***

***

Ads

Selasa, 28 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 161

“Suheng, aku sutemu Sin Liong datang menghadap!”

Sudah tiga kali Sin Liong berteriak sambil berdiri di depan guha-guha besar itu bersama Han Houw, dan belum juga ada jawaban. Seperti telah dijanjikannya, Sin Liong mengajak Ceng Han Houw mendaki puncak Bukit Tai-yun-san di sebelah selatan Propinsi Kwang-tung dan tiba di depan guha-guha puncak itu yang menjadi tempat tinggal suhengnya atau lebih tepat gurunya, yaitu Ouwyang Bu Sek. Namun, sampai tiga kali dia berteriak, suhengnya itu tidak pernah menjawab atau muncul.

“Jangan-jangan suhengmu itu tidak berada di sini, sedang pergi,” kata Han Houw dengan suara bernada kecewa.

“Dia pasti ada, Houw-ko, tadi aku melihat bayangannya berkelebat ketika kita tiba di puncak.”

“Kalau begitu, mengapa dia tidak keluar?”

Han Houw bertanya heran, tidak enak dan juga kagum bagaimana Sin Liong dapat melihat berkelebatnya bayangan itu sedangkan dia tidak.

Sin Liong kembali menghadap ke guha, mengerahkan khi-kang dan berseru dengan amat nyaring, sampai gemanya terdengar dari empat penjuru,

“Suheng Ouwyang Bu Sek! Aku Sin Liong datang untuk bicara dengan suheng, urusan penting sekali!”

Setelah gema suara itu lenyap, tiba-tiba terdengar suara dari... atas! Pangeran Ceng Han Houw terkejut dan memandang ke atas, akan tetapi tidak ada apa-apa di atas, biarpun dia berani bersumpah, bahwa suara itu memang terdengar dari atas, seolah-olah turun dari langit! Itulah ilmu mengirim suara dari jauh yang sudah mencapai tingkat tinggi, sehingga dengan kekuatan khi-kang pemilik ilmu itu dapat mengirim suaranya dari manapun.

“Sute, mau apa engkau bawa-bawa orang asing ke sini?”

Biarpun suara itu datangnya dari atas, namun Sin Liong tahu bahwa suhengnya itu memang bersembunyi di dalam guha di depannya. Maka dia menjura ke arah guha itu dan berkata,

“Suheng yang baik, dia ini bukanlah seorang asing, melainkan kakak angkatku bernama Ceng Han Houw! Keluarlah, suheng, dan mari kita bicara dengan baik.”

“Kalau aku tidak mau keluar kau mau apa?”

Sin Liong tidak merasa heran dengan anehnya watak suhengnya itu. Diapun tahu bagaimana harus menanggulangi watak aneh itu, maka dengan suara dingin dia berkata,

“Aku tidak mau apa-apa, hanya aku tahu bahwa suheng Ouwyang Bu Sek bukanlah orang yang berwatak bong-im-pwe-gi (orang tidak ingat budi)!”






Tiba-tiba nampak bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu di depan dua orang muda itu telah berdiri seorang kakek yang membuat Han Houw terkejut bukan main. Kakek itu cebol dengan tubuh seperti kanak-kanak, akan tetapi kepalanya besar sekali botak dan wajahnya yang sama sekali bukan kanak-kanak lagi, melainkan wajah seorang kakek tua renta yang amat lucu. Pakaiannya sederhana dan kedua kakinya telanjang. Dengan sepasang matanya yang agak menjuling itu dia menghadapi Sin Liong sambil bertolak pinggang dan berkata penuh teguran,

“Kalau engkau hendak mengatakan aku bong-im-pwe-gi, sungguh engkau terlalu sekali, sute! Heh, satu kali engkau menyelamatkan aku dari tangan Sam-lo, apakah selamanya aku harus ingat budi itu terus?”

“Maaf, suheng, bukan maksudku begitu. Akan tetapi aku sungguh ingin bertemu dan bicara denganmu,” kata Sin Liong sungguh-sungguh.

Memang ucapannya tadi hanya dipergunakan untuk memancing keluar kakek cebol yang berwatak aneh ini, dan dia telah berhasil.

“Ho-ho, sejak dulu engkau pintar bicara. Mau apa kau ingin bertemu dengan aku? Ha-ha, bocah nakal, jangan kau bilang bahwa engkau merasa rindu kepada kakek buruk macam aku ini!”

Ouwyang Bu Sek tertawa bergelak dan mulut yang terbuka lebar itu sudah tidak ada giginya sama sekali.

“Tidak, suheng, aku tidak rindu kepadamu,” jawab Sin Liong sejujurnya karena akan percuma saja membohongi suhengnya ini. “Akan tetapi aku datang karena aku perlu sekali memperkenalkan kakak angkatku Ceng Han Houw ini kepada suheng.”

Kini kakek itu menghadapi Han Houw, bertolak pinggang dan matanya yang menjuling itu memandang penuh perhatian. Dia melihat seorang pemuda remaja yang tampan dan gagah sekali, yang berdiri sambil menjura kepadanya, yang mempunyai sepasang mata amat tajam dan dari gerak-geriknya dia dapat menduga bahwa pemuda remaja ini tentu memiliki kepandaian yang lumayan.

“Hemmm, aku tidak suka kepadanya, dia terlalu tampan... hemm, dan dia she Ceng lagi, seperti she bangsawan istana raja! Mau apa kau bawa dia berjumpa denganku?”

“Suheng, karena dia ini adalah kakak angkatku, maka dengan sendirinya diapun terhitung sutemu sendiri. Houw-ko ingin sekali belajar ilmu yang tinggi di bawah pimpinan suheng.”

“Wah, aku tidak mau menerima murid, apalagi setampan ini!”

“Bukan murid suheng, melainkan sutemu! Dia ingin belajar ilmu dari suhu kita.”

“Ah, mana bisa itu?, Sute, kenapa kau ceritakan tentang suhu...?”

“Ingat, suheng, dia ini kakak angkatku, bukan orang lain. Dan percayalah, dia ini seorang yang bercita-cita besar, lebih besar daripada cita-citaku. Dia ingin menjadi orang terpandai di kolong langit, ingin menjadi jagoan nomor satu!”

“Uwah, mana bisa? Orang yang halus seperti ini mana tahan uji? Mana tahan derita? Aku tidak mau...!”

Semenjak tadi Han Houw diam saja bukan karena dia tidak bisa bicara, melainkan karena dia mengikuti setiap gerak-gerik kakek itu dan mendengarkan setiap omongan, dan pangeran yang amat cerdik ini sudah dapat menduga akan kelemahan dari kakek aneh ini, maka kini dialah yang berkata,

“Locianpwe, menilai orang lain jangan melihat keadaan luarnya saja. Melihat keadaan luar locianpwe ini, siapa orangnya yang akan dapat menilai bahwa locianpwe memiliki ilmu kepandaian hebat? Demikian pula dengan aku, biarpun aku kelihatan begini, jangan dikira bahwa aku tidak tahan uji! Dan adikku Sin Liong ini sudah berjanji akan membawaku kepada locianpwe untuk diterima sebagai murid atau sute, terserah. Kalau sampai hal itu tidak terlaksana, apakah bukan berarti bahwa locianpwe menjadi suheng dari orang yang tidak dapat memegang janji?”

Sejenak kakek itu tertegun, kemudian membanting kakinya yang kecil.
“Wah-wah, kakak angkatmu ini malah lebih pintar lagi bicaranya daripada engkau, sute! Dan lagaknya seperti dia ini seorang bangsawan tinggi saja! Apa artinya bagiku menjadi guru atau suheng dari seorang bangsawan kecil?”

Han Houw sudah dapat menduga isi hati kakek ini yang ternyata diam-diam merupakan seorang yang agaknya amat mengagungkan kedudukan tinggi, maka tanpa meragu lagi dia berkata,

“Locianwe, harap jangan memandang rendah kepadaku! Aku memang seorang bangsawan tinggi karena aku adalah seorang pangeran, adik kaisar yang sekarang ini!”

Benar saja. Kakek itu undur dua langkah dan memandang dengan mata terbelalak kepada pemuda tampan itu, kemudian menoleh kepada Sin Liong dengan mata mengandung penuh pertanyaan. Sin Liong mengangguk dan berkata,

“Memang benar apa yang dikatakannya itu, suheng.”

Sejenak kakek itu melongo, kemudian dia mengerutkan alisnya dan bertanya kepada Han Houw, suaranya kasar seolah-olah dia tidak tahu bahwa pemuda ini seorang pangeran!

“Hei, apa kamu bisa berdiri jungkir balik dengan kepala di bawah, kaki di atas dan kedua lengan bersedakap?”

Han Houw tersenyum mengejek. Matanya yang cerdik dapat menangkap kepura-puraan kakek itu yang agaknya tidak menghargai kedudukannya akan tetapi dia dapat menduga bahwa kakek itu amat terkesan, dan kini hendak mengujinya.

“Apa sih sukarnya begitu saja?” katanya dan dia memilih sebuah batu halus di depan guha, kemudian sekali menggerakkan kakinya, dia sudah jungkir balik, dengan kepala yang bertopi itu di atas batu, dan kakinya di atas, kedua lengannya bersedakap.

“Hemm, jangan turunkan kaki sebelum kuperintahkan!” kata Ouwyang Bu Sek, kemudian dia menggandeng tangan Sin Liong. “Hayo sute, aku mau bicara denganmu!”

Keduanya lalu memasuki guha dan tidak nampak lagi, juga tidak terdengar suara mereka. Namun Han Houw yang berkemauan keras untuk memperoleh ilmu-ilmu tinggi sehingga akan terpenuhi cita-citanya menjadi jagoan nomor satu di dunia, tetap dalam keadaan jungkir balik, bahkan memejamkan matanya untuk memusatkan perhatian dan mematikan semua panca inderanya!

Ouwyang Bu Sek mengajak Sin Liong ke dalam guha dan di sini dengan suara berbisik agar jangan sampai terdengar oleh Han Houw, kakek cebol ini berkata kepada Sin Liong,

“Hayo ceritakan siapa dia sebetulnya dan mengapa engkau bersusah payah membujukku untuk menerimanya sebagai murid, sute!”

Walaupun kadang-kadang dia merasa tidak cocok dengan watak Han Houw yang curang dan kejam, namun sesungguhnya Sin Liong merasa suka sekali kepada pangeran itu, apalagi mengingat bahwa mereka telah bersumpah mengangkat saudara. Maka sedikitpun juga dia tidak ingin menjerumuskan Han Houw ke dalam malapetaka dan sekarangpun dia maslh ingin melindunginya, biarpun apa yang pernah dilakukan oleh Han Houw terhadap Bi Cu untuk memaksanya. Oleh karena itulah ketika ditanya oleh suhengnya ini, dia masih hendak menutupi pemaksaan yang dilakukan oleh Han Houw dengan cara mengancam Bi Cu tempo hari.

“Kami telah saling bersumpah mengangkat saudara, suheng, dan seperti telah diceritakannya tadi, dia adalah adik tiri seayah dengan sri baginda kaisar yang sekarang. Dia amat disayang oleh kaisar dan memiliki kedudukan tinggi sekali di istana. Dia bercita-cita tinggi, ingin memiliki ilmu silat yang paling lihai, ingin menjadi jagoan nomor satu di dunia.”

Wajah kakek itu berseri.
“Engkau tidak membohongi aku, bukan sute? Aku sudah tua sekali, aku sudah tidak kuat lagi mengajarkan ilmu-ilmuku kepada seorang murid, engkaupun tahu akan hal ini, mengapa engkau memaksa dia berguru kepadaku di sini?”

“Aku bersumpah bahwa apa yang kuceritakan kepadamu tidak bohong, suheng. Dan akupun tidak mengharapkan engkau berpayah-payah mengajarnya sendiri. Bagaimana kalau suheng mengajarkan ilmu-ilmu dari suhu kepadanya? Dia sudah kuceritakan tentang suhu Bu Beng Hud-couw, dan dia ingin sekali menjadi murid beliau.”

Kakek itu nampak terkejut.
“Hemm, ah, kau lancang, sute. Tidak mudah menjadi murid suhu, harus kulihat dulu orang itu...”

“Terserah kepada suheng, aku hanya telah berjanji membawanya ke sini dan mempertemukannya dengan suheng dan agar suheng menerimanya.”

“Nanti dulu..., bagaimana wataknya? Apakah dia seorang yang mengenal budi?”

SIN LIONG berpikir sejenak lalu tanpa ragu-ragu ia mengangguk. Dia mengenal watak pangeran itu. Memang Han Houw mengenal budi, sungguhpun agaknya juga tidak akan mudah melupakan kesalahan orang kepadanya. Pendeknya, pendendam dan pembayar budi yang kuat!

“Jangan khawatir, suheng. Dia seorang pangeran yang mengerti akan kedudukannya, dan dia tidak akan melupakan orang yang telah menolongnya.”

Memang benar dugaan Sin Liong ini. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa biarpun Han Houw suka membalas budi yang dilimpahkan kepadanya, namun dia lebih pendendam dan takkan pernah melupakan kesalahan orang kepadanya.

Watak seperti ini merupakan watak umum dari manusia! Agaknya kita akan cepat-cepat menolak dan membantah kalau kita dikatakan berwatak seperti Pangeran Ceng Han Houw itu! Akan tetapi maukah kita membuka mata memandang diri sendiri dengan sejujurnya? Bukankah kita ini merupakan orang-orang yang ingin membalas budi orang lain namun di samping itu ingin pula membalas perbuatan orang lain terhadap kita yang kita anggap jahat dan merugikan?

Kita condong untuk membalas kebaikan orang dengan kebaikan yang lebih besar lagi, menghadapi keramahan orang dengan keramahan yang lebih besar lagi, namun kitapun ingin membalas kejahatan orang lain dengan kejahatan yang lebih merugikan lagi! Kalau kita diberi sejengkal kita ingin membalas sedepa, kalau kita dicubit kita ingin balas memukul. Tidakkah semua ini digerakkan oleh si aku yang ingin di atas selalu?

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: