“Eh, kau kenapa, A-sin?” tanyanya, akan tetapi melihat A-sin menjadi pucat sekali wajahnya dan tubuhnya terasa panas bukan main, dia segera memanggil pelayan yang lain dan dipapahlah A-sin memasuki kamarnya.

A-sin segera jatuh pingsan! Majikannya tentu saja menjadi bingung, akan tetapi pada saat majikannya hendak suruhan orang memanggil tabib, Sin Liong “siuman” kembali dan berkata lemah.

“Tidak usah memanggil tabib... mungkin hanya masuk angin... asal saya diperbolehkan rebah mengaso, tentu akan segera sembuh...”

Majikannya tentu saja membolehkan dia mengaso dalam kamarnya. Melihat bahwa Sin Liong tidak begitu payah lagi, majikannya dan pelayan lain lalu keluar lagi karena restoran amat sibuknya pada waktu itu.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Sin Liong yang tadi hanya mempergunakan ilmunya untuk membikin dirinya pucat dan panas, untuk menutupkan daun pintu dari dalam, kemudian dia meloloskan diri tanpa diketahui siapapun melalui genteng rumah! Tak lama kemudian dia telah berada di dalam pasar dan membayangi empat orang muda tadi yang sedang berbelanja. Mereka membeli pakaian dan segala macam barang lain, dan lagak mereka menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang muda yang membawa bekal uang cukup banyak.

Seperti biasa di tempat-tempat ramai pada waktu-waktu ramai dikunjungi oleh orang-orang dusun yang hendak berbelanja, di pasar itupun terdapat banyak kaum pencopet! Mereka inipun “berpesta” karena banyak terdapat korban-korban yang berkantong tebal dan yang bersikap agak lalai, yaitu orang-orang dusun yang membawa banyak uang.

Ketika Sin Liong membayangi empat orang muda itu dari jauh, diapun melihat beberapa orang jembel muda berseliweran di tempat itu. Dia mengenal mereka itu sebagai pengemis-pengemis yang kadang-kadang suka datang ke belakang restoran dan minta sisa-sisa makanan.

Dia selalu merasa kasihan kepada mereka, karena dia menganggap mereka itu sebagai orang-orang muda yang patut dikasihani, yang terlantar dan hidup mengandalkan belas kasihan orang. Dia kadang-kadang bergidik membayangkan dirinya sampai terpaksa minta-minta makanan seperti mereka itu, maka timbullah rasa iba di dalam hatinya dan kadang-kadang dia rajin mengumpulkan sisa-sisa makanan para tamu untuk dibagi-bagikannya kepada mereka yang sudah menanti di pintu belakang.

Kini Sin Liong menyaksikan kenyataan yang membuatnya terbelalak penuh keheranan! Sekumpulan pengemis muda itu ternyata kini melakukan pekerjaan yang lain sama sekali. Mereka kini menggunakan kecepatan gerak tangan dan gerak isyarat memberi tanda satu kepada yang lainnya untuk mencopet! Dan dia melihat betapa para pengemis yang menjadi “langganan” restoran di mana dia bekerja itu kini dipimpin oleh seorang gadis muda berbaju biru yang amat lincah!

Gadis itu usianya baru lima belas atau enam belas tahun, namun jelas kelihatan amat berwibawa di antara para pengemis muda itu! Biarpun gadis itu sendiri tidak melakukan sesuatu, namun semua pengemis muda taat dan tunduk kepadanya, memperhatikan isyarat-isyarat yang dilakukan gadis ini dengan jari-jari tangan atau kerling matanya! Dan kini, jelas nampak oleh Sin Liong betapa gadis itu memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk “mengerjakan” Beng Sin dan tiga orang temannya!

Gadis itu membawa sebuah keranjang yang penuh sayur-sayuran. Dengan langkah ringan dan lemah gemulai, gadis itu berjalan dan ketika tiba di rombongan Beng Sin, tiba-tiba saja gadis pembawa keranjang sayuran itu mengeluh dan kakinya tersandung lalu dia terhuyung ke depan, menabrak Beng Sin!

“Eh, eh... hati-hatilah, nona...”

Beng Sin yang gemuk itu ternyata dapat bergerak cepat sekali dan dia sudah berhasil menangkap lengan nona itu sehingga nona itu tidak sampai jatuh, sungguhpun keranjang sayurannya terlempar dan sayurnya berantakan. Beberapa orang pengemis muda ikut membantu mengumpulkan sayuran yang berhamburan dan untuk beberapa lamanya tempat itu menjadi ribut karena kerumunan banyak orang.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: