***

***

Ads

Selasa, 28 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 166

Dua orang kakek ini tidak mengelak, melainkan menggerakkan kaki menendang sehingga tubuh dua orang perajurit malang itu terlempar dan terbanting tanpa bangkit kembali!

“Mati hidup di sampingmu, koko!” teriak Sun Eng pula dan dengan sigapnya diapun menerjang ke depan merobohkan dua orang perajurit lain dengan pukulan dan tendangan kakinya.

Gegerlah para perajurit mengeroyok, akan tetapi Lee Cin berseru menyuruh mereka mundur.

“Biarkan ji-wi locianpwe menangkap mereka!” teriaknya dan ini merupakan permintaan pula kepada dua orang kakek itu untuk membantu.

Dengan lagak angkuh, Hai-liong-ong Phang Tek menghadapi Lie Seng, sedangkan Kim-liong-ong Phang Sun cengar-cengir menghadapi Sun Eng.

“Nona manis, mari kita main-main sejenak!”

Sun Eng marah sekali. Dia tidak mengenal si kecil pendek ini, dan melihat bahwa tubuh kakek ini seperti tubuh kanak-kanak saja, dia agak memandang rendah. Tubuhnya menerjang ke depan dan tubuh itu menjadi bayangan merah karena pakaiannya yang berwarna merah, didahului oleh sinar pedangnya ke leher, seolah-olah dengan satu sabetan saja dia hendak membuntungi leher kecil dari Kim-liong-ong Phang Sun!

“Cringgg!”

Sun Eng terkejut dan meloncat mundur, pedangnya telah terlepas ketika bertemu dengan gelang di lengan kiri kakek itu!

“Awas, Eng-moi!”

Lie Seng yang belum bergebrak dengan lawan, kini meloncat ke kiri dan dia masih sempat menangkis pukulan tangan kakek pendek yang menampar ke arah kepala Sun Eng.

“Dukk!”

Akibat benturan kedua lengan ini, Lie Seng terhuyung akan tetapi Kim-liong-ong juga terpental ke belakang!

“Eh, kau boleh juga...!” Kakek kecil pendek ini berseru.

“Serahkan dia padaku, Sun-te, kau tangkap saja nona itu!”

Setelah berkata demikian, Hai-liong-ong Phang Tek sudah melompat ke depan dan menyerang Lie Seng dengan tongkatnya yang diputar secara hebat. Memang tenaga kakek ini besar sekali maka tongkat yang diputar itu mengeluarkan suara angin mengerikan dan nampak gulungan sinar tongkat seperti seekor naga bermain-main.






Melihat itu, Lie Seng terkejut bukan main. Maklumlah dia bahwa dia menghadapi lawan tangguh, akan tetapi yang dikhawatirkannya Sun Eng yang terpaksa harus menghadapi kakek kecil pendek yang lihai itu dengan tangan kosong.

Tanpa dia menggerakkan kedua tangan untuk menangkis serangan-serangan tongkat lawan, menggunakan tenaga Thian-te Sin-ciang, akan tetapi dia terus melirik ke arah kekasihnya yang benar saja, telah dipermainkan oleh Kim-liong-ong Phang Sun. Kakek kecil pendek ini sengaja tidak mau cepat merobohkan gadis itu, akan tetapi menghujankan serangan-serangan berbahaya yang mengerikan menusuk mata, mencengkeram buah dada, menotok jalan darah maut dan lain-lain serangan mengerikan yang selalu ditahannya dan tidak dilanjutkan setelah mendekati sasaran!

Repotlah Sun Eng harus mempertahankan diri dan akhirnya dengan langkah-langkah Thai-kek-sin-kun yang lihai barulah dia dapat selalu mengelak dan mempertahankan diri walaupun sama sekali tidak sempat lagi membalas karena memang tingkat kepandaiannya jauh di bawah kalau dibandingkan dengan orang ke dua dari Lam-hai Sam-lo ini.

Selagi dua orang muda ini terdesak dan terhimpit, tiba-tiba terdengar teriakan tinggi melengking dan nampak berkelebat bayangan orang didahului segulung sinar putih diputar cepat!

“Tahan! Atas nama Pangerang Ceng Han Houw, mundurlah kalian!”

Hai-liong-ong Phang Tek dan Kim-liong-ong Phang Sun menoleh dan terkejutlah mereka ketika mengenal nona muda yang pernah membantu dua orang ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang tempo hari!

“Eh, kau mau apa? Mengantar nyawa?”

“Hemm, nyawa kalian yang berada di tanganku!” bentak Lie Ciauw Si, dara itu.

“Si-moi...!”

Lie Seng berseru kaget dan girang melihat adiknya, akan tetapi Ciauw Si menghampiri Panglima Lee Cin.

“Ciangkun, apakah engkau komandan pasukan ini?”

“Benar, nona. Siapakah nona, dan... eh, bukankah nona ini nona Lie Ciauw Si cucu ketua Cin-ling-pai...?” Kini dia mengenalnya dan merasa heran.

“Benar, dan demi nama Pangeran Ceng Han Houw, kuperintahkan engkau membawa pasukanmu dan dua orang tua bangka ini mundur, dan jangan mengganggu kepada kakakku! Lihat, siapakah berani menentang aku yang telah memperoleh kekuasaan dari Pangeran Ceng Han Houw?”

Sambil berkata demikian, Ciauw Si memindahkan pedang Pek-kang-kiam ke tangan kirinya, lalu dia mengangkat tangan kanan, memperlihatkan cincin yang melingkari jari tengah tangan kanannya. Cincin bermata biru itu adalah cincin tanda kekuasaan Pangeran Ceng Han Houw yang diperolehnya dari kaisar sendiri dan semua pejabat tinggi tentu saja mengenal cincin ini! Maka Lee Cin lalu memberi hormat sambil menjura.

“Maafkan kami, kami mentaati perintah,” katanya lalu dia memberi aba-aba kepada para perajurit untuk mundur.

Semua perajurit, biarpun terheran-heran, tentu saja tidak berani membangkang dan mereka itu terpaksa mundur, dan terus menjauhkan diri dari tempat itu sesuai dengan perintah yang dikeluarkan oleh Panglima Lee Cin.

Dua orang bengcu selatan yang dipilih oleh Ceng Han Houw itu, ialah Phang Tek dan Phang Sun, terpaksa ikut pula mengundurkan diri, akan tetapi setelah pasukan bergerak meninggalkan tempat itu, Hai-liong-ong Phang Tek yang merasa amat penasaran berkata,

“Tapi... tapi, ciangkun...! Kita sudah hampir dapat menguasai dan menangkap mereka...!”

Tanpa menghentikan langkahnya memimpin para pasukan yang meninggalkan tempat itu, Lee Cin berkata,

“Apakah locianpwe berani membantah dan membangkang terhadap kekuasaan Pangeran Ceng Han Houw?”

“Tapi... tapi gadis itu...”

“Locianpwe, cincin yang diperlihatkan oleh nona itu adalah cincin kekuasaan beliau!”

Mendengar ucapan ini, dua orang kakek itu bungkam dan diam-diam terkejut dan heran. Bukankah menurut Panglima Lee Cin ini, dara itu adalah cucu ketua Cin-ling-pai? Keluarga Cin-ling-pai dianggap pemberontak dan buronan yang dikejar-kejar, bahkan mereka berdua itu dipanggil ke kota raja untuk membantu Kim Hong Liu-nio menangkap para pemberontak dan buronan ini, maka dengan sendirinya seorang cucu ketua Cin-ling-pai tentu menjadi buronan pula.

Akan tetapi mengapa nona itu tadi malah memiliki cincin tanda kekuasaan dari Ceng Han Houw? Mereka bingung akan tetapi menghadapi cincin kekuasaan pangeran yang mereka takuti itu, tentu saja mereka tidak berani membantah lagi, apa pula melihat sikap Panglima Lee yang begitu takut menghadapi cincin tadi.

Sementara itu, setelah para pasukan itu mundur, barulah Ciauw Si yang berdiri tegak dengan gagah memandang kakaknya sambil tersenyum dan mengembangkan kedua lengannya.

“Koko...!”

Pemuda dan pemudi itu berlari saling menghampiri lalu saling berangkulan. Suasana menjadi amat mengharukan ketika kakak beradik ini berangkulan ketat tanpa mengeluarkan sepatahpun kata, dan dara yang gagah perkasa itu tidak dapat menahan air matanya yang mengalir turun.

“Seng-ko... betapa rinduku kepadamu...!”

“Ah, Ciauw Si, engkau adikku yang nakal...!”

Mereka melepaskan rangkulan, saling pandang dan keduanya tersenyum lebar walaupun wajah Ciauw Si masih basah air mata dan dua titik air mata juga membasahi bulu mata pemuda perkasa itu.

“Engkau... sungguh cantik dan gagah, adikku!”

“Dan engkaupun tampan dan gagah koko. Engkau tadi mengamuk seperti seekor naga sakti!”

“Ha-ha, kalau engkau tidak keburu datang aku sudah menjadi naga tanpa nyawa!”

“Koko, siapakah enci yang manis itu?”

Wajah Lie Seng berubah merah, akan tetapi karena merasa sudah cukup dewasa, dia tidak mau menyembunyikan lagi persoalannya dengan Sun Eng. Dia menggapai Sun Eng dan gadis ini melangkah maju mendekat, saling berpandangan dengan Ciauw Si.

“Eng-mol, ini adalah adik kandungku, seperti pernah kuceritakan kepadamu. Adikku, dia ini bernama Sun Eng, dia adalah... ehh... calon sosomu (kakak iparmu)!”

“Aihhh...!” Ciauw Si berseru girang dan dia cepat memberi hormat yang dibalas oleh Sun Eng dengan muka merah, kemudian Ciauw Si memegang lengan calon kakak iparnya itu. “Engkau sungguh cantik, so-so...!”

“Ihh, Si-moi, belum waktunya engkau menyebut so-so. Kami belum menikah!” kata Sun Eng tertawa.

“Maaf, Eng-cici, aku hanya bergurau. Akan tetapi aku ingin segera memanggilmu so-so. Seng-koko, engkau sekarang telah menjadi seorang pendekar perkasa setelah engkau belajar kepada locianpwe Kok Beng Lama! Hayo ceritakan semua pengalamanmu semenjak engkau meninggalkan kami, koko!”

Mereka bertiga lalu duduk di atas rumput dan berceritalah Lie Seng tentang semua pengalamannya semenjak dia meninggalkan rumah untuk ikut belajar kepada Kok Beng Lama sampai dia kembali, sampai dia bertemu dengan Sun Eng dan sampai perjumpaan mereka pada saat itu. Semua dia ceritakan secara singkat, akan tetapi tentu saja dia tidak pernah menyinggung tentang riwayat atau asal-usul Sun Eng, bahkan dia tidak menceritakan kepada adiknya bahwa calon isterinya itu adalah murid dari paman mereka Cia Bun How.

“Sekarang engkau harus ceritakan semua pengalamanmu, adikku yang nakal. Aku hanya bisa ikut merasa gelisah ketika tidak melihatmu di Cin-ling-san dan hanya mendengar bahwa engkau minggat dari Cin-ling-san! Kemana saja engkau pergi?”

CIAUW SI menarik napas panjang. Dia sudah merasa menyesal sekali ketika mendengar penuturan ibu kandungnya yang telah diselamatkannya dari kepungan pasukan kerajaan, mendengar bahwa kong-kongnya telah tewas dan bahwa ibunya, ayah tirinya, dan pamannya serta isteri pamannya telah menjadi orang-orang buronan, dianggap pemberontak oleh kerajaan. Dengan singkat diapun menceritakan semua pengalamannya, dan Lie Seng merasa girang sekali mendengar bahwa adiknya ini telah menyelamatkan ibu kandungnya dan isteri pamannya yang sedang mengandung.

“Dan kemana sekarang perginya ibu dan bibi In Hong?” tanyanya. “Apakah mereka bersembunyi di rumah suci di Yen-tai?”

Ciauw Si menggeleng kepalanya.
“Memang tadinya ibu dan bibi Hong hermaksud untuk pergi mengungsi kesana, akan tetapi kemudian kami berpendapat bahwa hal itu akan amat membabayakan keselamatan keluarga enci Mei Lan sendiri. Tentu para penyelidik akan mudah diketahui orang. Maka, untuk sementara ini kutitipkan ibu dan bibi Hong ke tempat tinggal seorang sahabat baikku di Yen-ping.”

“Di Yen-ping? Siapakah dia?”

“Ketua Sin-ciang Tiat-thouw-pang. Kebetulan aku pernah menyelamatkan dia dan kurasa tempat itu aman bagi ibu untuk menjadi tempat tinggal atau tempat bersembunyi sementara, sambil menanti bibi Hong melahirkan.”

“Dan bagaimana dengan... paman Kun Liong dan paman Bun Houw?”

Sampai sekarang sukarlah bagi Lie Seng untuk menyebut ayah kepada Kun Liong yang telah menjadi ayah tirinya, maka dia masih menyebutnya paman.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: