***

***

Ads

Sabtu, 25 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 157

Karena Ciauw Si harus membantu dua orang, maka tentu saja keadaan mereka bertiga tetap terdesak oleh dua orang kakek sakti itu, dan kalau dilanjutkan, agaknya tentu akhirnya seorang di antara mereka akan roboh oleh Lam-hai Sam-lo. Pada saat perkelahian sedang memuncak serunya, tiba-tiba terdengar teriakan halus,

“Lam-hai Sam-lo, kalian bikin ribut lagi? Mundurlah!”

Dua orang kakek itu memandang dan kaget bukan main melihat pemuda yang menegur mereka itu. Cepat mereka meloncat mundur kemudian menghampiri pemuda yang berpakaian indah itu, lalu menjatuhkan diri berlutut.

“Harap paduka mengampuni hamba, pangeran. Bukanlah hamba berdua, melainkan dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang inilah yang membikin kacau!” kata Hai-liong-ong Phang Tek dengan muka ketakutan.

Yang muncul itu bukan lain adalah Ceng Han Houw dan Sin Liong! Seperti kita ketahui, dua orang muda ini melakukan perjalanan ke selatan untuk mencari Ouwyang Bu Sek, sesuai dengan janji Sin Liong untuk membawa Han Houw kepada suhengnya itu untuk dapat berguru kepada kakek cebol botak itu. Mereka singgah di Yen-ping dan kebetulan melihat perkelahian itu.

Biarpun ada orang berlutut kepadanya dan minta ampun namun pada saat itu sang pangeran sama sekali tidak memandang kepada mereka, melainkan memandang kepada Lie Ciauw Si yang berdiri dengan pedang Pek-kang-kiam di tangan, berdiri dengan sikap gagah. Keringat yang membasahi dahi dan lehernya, dan rambut yang kusut terjurai di atas dahinya itu menambah manis dara ini, sehingga Han Houw memandang seperti orang terkena pesona, penuh kagum.

Ciauw Si sendiri terkejut melihat munculnya dua orang pemuda remaja itu dan terheran-heran ketika melihat dua orang lawan tangguh itu berlutut dan menyebut pangeran kepada pemuda yang mengenakan topi bulu indah dan berpakaian mewah itu. Akan tetapi ketika melihat pemuda yang tampan gagah ini memandang kepadanya, dia merasa jantungnya berdebar dan cepat menundukkan mukanya. Begitu dara itu menundukkan mukanya, barulah Han Houw menyadari bahwa dia tadi telah memandang kepada gadis itu secara berlebihan. Cepat dia menarik napas panjang dan kini mengalihkan pandang matanya kepada Hai-liong-ong dan Kim-liong-ong.

“Hemm, Ji-lo, apalagi yang terjadi di sini? Kulihat engkau menyerang kedua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang.”

“Pangeran, mereka itu melanggar peraturan yang telah hamba tetapkan sebagai bengcu baru atas pengangkatan paduka.” kata pula Hai-liong-ong dengan harapan untuk mendapatkan dukungan dari pangeran ini.

Ceng Han Houw menoleh kepada Sin-ciang Gu Kok Ban dan Tiat-thouw Tong Siok. Dua orang itu berdiri dengan sikap hormat.

“Benarkan ji-wi sengaja melakukan pengacauan dan menentang bengcu?”

“Sama sekali tidak, pangeran!” jawab Gu Kok Ban tegas. “Biasanya, semenjak dahulu, perkumpulan kami selalu memberi sumbangan secara suka rela kepada bengcu, sesuai dengan kemampuan kami. Akan tetapi, sekarang kedua orang bengcu baru menentukan jumlah sumbangan yang terlalu besar bagi kami sehingga tidak dapat terbayar. Kami sudah minta kelonggaran, akan tetapi mereka malah marah dan mengandalkan kepandaian untuk menyerang kami. Untung ada lihiap ini yang datang menolong, kalau tidak tentu kami berdua telah tewas di tangan mereka.”






“Hemm, benarkah itu, Ji-lo?” bentak pangeran.

“Mereka... mereka sengaja tidak mau taat...” Hai-liong-ong mencoba untuk membantah.

“Hemm, seorang pemimpin barulah dapat disebut baik, kalau dia itu tidak hanya mementingkan diri sendiri belaka, akan tetapi memperhatikan keluh-kesah dan kesulitan anak buahnya! Kalian menyalahkan anak buah hanya karena urusan uang, apakah kalian masih kurang memperoleh upah dari kerajaan?”

“Ampun, pangeran... hamba hanya ingin menjalankan tertib...”

“Diam! Kalian tidak boleh menjatuhkan keputusan dan peraturan seenak kalian sendiri saja. Setiap peraturan baru haruslah diundangkan dan disetujui oleh semua anggauta dan semua perkumpulan yang berada dalam lingkungan kita. Mengertikah kalian?”

“Hamba... hamba mengerti!” jawab Hai-liong-ong.

“Syukur... kalau tidak, tentu kalian berdua akan mengalami nasib seperti Hek-liong-ong! Nah, lekas minta maaf kepada pimpinan Sin-ciang Tiat-thouw-pang!”

Dua orang kakek itu tidak berani membantah dan mereka lalu bangkit berdiri dan menjura kepada Gu Kok Ban dan Tong Siok yang cepat membalas pula penghormatan itu.

“Juga kepada nona itu!” kata pula Han Houw.

Dua orang kakek itu menjadi merah mukanya. Mereka tidak mengenal nona ini, akan tetapi karena takut kalau-kalau pangeran menjadi semakin marah, mereka lalu menjura kepada Ciauw Si dan minta dimaafkan. Ciauw Si juga membalas penghormatan itu, karena dia sendiri tidak tahu bagaimana duduknya perkara, hanya tadi dia membela dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang karena melihat mereka didesak dan ditindas.

“Sekarang pergilah dan tunggu perintahku,” kata Han How.

Dua orang kakek itu mengangguk, memberi hormat lagi dan tanpa sepatahpun kata mereka lalu pergi meninggalkan tempat itu seperti dua ekor anjing yang dibentak oleh majikannya.

Melihat ini semua, Ciauw Si menjadi terkejut dan terheran-heran, juga amat kagum. Pemuda yang disebut pangeran itu masih demikian muda, akan tetapi dua orang seperti dua orang kakek tadi yang memiliki kepandaian hebat sekali, setingkat dengan kepandaian tokoh-tokoh terbesar di dunia kang-ouw, bersikap demikian takut-takut dan tunduk kepada pangeran muda ini! Betapa besar pengaruh dan kekuasaan pangeran ini, pikirnya.

Akan tetapi dia tidak berani bertemu pandang secara langsung dengan Han Houw, karena setiap kali bertemu pandang dia melihat pandang mata pemuda bangsawan ini seolah-olah menembus dan menjenguk ke dalam hatinya. Ciauw Si merasa jantungnya berdebar aneh, dan tanpa disadarinya, kedua pipinya menjadi merah sekali.

Biarpun dia telah berusia dua puluh empat tahun dan merupakan seorang gadis yang cantik sekali, namun belum pernah dia jatuh cinta, belum pernah dia tergila-glia kepada seorang pria, dan baru sekali ini dia mempunyai perasaan yang aneh sekali ketika berhadapan dengan Pangeran muda ini!

Kini Han Houw menghadapi dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang dan Ciauw Si yang masih berdiri menundukkan muka dan pedang tadi telah disimpannya kembali ke dalam sarung pedang yang tergantung di punggungnya. Sejenak Han Houw memandang wajah yang menunduk itu, kemudian berkata sambil tersenyum kepada Gu Kok Ban,

“Aih, ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang boleh merasa beruntung sekali telah memperoleh seorang pembantu seperti nona ini yang amat lihai.”

“Maaf, pangeran, sesungguhnya kami selamanya belum pernah bertemu dengan lihiap ini, sama sekali tidak pernah mengenalnya dan baru sekarang kami bertemu dengan lihiap ini yang datang-datang terus menolong kami. Bahkan kami belum sempat menghaturkan terima kasih kepadanya.”

“Ahhh... sungguh mengagumkan! Kalau begitu nona tentu seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dan budiman!”

Han Houw memuji, sikapnya seperti orang yang lebih dewasa, padahal usia pangeran ini baru kira-kira delapan belas atau sembilan belas tahun saja sedangkan nona itu sudah berusia dua puluh empat tahun. Melihat betapa nona yang cantik dan gagah perkasa itu makin menunduk mendengar pujian ini, Han Houw lalu berkata lagi,

“Bolehkan kami mengetahui siapakah nama nona dan mengapa nona turun tangan membantu kedua ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang yang tidak nona kenal ini?”

Dengan jantung berdebar karena merasa amat malu terhadap pangeran ini, suatu hal yang amat mengherankan bagi Ciauw Si sendiri, gadis ini mengangkat mukanya yang menjadi kemerahan dan menjura kepada mereka semua dengan sekali gerakan saja, lalu berkata, suaranya halus,

“Namaku adalah Lie Ciauw Si dan maafkanlah kalau aku lancang mencampuri urusan orang-orang lain yang sama sekali tidak kukenal. Kalau aku sampai turun tangan membantu ji-wi pangcu ini, adalah aku melihat mereka diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh dua orang yang menyebut diri mereka bengcu tadi.”

Ciauw Si semenjak kecil ikut kakeknya dan hidup di kalangan orang-orang gagah, maka dia tidak biasa terikat oleh segala peraturan sopan santun, dan wataknya terbuka dan jujur. Itulah pula sebabnya mengapa di depan seorang pangeran, dia masih bersikap demikian bersahaja dan seolah-olah tidak menghormati pangeran itu yang biasanya selalu dihormati dan dijilat oleh sikap orang-orang di sekitarnya.

Sikap dara ini saja sudah menimbulkan perasaan suka yang besar dalam dada Han Houw. Sikap seperti itu pulalah yang diperlihatkan Sin Liong maka pangeran itupun merasa suka kepadanya, dan kini, begitu berjumpa, memang hatinya sudah amat tertarik oleh wajah, tubuh, dan kegagahan Ciauw Si, maka sikap terbuka ini makin memperbesar rasa sukanya.

Dengan wajah berseri Han Houw berseru,
“Ah, ternyata nona seorang pendekar yang gagah perkasa dan budiman, yang tanpa memandang bulu selalu akan membantu fihak tertindas. Sungguh kami merasa kagum sekali, nona Lie!”

“Dan kami berdua bersama seluruh anggauta Sin-ciang Tiat-thouw-pang menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan lihiap,” kata Gu Kok Ban sambil menjura, kemudian dia mempersilakan pangeran bersama Sin Liong yang telah mereka kenal sebagai seorang pemuda luar biasa berilmu tinggi, juga Ciauw Si, untuk duduk di dalam. Mula-mula Ciauw Si menolak.

“Terima kasih, aku hanya kebetulan lewat saja dan setelah urusan ini selesai aku hendak melanjutkan perjalananku.”

“Aih, Lie-siocia, mengapa begitu sungkan? Setelah pertemuan yang amat kebetulan ini, agaknya kita telah ditakdirkan untuk menjadi sahabat, apalagi mengingat bahwa baru saja nona telah menyelamatkan nyawa ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang, maka aku ikut mengharap agar nona sudi memenuhi undangan kami, dan bicara di dalam untuk mempererat persahabatan,” kata Han Houw.

Ciauw Si tersenyum dan tidak mampu menolak lagi. Gu Kok Ban dan Tong Siok dengan sibuk lalu memerintah anak buahnya untuk mempersiapkan pesta kecil untuk menghormati pangeran, Sin Liong dan Ciauw Si.

“Perkenalkanlah, Lie-siocia, aku adalah Ceng Han Houw, adik tiri dari sri baginda kaisar dan aku adalah kuasanya yang melakukan pemeriksaan ke daerah-daerah. Dia ini bernama Sin Liong, adik angkatku yang lihai!”

Han Houw tidak mau menyebutkan nama keturunan Sin Liong, sesuai dengan keinginan Sin Liong. Dia sedang berusaha mengambil hati dan menyenangkan Sin Liong, maka dia tidak mau menyinggung perasaannya. Kemudian dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang juga memperkenalkan diri kepada Lie Ciauw Si yang dijamu dengan segala kehormatan itu.

Semenjak tiba di tempat itu, Sin Liong tidak pernah membuka mulut dan dia tidak begitu memperdulikan nona yang gagah perkasa itu karena memang tidak mengenalnya.

“Kalau boleh kami mengetahui, Lie-lihiap murid dari perguruan manakah? Ilmu silatmu sungguh amat lihai dan mengagumkan sekali, bahkan kami orang-orang tua yang bodoh tidak dapat mengenalnya,” kata Tong Siok dengan suaranya yang parau dan besar, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi besar, kepala botak dan mukanya yang bopeng kasar.

“Ah, ji-pangcu, ilmu silatku hanya hasil kupelajari dari sana-sini, tidak ada harganya untuk disebut,” jawab dara itu secara sembarangan saja, dan jelas bahwa gadis ini memang tidak ingin memperkenalkan perguruannya.

Melihat ini, Pangeran Ceng Han Houw tertawa.
“Hemm, pangcu, banyak pendekar yang tidak ingin diketahui asal-usulnya, dan Lie-siocia ini agaknya termasuk seorang di antara para pendekar budiman yang penuh rahasia, maka janganlah bertanya tentang sumber kepandaiannya yang tinggi.”

Mereka makan minum dan seperti biasa, Han Houw pandai sekali bersikap ramah dan menyenangkan. Ada saja bahan percakapan bagi pangeran yang memang cerdik ini, apalagi karena hatinya memang amat tertarik kepada gadis itu, maka dia bersikap manis sekali sehingga diam-diam Ciauw Si makin tertarik.

Secara memutar dan tidak langsung, seolah-olah bercerita sambil lalu saja, pangeran yang masih amat muda ini menyatakan betapa dia amat dikasihi oleh sri baginda, dipercaya besar sehingga memiliki kekuasaan besar di istana. Lalu diceritakannya tanpa disengaja agaknya bahwa dia masih belum menemukan seorang wanita yang dianggapnya patut untuk mendampinginya.

“Sebagai seorang pangeran yang dekat dengan kaisar, tentu saja banyak gadis diberikan kepadaku,” katanya sambil tersenyum dan menggerakkan pundak seolah-olah dia “terpaksa” oleh keadaan itu, “akan tetapi sesungguhnya aku sudah merasa muak dengan wanita-wanita yang hanya pandai bersolek, bernyanyi atau menari itu, karena mereka itu adalah orang-orang lemah. Padahal aku sejak kecil paling suka akan kegagahan!”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: