***

***

Ads

Kamis, 23 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 146

Sebetulnya Sin Liong belum merasa lelah atau mengantuk, akan tetapi melihat keadaaan Bi Cu diapun pura-pura mengantuk dan menguap. Dua orang muda itu lalu mengikuti Hok Boan masuk ke dalam dan diam-diam Sin Liong memperhatikan Bi Cu. Sungguh tidak wajar kalau Bi Cu demikian mengantuk dan lelah, padahal tadi masih segar-bugar. Kini dara remaja itu hampir tidak kuat melangkah lagi sehingga terpaksa dia memegangi tangannya.

Begitu tiba di depan pintu kamar dan ditunjukkan oleh Kui Hok Boan bahwa itu adalah kamar untuknya, Bi Cu terus lari masuk dan menjatuhkan diri di atas pembaringan, dan terus saja dia pulas! Melihat ini, Kui Hok Boan tertawa.

“Ah, kasihan, dia sudah amat lelah,” katanya sambil menutupkan daun pintunya. “Kau pun tentu amat lelah, Sin Liong.”

Sin Liong mengangguk, masih terheran-heran melihat keadaan Bi Cu.
“Aku mengaso juga, paman,” katanya sambil memasuki kamarnya yang berada di sebelah kamar Bi Cu.

Dia mendengar betapa langkah kaki pamannya meninggalkan kamar itu, maka Sin Liong cepat menutupkan pintu kamarnya, duduk bersila dan mengerahkan hawa sakti di dalam tubuhnya yang telah menekan dan menguasai hawa aneh yang masuk melalui arak tadi, kini memaksa hawa itu keluar dari mulutnya.

Setelah semua hawa asing itu habis, barulah dia berani bernapas seperti biasa dan dia mencium bau harum yang aneh. Diam-diam dia terkejut dan curiga sekali. Benarkah dugaannya bahwa pamannya bermain curang dan membius dia dan Bi Cu melalui arak tadi? Melihat keadaan Bi Cu, sudah jelas tentu demikian, dan hawa aneh tadi tentu akan membuat dia pulas pula seperti Bi Cu kalau saja tidak dikuasainya dengan Thi-khi-i-beng.

Dia lalu menghampiri dinding pemisah kamarnya dan kamar Bi Cu, menempelkan telinganya pada dinding itu dan mengerahkan tenaga saktinya untuk mendengarkan. Dia dapat menangkap lapat-lapat suara pernapasan Bi Cu dan tahulah dia bahwa gadis itu masih tidur pulas. Hatinya merasa lega dan diapun lalu duduk bersila, sama sekali tidak berani tidur, hanya mendengarkan keadaan di sekitarnya, terutama dari arah kamar Bi Cu.

Kurang lebih satu jam kemudian dia mendengar suara bisik-bisik dari luar kamarnya, suara bisik-bisik dari tiga orang laki-laki. Dia tidak dapat menangkap kata-kata mereka karena mereka itu berbisik-bisik lirih sekali, akan tetapi dia tahu bahwa yang bicara itu adalah Kui Hok Boan bersama dua orang laki-laki yang tidak dikenalnya.

Mendengar nada suara mereka, tentu dua orang itu adalah laki-laki yang masih muda. Akan tetapi, sebentar saja mereka itu berbisik-bisik, lalu keadaan menjadi sunyi lagi dan terdengarlah bunyi langkah seorang diantara mereka menjauh. Hanya seorang saja yang pergi! Berarti bahwa ada dua orang lain yang tadi datang bersama Kui Hok Boan, tinggal di sekitar luar kamarnya dan kamar Bi Cu! Hati Sin Liong terguncang dan dia makin bercuriga. Apakah artinya semua ini?

Sin Liong tetap duduk bersila dengan penuh perhatian ke arah sekelilingnya, namun tidak terjadi sesuatu. Menjelang tengah malam, tiba-tiba seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang. Ada suara langkah orang berindap-indap ke arah jendela kamarnya yang berada di belakang, berlawanan dengan pintu kamar. Kemudian, langkah orang ini berhenti di luar jendela kamarnya, kemudian terdengar daun jendela kamar itu bergerak dibuka orang dari luar!

Sin Liong tetap diam saja, menanti sampai daun jendela itu terbuka dan orang yang membongkar daun jendela itu masuk. Begitu dia melihat bayangan hitam meloncat dan berkelebat masuk dari jendela yang sudah terbuka, diapun meloncat dan sebelum orang itu mampu bergerak, dia sudah menangkap lengannya. Lengan yang kecil halus!






“Siapa kau...?”

“Sssttt... Liong-ko, aku Lin Lin...!” bisik orang itu yang menyeringai karena lengannya yang dipegang itu terasa nyeri sekali.

“Eh, adik Lin...? Mengapa kau...?”

“Ssttt, jangan keras-keras... dengarlah baik-baik, Liong-ko. Kau harus cepat pergi dari sini bersama enci Bi Cu, sekarang juga. Cepat... akan datang pasukan dari kota raja untuk menangkap kalian...!” suara itu terisak dan ditahannya.

“Hemm, dari mana kau tahu? Siapa yang memberi tahu kepada pasukan kota raja bahwa kami berada di sini?”

Sin Liong berbisik masih memegang lengan adik tirinya itu akan tetapi dia tidak mempergunakan tenaga lagi.

“...ayah...”

Sin Liong melepaskan pegangannya dan melangkah mundur, menatap wajah adik tirinya di dalam gelap remang-remang itu.

“Dan kalian disuruh ke kota raja melaporkan kehadiran kami...?” Dia berhenti sebentar masih tidak mau percaya. “Kenapa kau... kau sekarang memberi tahu kepadaku...?”

Lin Lin menjadi tidak sabar atas sikap Sin Liong yang tidak cepat-cepat pergi melarikan diri itu.

“Dengar, Liong-ko,” bisiknya sambil mendekat. “Kami disuruh antar surat kepada Kwan-ciangkun di kota raja. Karena curiga, kami membukanya di jalan dan baru kami tahu bahwa ayah melaporkan engkau. Kami tidak berani membangkang, maka enci Lan melanjutkan perjalanan ke kota raja sedangkan aku diam-diam kembali untuk memberi tahu kepadamu. Nah, kau cepat ajak enci Bi Cu pergi sebelum terlambat!”

“Bi Cu... ah, kamipun tadi telah disuguhi arak yang agaknya mengandung obat bius...”

“Ahhh...aku menyesal sekali, Liong-ko, ayahku...” Lin Lin tidak melanjutkan kata-katanya.

Sin Liong merangkulnya dan mencium pipinya.
“Lin Lin, kalian baik sekali, aku cinta kepadamu dan kepada Lan-moi...” Dia melepaskan rangkulannya. “Aku akan pergi sekarang juga, akan kuambil Bi Cu dari kamarnya.” Dia lalu melangkah hendak keluar melalui jendela itu.

“Liong-ko...!” Lin Lin berbisik.

Sin Liong menoleh.

“Kau... harap kau maafkan ayahku...!”

“Hemmm...!” Sin Liong mendengus marah, teringat akan pengkhianatan ayah tirinya.

“Demi aku, demi enci Lan...!”

Hening sejenak, kemudian terdengar Sin Liong menarik napas panjang.
“Baiklah, Lin-moi, jangan khawatir, akan kulupakan saja apa yang diperbuat oleh ayahmu malam ini.”

“Nanti dulu, Liong-ko. Di depan pintu kamar enci Bi Cu dan di depan kamar ini terdapat penjaga-penjaga, mungkin Bu-ko dan Sin-ko juga diperintah oleh ayah untuk melakukan penjagaan. Biar kupancing mereka agar melepaskan perhatian dari kamar enci Bi Cu. Kalau engkau nanti sudah mendengar suara kami bercakap-cakap, nah, kau boleh memasuki kamar enci Bi Cu dari jendela belakang.”

“Baik, Lin-moi, dan terima kasih.”

“Tapi, bagaimana selanjutnya engkau akan melarikan diri membawa enci Bi Cu? Bagaimana kalau engkau dikejar-kejar dan tertawan?” Suara Lin Lin terdengar penuh kegelisahan.

“Serahkan saja kepadaku...!”

Sin Liong lalu ke luar dari jendela, didahului oleh Lin Lin. Dara itu lalu menyelinap melalui jalan memutar sedangkan Sin Liong berindap-indap mendekati kamar Bi Cu. Memang benar, dia melihat beberapa bayangan orang bergerak dan menjaga di sekitar kamarnya dan kamar Bi Cu, maka dia mendekam di tempat gelap, mendengarkan. Tak lama kemudian dia mendengar suara seorang laki-laki, suara seorang muda yang dia tahu tentu seorang di antara keponakan Kui Hok Boan, menegur Lin Lin.

“Heiii, Lin-moi... engkau sudah pulang? Mana Lan-moi?”

“Aku... aku pulang lebih dulu, perutku sakit, enci Lan melanjutkan perjalanan seorang diri...” terdengar suara Lin Lin menjawab. “Mengapa engkau belum tidur, Sin-ko? Mana ayah?”

“Ayah sudah tidur, aku dan Bu-ko ditugaskan menjaga...”

“Lin-moi, kenapa engkau pulang malam-malam? Bukankah engkau dan Lan-moi ke kota raja?” terdengar suara laki-laki lain dan tahulah Sin Liong bahwa laki-laki ini tentu Kwan Siong Bu dan yang tadi adalah Tee Beng Sin.

Betapa inginnya untuk keluar dan menjumpai mereka, akan tetapi teringat akan keadaan dirinya yang terancam, apalagi Bi Cu yang mungkin masih tidur nyenyak karena obat bius, dia menekan keinginan ini dan selagi mereka bercakap-cakap, cepat dia menyelinap menghampiri jendela kamar Bi Cu.

Mudah saja baginya membuka daun jendela tanpa mengeluarkan suara dan dia cepat meloncat ke dalam. Kamar itu remang-remang gelap seperti kamarnya tadi, namun matanya yang tajam dapat melihat Bi Cu rebah miring di atas pembaringan dengan pakaian masih lengkap seperti ketika makan minum tadi. Dia menghampiri dan ternyata dara itu masih tidur nyenyak. Dia mengguncangnya beberapa kali, namun Bi Cu seperti dalam keadaan pingsan saja, sama sekali tidak bergerak. Maka tanpa ragu-ragu dia lalu memanggul tubuh Bi Cu di pundak kirinya, merangkul dengan lengan kiri dan dibawanya ke luar dari dalam kamar melalui jendela!

Sin Liong mempergunakan kesempatan selagi Lin Lin mengalihkan perhatian dua orang muda dan para penjaga itu, menjauhi kamar ke sebelah belakang bangunan, kemudian dengan kepandaiannya yang tinggi dia meloncat ke atas genteng tanpa menimbulkan sedikitpun suara, dan berlarilah Sin Liong membawa tubuh Bi Cu yang masih belum sadar itu, menjauhi dusun itu.

Karena dia tahu bahwa pasukan kerajaan tentu akan melakukan pengejaran, maka dia melarikan diri menuju ke barat dimana nampak pegunungan dari jauh. Dia harus pergi bersama Bi Cu ke utara, akan tetapi tidak boleh sekali-kali melalui kota raja, maka dia mengambil jalan memutar, melalui sebelah barat kota raja dimana terdapat banyak pegunungan liar, kemudian baru ke utara.

Biarpun Sin Liong telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan dia dapat mempergunakan gin-kangnya untuk berlari cepat sekali, namun malam itu gelap hanya diterangi bintang-bintang yang bertaburan di langit. Apalagi dia harus memanggul tubuh Bi Cu, dan dia lari melalui jalan-jalan liar, maka tentu saja dia harus berhati-hati dan tidak dapat berlari cepat.

Betapapun juga, karena pandainya Lin Lin memancing perhatian para penjaga, tidak ada seorangpun dalam rumah keluarga Kui yang mengetahui bahwa dua ekor burung itu telah terbang dari sarangnya!

Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali Kui Hok Boan sudah bangun dari tidurnya dan segera dia pergi menuju ke kamar dua orang “tamu” itu. Hatinya lega melihat betapa Siong Bu dan Beng Sin bersama para penjaga masih berada di depan kedua kamar itu, akan tetapi Kui Hok Boan merasa heran melihat Lin Lin ikut pula menjaga di situ!

“Eh, engkau sudah pulang? Mana Lan Lan?”

“Ayah, aku pulang lebih dulu. Di tengah perjalanan aku merasa sakit perut dan terpaksa aku kembali malam tadi, sedangkah enci Lan seorang diri melanjutkan perjalanan ke kota raja.”

“Hemm, dan sekarang bagaimana sakit perutmu?” tanya ayah ini sambil memandang wajah puterinya itu yang agak pucat, dan hal ini adalah karena semalam suntuk Lin Lin tidak tidur dan juga diam-diam merasa gelisah. “Mengapa engkau tidak tidur semalam dan ikut berjaga di sini kalau perutmu sakit?”

“Sekarang sudah sembuh, ayah dan aku memang ikut berjaga bersama Bu-ko dan Sin-ko.”

Ayah itu termenung dan mengerutkan alisnya.
“Kenapa Lan Lan belum juga pulang? Kalau dia langsung ke rumah Kwan-ciangkun, seharusnya dia sudah pulang bersama pasukan...”

“Mungkin enci Lan lelah dan bermalam di kota raja, ayah,” kata Lin Lin dan Hok Boan mengangguk.

Akan tetapi tetap saja dia tidak merasa puas karena dianggapnya pengiriman pasukan dari kota raja amat lambat. Mestinya pagi-pagi sudah tiba di sini. Kalau pasukan sudah datang dan menangkap Sin Liong dan Bi Cu, baru dia merasa lega.

Makin diperpanjang waktunya, makin gelisahlah dia. Tentu saja dia tidak takut dua orang itu akan mampu melarikan diri, karena kepandaian dua orang muda seperti itu tentu tidak ada artinya baginya, akan tetapi betapapun juga dia merasa sungkan dan tidak enak terhadap Sin Liong. Maka makin cepat perkara ini selesai, makin baiklah. Untuk menenangkan hatinya, dia menghampri kamar Sin Liong lalu mengetuk daun pintu kamar itu.

“Liong-ji...! Sin Liong...! Tuk-tuk-tukk! Sin Liong...!”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: