***

***

Ads

Sabtu, 25 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 156

Kita tinggalkan dulu keadaan empat orang pendekar yang terancam bahaya maut itu, dan mari kita mengikuti perjalanan Lie Ciauw Si. Kita hanya mengetahui bahwa gadis puteri Cia Giok Keng atau adik dari Lie Seng ini telah meninggalkan Cin-ling-pai beberapa tahun yang lalu karena melihat kakeknya berduka saja dan dia mengambil keputusan untuk mencari pamannya, Cia Bun Houw yang dia tahu menjadi penyebab dari kedukaan kong-kongnya.

Pada waktu itu, Cia Bun Houw berdua Yap In Hong masih mengasingkan diri dalam kedukaan akibat kemarahan Cia Keng Hong yang tidak menyetujui perjodohan di antara mereka sehingga usaha Lie Ciauw Si mencari kedua orang ini sama sekali tidak pernah berhasil.

Ciauw Si yang keras hati itu tidak mau kembali ke Cin-ling-pai sebelum bertemu dengan orang yang dicarinya. Dia merantau sampai jauh ke barat, kemudian pada akhir-akhir ini dia pergi merantau ke selatan. Dia telah menjelajahi dunia kang-ouw, bertanya-tanya ke sana-sini, namun tidak ada seorang pun tokoh kang-ouw yang dapat memberi keterangan kepadanya dimana gerangan adanya pendekar Cia Bun Houw, sungguhpun mereka itu tahu belaka siapa adanya pendekar putera ketua Cin-ling-pai itu.

Pada suatu hari, secara kebetulan Ciauw Si yang tiba di kota Yen-ping, berjalan-jalan di sepanjang tepi Sungai Min-kiang di Propinsi Hok-kian, dia tiba di dekat sarang perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan dia melihat empat orang sedang ribut mulut. Dia tidak mengenal empat orang itut namun amat tertarik karena melihat bahwa empat orang laki-laki tua itu bukanlah orang-orang biasa, hal ini dapat dilihat jelas dari sikap dan gerak-gerik mereka, sedangkan di situ terdapat dua kelompok orang-orang yang menonton, kesemuanya memperlihatkan sikap orang-orang yang ahli dalam ilmu silat, akan tetapi agaknya mereka merasa takut dan segan untuk mencampuri percekcokan itu.

Empat orang itu memang bukan orang-orang sembarangan. Yang sedang marah-marah adalah dua orang kakek yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, yang seorang tinggi besar dan mukanya brewok menyeramkan, tangannya memegang sebatang tongkat dan dengan tongkatnya ini beberapa kali dia menuding ke arah muka dua orang kakek yang dimarahi dan yang usianya kurang lebih lima puluh tahun.

Kakek ke dua yang marah juga berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya kecil pendek akan tetapi kepalanya gundul lonjong dan matanya tajam. Kakek ini menyeramkan sekali karena dia hanya memakai celana hitam sampai ke bawah betis, sedangkan tubuh atasnya yang kurus itu telanjang sama sekali, seperti juga kedua kakinya. Suaranya lantang dan nyaring.

Kakek muka brewok itu bukan lain adalah Hai-liong-ong Phang Tek, sedangkan kakek ke dua yang tak berbaju adalah Kim-liong-ong Phang Sun. Seperti telah kita ketahui, mereka ini adalah tokoh-tokoh besar di selatan yang terkenal dengan julukan Lam-hai Sam-to (Tiga Orang Tua Laut Selatan), tadinya mereka bertiga bersama dengan Hek-liong-ong Cu Bi Kun, akan tetapi orang ini seperti telah diceritakan di bagian depan, telah tewas oleh Pangeran Ceng Han Houw ketika Cu Bi Kun bermaksud membunuh Sin Liong. Dan seperti yang telah diputuskan oleh Pangeran Ceng Han Houw, Lam-hai Sam-lo yang kini tinggal dua orang itu kini menjadi tokoh terbesar di selatan, dan menjadi bengcu (pemimpin) dari dunia sesat di selatan!

Adapun dua orang kakek berusia lima puluh tahun yang sedang menghadapi kemarahan dua orang bengcu ini adalah ketua dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, yaitu Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok. Telah kita ketahui ketika dalam pemilihan bengcu di selatan, memang telah terjadi bentrok antara kedua orang tokoh ini dengan Lam-hai Sam-lo, akan tetapi karena fihak Sin-ciang Tiat-thouw-pang merasa kalah kuat, maka mereka ini lalu mundur dan mengalah. Akan tetapi mengapakah kini dua orang bengcu itu marah-marah kepada pemimpin Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini?

Biarpun dia tidak mengenal empat orang itu, namun Ciauw Si amat tertarik, menduga bahwa tentu mereka itu merupakan tokoh-tokoh penting dalam dunia kang-ouw, maka diam-diam iapun mendengarkan dengan penuh perhatian.






Tiat-thouw Tong Siok yang bertubuh tinggi besar, kepalanya botak dan mukanya bopeng terkenal lebih keras wataknya daripada suhengnya. Dengan mata terbelalak lebar dan kemarahan yang tidak disembunyikan lagi dia berteriak,

“Semenjak dahulu semua perkumpulan memberi sumbangan suka rela kepada bengcu sekuat kemampuan masing-masing. Sekarang bengcu menentukan jumlah seenak perut sendiri. Peraturan manakah ini?”

Kim-liong-ong Phang Sun yang kecil pendek dan bertelanjang baju itu tertawa mengejek dan berkata,

“Eh-eh, Tong Siok, berani engkau mengeluarkan suara macam itu? Setiap orang raja baru berhak menjatuhkan keputusan baru dan mengubah peraturan lama dengan peraturan baru! Kamipun demikian. Sebagai bengcu baru kami telah menjatuhkan keputusan bahwa setiap perkumpulan yang berlindung di bawah kami harus mengeluarkan pembayaran sesuai dengan yang sudah kami taksirkan dan keputusan kami inilah peraturan baru!”

Sebelum sutenya sempat mengeluarkan kata-kata keras, Sin-ciang Gu Kok Ban sudah cepat berkata,

“Harap ji-wi bengcu suka bersabar. Terus terang saja, perkumpulan kami agak mundur dan lemah dalam hal keuangan, maka harap ji-wi suka menerima seadanya dulu menurut kemampuan kami. Lain kali tentu kami akan berusaha memenuhi permintaan ji-wi seperti jumlah yang telah ditentukan itu.”

“Pangcu,” kata Hai-liong-ong Phang Tek. “Keputusan bengcu mana boleh diganggu gugat dan ditawar-tawar lagi? Kalau kami tidak melaksanakan keputusan kami sendiri, hal itu sungguh akan menurunkan wibawa kami dan mengacau ketertiban.”

“Habis, kalau kami tidak mampu membayar iuran paksaan ini, kalian mau apa?” bentak Tiat-thouw (Kepala Besi) Tong Siok penuh kemarahan, toya besinya sudah tergetar dalam genggaman tangannya.

“Heh-heh-heh!” Kim-liong-ong (Raja Naga Emas) Phang Sun, adik dari Phang Tek, tertawa mengejek. “Kalau kalian tidak mau bayar, hanya ada dua kemungkinan. Pertama, Sin-ciang Tiat-thouw-pang harus mengganti ketuanya yang lebih bijaksana dan dapat mentaati peraturan kami. Ke dua, bubarkan saja perkumpulan Sin-ciang Tiat-thouw-pang agar tidak membikin kacau!”

“Kami tidak mau mengganti ketua, tidak mau membubarkan perkumpulan, tidak mau membayar uang paksa, kalian mau apa!”

Tiat-thouw Tong Siok membentak, tidak keburu dicegah oleh Sin-ciang (Tangan Sakti) Gu Kok Ban.

“Bagus! Kalau begitu kami akan mengirim kalian ke neraka!” kata Hai-liong-ong (Raja Naga Laut) Phang Tek yang juga sudah marah menyaksikan sikap bandel dari dua orang ketua perkumpulan yang memang sejak dahulu menentangnya itu.

Kim-liong-ong Phang Sun sudah menerjang si muka bopeng Tong Siok. Kakek bertubuh kecil pendek ini bergerak dengan kecepatan kilat, tahu-tahu tubuhnya sudah melayang dan tangannya yang kecil itu sudah bergerak menyambar ke arah kepala lawan.

Ciauw Si yang menonton terkejut sekali karena dia mengenal gerakan yang amat lihai dan pukulan si kakek kecil itu mengeluarkan suara bercuitan! Tong Siok adalah wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang berjuluk Si Kepala Besi, maka tentu saja kepandaiannya cukup hebat dan lebih dari itu, dia telah mengenal kesaktian lawan, maka dia tidak berani ceroboh, cepat dia melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan toya besinya diputar dalam serangan balasan yang dahsyat pula. Namun, sambil tertawa mengejek si kakek kecil itu menggerakkan tangan kiri menangkis.

“Ting-ting-cringgg...!”

Tiga kali tongkat besi bertemu dengan tangan kiri yang terlindung gelang emas sehingga terdengar suara berdencing nyaring dan tubuh wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terhuyung. Sementara itu, Hai-liong-ong Phang Tek juga sudah menyerang Gu Kok Ban dengan tongkatnya. Gu Kok Ban maklum akan kesaktian lawan, diapun mencabut sepasang siang-kiamnya dan menyambut tongkat itu.

Terjadilah pertandingan yang amat seru dan hebat, karena Gu Kok Ban dan Tong Siok yang maklum bahwa tingkat kepandaian dua orang lawan itu masih lebih tinggi, tetap melawan dan tidak mau mundur, bertekad untuk membela nama perkumpulan sampai napas terakhir!

Betapapun nekatnya mereka itu, tetap saja mereka tidak mampu membendung datangnya serangan lawan yang bertubi-tubi. Dua orang kakek yang memakai julukan raja naga itu memang memiliki gin-kang yang amat tinggi tingkatnya sehingga gerakan mereka jauh lebih cepat, membuat Gu Kok Ban dan Tong Siok menjadi repot dan harus memutar senjata mereka cepat-cepat untuk melindungi tubuh sendiri.

“Cinggg-cinggg... wuuuutttt...!”

Tong Siok terkejut bukan main. Selain toya besinya kena ditangkis, juga jari tangan kanan kakek kecil itu hampir saia menusuk pelipis kepalanya. Kalau dia tidak cepat melempar tubuh ke belakang dan jari telunjuk itu mengenal pelipis, tentu kepalanya sudah berlubang dan nyawanya melayang.

Akan tetapi si kecil tertawa dan menendang. Tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh Tong Siok yang tinggi besar itu mencelat dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Namun dia tidak terluka, hanya terkejut dan meloncat bangun lagi dengan muka pucat! Akan tetapi, sebelum dia menerjang lagi, tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang dara yang cantik telah menyerang kakek kecil itu dengan hebatnya! Begitu menyerang, jari-jari tangan dara ini bercuitan menusuk dengan bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah di bagian depan tubuh Kim-liong-ong!

“Ehhh... ehhhh...!”

Kim-liong-ong Phang Sun terkejut bukan main karena semua tangkisannya luput karena jari tangan itu sudah ditarik kembali dan dengan kecepatan kilat sudah menusuknya lagi. Terpaksa dia meloncat ke belakang, maklum akan bahayanya serangan nona yang baru datang ini.

Ternyata Ciauw Si begitu menerjang telah mempergunakan jurus Ilmu Silat San-in-kun-hoat yang ampuh. San-in-kun-hoat (Ilmu Awan Gunung) ini hanya mempunyai delapan jurus, namun setiap jurus merupakan gerakan yang amat hebat dan berbahaya sekali bagi lawan.

Tadi Ciauw Si telah menyerang dengan jurus ke lima yang disebut San-in-ci-tian (Awan Gunung Mengeluarkan Kilat), maka tentu saja Kim-liong-ong menjadi terkejut bukan main.

Sebaliknya, Ciauw Si tidak heran melihat lawannya dapat menghindarkan diri karena memang dia maklum bahwa kakek pendek kecil ini amat lihai, maka diapun lalu menerjang lagi sekali ini mengatur langkah menurut Ilmu Thai-kek Sin-kun dan terus mengejar dan menghunjamkan serangan kepada Kim-liong-ong Phang Sun!

Terjadilah perkelahian yang lebih seru lagi dan diam-diam kakek kecil pendek itu terkejut bukan main karena dara cantik ini benar-benar memiliki dasar ilmu silat tinggi yang amat kokoh kuat dan bersih! Selagi dia menduga-duga siapa adanya dara ini, Tong Siok yang merasa beruntung sekali memperoleh bantuan seorang dara yang lihai sudah menerjangnya lagi dengan tongkat besi.

Tentu saja Kim-liong-ong menjadi sibuk juga dikeroyok dua oleh lawan yang pandai ini dan dia banyak main mundur, mengelak dan kadang-kadang mempergunakan gelang emasnya untuk menangkis. Kedua tangannya kini mengeluarkan hawa dingin yang berbau amis karena kakek ini sudah mengerahkan ilmunya yang keji, yaitu pukulan-pukulan beracun!

Betapapun juga, karena kini Ciauw Si yang melihat penggunaan ilmu pukulan beracun telah mencabut pedangnya, kakek kecil itu tetap terdesak hebat. Sinar pedang bergulung-gulung seperti seekor naga putih ketika Ciauw Si memutar pedang Pek-kang-kiam. Sesuai dengan namanya, pedangnya ini terbuat daripada baja putih, pemberian dari kakeknya.

Di lain fihak, melihat datangnya bantuan seorang dara lihai di fihak musuh, Hai-liong-ong Phang Tek menjadi marah dan juga khawatir melihat adiknya terdesak. Dia mengeluarkan teriakan nyaring dan mendesak Gu Kok Ban dengan tongkatnya. Didesak secara hebat itu, Gu Kok Ban menjadi gugup dan kakinya kena ditendang, membuat dia terguling. Dengan girang Hai-liong-ong menubruk dengan tongkatnya, mengirim pukulan maut ke arah kepala lawan.

“Tranggg!”

Tongkatnya terpental dan ternyata yang menangkisnya adalah sinar putih yang diikuti pedang Pek-kang-kiam di tangan Ciauw Si. Dara yang bermata tajam ini melihat bahaya mengancam ketua pertama dari Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka dengan kecepatan kilat dia telah menyelamatkan nyawa orang itu. Gu Kok Ban meloncat bangun dan membalas serangan lawan dengan senjata siang-kiamnya, kini dibantu oleh dara itu sehingga Hai-liong-ong terpaksa harus memutar tongkat agar lolos dari ancaman maut.

Kini Hai-liong-ong yang dikeroyok dua itu terdesak hebat, akan tetapi sebaliknya Tong Siok yang ditinggalkan Ciauw Si terancam dan terdesak hebat oleh Kim-liong-ong, sampai Ciauw Si meloncat lagi membantu wakil ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang ini! Demikianlah, perkelahian itu menjadi seru sekali di mana Ciauw Si berloncatan ke sana-sini untuk membantu jika seorang di antara dua ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang itu terdesak!

Munculnya dara ini benar-benar membuat para penonton, yang terdiri dari orang-orang Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan banyak pula orang-orang dari golongan sesat yang menyaksikan pertandingan itu, menjadi gempar! Mereka belum pernah melihat dara ini, dan sekali muncul dara ini telah berani main-main dengan Lam-hai Sam-lo. Dan ternyata dara ini memiliki tingkat kepandaian yang hebat! Akan tetapi, mereka tidak berani turun tangan, karena mereka semua merasa jerih terhadap Lam-hai Sam-lo yang kini tinggal dua orang itu.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: