***

***

Ads

Kamis, 23 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 149

“Eh, di manakah aku...?”

Bi Cu membuka matanya dan ketika dia melihat bahwa dirinya berada dalam pondongan Sin Liong, dia cepat meronta. Sin Liong melepaskannya dan mereka berdiri saling pandang. Malam telah berganti pagi biarpun sang matahari sendiri masih belum nampak cahayanya telah menciptakan sinar kuning keemasan yang cerah di permukaan bumi.

“Dimana kita...? Dan kenapa kau memondongku ke tempat ini, Sin Liong?”

Kalimat terakhir ini diucapkan dengan nada menegur dan pandang matanya penuh tuntutan.

“Ah, engkau tidak tahu, Bi Cu. Semalam suntuk aku terpaksa berlari-lari memondongmu sampai kesini, dikejar-kejar orang!” Sin Liong pura-pura mengomel dan memijit-mijit lengan kirinya yang memondong tadi.

“Semalam suntuk dikejar-kejar orang? Dan aku terus kau pondong? Aih, sungguh luar biasa sekali! Kenapa aku tidak terbangun? Padahal, biasanya biarpun aku sedang tidur nyenyak sekali, sedikit suara nyaring saja cukup membangunkan aku, apalagi sampai dipondong dan dibawa lari semalam suntuk! Aneh sekali!” Dara remaja itu memijit-mijit pelipisnya. “Dan aku masih merasa pening...”

“Tidak aneh karena engkau telah menjadi korban minuman yang mengandung obat bius.”

“Aku? Dibius? Ah, Sin Liong, apakah yang telah terjadi? Bukankah kita tadinya menjadi tamu dari ayah tirimu... ah, kini ingat aku! Apakah kau maksudkan arak itu mengandung obat bius?”

Sepasang mata itu terbelalak dan bersinar-sinar demikian tajamnya seolah-olah dapat menembus dada Sin Liong. Sin Liong menarik napas panjang, teringat akan pengkhianatan Kui Hok Boan dan juga pertolongan kedua orang adik tirinya. Sepanjang malam ketika dia melarikan diri, dua hal ini selalu terbayang dalam ingatannya, membuat dia terheran-heran dan bingung. Ayah tirinya mengkhianatinya, akan tetapi puteri-puteri ayah tirinya itu demikian baik kepadanya. Tidak tahu dia apakah hal itu akan membuat dia menangis atau tertawa!

“Bi Cu, dugaanmu benar. Arak yang disuguhkan kepada kita itu mengandung obat bius, maka setelah minum beberapa cawan engkau lalu terbius dan tidur nyenyak semalam suntuk sehingga engkau bahkan tidak merasa bahwa engkau kubawa lari sepanjang malam.”

“Akan tetapi... engkau sendiri kulihat juga minum arak itu, kenapa engkau tidak terbius?”

Gadis ini terlampau cerdas, kalau dia tidak berhati-hati, mana dia dapat menyembunyikan kepandaiannya? Matanya terlalu awas, otaknya terlalu tajam!

“Ah, akupun tadinya sudah terbius dan sudah merasa pening ketika kita bersama menuju ke kamar kita masing-masing, akan tetapi belum kuceritakan kepadamu bahwa dalam perantauanku, aku pernah bekerja kepada toko obat sehingga aku tahu gejalanya ketika itu. Karena pening itu aku dapat menduga bahwa aku minum obat bius, maka, aku cepat menelan pel penawar racun yang kebetulan hanya tinggal sebuah dan selama itu kusimpan dalam saku baju. Pel itu menawar racun obat bius itu sehingga aku tidak sampai tidur nyenyak seperti engkau, Bi Cu.”






“Ah, engkau licik akan tetapi ceroboh, Sin Liong. Semestinya dalam keadaan seperti itu, engkau memberikan obat itu kepadaku sehingga bukan aku yang terbius, melainkan engkau.”

“Eh? Kenapa begitu?”

“Kalau engkau yang terbius dan aku masih sadar, bukankah aku dapat melindungimu kalau ada bahaya mengancam? Dalam keadaan seperti itu yang lebih kuat berkewajiban menghadapi bahaya yang mengancam.”

Sin Liong tersenyum.
“Baiklah, lain kali akan kuingat kata-katamu itu, Bi Cu.”

“Sudahlah, buktinya engkau juga dapat menyelamatkan diri kita, hanya kasihan, engkau harus memondongku semalam suntuk, tentu pegal-pegal rasa lenganmu.”

Sin Liong memijit-mijit lengannya.
“Seperti hampir patah rasanya!”

Akan tetapi sekarang teringat olehnya betapa hangat dan lunak tubuh yang dipondongnya semalam itu, biarpun ketika melarikan diri dia tidak ingat sama sekali akan hal itu, dan baru sekarang dia teringat yang membuat jantungnya berdebar aneh.

“Akan tetapi... mengapa ayah tirimu itu membius kita, Sin Liong? Padahal dia begitu baik dan ramah...”

Bi Cu tiba-tiba menahan kata-katanya karena teringat kini betapa sinar mata tuan rumah itu amat kurang ajar seperti hendak menelanjanginya, sinar mata yang seperti dapat dia rasakan menjelajahi tubuhnya, sinar mata cabul!

Kembali Sin Liong menarik napas panjang. Inilah bagian-bagian yang paling sulit dalam pertanyaan-pertanyaan Bi Cu, dan dia tidak boleh berbohong.

“Bi Cu, Kui Hok Boan itu hendak menangkap kita, hendak menyerahkan kita kepada pasukan pemerintah, bahkan dia telah mengirim surat kepada seorang perwira di kota raja, memberitahukan tentang adanya kita di rumahnya.”

“Ah, sungguh jahat!” teriak Bi Cu. “Sungguh sikap manisnya itu hanya sebagai topeng domba di balik muka srigala! Akan tetapi... bagaimana engkau bisa tahu akan pengkhianatannya itu dan dapat melarikan diri, bahkan membawa aku yang masih terbius nyenyak?”

Gadis itu memandang penuh perhatian kepada wajah Sin Liong, seperti hendak menyelidiki keadaan pemuda itu.

“Kalau tidak ada Lan-moi dan Lin-moi, tentu sekarang kita sudah tertawan pasukan kerajaan, Bi Cu. Semalam, tanpa diketahui orang, Lin-moi memasuki kamarku lewat jendela dan dia menceritakan semuanya. Dia bersama Lan-moi disuruh mengantarkan surat oleh ayah mereka kepada seorang perwira di kota raja. Karena curiga mereka berdua membuka surat itu di tengah jalan dan tahulah mereka bahwa surat itu berisi pemberitahuan bahwa kita berada di rumah mereka. Karena tidak berani membangkang, Lan-moi melanjutkan perjalanan ke kota raja, akan tetapi surat itu pagi hari ini baru akan diserahkan, sedangkan Lin-moi bertugas pulang untuk memberi tahu kepada kita. Nah, mendengar penuturan Lin-moi, aku lalu memasuki kamarmu lewat jendela dan membawamu kabur dari sana, dibantu oleh Lin-moi yang memancing perhatian para penjaga sehingga mudah bagiku untuk berlari keluar.”

“Hebat sekali! Adik-adik tirimu itu benar manis dan gagah, Sin Liong, aku makin suka kepada mereka! Sungguh aneh, ayah tirimu itu demikian curang, akan tetapi sebaliknya anak-anaknya demikian baik. Bagaimana ini?”

Sin Liong menggeleng kepala.
“Aku sendiripun tidak mengerti, semalam suntuk dua hal yang berlawanan itu menghantui pikiranku.”

“Aihh, aku tahu! Tentu saja begitu...”

Tiba-tiba Bi Cu berseru dan wajahnya berseri, sikapnya seperti orang yang baru saja dapat memecahkan suatu teka-teki yang sulit.

“Apa yang kau tahu? Bagaimana?”

“Tentu saja! Ayah tirimu itu seorang yang curang dan khianat, pendeknya seorang yang jahat! Akan tetapi Lan Lan dan Lin Lin tidak menuruti watak ayah mereka, melainkan mewarisi watak gagah dan baik dari mendiang ibumu! Tentu saja begitu, maka mereka demikian baik.”

Sin Liong mengangguk-angguk, dan dia dapat percaya pendapat ini, juga hatinya girang karena ucapan Bi Cu itu sekaligus memuji-muji ibunya yang dikatakannya gagah dan baik, padahal Bi Cu belum pernah bertemu dengan ibunya.

“Sin Liong, marilah kita kembali ke sana. Aku harus menghajar ayah tirimu yang curang dan jahat itu!” tiba-tiba Bi Cu berkata sambil mengepal tinjunya.

Diam-diam Sin Liong tersenyum dalam hati melihat lagak ini. Dia tahu bahwa kepandaian Bi Cu masih jauh untuk dapat menandingi kepandaian ayah tirinya.

“Mana mungkin itu, Bi Cu? Sekarangpun agaknya sudah ada pasukan yang menuju ke dusun itu, bahkan setelah menerima penjelasan, tentu akan mengejar kita ke sini.”

“Ohh! Kalau begitu, bagaimana baiknya? Di mana kita ini sekarang, dan hendak pergi ke mana?”

“Aku sengaja mengambil jalan pegunungan yang penuh hutan liar ini, Bi Cu. Aku lari menuju ke barat dan setelah tiba di sini, kita menyusuri pegunungan ini membelok ke utara. Kita pergi ke Lembah Naga dan ke tempat tinggal mendiang ayahmu untuk menyelidiki kematian ayahmu, tanpa melewati kota raja.”

“Baik, dan aku berterima kasih kepadamu, Sin Liong,” Bi Cu memegang lengan pemuda itu. “Percayalah, kalau ada kesempatan, aku akan membalas pertolonganmu itu, dan aku tidak akan ogah untuk menggendongmu semalam suntuk!”

“Wah, kalau bisa jangan terjadi hal itu. Aku tentu akan ditertawakan orang, sebagai seorang laki-laki digendong seorang wanita.” Sin Liong menjawab. “Mari kita melanjutkan perjalanan. Di depan itu ada hutan besar, kita memasuki hutan dan mencari sesuatu yang dapat dimakan.”

Demikianlah, pemuda dan pemudi remaja ini melanjutkan perjalanan mereka, masuk keluar hutan, naik turun gunung dan jurang-jurang karena mereka melalui jalan liar yang sama sekali tidak mereka kenal. Penunjuk jalan mereka hanyalah matahari. Mereka tahu arah utara, yaitu jika pagi hari matahari berada di sebelah kanan mereka dan pada sore hari matahari berada di sebelah kiri mereka.

Kadang-kadang mereka melewati dusun pegunungan dan di setiap dusun mereka diterima dengan ramah dan baik oleh para penghuni dusun yang rata-rata berwatak polos, jujur dan penuh perikemanusiaan itu.

Akan tetapi, Sin Liong dan Bi Cu yang masih hijau dan belum berpengalaman dalam taktik sebagai buronan itu tidak tahu bahwa justeru di dusun-dusun inilah mereka meninggalkan jejak yang jelas sekali! Para pemburu mereka tentu akan dapat mencari keterangan tentang mereka di dusun-dusun ini, dan tentu para penghuni dusun yang jujur itu akan menceritakan kepada siapapun juga tentang mereka berdua!

Setelah melakukan perjalanan beberapa hari lamanya, mereka telah melewati batas Propinsi Ho-pei dan Shen-si, melalui kaki Pegunungan Tai-hang-san. Pada hari itu, pagi-pagi sekali mereka telah tiba di depan sebatang sungai yang besar dan karena pada waktu itu banyak turun hujan, maka air sungai meluap dan membanjir! Tidak nampak sebuahpun perahu di sekitar tempat itu dan dua orang muda itu berdiri di tepi pantai dengan bimbang ragu dan bingung.

“Wah, mengapa sungai ini menghalangi perjalanan kita?” Bi Cu mengomel dan bersungut-sungut.

“Aih, Bi Cu, engkau sungguh tidak adil kalau menyalahkan sungai ini. Sudah beratus tahun, mungkin ribuan tahun lamanya, sungai ini tentu sudah ada di sini dan mengalir tiada hentinya. Dan hari ini, kita yang, muncul di sini. Mengapa kau menyalahkan dia yang tidak berdosa? Lebih tepat menyalahkan kita yang mengambil jalan sampai di sini.”

Bi Cu makin cemberut.
“Menyalahkan sungai tidak benar, menyalahkan diri sendiripun apa gunanya? Sekarang ini bagaimana? Menyeberang sungai ini tanpa perahu, sungguh tidak mungkin!”

“Heran mengapa tidak ada perahu di sini?” Sin Liong menoleh ke kanan kiri.

“Tidak heran! Sungai banjir begini, tentu para nelayan sudah pergi. Mau apa berperahu di tempat berbahaya begini? Ikan-ikanpun tentu pada sembunyi, dan tidak ada pelancong yang begitu gila untuk menyeberang. Tentu perahu-perahu itu telah ditarik ke darat oleh para nelayan agar jangan diseret pergi oleh air bah.”

“Wah-wah, agaknya engkau mengerti betul tentang kehidupan nelayan.”

“Tentu saja! Suhu pernah mengajakku hidup beberapa bulan di perkampungan nelayan dan aku malah pernah membantu mereka mencari ikan.”

“Kalau begitu engkau tentu pandai berenang?”

“Tentu saja!”

“Wah, engkau ini gadis si segala bisa!”

“Apa engkau tidak pandai berenang, Sin Liong?”

Tentu saja Sin Liong dapat berenang dengan baik, karena ketika dia hidup secara liar di dalam hutanpun dia sudah sering kali mandi di telaga kecil dalam hutan yang cukup dalam. Akan tetapi dia menggeleng kepala dan merenungi sungai itu, seperti hendak mengukur dan menaksir dengan pandang matanya apakah mungkin menyeberangi sungai lebar yang sedang banjir itu dengan cara berenang.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: