***

***

Ads

Selasa, 28 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 168

“Ibu, sebetulnya tidak ada apa-apa yang aneh. Anakmu ini sudah berusia dua puluh enam tahun lebih, dan sekarang aku datang memperkenalkan calon isteriku kepada ibu. Ibu, aku dan Sun Eng sudah saling mencinta dan kami berdua telah saling mengikat janji untuk menjadi suami isteri.”

Menurut pandangan Giok Keng, wanita muda yang menjadi pilihan puteranya itu sudah tepat memang, cantik manis dan memiliki sifat gagah, akan tetapi tentu saja dia terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa wanita itu adalah murid adiknya, murid yang murtad, bahkan pernah melakukan penyelewengan hebat seperti yang pernah didengarnya dari cerita adiknya ketika mereka berempat berada di dalam kamar tahanan dan ketika gadis itu berusaha untuk menolong mereka.

“Cici, Lie Seng sama sekali tidak boleh menikah dengan perempuan ini! Inilah murid kami yang murtad itu, yang tak tahu malu, yang hina dan kotor...”

“Murid durhaka!” In Hong membentak Sun Erg. “Berani engkau memikat hati keponakan kami? Apakah engkau tidak ingat akan semua perbuatanmu yang hina dan engkau berani merayu mendekatinya?”

Dengan muka pucat yang selalu menunduk, Sun Eng berkata lirih,
“Subo... teecu sudah... sudah menceritakan semua riwayat teecu kepada kakanda Lie Seng...”

“Heh?” Bun Houw berteriak dan memandang kepada Lie Seng dengan mata terbelalak. “Benarkah itu, Seng-ji? Engkau sudah tahu akan riwayatnya yang busuk?”

Lie Seng mengangguk gagah.
“Benar, paman. Aku sudah tahu dan aku tidak perduli! Aku cinta padanya, dan cintaku tidak membiarkan aku mengingat-ingat akan hal lalu! Kami saling mencinta dan apapun yang telah, sedang dan akan terjadi, kami tetap saling mencinta. Kami sudah mengambil keputusan untuk hidup bersama, untuk menjadi suami isteri!”

“Tidak! Tidak mungkin itu, Cici, engkau harus melarang dia untuk menikah dengan perempuan rendah ini!”

Cia Giok Keng menjadi semakin bingung, apalagi melihat sikap adiknya dan puteranya makin berkeras itu. Wajahnya menjadi pucat dan lesu, pandang matanya sayu.

“Houw-te, belum tentu keponakanmu telah mengetahui semua riwayat muridmu yang murtad, maka sebaiknya kau ceritakan kembali agar dia mendengar sendiri bagaimana perbuatan dari wanita yang dicintanya itu.”

Suara nyonya ini cemas agar puteranya dapat melepaskan wanita yang sama sekali tidak patut menjadi calon isterinya itu.

Sun Eng menangis. Lie Seng mendekatinya dan merangkulnya sambil berlutut pula.
“Tenangkan hatimu, Eng-moi, aku akan melindungimu...” bisiknya.






“Ahh... koko... aku tidak tega melihat engkau direndahkan... biarlah aku pergi saja... aku... aku memang tidak pantas menjadi... menjadi...” dia sesenggukan.

“Houw-te, lekas ceritakan agar urusan ini menjadi terang, biar Seng-ji mendengarnya sendiri!” kata Cia Giok Keng.

Bun Houw masih merasa tidak enak dan dia memandang kepada Lie Seng, lalu berkatalah dia kepada keponakannya itu,

“Seng-ji, engkau tentu tahu bukan sekali-kali kami ingin menghalangi kebahagiaanmu, akan tetapi kami malah melakukan ini demi kebahagiaanmu. Kami terpaksa membongkar rahasia perempuan ini untuk mencegah agar engkau tidak sampai terjebak dalam perangkapnya.”

“Paman Bun Houw, kebahagiaan seseorang mana mungkin bisa diatur oleh orang lain? Tentang riwayat Eng-moi yang lalu, aku tidak perduli dan kalau engkau mau menceritakan hal itu kepada siapapun juga, terserah, karena hal itu tidak akan merubah cintaku kepadanya.”

Lie Seng merangkul kekasihnya dengan erat, seolah-olah untuk memberi kekuatan kepada wanita itu untuk menghadapi penghinaan ini.

Kembali Bun Houw meragu. Betapapun juga dia merasa sayang kepada keponakannya dan dia merasa tidak enak untuk membongkar rahasia orang, apalagi orang itu adalah bekas muridnya yang dulu amat disayangnya. Dia pernah menceritakan tentang Sun Eng secara singkat kepada cicinya dan kepada Yap Kun Liong, dan sebagai seorang gagah, berat rasa hatinya untuk mengulang-ulang kebusukan orang lain.

Melihat keraguan adiknya, Giok Keng berkata,
“Houw-te, lekas ceritakanlah. Ini menyangkut perjodohan puteraku, maka segala sesuatunya harus jelas agar dia mengerti!”

Bun Houw menarik napas panjang, menelan ludah beberapa kali lalu berkata, suaranya lirih,

“Seng-ji, dengarlah baik-baik. Perempuan ini pernah menjadi muridku, dan dia... perempuan cabul ini... dia pernah memasuki kamarku untuk menggodaku... secara tak tahu malu! Bukan itu saja, dia bahkan bukan perawan lagi, dia telah menyerahkan diri kepada banyak orang, seperti pelacur saja...” Dia berhenti sebentar, “aku pernah menceritakan ini kepada ibumu...”

“Cukup!” Cia Giok Keng membentak “Nah, sudah dengarkah engkau, Lie Seng?”

Dia mengharapkan puteranya itu akan insyaf, akan tetapi betapa gelisahnya melihat puteranya itu nampaknya tidak kaget mendengar cerita Bun Houw itu!

“Aku sudah tahu, ibu, Eng-moi telah menceritakan segalanya kepadaku...”

“Dan engkau masih nekat hendak mengambil dia sebagai isterimu?”

“Ibu, kami saling mencinta...”

“Tidak! Bohong! Dia tentu telah merayumu, menggunakan ilmu sihir... engkau tidak boleh menikah dengan seorang pelacur!”

“Ibu...!”

“Cukup! Dia... biar aku sendiri yang menghajarnya!” Cia Giok Keng maju dengan kedua tangan dikepalkan.

“Tidak, enci, biar aku yang menghajarnya. Dia itu bekas muridku, dan kini dia berani menggoda puteramu!” kata In Hong yang juga bergerak maju ke depan, siap untuk menghajar bekas muridnya yang dianggap telah menimbulkan banyak sengketa ini dan dia merasa bahwa sebagai bekas guru dia harus bertanggung jawab.

Akan tetapi Lie Seng bangkit berdiri dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi.
“Siapapun tidak boleh menyentuhnya! Siapa yang hendak mengganggu Eng-moi, harus membunuh aku lebih dulu!” bentaknya.

Tentu saja In Hong mundur kembali dan Giok Keng menghadapi puteranya dengan marah.

“Seng-ji, butakah engkau? Ibumu dan pamanmu, juga bibimu berbuat begini demi kebahagiaanmu! Aku tidak rela melihat anakku tergoda dan terpikat oleh rayuan seorang pelacur!”

“Ibu! Itukah perbuatan yang membahagiakan? Tidak, ibu malah akan menghancurkan kebahagiaanku. Kalau ibu ingin membahagiakan aku, jangan halangi perjodohanku dengan Eng-moi. Akan tetapi kalau ibu dan paman hendak menentang, lebih baik bunuh saja aku lebih dulu sebelum menyentuh selembar rambut dari Eng-moi!”

Wajah Cia Giok Keng makin pucat dan kata-kata itu seolah-olah merupakan pukulan sehingga dia mengeluh dan terhuyung. Suaminya, Yap Kun Liong, cepat merangkulnya dan berbisik,

“Kau tenanglah...”

“Lie Seng!” Bun Houw membentak keponakannya. “Begitukah sikap seorang gagah? Engkau hendak mencemarkan nama keluarga, hendak menghancurkan hati ibu kandungmu, hendak membela seorang perempuan hina macam Sun Eng?”

“Paman, cukup segala omong kosong ini!” Lie Seng membentak, mukanya merah, matanya liar. “Apakah paman hendak mengulangi lagi riwayat menyedihkan dari keluarga kita? Lupakah paman betapa mendiang kong-kong juga pernah melarang paman menikah dengan bibi In Hong? Dan bagaimana sikap paman sendiri? Paman rela meninggalkan keluarga demi bibi In Hong karena paman mencintainya! Sekarang mengapa paman begitu tidak mau melihat kenyataan dan hendak bersikap tidak adil, menentang perjodohanku dengan wanita yang kucinta?”

“Anak bodoh! Dengan aku urusannya lain sama sekali! Bibimu In Hong adalah seorang wanita suci, baik-baik dan gagah! Tentu saja aku melindunginya dan rela meninggalkan keluarga...”

“Itu adalah karena paman mencintainya! Paman menganggap bibi In Hong wanita paling baik di dunia! Akupun demikian. Aku menganggap Eng-moi wanita paling baik di dunia karena aku mencintanya dan siapapun tidak boleh mengganggunya, seperti paman dahulu membela dan melindungi bibi In Hong! Ahhh, betapa kalian telah kehilangan keadilan! Ibu, kalau ibu tidak setuju aku berjodoh dengan Eng-moi, biarlah aku pergi saja!”

“Seng-ji... apakah engkau mengira ibumu tidak ingin melihat anaknya bahagia hidupnya? Engkau keliru, nak. Aku melihat bahwa engkau akan melakukan keputusan yang keliru, engkau akan menderita dan sengsara kalau engkau mengambil seorang wanita yang hina sebagai isterimu! Maka aku melarang. Ibu mana yang benar-benar mencinta anaknya tidak akan melarang kalau melihat anaknya itu mendekati tempat berbahaya yang mungkin akan mencelakakannya? Menurut cerita pamanmu tadi, wanita itu tidak patut menjadi colon isterimu. Dia pernah menyeleweng, tidak saja secara tidak tahu malu menggoda guru sendiri, akan tetapi juga telah hidup sebagai seorang pelacur, menjadi kekasih banyak orang! Bagaimana mungkin aku mempunyai mantu seperti itu?”

“Tapi ibu! Mengapa ibu memandang Eng-moi dengan bayangan riwayat yang lalu itu? Pandanglah Eng-moi sekarang ini sebagai calon mantu ibu, sebagai kekasihku, sebagai wanita yang saling cinta denganku. Eng-moi yang dahulu sama sekali tidak sama dengan Eng-moi sekarang!”

“Tidak... tidak... aku tidak bisa merestui...” Giok Keng makin pucat dan dia tentu sudah roboh kalau tidak dirangkul suaminya.

“Kalau begitu, selamat tinggal, ibu. Aku lebih baik memilih hidup bersama dengan Eng-moi daripada harus hidup di dekat keluarga akan tetapi yang jauh dari orang yang kucinta!” Lie Seng lalu bangkit berdiri sambil merangkul pinggang kekasihnya, “Eng-moi, mari kita pergi!”

Sun Eng melangkah dengan tubuh lemas dan kaki gemetar, mukanya ditundukkan. Terlalu hebat dan menegangkan peristiwa yang dihadapinya dan diam-diam dia merasa amat terharu atas sikap Lie Seng yang benar-benar telah membelanya seperti itu. Dia menangis sambil berjalan terhuyung dalam rangkulan Lie Seng.

“Seng-ji... ah, Seng-ji...!”

Cia Giok Keng menjerit dan ibu yang terguncang batinnya ini menjadi lemas. Melihat isterinya pingsan, Yap Kun Liong segera memondongnya dan merebahkannya di atas kursi panjang dan mengurut punggung dan tengkuknya sehingga nyonya itu mengeluh dan siuman kembali.

Bun Houw meloncat dan sekali bergerak saja dia sudah menghadang Lie Seng. Dengan alis berkerut dan mata bersinar tajam dia berkata,

“Seng-ji, aku tidak ingin melihat keponakanku menjadi anak durhaka! Lihat, ibumu sampai menderita hebat karena ulahmu. Hayo kau kembali kepada ibumu dan biarkan perempuan ini pergi sendiri!”

Lie Seng yang sudah marah itu memandang pamannya dengan bengis.
“Paman Cia Bun Houw, engkau dahulu tidak takut akan ancaman mendiang kong-kong, apa kau kira aku kini takut menghadapi ancamanmu untuk melindungi kekasihku? Kalau engkau mau bunuh, majulah, dan jangan engkau mengeluarkan kata-kata kasar terhadap calon isteriku!”

Bun Houw sudah bergerak hendak menyerang. Dia bermaksud turun tangan membunuh Sun Eng yang menjadi biang keladi keributan itu. Akan tetapi nampak berkelebat bayangan dan Ciauw Si sudah berdiri di samping kakaknya.

“Paman, jangan...!” seru dara ini.

Melihat keponakannya yang perempuan ini juga membela Lie Seng, Bun Houw tertegun dan bingun.

“Houw-ko...!”

Tiba-tiba terdengar keluhan panjang. Bun Houw terkejut dan cepat menengok, dia melihat isterinya memejamkan mata, memegangi perutnya dan kelihatan limbung.

“Hong-moi...!” Bun Houw meloncat mendekati isterinya dan merangkul. “Kau... kau kenapa, Hong-moi...?”

“Aku... perutku...ah, sakit...!”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: