***

***

Ads

Selasa, 28 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 162

Karena aku lebih dibaiki orang, aku ingin memperlihatkan bahwa aku lebih baik lagi dari dia, dari siapapun juga. Pendeknya, agar dilihat bahwa akulah yang terbaik! Sebaliknya kalau si aku diganggu, aku pula yang ingin membalas dengan gangguan yang lebih kejam lagi agar hati yang mendendam, hati ialah si aku itu pula, menjadi puas. Si aku ingin selalu menang, ingin selalu serba lebih, tidak mau kalah baik, tidak pula mau kalah berani, biasanya si aku tidak mau menyebut lebih kejam, melainkan lebih berani!

Inilah sebabnya mengapa di antara suami isteri, di antara saudara, di antara sahabat baik, sering kali terjadi pertentangan dan percekcokan. Seribu satu kali kebaikan dari isteri, suami, saudara atau sahabat akan lenyap tanpa bekas oleh adanya satu kali saja kesalahan! Pikiran ini, si aku ini, selalu mengejar kesenangan, maka apa yang menyenangkan aku, itulah baik, sebaliknya apa yang tidak menyenangkan aku, itu adalah buruk!

Kalau setiap perbuatan didasari atas penilaian baik dan buruk yang pada hakekatnya adalah menyenangkan atau tidak menyenangkan aku, maka perbuatan yang berpusat pada diri sendiri itu sudah pasti akan menimbulkan pertentangan! Ini sudah jelas!

Setelah kita membuka mata memandang dengan waspada dan kita dapat melihat semua ini, melihat berarti mengerti, mengerti berarti bertindak, apakah kita tidak dapat bebas dari penilaian baik buruk yang menimbulkan tindakan yang mengandung pertentangan ini?

Setelah dia merasa yakin akan keadaan Ceng Han Houw, Ouwyang Bu Sek lalu mengajak Sin Liong keluar.

“Kau boleh pergi sekarang, sute, kalau engkau mau meninggalkan bocah itu di sini, terserah. Akan tetapi kalau ternyata dia tidak ada gunanya, dia akan kulemparkan ke dalam jurang!” kata kakek itu dengan lantang karena memang disengaja agar dapat didengar oleh Han Houw yang ternyata masih berdiri dengan jungkir balik di atas batu yang rata dan licin itu.

“Didik dia baik-baik, suheng, ingat, dia itu kakak angkatku. Katakan kepada Houw-ko bahwa kelak kami akan dapat saling jumpa lagi. Selamat tinggal, suheng.”

“Selamat jalan, sute.”

Han Houw mendengar ini semua akan tetapi dia diam saja, tidak membuka kedua matanya. Dia maklum bahwa kakek cebol itu sedang mengujinya, maka diapun ingin memperlihatkan bahwa dia adalah seorang calon murid yang baik!

Bagi seorang yang belum pernah berlatih ilmu silat tinggi, berdiri berjungkir balik seperti itu tentu saja merupakan siksaan, bahkan tidak mungkin dapat bertahan sampai lama. Akan tetapi, Han Houw adalah murid Hek-hiat Mo-li, sudah memiliki kepandaian yang cukup tinggi, sehingga berdiri jungkir balik seperti itu hanya merupakan permainan kanak-kanak saja baginya. Dia mendengar semua percakapan antara adik angkatnya dan kakek itu setelah mereka keluar dari dalam guha, dan mendengar langkah kaki Sin Liong pergi dari situ. Kemudian dia mendengar kakek itu pergi pula meninggalkan tempat itu sehingga keadaan di sekeliling tempat itu sunyi sekali.

Han Houw masih tetap berdiri jungkir balik. Sejam, dua jam, tiga, empat, lima jam! Celaka, pikirnya. Kalau hanya berjungkir balik seperti itu sampai beberapa jam saja dia masih kuat, akan tetapi kalau dilanjutkan tanpa ada ketentuan kapan kembalinya kakek itu, benar-benar merupakan siksaan hebat. Celaka! Dia merasa serba salah! Kalau terus berjungkir balik seperti itu, setelah lewat lima jam, kepalanya mulai pening dan terutama sekali lehernya mulai terasa pegal-pegal dan lelah.






Akan tetapi kalau menyudahi jungkir balik itu dan menurunkan kaki, tentu akan kesalahan oleh kakek cebol tadi. Ini merupakan ujian! Bukankah kakek cebol tadi mengatakan bahwa dia tidak boleh menurunkan kedua kakinya sebelum diperintah oleh si kakek itu? Dan sekarang kakek itu tidak pernah muncul! Agaknya hendak menyiksanya atau mempermainkan, atau menjebaknya. Kalau dia menurunkan kaki, tentu si kakek itu akan muncul dan menyatakan dia tidak memenuhi syarat sebagai murid! Celaka, kakek cebol itu sungguh sadis!

Han Houw mempertahankan diri, memejamkan mata dan menutup panca inderanya untuk melakukan ujian itu sekuatnya. Kembali waktu merayap lewat dengan amat melelahkan. Hari sudah menjadi gelap! Biarpun dia tidak membuka mata, namun dia dapat merasakan perbedaan antara terang dan gelap dari balik pelupuk matanya. Hari sudah menjadi gelap dan kakek itu masih juga belum datang membebaskannya!

Bukan main hebatnya penderitaan yang dirasakan Han Houw pada saat-saat itu. Dan malam terus merayap tanpa ada perubahan pada dirinya. Dia merasa betapa kepalanya sudah menjadi besar, sebesar gantang, sebesar kepala kakek cebol itu! Bermacam warna menari-nari di depan matanya. Kedua pundak dan lehernya seperti sudah berubah menjadi batu, kaku dan tidak dapat merasakan apa-apa lagi!

Celaka, akan matikah dia? Namun, Han Houw adalah seorang pemuda yang keras hati dan penuh semangat, apalagi dalam mengejar ilmu yang dicita-citakannya ini. Dia berkeras tidak akan menyerah sebelum tubuhnya yang menyerah dan roboh dengan sendirinya! Maka dikeraskanlah hatinya dan dia terus berjungkir balik seperti itu sampai semalam suntuk lewat!

Menjelang pagi, dengan hati penuh dendam Han Houw sudah membayangkan kakek itu sebagai iblis jahat yang sengaja menyiksanya. Berbagai umpat dan caci dan kutuk memenuhi benaknya, dilontarkan kepada penyiksanya. Namun mulutnya tetap terkatup dan kedua matanya terpejam. Setelah matanya yang terpejam kembali melihat cahaya di luar pelupuk matanya, telinganya mendengar langkah kaki dan tahulah dia bahwa kaki telanjang kakek botak cebol itulah yang mendekatinya lalu terdengar suara kakek itu mengomel.

“Masih bertahan juga? Hemm, menjemukan benar anak ini? Aku masih belum memerintahkanmu menurunkan kaki, akan tetapi coba sekarang kau taati perintahku. Nah, kau tahan pernapasanmu setelah menyedot sebanyak mungkin hawa. Nah, dorongkan hawa itu ke pusar, kemudian tarik naik ke kepala, ya... ya... teruskan lagi...!”

“Brukkkk!”

Tubuh Han Houw terguling seperti sebatang balok, kepalanya terasa nyeri bukan main, terputar-putar rasanya dan matanya berkunang-kunang, seluruh tubuhnya bagian atas nyeri semua!

“Ha-ha-ha, heh-heh-heh, engkau kena kuakali! Ha-ha, bagaimana rasanya? Sakit? Hayo katakan, apakah engkau masih ingin belajar dari aku? Akan kuajarkan lain ilmu yang lebih menyakitkan lagi! Hayo katakan, masih terus ingin belajar?”

Han Houw memejamkan kedua matanya, berusaha mengusir kepeningan yang membuat kepalanya seperti dipukuli palu besar, dan dadanya sesak. Namun dia mempertahankan, bahkan menekan semua ini, lalu dia bangkit duduk dan menjawab,

“Aku masih ingin belajar dari locianpwe, biar sampai matipun aku tidak gentar!”

Diam-diam Ouwyang Bu Sek merasa heran dan juga girang. Tadinya dia tidak percaya bahwa seorang pangeran akan dapat bertahan menghadapi siksaan seperti itu. Akan tetapi ternyata anak ini keras hati, tidak kalah dibandingkan dengan Sin Liong!

“Engkau benar-benar ingin belajar?” tanyanya, mulai merasa kalah.

“Benar, locianpwe.”

“Dan engkau mau membayarku dengan selaksa tail perak?”

“Hal itu mudah dilaksanakan.”

“Bagaimana kalau membayarku dengan kedudukan yang tinggi di kota raja?”

“Kedudukan yang tinggi sudah sepantasnya bagi locianpwe yang berilmu tinggi. Kalau dikehendaki, tentu dapat kulaksanakan pula.”

Tiba-tiba kakek itu tertawa dan merasa sudah cukup menguji. Memang dia telah menguji pangeran ini dan andaikata pangeran itu tidak memuaskan hatinya, bukan hal tidak mungkin kalau dia melaksanakan kata-katanya di depan Sin Liong kemarin, yaitu melemparkan pemuda ini ke dalam jurang!

Akan tetapi, sikap Han Houw yang demikian keras hati, tahan uji, dan juga janji-janji yang diberikan oleh pangeran ini kepadanya, membuat hatinya puas sekali. Dia membandingkan pemuda ini dengan Sin Liong dan menganggap bahwa pangeran ini malah lebih baik, lebih berguna baginya, daripada sutenya itu!

Kakek ini sama sekali tidak pernah menduga bahwa terdapat perbedaan besar sekali antara Sin Liong dan Han Houw. Sin Liong memiliki kesederhanaan wajar dan juga memiliki kejujuran, sebaliknya, pangeran ini angkuh dan tidak pernah mau kalah oleh siapapun juga, di samping itu, juga di sudut hatinya terkandung kekejaman dan kebuasan, namun semua itu ditutup oleh sikapnya yang ramah dan ini membuktikan betapa cerdik dan berbahaya dia.

Di lubuk hatinya, Han Houw merasa sakit hati dan benci sekali kepada kakek ini yang bukan hanya telah mempermainkannya, bahkan telah menyakitinya dan menyiksanya. Namung kebenciannya itu sedikitpun tidak nampak pada wajahnya yang tampan!

“Heh-heh-heh, baik, baik! Engkau akan menjadi muridku, pangeran. Ha-ha-ha!”

Sambil berkata demikian tangannya bergerak dan Han Houw merasa betapa leher dan punggungnya tertotok dan kesehatannya pulih kembali, peningnya lenyap, bahkan dia merasakan sesuatu kenyamanan yang aneh pada tubuhnya.

“Tubuhku terasa nyaman sekali, locianpwe!”

“Tentu saja, heh-heh. Apa kau kira jungkir balik hampir sehari semalam itu tidak ada gunanya?”

Han Houw merasa tidak puas ketika kakek itu menyatakan bahwa dia akan menjadi muridnya. Bukan itulah yang dikehendakinya. Dia harus dapat menjadi murid guru mereka, yaitu Bu Beng Hud-couw! Akan tetapi Han Houw amat cerdik, maka dia tidak menyatakan hal ini secara berterang, takut kalau-kalau kakek itu menjadi tidak senang hatinya.

“Locianpwe, aku adalah seorang pangeran dan kakak dari Liong-te, akan tetapi ilmu silatku kalah jauh dibandingkan dengan dia. Mana mungkin aku dapat memenuhi cita-citaku sebagai jagoan silat nomor satu di dunia ini kalau oleh adik angkatku sendiri saja aku masih kalah lihai!”

“Ha-ha-ha! Heh-heh! Tentu saja engkau tidak menang melawan sute, sedangkan aku sendiripun tidak akan mampu mengalahkannya!”

Han Houw mengerutkan alisnya, lalu menggeleng-geleng kepalanya dan seperti bicara kepada diri sendiri,

“Aihhh, pantas... pantas... Liong-te kadang-kadang besar kepala dan menyombongkan kepandaiannya! Kiranya dia demikian lihai sehingga locianpwe sendiri yang menjadi suhengnya masih kalah lihai olehnya! Sungguh penasaran dan sukar dipercaya bagaimana seorang suheng yang menurut Liong-te bahkan telah membimbingnya dapat dikalahkan oleh sute sendiri yang dibimbingnya ini!”

“Aha, mana kau tahu, pangeran? Benar aku yang telah membimbingnya, akan tetapi kalau aku menjadi murid suhu hanya berhasil menafsirkan isi kitab-kitab suhu saja, sebaliknya sute telah melatih ilmu-ilmu yang amat sukar itu.”

“Maksud locianpwe, gurunya dan guru locianpwe yang bernama Bu Beng Hud-couw?”

“Ha, engkau sudah tahu?”

“Liong-te pernah menceritakan kepadaku, bahkan Liong-te yang merasa paling pandai itu menyombongkan diri mengatakan bahwa setelah dia mempelajari semua kitab dari Bu Beng Hud-couw, jangankan hanya locianpwe yang menjadi suhengnya, biar Bu Beng Hud-couw sendiri tidak akan mampu menandinginya!”

“Omong kosong! Sombong dia!” kakek itu membentak marah dan diam-diam Han Houw merasa girang bahwa dia mulai berhasil membakar hati kakek aneh ini.

“Dan buktinya locianpwe mengaku sendiri tidak mampu menandinginya!”

“Memang benar karena aku tidak mempelajari ilmu-ilmu itu, akan tetapi akulah yang membimbingnya, dan mana mungkin dia dapat menandingi suhu? Berani benar dia bicara seperti itu!”

“Jalan satu-satunya bagi locianpwe adalah mempelajari sendiri kitab-kitab itu kemudian menunjukkan bahwa locianpwe sebagai suhengnya tidak benar kalah oleh sutenya!”

Kakek itu menarik napas panjang, lalu duduk di atas tanah, kelihatan makin pendek dan sepasang matanya makin menjuling, wajahnya kelihatan berduka.

“Tidak mungkin... aku telah terlalu tua untuk mempelajari...”

“Kalau begitu, Liong-te akan tetap menyombongkan diri ke mana-mana, mengabarkan kepada seluruh dunia kang-ouw bahwa suhengnya yang sakti, yang amat terkenal bernama Ouwyang Bu Sek itu, juga suhunya yang maha sakti Bu Beng Hud-couw tidak akan mampu menandinginya.”

“Tidak boleh... ini sama sekali tidak boleh dan harus dicegah!”

Kakek yang sudah panas hatinya itu kini meloncat dan berjingkrak seperti cacing terkena abu panas, mukanya kemerahan dan dia sudah menjadi marah sekali.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: