***

***

Ads

Kamis, 23 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 147

Tidak ada jawaban dari dalam kamar dan Kui Hok Boan menoleh sambil menyeringai, lalu berkata kepada para penjaga itu,

“Dia masih tidur nyenyak!”

Kembali dia mencoba dengan ketukan dan panggilan di depan pintu kamar Bi Cu, akan tetapi hasilnya sama saja, tidak ada jawaban dari balik pintu kamar itu.

“Biarkan mereka tidur, kalian jaga di sini jangan lengah sampai pasukan datang,” kata Kui Hok Boan dengan hati lega. “Lin Lin, kau agak pucat, hayo kau mengaso ke kamarmu sana. Atau sebaiknya kau makan pagi dulu, baru mengaso.”

“Aku ingin ikut berjaga di sini, ayah. Nanti kalau sudah lelah, aku akan pergi mengaso. Aku menanti kembalinya enci Lan.”

Kui Hok Boan mengangguk dan memasuki kamarnya kembali. Hatinya lega. Betapapun juga, dua orang bocah itu tidak akan melarikan diri. Kalau perlu, sebelum pasukan datang, dan mereka itu akan melarikan diri, dia dapat menggunakan kekerasan untuk menahan atau menangkap mereka. Sungguhpun kalau dapat, jangan dia yang melakukan penangkapan, biar Kwan-ciangkun bersama pasukannya agar jangan terlalu kentara dia memusuhi mereka itu.

Matahari telah naik tinggi ketika terdengar derap kaki kuda dan Lan Lan muncul dengan muka agak pucat. Kui Hok Boan cepat menyambut kedatangan puterinya ini dan langsung bertanya,

“Bagaimana?”

Lin Lin juga sudah menyambut kakaknya dan kini mereka berdua berdiri berdampingan di depan ayah mereka dan keduanya memandang kepada Kui Hok Boan dengan sinar mata mengandung kemarahan.

“Ayah sungguh keterlaluan!” tiba-tiba Lan Lan berkata.

“Bagaimana ayah sampai dapat bertindak sekejam itu?” kata pula Lin Lin yang kini berubah sikapnya, tidak pendiam dan pura-pura tidak tahu seperti malam tadi ketika pulang sendirian. Kini dia bersikap seperti Lan Lan, menentang ayah mereka.

“Eh, eh, mengapa kalian ini? Apa maksud kalian?” Kui Hok Boan membentak, pura-pura tidak mengerti.

“Ayah mengirim surat kepada Kwan-ciangkun selagi Liong-ko berada di sini. Apa maksud ayah?” kata Lin Lin.

“Ahh... bukankah kalian sudah kuberi tahu? Agar Kwan-ciangkun tidak datang ke sini dan...”

“Ayah tidak perlu membohongi kami!” teriak Lan Lan marah. “Ayah melaporkan kehadiran Liong-koko dan menyuruh Kwan-ciangkun membawa pasukan datang ke sini untuk menangkap Liong-ko dan enci Bi Cu!”

Kui Hok Boan menarik napas panjang dan tersenyum, mengangguk-angguk.
“Ah, kiranya Kwan-ciangkun telah memberi tahu kepadamu, Lan Lan? Itu lebih baik lagi. Memang kalian harus tahu, kita tidak mungkin dapat melindungi pemberontak-pemberontak! Selain hal itu amat membahayakan kita, juga memberontak merupakan perbuatan yang amat berdosa. Kita sebagai rakyat yang baik harus menentang pemberontak-pemberontak, dan mengingat bahwa Sin Liong dan Bi Cu adalah keturunan dan murid pemberontak dan menjadi buronan pemerintah, sudah seharusnya kalau kita melaporkan agar mereka ditangkap.”






“Ayah sungguh kejam! Betapapun juga Liong-koko adalah saudara kami, saudara seibu, sekandung! Kami tak dapat membiarkan dia celaka oleh ayah!” Lan Lan berseru.

“Kami tidak bisa mendiamkan saja ayah melakukan tindakan rendah dan kejam!” Lin Lin menyambung.

“Lan dan Lin! Tahan mulut kalian itu! Ini adalah urusan pribadiku, kalian tidak usah ikut campur. Aku tidak ingin kalian ikut campur, karena itu aku tidak memberi tahu kepada kalian ketika aku mengutus kalian mengirim surat kepada Kwan-ciangkun. Akan tetapi Kwan-ciangkun telah memberi tahu kepadamu, Lan Lan, dan engkau harus mengerti bahwa perbuatan ayahmu ini...”

“Kami tidak tahu dari Kwan-ciangkun! Kami tahu sendiri!” potong Lan Lan dengan berani.

“Dan aku telah membebaskan Liong-ko!” sambung Lin Lin.

Mendengar ini, terkejutlah Kui Hok Boan. Sejenak dia memandang kepada kedua orang puterinya dengan mata terbelalak dan bingung, kemudian dia berlari ke tempat kedua orang tamu itu tidur.

Siong Bu, Beng Sin dan para penjaga terkejut melihat Hok Boan datang berlari-lari diikuti oleh dua orang dara kembar itu, lebih terkejut lagi melihat Hok Boan mendobrak pintu kamar Sin Liong.

“Krakkkk!”

Pintu itu jebol dan terbuka memperlihatkan kamar yang kosong! Kui Hok Boan berlari ke kamar Bi Cu, dibukanya daun pintu dengan kasar dan ternyata kamar itupun telah kosong.

“Keparat...!”

Kui Hok Boan menyumpah-nyumpah, lalu membalikkan tubuhnya menghadapi dua orang puterinya dengan mata mendelik saking marahnya.

“Hayo kalian katakan, apa artinya semua ini!” bentaknya marah.

Akan tetapi dua orang dara itu menentang pandang mata ayah mereka dengan berani, kemudian Lan Lan berkata lantang,

“Kami tidak ingin melihat ayah melakukan perbuatan yang khianat dan kejam, maka kami berdua lalu berpisah, membagi tugas. Aku melanjutkan perjalanan ke kota raja, dan baru pagi tadi aku menyampaikan surat ke Kwan-ciangun...”

“Dan aku kembali ke sini untuk memperingatkan Liong-ko sehingga dia dapat pergi melarikan enci Bi Cu!” sambung Lin Lin.

Kemarahan Kui Hok Boan mencapai puncaknya mendengar ucapan dua orang puterinya itu.

“Keparat! Kalian anak-anak durhaka!” bentaknya dan tangannya bergerak cepat menampar ke depan dua kali.

“Plak! Plak!”

Tubuh Lan Lan dan Lin Lin terpelanting dan pipi mereka menjadi biru membengkak oleh tamparan ayah mereka yang amat keras tadi.

“Ayah boleh membunuh kami!” teriak Lan Lan sambil bangun kembali.

“Lebih baik mati daripada menjadi pengkhianat kejam!” teriak Pula Lin Lin.

“Jahanam, kalian berani melawan ayah sendiri? Kalian sudah bosan hidup?”

Kemarahan Kui Hok Boan membuat dia mata gelap. Dia sudah melangkah maju lagi, siap untuk menghajar. Akan tetapi pada saat itu, dua orang pemuda cepat maju menghadang dan berlutut di depan Hok Boan. Yang seorang adalah Kwan Siong Bu yang berwajah tampan dan berpakaian rapi, sedangkan pemuda yang ke dua adalah Tee Beng Sin yang berwajah ramah dan bertubuh gendut.

“Harap paman sudi mengampuni adik Lan dan adik Lin, dan... saya bersedia menerima hukuman mewakili mereka...” kata Tee Beng Sin, pemuda gendut itu dengan gerak-gerik dan suara yang lucu sungguhpun dia tidak bermaksud untuk melucu.

“Saya mintakan ampun untuk Lan-moi dan Lin-moi. Harap paman jangan khawatir, sekarang juga saya akan mengejar mereka berdua. Agaknya mereka belum lari jauh!” Kwan Siong Bu penuh semangat.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan disusul kata-kata nyaring,
“Wah, sungguh mengagumkan sekali dua tangkai bunga kembar itu, demikian cantik dan gagah perkasa, pantas menjadi adik-adik Liong-te!”

Semua orang terkejut dan menengok. Betapa kaget dan heran hati mereka ketika mereka semua melihat adanya dua orang yang tahu-tahu telah berdiri di situ, padahal mereka tadi tidak mendengar suara apapun. Dari mana datangnya dua orang ini, dan bagaimana mereka bisa masuk tanpa menimbulkan suara sedikitpun.

Yang seorang adalah pemuda tampan sekali, tampan dan gagah, pakaiannya juga amat indah dan mewah, kepalanya terlindung topi bulu burung berwarna kuning emas. Pemuda inilah yang tadi mengeluarkan suara dan sikapnya amat berwibawa dan angkuh. Orang ke dua adalah seorang wanita yang juga amat cantik jelita, pakaiannya mewah, kedua lengan tangannya memakai gelang emas, pedang panjang tergantung di pinggang kiri sedangkan di punggungnya tergendong papan kayu salib.

Kui Hok Boan terkejut setengah mati ketika mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Kim Hong Liu-nio, sedangkan pemuda tampan gagah itu adalah Pangeran Ceng Han Houw! Juga Lan Lan dan Lin Lin mengenal wanita ini. Mana mungkin mereka dapat melupakan wanita yang telah membunuh ibu kandung mereka itu? Maka, dengan kemarahan yang meluap-luap, dua orang dara kembar ini mengeluarkan teriakan nyaring dan seperti menerima komando saja, keduanya itu dengan berbareng telah meloncat ke depan sambil mencabut pedang mereka dan serentak mereka menyerang Kim Hong Liu-nio dengan pedang! Serangan mereka dilakukan dengan ganas karena terdorong oleh kemarahan melihat musuh besar ini.

“Lan dan Lin, jangan...!”

Kui Hok Boan berseru kaget, akan tetapi dua orang anak perempuan itu tidak memperdulikan seruan ayah mereka. Bahkan mereka makin gemas mendengar larangan ayah mereka itu, teringat betapa dahulupun ayah mereka ini sama sekali tidak pernah berdaya upaya untuk membalas kematian ibu kandung mereka. Dengan nekat mereka menyerang terus biarpun serangan pertama mereka tadi dengan amat mudahnya telah dielakkan oleh Kim Hong Liu-nio.

“Iblis betina keji!” bentak Lan Lan.

“Kau harus menebus kematian ibu!” bentak Lin Lin.

“Ha-ha, bagus, bagus! Sungguh bersemangat dan menarik sekali!”

Ceng Han Houw tertawa girang melihat keganasan dua orang dara kembar itu yang menyerang sucinya.

“Hemm, pergilah kalian!” bentak Kim Hong Liu-nio, kedua tangannya bergerak cepat, lengan kiri yang dihias banyak gelang itu menangkis dua kali ke arah pedang dan dua batang pedang itu terlepas dari pegangan pemiliknya dan terpental jauh, sedangkan tamparan perlahan dengan tangan kanan membuat dua orang dara kembar itu terpelanting ke kanan kiri!

“Berani kau merobohkan mereka!” bentak Kwan Siong Bu marah.

“Engkau wanita kejam!” bentak pula Tee Beng Sin.

Dua orang pemuda ini sudah menerjang maju untuk membela Lan Lan dan Lin Lin. Siong Bu telah mencabut pedangnya, sedangkan Beng Sin juga sudah mengayun golok besar di tangannya.

“Siong Bu! Beng Sin! Mundur kalian!” bentak Kui Hok Boan dan dua orang pemuda itu terkejut, meragu saling pandang, kemudian melangkah mundur, tidak jadi melanjutkan serangan mereka.

Akan tetapi Lan Lan dan Lin Lin sudah bangkit lagi dan biarpun mereka sudah tidak memegang senjata, mereka masih nekat, maju menerjang dan menyerang dengan tangan kosong.

“Lan dan Lin, jangan kurang ajar kalian!” kembali Kui Hok Boan membentak, akan tetapi dua orang dara itu sama sekali tidak memperdulikannya, melainkan terus menyerang dengan pukulan-pukulan yang dahsyat.

“Heiiitttt!!” Lan Lan menghantamkan kepalan kanannya ke arah muka musuh besarnya itu.

“Hiaaaaattt!” Lin Lin juga menyerang, menonjok ke arah ulu hati dengan sekuat tenaga.

“Hemm, menjemukan kalian!” bentak Kim Hong Liu-nio sambil menggeser kaki miringkan tubuhnya.

“Plak! Plak!”

Dua kali tangannya bergerak dan ternyata dia telah menotok pundak kedua orang lawan itu. Lan Lan dan Lin Lin mengeluh dan roboh terguling, tidak mampu bergerak lagi.

“Kalian ini bocah-bocah lancang berani menyerangku? Nah, bersiaplah untuk mati!”

“Kouwnio... harap ampunkan mereka...!”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: