***

***

Ads

Kamis, 23 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 141

Sejenak Louw Kiat Hui terperanjat, akan tetapi dia lalu berkata, kembali suaranya halus,
“Sudahlah. Mari kita semua pulang ke Kun-ting dan segala sesuatu dapat dibicarakan dengan tenang disana.”

Louw Kiat Hui lalu mengeluarkan uang dan membayar secukupnya kepada pemilik rumah dusun itu yang telah mau menampung Bi Cu, kemudian dengan memaksa dia mengajak Bi Cu untuk kembali ke Kun-ting malam itu juga!

Tindakan Louw Kiat Hui ini dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa dia telah melakukan hal yang benar. Dia harus melindungi keselamatan Bi Cu, kalau perlu dengan paksaan. Dia tahu bahwa kalau dia membiarkan Bi Cu melanjutkan perjalanan seorang diri, sudah pasti gadis kecil ini akan mengalami malapetaka di tengah jalan. Ilmu silat yang dikuasai gadis itu masih terlampau rendah untuk dapat dipakai menjaga diri.

Karena lelah, maka akhirnya mereka bermalam di sebuah kuil di tengah perjalanan. Kuil itu adalah kuil seorang tosu yang merawat kuil bersama beberapa orang muridnya. Dengan ramah tosu-tosu itu menerima kedatangan Louw Kiat Hui yang terkenal sebagai seorang piauwsu yang budiman, dan mereka semua mendapatkan kamar. Untuk mencegah gadis itu nekat melarikan diri lagi, maka Louw Kiat Hui sendiri bersama empat orang pembantunya menjaga di luar, tidur bergiliran, sedangkan Tiong Pek yang kelelahan sudah lebih dulu tidur di atas sebuah pembaringan di kamar sebelah.

Malam itu sunyi sekali. Semua penghuni dusun dimana kuil itu berdiri sudah tidur karena waktu itu menjelang tengah malam. Para tosu dan sebagian dari para piauwsu juga sudah tidur nyenyak. Hanya Louw Kiat Hui sendiri dan seorang piauwsu lain yang bergilir melakukan penjagaan masih duduk di depan kamar Bi Cu. Di sebelah dalam kamar itu, Bi Cu sendiri juga tidak dapat tidur, masih menangis perlahan karena merasa tidak berdaya. Dia diharuskan kembali lagi ke rumah itu!

Tiba-tiba kesunyian malam itu terganggu oleh suara batuk-batuk kecil disusul menyambarnya sebuah batu kecil yang tepat mengenai lampu yang tergantung di luar kamar Bi Cu. Tentu saja tempat itu seketika menjadi gelap dan Louw Kiat Hui cepat meloncat berdiri, diikuti oleh piauwsu lainnya.

“Siapa di situ?” bentak Louw Kiat Hui yang sudah mencabut pedangnya, lalu dia meloncat ke arah suara batuk tadi.

Akan tetapi pada saat itu dia merasa ada angin menyambar dan ada orang berkelebat di dekatnya. Nampak bayangan remang-remang karena cuaca yang gelap dan yang hanya mendapat penerangan dari lampu yang tergantung agak jauh dari situ. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati orang she Louw ini ketika melihat betapa bayangan itu telah mendorong daun pintu dan memasuki kamar Bi Cu!

“Heiii... tahan...!”

Dia meloncat ke kamar, akan tetapi cepat menghindar ketika dari dalam kamar itu meloncat bayangan tadi, kini sudah mengempit tubuh Bi Cu!

“Lepaskan dia!” bentak piauwsu yang lain sambil menubruk dengan goloknya.

“Plakk! Tranggg...!” Piauwsu itu roboh dan goloknya terlempar.






“Berhenti! Siapa engkau berani menculik orang?” teriak Louw Kiat Hui sambil mengejar.

Bayangan itu membalik dan Louw Kiat Hui yang tidak dapat melihat jelas muka orang karena cuaca yang gelap, sudah mendorong dengan tangan kirinya. Dia tidak berani lancang mempergunakan pedangnya.

Akan tetapi bayangan itu tidak mengelak, melainkan menangkis dorongan itu dengan gerakan sembarangan.

“Plakk! Ahhh...!”

Louw Kiat Hui terhuyung dan merasa betapa tangkisan itu membuat lengan kirinya seperti lumpuh rasanya. Maklumlah dia bahwa dia menghadapi lawan tangguh, maka dia sudah menubruk lagi dengan pedangnya, membabatkan pedang ke arah kedua kaki lawan, dilanjutkan dengan tusukan ke arah lambung.

Namun, dengan lincah dan mudahnya, bayangan itu mengelak terus sampai lima jurus. Kemudian dia membentak dan sebatang tongkat menangkis pedang itu sedemikian kuatnya sehingga pedang terlepas dari tangan Kiat Hui dan sebelum piauwsu ini mampu mengelak, dia sudah roboh tertotok. Para piauwsu lain terbangun oleh suara gaduh, akan tetapi selagi mereka hendak mengeroyok, bayangan itu telah meloncat ke atas dan lenyap ditelan kegelapan malam sambil membawa pergi tubuh Bi Cu!

Gegerlah para piauwsu. Setelah Louw Kiat Hui dibebaskan totokannya, dia bersama para piauwsu lainnya mengejar dan mencari-cari, namun tidak berhasil menemukan jejak bayangan tadi. Mereka menanyakan kepada para tosu, namun para tosu yang lemah itupun tidak dapat memberi keterangan.

Louw Kiat Hui dan teman-temannya lalu mencari terus, sampai beberapa hari mereka mencari di sekitar tempat itu, namun, jangankan menemukan jejak orang itu, bahkan keterangan tentang orang itupun tidak bisa mereka dapatkan. Mereka tidak tahu siapakah bayangan yang sedemikian lihainya, bayangan yang mempergunakan tongkat!

Louw Kiat Hui menghibur Tiong Pek yang merasa berduka dan khawatir sekali. Mereka terpaksa lalu kembali ke Kun-ting dengan tangan kosong dan biarpun para piauwsu itu masih selalu mencari-cari, namun mereka tidak pernah berhasil dan Bi Cu tetap lenyap tanpa meninggalkan jejak.

Siapakah yang menculik Bi Cu? Mari kita ikuti pengalamannya semenjak malam dia lenyap dari kuil itu. Ketika itu, Bi Cu masih menangis perlahan ketika tiba-tiba dia mendengar suara gaduh dan pintu kamarnya jebol. Dia hanya melihat bayangan orang menyerbu masuk dan sebelum dia tahu apa yang terjadi, bayangan orang itu telah meloncat ke depan pembaringannya dan berkata,

“Mari kau ikut bersamaku melarikan diri dari mereka, anak yang baik.”

Bayangan itu lalu menyambar tubuhnya dan Bi Cu tidak mampu bergerak lagi. Dia merasa bingung harus berbuat apa, menyerah atau melawan. Kalau menyerah, dia belum tahu siapa adanya orang ini, kalau melawan, dia merasa tertarik oleh kata-kata yang sifatnya hendak menolongnya membebaskan diri dari Tiong Pek dan para piauwsu itu. Apalagi ketika orang yang membawanya itu kemudian bertanding, dia makin bingung dan khawatir.

Akan tetapi ketika dia dibawa pergi dengan berloncatan demikian cepatnya ke atas genteng, tahulah Bi Cu bahwa pembawanya adalah seorang yang berilmu tinggi. Apalagi kini dia sudah melihat orang itu, seorang kakek tua yang berpakaian aneh, bajunya penuh tambalan seperti baju pengemis, namun tambalan-tambalan itu berkembang-kembang, tubuhnya pendek kurus dan mukanya seperti tikus!

Setelah terbebas dari pengejaran para piauwsu, kakek itu menurunkan tubuh Bi Cu dan memegang tangannya, menggandengnya dan mengajaknya berjalan kaki menuju ke kota raja.

“Nah, engkau kini sudah terbebas dari mereka, anak baik. Aku melihatmu dibawa mereka dan engkau menangis di sepanjang jalan, maka aku tahu bahwa engkau tidak suka mereka bawa dan ingin bebas. Siapakah namamu dan mengapa engkau mereka paksa untuk ikut dengan mereka?”

Mendengar keterangan kakek ini, Bi Cu lalu menceritakan keadaan dirinya.
“Aku hendak mencari pembunuh ayah kandungku, akan tetapi mereka melarang, karena itu aku berduka dan menangis, kek.” Dia menutup penuturannya.

Kakek itu tersenyum.
“Ha-ha, engkau sungguh keras hati dan berbakti. Akan tetapi engkau hanya seorang anak perempuan yang lemah, mana mungkin sendirian saja pergi ke tempat begitu jauh, di luar tembok besar mencari seorang musuh pembunuh ayahmu? Bagaimana kalau engkau belajar ilmu silat dulu dariku, kemudian setelah pandai baru engkau pergi mencari musuhmu?”

Bi Cu tadi telah menyaksikan kelihaian kakek ini, maka dia menjadi girang dan segera menjatuhkan diri berlutut.

“Terima kasih atas perhatian suhu terhadap diri teecu!” katanya.

Kakek itu tertawa girang dan segera mengangkatnya bangun.
“Ketahuilah, bahwa gurumu ini dinamakan orang Hwa-i Sin-kai dan aku pemimpin seluruh pengemis Hwa-i Kai-pang di daerah kota raja dan sekelilingnya. Engkau boleh menjadi muridku, akan tetapi Hwa-i Kai-pang mempunyai suatu peraturan yang melarang menerima anggauta wanita. Oleh karena itu, biarpun engkau ini muridku, namun engkau tidak boleh menjadi anggauta perkumpulan Hwa-i Kai-pang. Mengertikah engkau, Bi Cu?”

“Teecu mengerti, dan pula, teecu memang tidak ingin menjadi pengemis!”

Hwa-i Sin-kai tertawa lagi.
“Dan mulai saat ini engkau tidak boleh memperkenalkan namamu, karena para piauwsu dari Ui-eng-piawkiok itu tentu akan mencarimu. Maka kalau sampai ada yang mengenal namamu, tentu akan mudah bagi mereka untuk menemukanmu dan aku merasa tidak enak kalau harus bentrok dengan mereka. Mereka terkenal sebagai piauwsu-piauwsu yang baik. Tadipun untuk menolongmu, aku mempergunakan kecepatan agar tidak sampai dikenal oleh mereka.”

“Kalau tidak memakai nama teecu, habis lalu memakai nama apa, suhu?”

“Sudah kuperhatikan dirimu. Matamu amat tajam dan indah, merupakan ciri khas bagimu, maka sepatutnya kalau engkau memakai julukan Kim-gan (Si Mata Emas) dan mengingat engkau seorang anak perempuan kecil hidup sendirian di dunia ini dan setelah menjadi muridku engkau kelak tentu akan memiliki kegesitan, maka biarlah engkau tambahkan julukan Yan-cu (Burung Walet), jadi mulai sekarang engkau terpaksa memperkenalkan nama, pakailah nama Kim-gan Yan-cu.”

Mulai saat itu, Bi Cu menjadi murid Hwa-i Sin-kai, diajak pergi ke dalam hutan di sebelah utara kota raja, tinggal di dalam kuil tua dan disitu dia digembleng ilmu oleh kakek yang lihai itu. Dan mulai saat itu dia dikenal di antara para anggauta Hwa-i Kai-pang sebagai Kim-gan Yan-cu, murid dari ketua mereka.

Biarpun Bi Cu tidak menjadi anggauta Hwa-i Kai-pang, namun dia dikenal oleh semua anggauta dan disuka oleh para anggauta muda, apalagi karena dia dikagumi sebagai murid sang ketua dan memang Bi Cu berbakat sehingga ilmu silatnya maju dengan pesatnya. Dan karena pergaulan inilah maka sedikit demi sedikit sifat pendiam dari Bi Cu mulai berubah, menjadi lincah, gembira dan juga cekatan dan cerdas sekali.

Demikianlah riwayat Bi Cu seperti yang diceritakannya kepada Sin Liong dan didengarkan dengan penuh perhatian oleh pemuda remaja itu.

“Menurut ceritamu tadi, engkau tidak boleh menjadi anggauta perkumpulan pengemis itu, akan tetapi mengapa engkau kini malah menjadi pemimpin para pengemis muda di pasar itu, Bi Cu?” Sin Liong menegur setelah dara itu selesai bercerita.

“Karena terpaksa. Hal ini terjadi setelah Hwa-i Kai-pang bubar!”

“Eh? Bubar? Mengapa?”

“Karena dituduh pemberontak oleh pemerintah dan semenjak suhu tewas.”

“Suhumu, kakek pangcu yang lihai itu tewas? Siapa yang membunuhnya?”

“Dikeroyok pasukan pemerintah. Ketika itu suhu sedang menghadiri pesta pernikahan keluarga pendekar sakti Yap Kun Liong, dan entah mengapa aku sendiri tidak tahu, pesta itu diserbu oleh pasukan tentara, dan suhu tewas dalam serbuan itu oleh pengeroyokan pasukan, sedang para pendekar Yap Kun Liong dan Cia Bun Houw bersama isteri mereka kabarnya ditangkap pasukan.”

“Ahhh...?”

Tentu saja Sin Liong terkejut bukan main mendengar berita penangkapan atas diri ayah kandungnya itu.

“Akan tetapi menurut kabar, mereka berempat itu berhasil meloloskan diri lagi dan kini menjadi buronan pemerintah. Pemerintah memang sewenang-wenang, masa suhu dan para pendekar sakti itu dianggap pemberontak! Terpaksa Hwa-i Kai-pang bubar dan karena tidak puas dengan kelaliman pemerintah, maka aku lalu memimpin para pengemis muda itu yang sebagian besar merupakan keturunan para anggauta Hwa-i Kai-pang, untuk sekedar mengacau pemerintah! Dan itu pula sebabnya maka ketika pasukan mengejarmu dan menuduhmu sebagai pemberontak buronan, kami menolongmu mati-matian.”

Sin Liong menarik napas panjang. Ternyata dara remaja inipun mengalami hal-hal yang amat pahit. Akan tetapi dia mengusir semua itu dari kenangannya dan dia tersenyum memandang wajah yang manis itu.

“Aih, kiranya engkau sekarang telah menjadi seorang pendekar wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi!”

“Tidak berani aku menganggap diri begitu, Sin Liong. Memang benar aku telah menerima latihan-latihan ilmu silat tinggi dari mendiang suhu sehingga kalau dibandingkan dengan dahulu ketika kita masih sama-sama belajar kepada Na-piauwsu, tentu saja aku telah memperoleh kemajuan pesat sekali. Akan tetapi setelah berkecimpung di dunia kang-ouw, aku tahu benar bahwa kepandaianku masih belum masuk hitungan! Aku harus mematangkan kepandaianku lebih dulu, barulah aku akan berangkat ke utara mencari pembunuh ayah.”

“Aku akan membantumu, Bi Cu. Kita akan mencari keterangan dari ayah tiriku, kemudian aku akan menemanimu mencari ke utara. Ingat aku datang dari Lembah Naga dan aku mengenal daerah di utara.”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: