***

***

Ads

Kamis, 23 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 142

Bi Cu tersenyum.
“Dan akupun tadi telah berjanji untuk membantumu menghadapi musuh besarmu.”

Sin Liong mengangguk-angguk.
“Memang sebaiknya kita saling bantu. Kita bersama-sama mencari pembunuh ayahmu dan pembunuh ibuku, kita berdua orang-orang yatim piatu memang sudah selayaknya saling bantu.”

“Engkau baik sekali, Sin Liong. Aku girang dapat bertemu denganmu.”

“Dan akupun girang sekali. Mari kita percepat jalan kita, itu dusun dimana tinggal keluarga Kui sudah nampak. Hari sudah hampir gelap.”

Mereka lalu mempercepat jalan mereka, setengah berlari-larian menuju ke dusun di depan dan waktu itu sudah hampir senja. Akhirnya mereka berjalan memasuki dusun itu dan mereka berdiri di luar pekarangan sebuah rumah yang cukup besar. Sampai disini Bi Cu termangu-mangu.

“Sin Liong, kau masuklah saja dulu,” bisiknya. “Aku merasa malu, karena kalau kuingat betapa aku telah mencopet barang-barang mereka...”

“Ah, mereka tidak akan tahu...”

“Kau masuklah dulu, kalau engkau lihat tidak ada halangan bagiku untuk masuk, baru engkau panggil aku. Kau boleh beritahukan dulu kepada mereka tentang kehadiranku...”

Akhirnya Sin Liong menyetujui juga karena memang dia sendiri baru saja akan bertemu dengan keluarga Kui, maka tidak enaklah kalau datang-datang dia membawa teman. Lebih baik dia melihat gelagat lebih dulu, kalau sekiranya keluarga itu tidak keberatan menerima Bi Cu, baru dia akan memanggil dara itu. Andaikata mereka berkeberatan menerima Bi Cu, dia sendiripun tidak akan mau tinggal di situ!

“Baik, kau tunggu disini sebentar,” katanya dan dia lalu melangkah masuk.

Pekarangan rumah itu sunyi saja, bahkan serambi depan juga kelihatan sunyi tidak nampak adanya seorangpun. Karena merasa bahwa dia adalah seorang anggauta keluarga ini, maka Sin Liong ingin mengejutkan mereka dengan kemunculan yang tiba-tiba melalui pintu belakang. Dia lalu mengambil jalan memutar, melewati samping rumah dimana terdapat sebuah kebun yang cukup luas.

Selagi dia jalan berindap-indap dengan jantung berdebar tegang penuh kegembiraan dan membayangkan betapa keluarga itu akan kaget sekali melihat kemunculan yang tiba-tiba dan betapa akan gembiranya pertemuan antara dia dan keluarga itu, terutama dengan adik-adiknya, Lan Lan dan Lin Lin, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan halus dan nyaring dan dari ujung tikungan dinding rumah itu berloncatan keluar dua orang gadis remaja yang cantik-cantik dan lincah, yang bukan lain adalah Lan Lan dan Lin Lin.

Dua orang dara remaja kembar ini masing-masing memegang sebatang pedang dan tanpa banyak cakap lagi mereka sudah menyerang Sin Liong dengan ganasnya!

Diserang secara tiba-tiba itu Sin Liong tidak menjadi gugup dan dengan beberapa kali melangkah ke belakang saja dia sudah dapat menghindarkan serangan-serangan pedang itu.






“Eh... oh... nanti dulu...!” serunya.

“Maling hina, engkau sudah bosan hidup!” bentak seorang di antara sepasang dara kembar itu dan dengan loncatan cepat dia sudah menyerbu dan menusukkan pedangnya ke arah dada Sin Liong!

“Dia tentu kawan-kawan para pencopet itu, enci Lan. Hajar saja!” bentak dara ke dua dan diapun menerjang ke depan dan mengayun pedangnya menyerang ke arah kedua kaki Sin Liong!

“Eittt... tahan dulu...!”

Sin Liong membuat gerakan kaku menarik tubuh atas ke belakang menekuk lututnya sehingga tusukan pedang Lan Lan tadi luput dan ujung pedang itu berhenti di depan hidunngnya, sedangkan ketika pedang Lin Lin menyambar lutut, dia cepat meloncat ke belakang menghindarkan diri. Biarpun gerakannya kaku karena memang Sin Liong tidak ingin memamerkan kepandaian, namun tentu saja gerakan ini dengan mudah dapai membebaskan dia dari serangan yang tiba-tiba itu.

“Lan Lan dan Lin Lin, tahan dulu...!” teriaknya ketika melihat mereka menyerang lagi sehingga terpaksa dia meloncat ke sana-sini seperti monyet menari-nari, namun semua serangan bertubi-tubi itu luput semua.

Mendengar disebutnya nama panggilan sehari-hari mereka, dua orang dara kembar itu makin marah.

“Kurang ajar kau!” bentak mereka hampir berbareng dan kini pedang mereka digerakkan makin gencar, bertubi-tubi mendesak ke arah Sin Liong.

Diam-diam Sin Liong gembira menyaksikan gerakan dua orang adik tirinya itu karena dia memperoleh kenyataan bahwa gerakan mereka cukup gesit dan mengandung tenaga sin-kang yang lumayan. Diapun tidak mau memperkenalkan diri lebih dulu karena dia ingin menguji lebih jauh sampai dimana tingkat kepandaian dua orang adik kembarnya. Tentu saja dia selalu membuat gerakan kaku dan terdesak, namun tak pernah ujung kedua batang pedang itu dapat menyentuh ujung bajunya sekalipun.

Tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat dan ternyata Bi Cu sudah meloncat cepat ke tempat itu dan tangan kanannya memegang sebatang ranting kayu sebesar lengan. Dengan gerakan indah dia menangkis dengan ranting kayu itu.

“Trakk! Trakkk!”

Dua batang pedang itu terpukul mundur dan ternyata tangkisan ranting kayu yang digetarkan hebat itu membuat dua orang dara kembar ini terkejut karena mereka merasa betapa pedang mereka tergetar dan tangan mereka nyeri!

“Jangan takut, Sin Liong, biar aku menghadapi mereka!” bentak Bi Cu.

Dua orang dara kembar itu terkejut dan heran. Mereka terbelalak memandang kepada Sin Liong dan dengan berbareng bibir mereka bergerak,

“Sin Liong...?”

“Lan-moi dan Lin-moi, apakah kalian tidak mengenal kakakmu sendiri? Aku adalah Sin Liong...” kata Sin Liong dengan suara gemetar karena terharu.

Dua orang gadis itu terbelalak, lalu melemparkan pedang dan mereka berlari menghampiri pemuda itu.

“Liong koko...!”

Lan Lan dan Lin Lin merangkul dengan wajah berseri gembira. Sin Liong teringat ibunya. Dia merangkul dua orang dara kembar itu dengan penuh kasih sayang.

“Lan-moi dan Lin-moi, kalian telah menjadi dua orang dara yang amat manis dan cantik jelita, juga kepandaianmu hebat, hampir saja aku kalian jadikan bakso!”

Akan tetapi dua orang dara remaja kembar itu tiba-tiba menoleh dan memandang kepada Bi Cu yang masih berdiri bengong sambil tetap memegang ranting kayu di tangannya yang tadi dipergunakannya untuk melindungi Sin Liong. Dia memang mempunyai kepandaian istimewa dalam memainkan senjata tongkat, yaitu ilmu Tongkat Ngo-lian Pang-hoat (Ilmu Tongkat Lima Teratai) yang dipelajarinya dari mendiang Hwa-i Sin-kai.

“Liong-ko, siapakah dia?” tanya Lan Lan.

Sin Liong baru teringat kepada Bi Cu maka cepat-cepat dia memperkenalkan.
“Bi Cu, inilah adik-adikku itu, Kui Lan dan Kui Lin. Lan-moi dan Lin-moi, ini adalah Bhe Bi Cu, yang pernah menjadi sumoiku.”

“Ahhh...!”

Dua orang dara kembar itu berseru girang dan mereka segera tersenyum ramah kepada Bi Cu. Lenyaplah kemarahan Bi Cu tadi ketika melihat dua orang dara kembar itu tersenyum demikian manisnya.

“Liong-ko, engkau mengagetkan orang saja!” Lan Lan menegur, “Kenapa tidak langsung masuk dari pintu depan?”

Sin Liong tersenyum.
“Aku memang ingin membikin kaget kalian. Bagaimana keadaan kalian sekeluarga?”

“Ayah pasti akan girang mendengar kedatanganmu. Mari, Liong-ko, ayah berada di dalam. Mari kita temui dia! Enci Bi Cu, mari ikut!” kata Lin Lin yang mendahului mereka lari melalui pintu samping ke dalam rumah sambil berteriak-teriak.

“Ayah. Liong-koko telah pulang...!”

Sin Liong hanya tersenyum penuh keharuan ketika dia menggandeng tangan Lan Lan mengikuti Lin Lin dan Bi Cu mengikuti pula dari belakang. Dia ikut gembira melihat penyambutan dua orang dara kembar itu terhadap kedatangan kakaknya dan diam-diam dia merasa iri hati terhadap Sin Liong. Biarpun seperti juga dia, Sin Liong sudah yatim piatu, akan tetapi setidaknya Sin Liong mempunyai adik-adik tiri semanis dua orang dara kembar itu! Sedangkan dia, dia tidak mempunyai siapa-siapa.

Kui Hok Boan tercengang ketika mendengar bahwa Sin Liong muncul secara tiba-tiba di rumahnya. Diam-diam dia merasa tidak senang dan menganggap kedatangan ini sebagai gangguan. Selama beberapa tahun ini, semenjak pindah dari Lembah Naga, dia hidup tenteram sebagai seorang hartawan dan tuan tanah yang disegani di dusun itu.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kui Hok Boan yang tampan dan selalu berpakaian seperti sasterawan ini, semenjak kematian isterinya, yaitu Liong Si Kwi ibu kandung Sin Liong, segera meninggalkan Lembah Naga karena memang hal ini diharuskan oleh Raja Sabutai.

Ketika meninggalkan Lembah Naga, Kui Hok Boan membawa harta bendanya, yaitu harta pusaka yang didapatkannya di Istana Lembah Naga, maka dia dapat hidup sebagai seorang hartawan besar di dusun dekat kota raja itu dan mempunyai sawah yang luas sekali. Dia hidup dengan tenteram, mendidik dua orang puterinya dan dua orang keponakannya, yaitu Kwan Siong Bu dan Tee Beng Sin.

Selama ini dia mengambil beberapa orang selir, akan tetapi tidak pernah menikah kembali dan di antara selir-selirnya tidak ada yang mempunyai anak. Dia tidak pernah lagi ingat kepada Sin Liong yang dianggapnya dan diharapkannya telah meninggal dunia. Maka, tentu saja dia tercengang ketika mendengar suara Lin Lin yang meneriakkan kedatangan Sin Liong.

Betapapun juga, Kui Hok Boan adalah seorang yang cerdik. Dia dapat menekan perasaan tidak senangnya dan dengan muka berseri dan senyum lebar dia keluar menyambut kedatangan anak tirinya itu. Alisnya terangkat ketika dia melihat Bi Cu ikut masuk bersama dua orang puterinya dan Sin Liong, akan tetapi sepasang matanya membuat Bi Cu diam-diam mencatat bahwa tuan rumah ini tergolong seorang laki-laki yang matanya berkilat dan berminyak apabila memandang wanita! Sebagai seorang dara remaja yang sudah biasa bergaul dan setiap hari berada di pasar, tentu saja Bi Cu dapat mengenal pandang mata para laki-laki yang memandangnya.

Sejenak Kui Hok Boan dan Sin Liong saling pandang dan dalam waktu singkat itu masing-masing telah menilai. Bagi Sin Liong, ayah tirinya itu nampak lebih kurus dari biasanya, dan kini telah berkumis dan berjenggot pendek. Di lain fihak, Kui Hok Boan memandang wajah Sin Liong penuh perhatian dan dia harus mengakui bahwa anak tirinya ini telah menjadi seorang pemuda remaja yang tampan dan membawa sifat-sifat gagah yang tersembunyi. Maka dia bersikap hati-hati sekali dan sambil tersenyum lebar dia maju menghampiri.

“Ahhh, anak Sin Liong, kemana saja engkau selama bertahun-tahun ini?” tegurnya ramah.

“Saya merantau sampai jauh, paman, dan akhirnya saya tinggal di kota raja, bekerja sebagai pelayan rumah makan,” jawab Sin Liong yang sampai sekarang tetap tidak mau menyebut ayah kepada ayah tirinya itu, melainkan menyebut paman, Hok Boan agaknya juga tidak perduli akan hal ini dan dia mendengarkan penuturan Sin Liong dengan penuh perhatian.

“Ah, bagus kalau begitu! Dan sekarang engkau datang kesini, apakah hanya ingin berkunjung ataukah ada keperluan lain? Dan siapakah nona ini?”

Dia memandang kepada Bi Cu dan kembali dara ini melihat sinar mata laki-laki ini berkilat, membuat dia makin tidak senang dan segera menundukkan mukanya.

“Saya datang untuk minta pertolongan dan perlindungan dari paman Kui,” Sin Liong berkata, “Saya dituduh pemberontak dan dikejar-kejar oleh pasukan pemerintah.”

Berubah wajah Kui Hok Boan mendengar ini, dan jelas bahwa dia nampak terkejut sekali dan juga terheran.

“Duduklah kalian berdua, dan ceritakan semuanya kepadaku, Sin Liong.”

Sin Liong dan Bi Cu duduk berhadapan dengan orang she Kui itu, sedangkan Lan Lan dan Lin Lin duduk di samping ikut mendengarkan dengan penuh perhatian.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: