***

***

Ads

Kamis, 23 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 144

Dia menduga-duga sampai berapa jauh dara itu tahu tentang kematian ayahnya. Sementara itu, otaknya bekerja cepat dalam usahanya merencanakan suatu siasat untuk menyelamatkan dirinya dan menghancurkan orang-orang yang tidak disenanginya.

Di lain saat Kui Hok Boan telah menulis sehelai surat dalam kamarnya. Jari-jari tangannya yang memang cekatan dan pandai menulls itu bergerak cepat menyelesaikan sebuah surat yang dimasukkannya dalam sampul dan ditutupnya rapat-rapat. Setelah itu, dengan tergesa-gesa dia mengantongi surat itu dan mengeluarkan seguci arak dari dalam almari, berikut sebungkus obat putih dari saku bajunya. Dituangkannya sedikit bubuk putih ke dalam guci arak, kemudian setelah menyimpan kembali bungkusan obat bubuk itu, dia memanggil pelayan.

“Sediakan makanan untuk dua orang dan juga arak ini, lalu hidangkan di kamar tamu!” perintahnya kepada pelayan wanita yang cepat datang memenuhi panggilannya. “Dan coba panggil dulu kedua orang nona kesini!”

Pelayan itu cepat berlalu menuju ke depan, ke ruangan dimana Lan Lan dan Lin Lin sedang bercakap-cakap dengan gembira bersama Sin Liong dan Bi Cu.

“Eh, Lan-moi, dimana adanya Siong Bu dan Beng Sin? Kenapa aku tidak melihat mereka?” tanya Sin Liong.

“Mereka disuruh oleh ayah untuk menagih uang sewa tanah, dan sore nanti baru akan pulang,” jawab yang ditanya.

Pada saat itu muncullah pelayan yang menyampaikan panggilan Kui Hok Boan kepada dua orang puterinya. Dua orang dara kembar itu merasa heran, akan tetapi mereka segera minta maaf dan meninggalkan dua orang tamunya, langsung pergi ke kamar ayah mereka bersama pelayan yang juga kembali ke situ untuk mengambil guci arak dan mempersiapkan hidangan untuk dua orang tamu seperti dipesan oleh majikannya.

“Ayah memanggil kami?” tanya Lan Lan.

“Ya, ayah mempunyai urusan yang amat penting. Kalian cepat pergilah kepada komandan Kwan di kota raja dan serahkan suratku ini kepadanya. Pergilah cepat-cepat dan kembali cepat.”

“Tapi, ayah, disini ada Liong-koko. Kenapa ayah tidak menyuruh pelayan saja, atau menanti sampai Bu-ko atau Sin-ko pulang?” Lan Lan membantah.

“Urusan ini penting sekali, kalian harus cepat serahkan surat ini dan jangan membantah!” bentak Kui Hok Boan sambil menyerahkan surat itu. “Kalian naik kuda saja agar cepat!”

“Biar aku yang mengantar surat itu, biar enci Lan menemani Liong-ko dan enci Bi Cu,” kata Lin Lin.

“Tidak! Tidak baik seorang gadis pergi sendirian saja. Kalian pergi berdua, jangan khawatir tentang Sin Liong dan Bi Cu, aku yang akan menemani mereka. Aku masih ingin bicara banyak dengan mereka.”

Dua orang gadis kembar itu saling pandang. Lin Lin adalah seorang gadis pendiam, lebih pendiam dibandingkan dengan watak Lan Lan yang lincah jenaka akan tetapi karena pendiam ini dia lebih cerdas.






“Ayah, Liong-ko dan enci Bi Cu sedang dicari-cari pasukan pemerintah. Sekarang ayah mengirim surat kepada komandan Kwan, seorang komandan pengawal istana. Apakah ada hubungannya dengan kedatangan Liong-ko?”

Kui Hok Boan memandang wajah puterinya ini dan mengangguk-angguk.
“Engkau cerdas sekali, Lin Lin. Memang benar dugaanmu. Kalian tahu, mereka berdua itu harus bersembunyi disini untuk beberapa pekan lamanya sampai keadaan mereda. Bagaimana kalau tiba-tiba Kwan-ciangkun berkunjung ke sini seperti biasanya? Oleh karena itu, aku mengirim surat kepadanya, memberi tahu bahwa aku hari ini akan berangkat pergi ke selatan selama satu bulan sehingga dengan demikian, sebelum lewat sebulan dia tentu tidak akan datang ke sini. Nah, cepat kalian sampaikan surat ini kepadanya!”

Mendengar ini, Lan Lan dan Lin Lin tidak banyak cakap lagi, lalu mereka berganti pakaian dan berangkat meninggalkan rumah mereka, menunggang dua ekor kuda pilihan. Sementara itu, Kui Hok Boan mengambil sebatang pedang dari dalam almari, kemudian membawa pedang itu ke luar kembali ke ruangan tamu dimana Sin Liong dan Bi Cu menanti dengan tuan rumah pergi begitu lama, dan juga Lan Lan dan Lin Lin tidak nampak kembali, bahkan mereka tadi jelas mendengar derap kaki dua ekor kuda membalap meninggalkan rumah itu.

“Sin Liong, perasaanku tidak enak sekali... aku... aku tidak kerasan tinggal di sini,” bisik Bi Cu.

“Sstt, kita terpaksa, Bi Cu. Hanya untuk beberapa hari sampai keadaan mereda. Jangan kahwatir, andaikata ayah tiriku itu kurang begitu suka kepadaku, namun jelas kedua orang adikku Lan Lan dan Lin Lin itu amat sayang kepadaku.”

Mendengar jawaban ini, legalah hati Bi Cu karena diapun dapat melihat sendiri betapa sikap kedua orang dara kembar itu amat baik dan ramah. Mereka segera diam ketika mendengar langkah kaki, dan muncullah Kui Hok Boan dengan wajah berseri dan tangannya membawa sebatang pedang yang sarungnya terukir indah.

“Maaf, karena ada keperluan lain, maka agak lama aku meninggalkan kalian di sini,” katanya.

“Paman, di manakah adik Lan dan Lin?” Sin Liong bertanya, teringat akan bunyi derap kaki dua ekor kuda tadi.

“Ah, mereka sedang pergi, kusuruh menyusul Siong Bu dan Beng Sin,” jawab Hok Boan yang memang sudah siap menghadapi pertanyaan itu, Sin Liong menjadi girang dan hilanglah kecurigaannya.

“Nona Bhe, inilah pedang buatan mendiang saudara Bhe Coan itu. Dan hanya satu kali itulah aku bertemu dengan dia ketika aku berkunjung dan memesan pedang ini,”

Hok Boan mengulurkan tangan yang memegang pedang kepada Bi Cu. Dara remaja ini segera menerima pedang, menghunus pedang itu. Sebatang pedang yang amat baik. Tiba-tiba keharuan dan kedukaan menyerang hati Bi Cu dan dara ini tersedu sambil mendekap pedang dan mencium mata pedang buatan ayahnya, merasa seolah-olah dia sedang mencium tangan ayahnya.

Sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa pedang yang diciumnya itu pernah dipergunakan oleh ayah kandungnya untuk menyerang tuan rumah ini dan pedang itu menembus dada ibu tirinya. Akan tetapi hanya sebentar dia menangis karena Bi Cu sudah dapat menguasai guncangan batinnya, lalu mengembalikan pedang itu kepada pemiliknya.

Pada saat itu, Lan Lan dan Lin Lin sudah pergi jauh dengan kuda mereka yang mereka balapkan menuju ke kota raja. Debu mengepul tinggi di belakang kaki kuda mereka yang lari kencang. Akan tetapi ketika mereka berada di jalan di antara sawah ladang yang sepi, tiba-tiba Lin Lin berseru kepada encinya agar berhenti.

“Ada apakah?”

Lan Lan bertanya setelah dia menahan kendali kudanya dan kedua ekor kuda itu berhenti di tengah jalan.

“Enci Lan, hatiku sungguh merasa tidak enak,” kata si adik yang biasanya pendiam itu.

“Aihh, jangan bilang bahwa engkau takut untuk melewati hutan di depan itu, Lin-moi. Sudah beberapa ratus kali kita lewat di situ dan tidak pernah terjadi sesuatu. Pula, siapakah yang akan berani mengganggu kita? Andaikata ada yang berani mengganggu kita, kitapun tidak usah takut! Pedang kita akan menghadapi dan menghajar siapa yang berani mengganggu kita!” Lan Lan menepuk pedang yang tergantung di pinggangnya.

Lin Lin menggeleng kepala.
“Hatiku merasa tidak enak bukan mengkhawatirkan diri kita, enci, melainkan diri Liong-koko.”

Lan Lan membelalakkan mata dengan heran.
“Eh, apa maksudmu, Lin Lin?”

“Surat yang kau bawa itu, enci. Liong-koko dituduh pemberontak dan berada di dalam rumah kita. Sekarang ayah mengirim surat kepada Kwan-ciangkun. Benar-benar aneh dan mengkhawatirkan.”

“Kau mencurigai ayah?”

“Aku tahu bahwa mencurigai ayah sendiri adalah tidak baik, akan tetapi akupun tahu betapa ayah tidak suka kepada Liong-ko, kalau bukannya membenci malah. Lupakah kau akan sikap ayah terhadap Liong-ko dahulu? Aku khawatir, enci.”

Lan Lan juga menjadi bimbang. Diambilnya surat bersampul tertutup rapat itu dari dalam saku bajunya dan ditimang-timangnya.

“Habis, bagaimana?” tanyanya bingung.

“Kita buka dan baca dulu isinya!”

“Ahh...!” Lan Lan meragu. “Surat ini bersampul dan tertutup rapat...”

“Aku sengaja membawa perekat dari rumah, enci. Kita buka, baca dan tutup lagi dengan perekat ini.”

Lin Lin mengeluarkan sebungkus perekat. Kiranya sejak dari rumah tadi gadis ini sudah menaruh curiga dan sudah merencanakan untuk membuka surat ayahnya itu dan membaca isinya.

“Engkau benar, adikku. Biarpun perbuatan kita ini tidak patut, akan tetapi kita harus mencegah ayah melakukan hal yang jahat.”

Mereka berdua lalu turun dari punggung kuda, bersama-sama mereka lalu membuka sampul surat itu dengan hati-hati agar jangan sampai terobek, kemudian bersama-sama pula mereka membaca isi surat dalam sampul.

Kwan-ciangkun yang terhormat

Harap segera membawa pasukan untuk menangkap pemberontak-pemberontak Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu yang berada di rumah saya. Cepat agar jangan terlambat!

Hormat saya.

yang setia kepada negara,
Kui Hok Boan

Wajah kedua orang dara kembar itu menjadi pucat seketika.
“Celaka, kiranya dugaanmu benar, Lin-moi!” seru Lan Lan dengan gemas. “Ayah telah mengkhianati mereka! Ah, sungguh celaka!”

Lin Lin juga menjadi bingung sejenak, akan tetapi gadis yang cerdik ini lalu berkata,
“Kita harus menggunakan akal, enci.”

“Bagalmana akalnya? Ah, betapa jahatnya ayah...!”

“Ssst, jangan berkata demikian, enci! Mungkin ayah melakukan hal itu terdorong oleh rasa setia kepada negara, atau juga karena tidak sukanya kepada Liong-koko. Betapapun juga, kita harus menolong Liong-ko.”

“Engkau benar, akan tetapi bagaimana caranya? Kalau kita tidak menyampaikan surat ini, tentu ayah akan marah sekali kepada kita dan hal itupun bukan berarti menolong Liong-ko terbebas dari ancaman bahaya.”

“Kita harus cerdik, enci Lan. Surat itu harus kita sampaikan kepada alamatnya, akan tetapi tidak perlu kita berdua yang ke kota raja. Sebaiknya engkau saja melanjutkan perjalanan ke kota raja untuk menyampaikan surat ini kepada Kwan-ciangkun, dan aku sendiri akan kembali ke rumah dan aku akan memberi tahu kepada Liong-ko agar dia dan enci Bi Cu dapat melarikan diri sebelum pasukan itu datang.”

“Bagus! Akan tetapi bagaimana kalau ayah curiga dan marah melihat engkau pulang sendiri dan tidak menemaniku ke kota raja?”

“Jangan khawatir, hal itu dapat kuatur. Pula, setelah tiba di rumah, tentu malam telah tiba dan aku dapat secara diam-diam melakukan hal itu. Engkau sendiri harap melakukan perjalanan lambat saja, makin lambat makin baik, enci Lan. Atau, engkau dapat menyerahkan surat itu besok pagi-pagi saja, dengan alasan bahwa tidak enak malam-malam datang berkunjung ke rumah Kwan-ciangkun. Sementara itu, malam ini Liong-koko dan enci Bi Cu sudah dapat menyelamatkan diri.”

Lan Lan merangkul dan mencium pipi adik kembarnya.
“Engkau hebat! Nah, kita berpisah disini dan membagi tugas masing-masing.”

“Surat itu harus direkat kembali lebih dulu, enci,” kata Lin Lin.

Mereka berdua lalu merapatkan kembali sampul surat dan setelah Lan Lan memasukkan sampul surat itu ke dalam sakunya, keduanya lalu meloncat ke atas punggung kuda masing-masing, akan tetapi mereka berpisah jalan. Lan Lan melanjutkan perjalanan ke kota raja sedangkan Lin Lin kembali ke dusun. Lan Lan menjalankan kudanya lambat-lambat akan tetapi Lin Lin membalap.

Di sepanjang perjalanan, Lan Lan termenung sedih. Biarpun ada kemungkinan ayahnya melakukan pengkhianatan terhadap Sin Liong itu karena terdorong oleh keinginan berbakti kepada negara dan membantu penangkapan orang yang dituduh pemberontak, namun perbuatan itu kejam dan jahat. Betapapun juga, Sin Liong adalah putera ibu kandungnya, dan anak tiri dari ayahnya, semenjak kecil tinggal serumah.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: