***

***

Ads

Selasa, 28 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 164

Harap-harap cemas memenuhi hati Lie Seng ketika pemuda itu memasuki hutan itu. Sudah diperhitungkannya benar-benar, bahkan semenjak hari itu setahun yang lalu, dia boleh dibilang setiap saat menghitung hari. Dia tidak akan salah hitung. Hari itu adalah genap setahun dari janjinya dengan Sun Eng untuk saling berjumpa di hutan itu! Tidak akan keliru hitungannya, akan tetapi bagaimana kalau wanita itu lupa akan hari itu, keliru hitung, atau lebih celaka lagi kalau... telah lupa kepadanya? Ah, tidak mungkin!

Dia yakin akan cinta kasih dalam hati Sun Eng terhadap dirinya. Dan dia lebih yakin lagi akan cinta kasih dalam hatinya terhadap gadis itu. Dia sadar bahwa Sun Eng bukanlah seorang gadis lagi, melainkan seorang wanita yang sudah banyak melakukan penyeleweng dalam hidupnya sehingga sudah mengalami banyak penderitaan batin.

Kenyataan ini bukan membuat muak atau membenci, sebaliknya malah, makin diingat akan semua penderitaan yang dialami gadis itu, makin besar rasa belas kasih dalam hatinya terhadap Sun Eng, dan belas kasih ini agaknya memperdalam cintanya. Dia harus melindungi Sun Eng, harus menuntunnya dan menunjukkan bahwa hidup bukanlah seburuk yang pernah dialaminya, bahwa tidak semua pria yang mendekatinya hanya mengaku cinta semata-mata untuk menikmati tubuhnya belaka!

Pagi hari itu cerah, bahkan sinar matahari pagi yang berkilauan berhasil menerobos masuk ke dalam hutan, melalui celah-celah daun pohon. Pagi yang cerah, secerah hati yang penuh harapan itu, penuh keyakinan dan penuh cinta!

Dengan langkah ringan Lie Seng menuju ke tempat dimana setahun yang lalu dia bertemu dan mencurahkan kasih sayang dengan Sun Eng, kemudian membuat janji untuk saling bertemu pula di situ setahun kemudian. Ini adalah kehendak Sun Eng, gadis yang merasa rendah diri itu, yang masih juga belum percaya betul bahwa orang seperti Lie Seng dapat mencinta gadis yang pernah menyeleweng seperti Sun Eng!

Ah, kerendahan hati ini amat mengharukan hati Lie Seng. Itu saja sudah merupakan tanda betapa Sun Eng telah menyesali semua perbuatannya dan orang yang telah menyesali semua perbuatannya jauh lebih baik daripada orang yang selalu membanggakan perbuatannya sebagai orang yang bersih! Sun Eng minta waktu setahun untuk menguji perasaan kasih sayang di antara mereka, pertama karena merasa rendah diri, ke dua mungkin untuk menguji Lie Seng setelah berulang kali dia dikecewakan oleh kaum pria.

Akan tetapi kecerahan pagi itu tetap saja tidak dapat mengusir bayang-bayang hitam gelap yang diciptakan oleh pohon-pohon yang rindang daunnya. Bayang-bayang panjang yang rebah ke barat. Bayangan-bayangan gelap berupa kecemasan juga mengganggu kegembiraan hati Lie Seng. Dia cemas dan gelisah membayangkan bagaimana kalau Sun Eng sampai tidak datang! Kemana dia harus mencari gadis itu? Dia cemas sekali membayangkan ini dan kakinya yang melangkah terasa amat berat.

Akhirnya tibalah dia di depan pohon. Dia tidak pernah melupakan pohon itu dan huruf-huruf yang setahun lalu diukirnya pada batang pohon itu masih ada! Akan tetapi, Sun Eng tidak ada! Dia memandang ke sekeliling, lalu duduk di atas akar pohon itu. Mungkin dia datang terlalu pagi! Dan hatinya mulai cemas.

Mengapa dia begitu bodoh ketika dulu mereka saling janji? Mengapa yang dijanjikan hanya harinya saja, dan jamnya tidak dijanjikan? Bagaimana kalau Sun Eng baru akan datang pada sore hari nanti? Tidak apa! Dia akan menanti, biar sampai sore, sampai malam sekalipun! Dia sudah bertahan menanti selama setahun, dan apa artinya ditambah sehari atau dua hari?






Lie Seng duduk termenung di bawah pohon itu. Dia merenungi perjalanan hidupnya, terutama sekali tentang cintanya dengan Sun Eng. Usianya kini sudah dua puluh tujuh tahun, sudah cukup dewasa. Namun, selama ini belum pernah dia jatuh cinta kepada seorang wanita. Hatinya selalu merasa dingin terhadap wanita, dan dia seolah-olah merasa ngeri kalau memikirkan pernikahan.

Mungkin karena dia melihat begitu banyak kepahitan terjadi dalam kehidupan rumah tangga, banyak peristiwa menyedihkan yang terjadi akibat cinta dan pernikahan. Dia melihat atau mendengar tentang kehidupan paman Yap Kun Liong, tentang kehidupan ibunya sendiri yang kini menjadi isteri paman Yap Kun Liong, melihat akibat cinta kasih dari pamannya yang lain, adik kandung ibunya, yaitu Cia Bun Houw.

Banyak sudah dia mendengar tentang kegagalan cinta dan rumah tangga dan mungkin hal-hal inilah yang mendatangkan kesan mendalam sehingga dia merasa ngeri untuk jatuh cinta dan menikah. Akan tetapi sungguh luar biasa, begitu dia bertemu dengan Sun Eng seketika dia jatuh cinta! Bahkan setelah mendengar penuturan gadis itu tentang riwayat Sun Eng yang tidak harum, cintanya bahkan makin mendalam!

Bagi orang yang sedang menantikan sesuatu, waktu berjalan melebihi lambatnya seekor siput merayap. Terlalu lama waktu merayap, seakan-akan tidak pernah maju! Memang demikianlah anehnya waktu. Kalau dilupakan, dia meluncur seperti pesatnya anak panah dilepas dari busur, sebaliknya kalau diperhatikan, dia merayap amat lambat!

Tentu saja bukan sang waktu yang bertingkah seperti ini, melainkan pikiran! Pikiran selalu menginginkan hal-hal yang lain daripada apa yang ada, sehingga apa yang ada itu selalu nampak tidak menyenangkan, selalu berlawanan dengan apa yang dikehendaki agar waktu segera berlalu dan dia dapat bertemu dengan yang dinantikannya itu secepat mungkin, dan tentu saja, kenyataan yang ada amat berlawanan dengan keinginannya sehingga terasa amat menyiksa. Konflik batin memang selalu menyiksa diri!

Lie Seng merasa amat tersiksa. Sampai siang dia menanti, waktu merayap terus dan yang dinanti-nantinya belum juga muncul! Dia sampai lupa akan waktu, tidak sadar bahwa hari telah siang, hanya dia merasakan betapa lamanya sudah dia menanti. Serasa sudah bertahun-tahun!

Waktu dari pagi sampai siang itu dirasakannya malah lebih menyiksa, lebih lama daripada waktu setahun yang telah lalu! Namun, dia masih terus menanti di bawah pohon itu. Bayang-bayang pohon yang tadinya panjang rebah ke barat itu kini menjadi semakin pendek, sampai kemudian hanya berada di bawah pohon, tanda bahwa matahari telah berada di atas benar. Perlahan-lahan, bayangan pohon itu menggeser ke timur dan mataharipun mulai turun ke barat. Sebentar lagi, senjapun tibalah!

Lie Seng tak sabar lagi. Jangan-jangan Sun Eng lupa, atau salah hitung! Mungkin baru besok dia datang! Jangan-jangan... tiba-tiba Lie Seng menjadi pucat dan cepat dia menggoyang kepalanya membantahnya sendiri. Tidak, tidak ada apa-apa yang buruk terjadi atas diri wanita yang dikasihinya itu. Atau mungkin sengaja tidak mau datang?

Bermacam bayangan pikiran inilah yang menyiksa batin Lie Seng, membuatnya semakin gelisah dan akhirnya dia tidak kuat bertahan lagi. Dia bangkit berdiri, dan mulailah dia berjalan-jalan, mula-mula hanya di bawah pohon, mengelingi batang pohon, kemudian makin menjauh seolah-olah dia hendak mencari Sun Eng diantara semak-semak dan pohon-pohon.

Tiba-tiba dia mendengar suara isak tangis di sebelah kiri. Cepat Lie Seng meloncat ke arah suara itu dan bukan main kagetnya ketika dia melihat seorang wanita duduk di atas rumput di balik semak-semak sambil menangis, menutupi muka dengan kedua tangannya, terisak-isak.

“Eng-moi...!” Dia meloncat, menubruk dan merangkul. Akan tetapi Sun Eng terus menangis, bahkan kini mengguguk dalam rangkulan pemuda itu. “Eng-moi, ada apakah? Apa yang terjadi? Kenapa kau disini dan bersembunyi, dan menangis?”

Akan tetapi Sun Eng tak mampu menjawab, tangisnya mengguguk membuatnya tidak mungkin bicara, hanya kedua lengannya balas merangkul leher pemuda itu dan dia menyusupkan muka di dada yang bidang itu. Lie Seng mengelus rambut itu, membiarkan Sun Eng menangis karena diapun maklum bahwa dalam keadaan seperti itu tak mungkin bagi gadis itu untuk bicara. Akhirnya Sun Eng mulai dapat menguasai hatinya, tangisnya mereda.

Lie Seng mengangkat muka yang basah itu, lalu menggunakan saputangan mengusap air mata yang membasahi pipi, kemudian dia mencium dahi yang halus putih itu dengan sepenuh hatinya. Hati yang lega seperti bunga kering tertimpa tetesan embun setelah dia bertemu dengan orang yang dinanti-nantinya sejak pagi tadi dengan gelisah.

“Nah, sekarang hentikanlah tangismu dan ceritakan mengapa engkau bersembunyi di sini dan mengapa engkau menangis?”

“Aku... aku tidak berani keluar...” jawabnya di sela isak.

“Eh, kenapa? Sejak kapan engkau berada di sini, Eng-moi?”

“Sejak kemarin pagi!”

“Hhh?” Lie Seng terkejut sekali. “Akan tetapi... salahkah hitunganku? Setahun sejak dahulu itu adalah hari ini! Salahkah aku...?”

“Tidak, memang hari ini, koko. Akan tetapi aku... aku tidak dapat menahan lagi, aku ingin cepat-cepat kesini...”

“Lalu mengapa engkau bersembunyi disini? Apakah engkau tidak melihat aku datang pagi tadi di bawah pohon kita itu?”

Gadis itu mengangguk dan sesenggukan.
“Aku... aku melihatmu... aku takut untuk keluar, ah, kau ampunkan aku, koko...”

Lie Seng memandang dengan mata terbelalak dan mulut tersenyum.
“Betapa anehnya engkau ini, Sun Eng! Engkau datang lebih pagi sehari karena engkau ingin cepat-cepat kesini, bertemu dengan aku, kemudian setelah aku datang engkau malah sembunyi! Apa artinya ini?”

“Entah, koko, aku... selama setahun ini... setiap hari aku rindu kepadamu, ingin sekali aku cepat-cepat bertemu denganmu...”

“Eng-moi kekasihku..., percayalah bahwa akupun demikian...”

Lie Seng mendekap kepala gadis itu penuh kasih sayang. Sejenak mereka berdekapan tanpa mengeluarkan kata-kata, demikian ketat mereka saling dekap sampai keduanya dapat saling merasakan denyut jantung masing-masing.

“Akan tetapi... begitu melihatmu... ah, aku takut, koko. Engkau demikian mencintaku, engkau memenuhi janji, engkau datang dan melihat betapa engkau menanti disana dengan wajah berseri, wajah yang kurindukan selama ini... aku makin merasa betapa aku terlalu rendah untukmu, koko, bahwa engkau tidak patut menjadi...”

Sun Eng tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena mulutnya sudah ditutup oleh bibir Lie Seng yang menciumnya dan mata pemuda ini menjadi basah. Sun Eng meronta lembut, akan tetapi kemudian dia merangkulkan kedua lengan ke leher pemuda itu dan membalas ciuman itu dengan penuh penyerahan dan kasih sayang, juga dengan air mata bercucuran!

Akhirnya mereka memisahkan muka mereka, saling pandang melalui air mata, dan Lie Seng mendekap lagi, berbisik di dekat telinga gadis itu.

“Eng-moi, jangan kau ulangi lagi ucapan seperti itu. Aku cinta padamu, engkau adalah seorang wanita yang paling mulia di dunia ini untukku! Jangan kau selalu merendahkan diri, kita lupakan saja segala hal yang telah lalu, maukah engkau?”

Sun Eng mengangguk, mengangguk berkali-kali di atas pundak pemuda yang mendekapnya itu, air matanya bercucuran membasahi pundak Lie Seng. Hampir dia tidak percaya bahwa hidupnya menjadi begini bahagia, bahwa ada pria yang dapat mencintanya seperti ini! Hampir dia tidak percaya bahwa semua ini bukan mimpi belaka!

“Koko...”

“Ya...?”

“Aku bersumpah...”

“Tak perlu bersumpah...”

“Aku bersumpah bahwa aku akan setia selama hidupku kepadamu, bahwa baru sekali ini aku jatuh cinta dalam arti yang sedalam-dalamnya kepada seorang pria, yaitu engkau, dan hidupku selanjutnya hanyalah untukmu, koko, untuk membahagiakanmu, mengawanimu, membantumu...”

“Cukup, moi-moi, aku percaya padamu, kita saling mencinta, mengapa engkau harus bersumpah seperti itu?”

“Karena aku berhutang budi kepadamu, koko.”

“Ah, menyelamatkanmu ketika engkau terluka merupakan kewajiban, tidak layak disebut budi...”

“Bukan itu, koko. Pertolongan seperti itu memang sudah wajar di antara orang-orang kang-ouw, apalagi seorang pendekar sepertimu. Akan tetapi maksudku budi yang lebih mulia lagi, yaitu bahwa... engkau telah sudi mencintaku, koko...”

“Hushh...! Aku cinta padamu dan engkau cinta padaku, mana ada hutang budi segala? Kalau engkau hutang budi, akupun hutang budi kepadamu. Nah, kita saling hutang, sudah lunas, bukan?”

“Tidak, belum lunas, sampai matipun belum lunas, kita harus saling membayar selama kita hidup.”

“Kau benar...”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: