***

***

Ads

Selasa, 28 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 165

Mereka kembali saling pandang dan sekali ini, atas kehendak berdua karena dorongan hati yang penuh gelora asmara, muka mereka saling mendekat sampai bibir mereka saling bertemu dalam kecup cium yang mesra dan dengan sepenuh perasaan kasih mereka.

Dunia seakan-akan berhenti berputar dan mereka berdua seperti tenggelam dalam lautan madu asmara, mabuk dan lupa segala, seolah-olah di dunia ini hanya ada mereka berdua dan cinta kasih mereka. Akhirnya, karena senja mulai gelap, Lie Seng menarik kekasihnya bangkit berdiri, menggandeng tangannya dan berkata,

“Mari, Eng-moi, mari kita sahkan ikatan jodoh kita.”

“Mau... mau kau bawa kemana aku ini...?”

Sun Eng bertanya khawatir, namun hatinya ikhlas mau diajak ke manapun oleh kekasihnya.

“Kepada keluargaku! Akan kuperkenalkan engkau kepada mereka sebagai calon isteriku agar kita memperoleh doa restu mereka.”

Tiba-tiba wajah gadis itu menjadi pucat sekali.
“Tapi... suhu dan subo...”

Lie Seng mencium kening di antara kedua mata yang menakutkan itu.
“Eng-moi, setelah engkau menjadi calon jodohku, setelah aku mencintamu dengan sepenuh jiwaku, apalagi yang engkau khawatirkan? Katakanlah bahwa engkau pernah bersalah dalam pandangan paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong, akan tetapi semua itu adalah hal yang telah lalu, dan sekarang setelah kita saling mencinta dan telah mengambil keputusan untuk menjadi suami isteri, tidak ada seorangpun di dunia ini yang boleh mencelamu! Siapa yang mencelamu akan berhadapan dengan aku, Eng-moi, karena engkau dan aku tidak akan terpisahkan lagi selama masih hidup!”

“Ah, koko...” Sun Eng merangkul dan sesenggukan, merasa terharu sekali akan tetapi juga bahagia.

Mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka keluar dari hutan yang mulai gelap itu. Dalam perjalanan, Sun Eng menyatakan kekhawatirannya karena ibu dari kekasihnya itu termasuk seorang diantara mereka dianggap pemberontak buronan oleh pemerintah.

“Kemana kita harus mencari ibumu?”

“Ibu dan ayah tiriku, juga paman Cia Bun Houw dan isterinya, telah menyembunyikan diri di Bwee-hoa-san. Aku pernah pergi kesana, akan tetapi aku belum bicara tentang dirimu, karena kupikir belum tiba saatnya sebelum ada ketentuan antara kita seperti yang kita janjikan akan diandalkan dalam pertemuan kita hari ini. Akan tetapi, kurasa amat berbahaya kalau kita kesana. Tempat itu harus dirahasiakan, dan mengunjungi mereka disana amat berbahaya, apalagi kita berdua telah dikenal pula oleh fihak musuh.”

“Siapakah fihak musuh itu, koko? Dan kenapa suhu dan subo ditangkap dan dituduh pemberontak?”

“Hemm, ini adalah fitnah, merupakan siasat dari musuh keluarga kami, keluarga Cin-ling-pai. Sudah kuselidiki dan ternyata yang melakukan siasat ini adalah musuh-musuh lama dari keluarga Cin-ling-pai.”






“Siapakah mereka?”

“Hek-hiat Mo-li dari utara. Dia pernah sakit hati terhadap keluarga Cin-ling-pai, terutama kepada paman Cia Bun Houw dan bibi Yap In Hong, juga kepada mendiang Tio Sun yang telah dapat terbunuh. Pula, Hek-hiat Mo-li dibantu oleh muridnya yang lihai, bernama Kim Hong Liu-nio. Bahkan kematian kong-kong Cia Keng Hong juga setelah dia diserang oleh guru dan murid itu sehingga mengalami luka.”

“Ah, jahat benar mereka. Bagaimana kalau kita langsung mencari mereka dan membasmi guru dan murid itu? Aku akan membantumu dengan taruhan nyawaku, koko!” kata Sun Eng dengan sikap gagah.

Lie Seng tersenyum pahit,
“Aih, Eng-moi, gampang saja engkau bicara. Kepandaian Hek-hiat Mo-li dan Kim Hong Liu-nio itu amat tinggi, dan agaknya yang akan dapat menanggulangi mereka itu hanyalah orang-orang yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi sekali seperti paman Yap Kun Liong. Kalau hanya kita berdua, walaupun aku tidak takut, namun melawan mereka sama halnya dengan membunuh diri tanpa guna. Tidak, kita harus lebih dulu menyelesaikan urusan kita di depan keluargaku, dan mengingat bahwa pernah ada sesuatu yang kurang enak antara engkau dan paman Bun Houw serta bibi In Hong, maka sebaiknya kalau kita pergi menemui suciku dan minta dia yang menjadi penengah agar lebih mudah bagiku untuk menghadapi mereka tanpa ada kesalah pahaman antara keluarga.”

“Sucimu? Siapakah dia itu, koko?”

“Dia adalah suci Yap Mei Lan, puteri dari paman Yap Kun Liong. Dia telah menikah setahun yang lalu dengan Souw Kwi Beng dan kini tinggal di Yen-tai. Dia itu suciku, akan tetapi juga dapat disebut saudara tiri, karena ayah kandungnya, Yap Kun Liong, kini telah menjadi suami dari ibu kandungku. Nah, dengan perantaraan dia, maka agaknya akan lebih mudah menyelesaikan urusan kita di depan ibu. Yang penting bagiku adalah ibu kandungku. Kalau beliau sudah setuju dengan perjodohan antara kita, orang lain perduli apa? Kalau setuju syukur, kalau tidakpun tidak apa-apa!”

Bukan main besar dan lapang rasa hati Sun Eng mendengar ucapan kekasihnya ini dan dia menaruh kepercayaan penuh, menyerahkan jiwa raganya ke tangan pria yang amat dicintanya dan dikaguminya ini.

Mereka bermalam di dalam sebuah rumah penginapan kecil dalam dusun di depan, dan diam-diam Lie Seng makin kagum ketika melihat kekasihnya itu berkeras minta agar mereka menggunakan dua buah kamar. Biarpun dengan latar belakang riwayat seperti itu, ternyata kini Sun Eng benar-benar telah insyaf dan tidak mau menjadi budak nafsu berahi, pandai menjaga diri dan pandai pula memasang batas-batas di antara mereka, biarpun dia sudah pasrah dan rela kepada Lie Seng yang dicintanya.

“Percayalah, koko, aku berkeras melakukan ini demi engkau. Aku tidak ingin melihat engkau menjadi seorang pria yang merusak kepercayaan kita masing-masing. Pelanggaran yang terjadi karena tidak kuat menahan nafsu berahinya menunjukkan tipisnya cinta.”

Demikian katanya dan Lie Seng merasa terharu sekali, berjanji dalam hati bahwa dia tidak akan menjamah kekasihnya, sebelum mereka menikah dengan resmi!

Pada suatu hari mereka memasuki kota besar Cin-an di Propinsi Shan-tung. Mereka bermalam di kota ini, berbelanja dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka berangkat menuju ke timur, ke kota Yen-tai yang berada di tepi Lautan Po-hai. Akan tetapi, baru saja mereka keluar dari pintu gerbang kota Cin-an, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan ketika mereka menoleh, nampak pasukan besar menunggang kuda keluar dari pintu gerbang itu, dipimpin oleh seorang panglima tua yang gagah didampingi oleh seorang kakek tinggi besar dan seorang kakek pendek kecil yang juga masing-masing menunggang seekor kuda yang besar.

Lie Seng dan Sun Eng cepat minggir dan memalingkan muka. Mereka sudah dikenal, biarpun hanya sepintas lalu oleh pasukan yang dahulu menangkap dua pasang suami isteri pendekar, maka Lie Seng kini tidak ingin dikenal dan memalingkan muka. Akan tetapi, tiba-tiba pasukan itu berhenti di dekat mereka, bahkan panglima dan dua orang kakek itu sudah meloncat turun dari atas kuda dan menghampiri mereka!

Berdebar jantung Lie Seng. Dia memberi isyarat dengan kerling mata kepada Sun Eng agar kekasihnya itu bersiap-siap namun agar jangan membuka mulut dan membiarkan dia yang bicara kalau datang pertanyaan. Dan ketika dia akhirnya terpaksa membalikkan tubuhnya karena komandan pasukan dan dua orang kakek itu telah berdiri dekat, Lie Seng terkejut sekali, kekejutan yang ditekannya dan tidak diperlihatkan pada wajahnya.

Dia mengenal komandan itu, seorang komandan tua, seorang panglima pasukan pengawal kaisar, pasukan Kim-i-wi, yaitu pasukan pengawal baju sulam emas, dan komandan itu bernama Lee Cin, seorang komandan yang gagah perkasa dan lihai, juga dulu sering bekerja sama dengan keluarga Cin-ling-pai! Komandan itu kini sudah tua, sedikitnya tentu enam puluh lima tahun usianya, namun masih nampak gagah dan gerak-geriknya halus dan sabar.

Lie Seng pura-pura tidak mengenalnya dan dia hanya berdiri dengan hormat, seolah-olah tidak tahu atau tidak mengerti bahwa mereka itu berhenti untuk menemuinya! Akhirnya, setelah memandang dengan tajam beberapa saat lamanya, terdengar komandan itu berkata dengan suara halus,

“Harap ji-wi (anda berdua) suka menyerah saja untuk kami tangkap!”

Barulah Lie Seng tahu bahwa memang dia dan Sun Eng yang diincar, maka dia mengangkat muka, tidak pura-pura lagi walaupun dia tidak mau memperkenalkan diri.

“Apakah kesalahan kami berdua maka hendak ditangkap? Kami tidak merasa melakukan kejahatan apapun!”

Komadan Lee Cin tersenyum getir,
“Lie Seng taihiap, jangan mengira bahwa kamipun senang menerima tugas ini. Taihiap adalah cucu dari ketua Cin-ling-pai yang gagah perkasa, dan ibu kandung taihiap, Cia Giok Keng, merupakan seorang diantara para buronan. Semenjak taihiap berdua muncul di Cin-an, gerak-gerik ji-wi telah diawasi.”

“Tapi... tapi kami berdua tidak melakukan pelanggaran apa-apa!” bantah Lie Seng.

“Biarlah hal itu pengadilan kelak yang akan memutuskan. Kami hanya mentaati perintah dan amat tidak baik kalau taihiap menambah dosa keluarga dengan membangkang pula. Menyerahlah ji-wi!” bujuk Lee Cin yang benar-benar merasa canggung sekali bahwa dia kini harus mengejar-ngejar keluarga Cin-ling-pai, padahal semenjak dahulu keluarga itu amat berjasa kepada kerajaan dan sering kali dia bekerja sama menghadapi pemberontak dengan para pendekar Cin-ling-pai itu (baca cerita Dewi Maut).

“Baik, aku menyerah, akan tetapi nona ini tidak ada sangkut-pautnya, maka kuminta agar dia dibebaskan!”

“Koko, tidak...! Aku tidak mau kita saling berpisah!” teriak Sun Eng dengan mata terbelalak.

“Perintah yang diberikan kepada kami adalah menangkap kalian berdua tidak dapat ditawar-tawar lagi!”

Kata pula Lee Cin yang mulai hilang sabar karena sebetulnya dia amat tidak menyukai tugas ini, akan tetapi dia tadi telah bersikap terlalu manis terhadap orang-orang yang dianggap pemberontak ini, sehingga dia merasa tidak enak dan malu kepada dua orang kakek itu.

Dua orang kakek ini adalah dua orang tokoh dari selatan yang sengaja dikirim oleh Pangeran Ceng Han Houw untuk membantu kerajaan menangkap para pemberontak buronan. Mereka ini adalah orang-orang yang berilmu tinggi, dua orang “bengcu” atau pemimpin kaum kang-ouw di selatan yang bernama Hai-liong Phang Tek yang tinggi besar dan Kim-liong-ong Phang Sun yang kecil pendek.

Karena membawa surat pribadi dari Pangeran Ceng Han Houw, tentu saja dua orang kakek ini diterima dengan hormat oleh komandan di kota raja, dan kini dibantukan kepada Panglima Lee Cin yang diserahi tugas menangkap para pemberontak buronan membantu Kim Hong Liu-nio. Panglima ini selain merupakan kakak kandung dari mendiang Panglima Lee Siang yang tewas oleh para pemberontak, juga dianggap mengenal baik wajah-wajah para keluarga pemberontak, maka dianggap tepat untuk memimpin pasukan membantu Kim Hong Liu-nio, kini ditemani oleh dua orang kakek lihai itu.

Dan memang Lee Cin mengenal mereka semua bahkan Lie Seng yang jarang dijumpainya karena pemuda ini lama pergi menjadi murid Kok Beng Lama, dikenalnya, apalagi setelah dia mendengar bahwa adik kandungnya itu tewas di tangan seorang pemuda lihai yang diduganya tentu Lie Seng adanya.

Lie Seng merasa bimbang. Dia tidak takut ditangkap, akan tetapi dia mengkhawatirkan keselamatan Sun Eng! Tiba-tiba kakek pendek kecil yang tubuh bagian atasnya tertutup jubah perajurit lebar akan tetapi di balik baju yang tidak dikancingkan ini ternyata telanjang sama sekali, kakinya juga telanjang, terkekeh aneh dan kedua tangannya menyambar ke arah beberapa orang perajurit, tahu-tahu dia telah merampas empat batang tombak yang dilemparkannya ke depan.

“Cep-cep-cep-cep!”

Empat batang tombak itu meluncur seperti anak panah ke arah Lie Seng dan Sun Eng, akan tetapi ternyata tidak menyerang tubuh mereka, melainkan menancap sampai lenyap setenganya di empat penjuru, mengurung dua orang muda itu! Benar-benar demonstrasi yang mengejutkan, membayangkan kekuatan sin-kang yang hebat dan juga kepandaian tinggi karena empat batang tombak itu dilontarkan berbareng akan tetapi mengenai sasaran empat macam sekaligus!

Panglima Lee Cin berkata, suaranya berwibawa,
“Sebaiknya ji-wi menyerah saja. Kami tahu bahwa taihiap seorang yang lihai sekali, akan tetapi kami sudah siap-siap dan dua orang locianpwe inipun memiliki kepandaian tinggi. Daripada kami harus...”

“Eng-moi, larilah, biar kutahan mereka!” tiba-tiba Lie Seng berteriak dan dia sudah menerjang ke depan, menangkap dua orang perajurit dan melemparkan mereka ke arah dua orang kakek tinggi besar dan pendek kecil itu.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: