***

***

Ads

Selasa, 28 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 163

“Sebaiknya dilaporkan saja kepada locianpwe Bu Beng Hud-couw.”

Han Houw memancing karena dia ingin sekali dapat bertemu dengan manusia dewa yang ilmu-ilmunya telah dipelajari oleh adik angkatnya itu.

“Tidak bisa... tidak mungkin... beliau tidak mungkin mau mengurus keramaian dunia... ah, tidak mungkin itu.”

“Kalau begitu masih ada lain jalan untuk menundukkan kesombongan Liong-te dan mencuci bersih nama baik locianpwe dan nama baik Bu Beng Hud-couw.”

“Eh? Kau ada jalan, pangeran? Bagaimana?”

“Biarlah aku yang mempelajari ilmu-ilmu dari locianpwe Bu Beng Hud-couw, dan akulah yang akan mewakili locianpwe dan Bu Beng Hud-couw untuk mengalahkan dia!”

Wajah kakek itu berseri, akan tetapi hanya sebentar.
“Hemm, kitab-kitab itu sudah kubakar..., sungguhpun masih ada kitab-kitab yang belum pernah dipelajari orang, akan tetapi... ah, kurasa tidaklah mudah mempelajari kitab-kitab itu... dan sute Sin Liong memang lihai sekali...”

“Ilmu apakah yang telah dipelajarinya dari kitab Bu Beng Hud-couw?”

“Hanya tiga belas jurus Hok-mo Cap-sha-ciang, akan tetapi ilmu ini hebat bukan main dan sukar dikalahkan.”

“Bukankah locianpwe yang membimbingnya? Tentu locianpwe dapat mengajarkan kepadaku, dan aku akan berlatih sebaik mungkin agar dapat mengatasi Liong-te.”

Kembali kakek itu menggeleng kepalanya.
“Tidak mungkin... sudah kubakar kitab-kitab itu dan aku tidak hafal semua isinya, hanya sebagian saja dan tentu tidak cukup untuk dilatih sempurna dan tidak akan dapat mengalahkan dia.”

Akan tetapi Han Houw tidak putus asa. Dia tahu bahwa kakek di depannya ini lihai bukan main, mungkin lebih lihai daripada sucinya atau subonya, akan tetapi kalau dia hanya menerima bimbingan dari kakek ini tentu tidak akan dapat mengalahkan Sin Liong! Dia harus mempelajari ilmu-ilmu dari Bu Beng Hud-couw!

“Locianpwe, bagaimana kalau aku mempelajari kitab-kitab yang lain, itu?”

“Wah, sukar sekali... sukar sekali... baru menafsirkan isinya saja aku sendiri sudah pening. Tulisan-tulisan kuno itu sukar sekali dan aku...”






“Harap locianpwe tidak memandang rendah kepadaku. Semenjak kecil aku hidup di istana yang penuh dengan simpanan tulisan-tulisan kuno dan aku sudah banyak mempelajari isinya. Barangkali aku dapat membantu locianpwe, kemudian aku melatih ilmu-ilmu itu di bawah bimbingan locianpwe.”

Kakek itu berseru girang.
“Benarkah? Wah, kalau begitu engkau lebih hebat dari Sin Liong, pangeran! Hayo, kita melakukan upacara pengangkatan guru dan engkau menjadi suteku pula, jangan banyak membuang waktu!”

Bukan main girangnya hati Han Houw. Dia telah berhasil! Maka dengan taat dia lalu mengikuti kakek itu memasuki sebuah guha besar yang gelap. Guha ini berbeda dengan guha dimana dahulu kakek itu membawa Sin Liong masuk. Memang, dia selalu memindah-mindahkan kitab-kitab pusaka yang disembunyikannya,

“Berlututlah, sute, dan ikuti kata-kataku.”

Han Houw berlutut di samping kakek itu, menghadap ke dalam guha. Dia mencoba untuk menembus kegelapan itu dengan matanya, namun dia tidak melihat apa-apa, hanya melihat dinding batu yang gelap. Namun, tiba-tiba dia merasa bulu tengkuknya meremang dan dia merasa seram, seolah-olah ada hawa aneh berada di dalam guha itu, dan cepat-cepat diapun mengikuti kakak seperguruan yang aneh ini memberi hormat dengan berlutut delapan kali dan menirukan kata-kata sumpah yang diucapkan oleh Ouwyang Bu Sek.

“Teecu (murid) bersumpah untuk mempelajari ilmu-ilmu dari kitab-kitab pusaka suhu Bu Beng Hud-couw dengan tekun dan mempergunakan ilmu-ilmu itu untuk menjunjung tinggi nama suhu, dan tidak akan menurunkan kepada siapapun tanpa ijin dari suhu.”

Demikianlah Han Houw mengucapkan sumpah tanpa dia mengerti isinya. Apa artinya “menjunjung tinggi nama suhu” itu? Dan kalau dia tidak akan pernah bertemu dengan Bu Beng Hud-couw, bagaimana mungkin dia bisa memperoleh ijin suhu itu kalau hendak menurunkan ilmu-ilmu itu kepada orang lain? Akan tetapi dia tidak perduli akan ini semua karena hatinya berdebar girang karena usahanya sudah hampir berhasil.

Kakek itu lalu mengeluarkan sebuah peti hitam setelah dia melumuri tangan, muka dan leher juga kakinya, pendeknya semua bagian tubuh yang nampak, juga tubub Han Houw yang tidak tertutup pakaian, dengan bubuk putih,

“Racun yang dioleskan pada peti ini dapat membunuh seketika kalau tersentuh tangan yang tidak memakai obat penawar ini, pangeran,” kata kakek itu dan Han Houw bergidik ngeri.

Diam-diam dia memperhatikan bahwa biarpun dia telah bersumpah menjadi murid Bu Beng Hud-couw, berarti dia telah menjadi sute dari kakek ini, Ouwyang Bu Sek masih tetap menyebutnya “pangeran”, hal ini berarti bahwa kakek ini tetap menghargainya dan tentu mempunyai pamrih dalam cara sebutan yang menjilat itu!

Ouwyang Bu Sek membuka tutup peti dan muncullah seekor ular merah. Han Houw mengenal jenis ular yang amat berbisa. Ular macam ini jarang ada, dan di daerah utara memang kadang-kadang muncul ular seperti ini, namun kemunculannya tentu selalu menggemparkan karena banyaklah manusia atau binatang lain yang jauh lebih besar, mati berserakan di mana ular itu muncul!

“Kim-coa-ko, tenanglah, aku hendak mengambil tiga kitab terakhir itu.” kata Ouwyang Bu Sek dan ular itu setelah “berdiri” dan menggerak-gerakkan kepalanya, lalu melingkar lagi seperti tidur.

Ouwyang Bu Sek mengambil tiga buah kitab kuno yang lapuk dari dalam peti, kemudian dia menutupkan kembali petinya. Peti itu telah diberinya lubang kecil di belakangnya sehingga ular itu sewaktu-waktu dapat keluar kalau lapar, untuk mencari makanan. Akan tetapi, biarpun peti itu sudah kosong, dia tidak mau membuangnya, membiarkan peti itu disitu agar kelak kalau ada orang yang hendak mencuri kitab, hanya akan menemukan peti kosong yang mengandung racun, ditambah lagi penjaganya yang berbahaya itu!

Mereka lalu keluar membawa tiga buah kitab itu,
“Pangeran, tiga buah kitab inilah yang masih belum selesai kuterjemahkan. Kalau engkau mampu membantuku, kemudian kau latih isinya, hemm, engkau tentu akan mendapatkan ilmu aneh yang tidak kalah oleh Hok-mo Cap-sha-ciang yang dikuasai oleh sute Sin Liong.”

Han Houw menyembunyikan kegirangan hatinya.
“Akan kucoba, suheng. Akan tetapi, apakah hanyalah ini sisa kitab dari suhu? Bukankah peti itu besar sekali dan baru sebuah kitab saja yang diambil untuk Liong-te?”

“Bukan hanya sebuah, melainkan sute Sin Liong juga mempelajari sampai tiga buah kitab. Sedangkan kitab-kitab lain... ah, yang tiga ini saja sudah cukup, pangeran. Terlalu banyak, kita tidak akan mempunyai waktu, selain melatihnya, juga harus mentafsirkannya. Ini saja kalau sudah kau kuasai dengan baik, agaknya akan sukar engkau mencari orang yang akan mampu menandingimu.”

“Akan tetapi, tentu masih ada kitab-kitab lain itu, bukan suheng? Kita adalah saudara seperguruan, tentu suheng percaya kepadaku, bukan?”

“Tentu saja! Ada kitab-kitab itu, kusimpan baik-baik agar jangan sampai diambil oleh orang yang tidak berhak. Jangan khawatir, kalau memang kelak engkau masih ada waktu, engkau dapat saja menambah ilmumu dari kitab-kitab yang lain itu, pangeran.”

Han Houw tidak berani mendesak lagi, takut kalau-kalau kakek itu curiga dan menjadi tidak suka kepadanya. Dia membuka-buka lembaran kitab-kitab itu dan mulai hari itu, bersama Ouwyang Bu Sek, Han Houw mulai membantu subengnya itu menyelesalkan penterjemahan.

Dan memang Han Houw tidak membobong atau membual ketika dia mengatakan bahwa dia sanggup membantu tadi. Bahasa yang dipergunakan dalam kitab itu adalah bahasa kuno, dan bahasa suku pedalaman di utara masih dekat dengan bahasa ini sehingga Han Houw yang sejak kecil banyak mempelajari bahasa-bahasa di utara, benar saja dapat membantu banyak sehingga menggirangkan hati Ouwyang Bu Sek.

Mulailah Pangeran Ceng Han Houw mempelajari ilmu-ilmu silat aneh-aneh dari tiga buah kitab itu di bawah bimbingan Ouwyang Bu Sek. Pangeran ini amat tekun. Memang dia keras hati dan besar keinginannya untuk menjadi jagoan nomor satu di dunia, di samping memang dia berbakat baik sehingga makin sukalah Ouwyang Bu Sek kepada pangeran ini.

Hampir tidak ada waktu terluang begitu saja oleh Han Houw, selalu diisinya dengan berlatih silat menurut kitab itu atau berlatih sin-kang menurut petunjuk kitab pula. Secara kebetulan sekali, di dalam kitab itu terdapat pelajaran semacam yoga dari India yang mengharuskan dia berjungkir balik seperti yang dilakukannya pada hari pertama ketika diuji oleh Ouwyang Bu Sek, maka kini sering kali pemuda bangsawan ini berdiri dengan kaki di atas kepala di bawah, kadang-kadang dia sanggup berlatih seperti ini sampai tiga hari tiga malam! Kemajuan yang diperolehnya pesat sekali.

**** 163 ****
Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: