***

***

Ads

Jumat, 31 Maret 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 180

Maka mulailah dia merubah gerakannya dan kini dia mulai mainkan Ilmu Silat Hok-liong Sin-ciang sambil mengerahkan sin-kang yang dipelajarinya dalam guha menurut kitab Bu Beng Hud-couw itu. Dan akibatnya hebat! Beberapa kali Thian Bi Hwesio berteriak kaget ketika pemuda itu mulai melancarkan pukulan aneh yang mendatangkan angin berpusing! Dia berusaha untuk mengelak atau menangkis, mengerahkan tenaganya, namun pukulan ke tiga yang datangnya amat lambat, terlalu lambat malah itu mendatangkan suara bercicitan seperti seekor tikus terjepit dan hwesio itu berseru kaget karena tangannya yang menangkis terasa perih dan bajunya robek.

Dia cepat melangkah mundur dan melihat betapa lengannya telah terluka seperti disayat pedang tajam! Sementara itu, kini Han Houw sudah mendesak dengan kedua tangan didorongkan dari bawah. Kembali terdengar suara bercuitan dan ketika Thian Bi Hwesio mengerahkan tenaga menangkis dan juga mendorongkan kedua telapak tangannya, kembali hwesio ini mengeluh dan tubuhnya terjengkang, terbanting roboh dan dia berguling lalu meloncat bangun di dekat sutenya, berdiri dengan tubuh bergoyang dan muka pucat, napasnya sesak dan dia memejamkan mata, lalu duduk bersila karena hwesio ini telah terluka di bagian dalam tubuhnya!

Bukan main kagetnya Thian Bu Hwesio melihat kakak seperguruannya dikalahkan oleh pemuda itu. Sejak tadi, dia sudah menonton dengan mata terbelalak, makin lama makin kagum dan heran terhadap pemuda bangsawan yang benar-benar amat lihai itu dan hampir dia tidak percaya melihat betapa suhengnya benar-benar kalah oleh pemuda itu!

Dia menjadi penasaran sekali, akan tetapi sebagai seorang tokoh besar Siauw-lim-pai, hwesio ini tidak menuruti rasa penasaran di hatinya dan tetap berdiri dengan sikap tenang. Sebagai seorang kepala bagian pelajaran silat, tentu saja suhengnya yang baru saja kalah itu lebih kuat daipadanya, akan tetapi Thian Bun Hwesio ini memiliki suatu keistimewaan yang melebihi suhengnya, yaitu dalam hal ilmu gin-kang atau meringankan tubuh.

Setelah memperoleh kemenangan itu dengan amat mudah setelah dia mempergunakan ilmu yang dipelajarinya dari kitab rahasia Bu Beng Hud-couw, Han Houw tersenyum lebar dan wajahnya berseri-seri. Gembira bukan main rasa hatinya bahwa dengan ilmunya yang hebat itu, dia telah merobohkan hwesio Siauw-lim-pai yang merupakan tokoh besar itu hanya dalam waktu tiga jurus saja!

Padahal ilmu-ilmunya itu belum dilatihnya secara matang. Makin besarlah kepercayaannya kepada diri sendiri, akan tetapi juga makin tinggilah dia memandang diri sendiri sehingga menimbulkan kesombongan. Perasaan sombong dan tinggi hati ini yang membuat dia tertawa dan memandang kepada Thian Bun Hwesio dan timbul pula keinginannya untuk juga mengalahkan hwesio ini!

Dia merasa belum puas kalau hanya mengalahkan seorang hwesio saja, apalagi dia tadi telah mempergunakan waktu seratus jurus lebih karena tadinya dia mempergunakan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari Hek-hiat Mo-li. Kini dia ingin membuka mata semua hwesio di situ bahwa dia mampu merobohkan guru-guru mereka dalam waktu kurang dari sepuluh jurus saja dan dia merasa yakin akan dapat melakukan hal ini kalau dia langsung mempergunakan ilmunya yang amat hebat dari Bu Beng Hud-couw. Maka dia kini tertawa.

“Ha-ha-ha, locianpwe, kalau engkau mau maju, aku berani pastikan bahwa aku akan mampu merobohkanmu dalam waktu kurang dari sepuluh jurus!”

Mendengar ini, hampir semua murid Siauw-lim-pai yang mendengarnya menjadi merah mukanya dan mereka itu marah sekali. Thian Bi Hwesio, guru dan pelatih mereka sudah kalah dalam pertandingan yang sewajarnya, dan hal ini bagi mereka tidak menjadikan rasa penasaran karena mereka sudah digembleng lahir batin dan tahu bahwa kalah menang dalam adu silat adalah lumrah dan merekapun tidak berpendapat bahwa guru mereka merupakan orang tak terkalahkan dalam dunia persilatan.

Akan tetapi, mendengar pemuda itu mengatakan akan merobohkan susiok (paman guru) mereka dalam waktu kurang dari sepuluh jurus, sungguh merupakan ucapan yang keterlaluan dan berlebihan! Mereka tahu akan kelihaian susiok mereka yang dalam hal ilmu silat setingkat atau hanya berselisih sedikit saja dengan suhu mereka, bahkan mereka maklum bahwa susiok mereka ini memlliki kelebihan dalam gin-kang. Maka pernyataan pemuda bangsawan itu akan merobohkannya dalam waktu kurang sepuluh jurus, sungguh merupakan suatu penghinaan yang keterlaluan.






“Pangeran, harap pangeran menghentikan adu kepandaian yang tiada manfaatnya ini dan suka duduk sebagai tamu terhormat atau paduka pergi saja meninggalkan tempat ini dan tidak mengganggu kami.”

Dengan sikap sopan dan lemah lembut Thian Bun Hwesio berkata sambil menjura dengan sikap hormat.

“Ha-ha-ha, sudah kukatakan tadi bahwa aku ingin menguji sampai di mana kehebatan ilmu silat dari Siauw-lim-pai, locianpwe. Kalau locianpwe tidak mau melayaniku untuk saling menyelami kepandaian masing-masing, akupun tidak memaksa, hanya kuharap locianpwe suka memberi pernyataan tertulis bahwa ilmu silatku lebih tinggi daripada ilmu silat Siauw-lim-pai!”

Berkerut alis pendeta yang bersikap halus itu. Dia menggeleng-geleng kepalanya.
“Omitohud... apa akan jadinya kalau ada orang berkedudukan tinggi bersikap seperti ini? Pangeran, pinceng tidak berwenang untuk memutuskan sesuatu mengenai tindakan yang harus diambil oleh Siauw-lim-pai. Suhu kami sedang tidak berada disini, dan pinceng tidak berani membuat pernyataan seperti itu.”

“Kalau tidak berani, majulah agar aku dapat mencoba tingginya ilmu silatmu, locianpwe,”

Mulutnya saja menyebut locianpwe atau orang tua yang gagah dan dihormati, akan tetapi sikap pangeran itu sungguh memandang ringan sekali. Hal ini terasa oleh Thian Bun Hwesio dan dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat mengelak lagi, maka dia lalu menarik napas panjang.

“Agaknya paduka belum puas kalau belum merobohkan pinceng. Nah, bersiaplah. Pinceng hendak memperlihatkan kebodohan pinceng!”

Setelah berkata demikian, hwesio itu menekan kedua kakinya di atas tanah dan di lain saat tubuhnya telah melayang naik ke atas, langsung menerjang dari atas ke arah Han Houw.

“Uhhh...!”

Pangeran itu terkejut bukan main. Tak pernah disangkanya bahwa pendeta itu memiliki gin-kang yang sedemikian hebatnya. Akan tetapi Han Houw sudah dapat menghindarkan diri dengan jalan merendahkan tubuhnya dan balas mengirim pukulan dari bawah.

Terpaksa Thian Bun Hwesio mengelak dan berjungkir balik lalu turun beberapa meter jauhnya dari pemuda itu, kemudian dia sudah menerjang lagi dengan kecepatan luar biasa. Kedua lengan bajunya yang panjang lebar itu berkibar dan menyambar-nyambar, merupakan dua buah senjata yang menotok ke arah jalan-jalan darah yang penting dari tubuh Han Houw.

Namun, dengan langkah-langkah Pat-kwa-po yang indah dan lihai itu Han Houw dapat menghindarkan diri dengan amat mudahnya. Kemudian secara tiba-tiba pemuda ini berjungkir balik, kepala di bawah, kaki di atas dan mulailah dia menyerang dengan kaki tangannya. Itulah jurus-jurus dari Ilmu Hok-te Sin-kun yang amat hebat itu.

Thian Bun Hwesio mengeluarkan seruan kaget dan biarpun dia sudah berusaha mengelak secepatnya, namun serangan tangan dari bawah oleh pemuda itu masih mengenai pahanya dan saat itu Thian Bun Hwesio meloncat ke belakang, maka loncatannya terdorong oleh pukulan itu menjadi keras sekali dan dia melayang seperti sebuah layang-layang putus talinya, dan dari pahanya nampak darah membasahi celana!

“Omitohud...!”

Terdengar seruan halus dan tahu-tahu ada seorang hwesio tua lain yang menerima tubuh Thian Bun Hwesio dengah sebelah tangannya, lalu menurunkan tubuh Thian Bun Hwesio. Hwesio yang terluka pahanya itu cepat bersila dan memeriksa lukanya yang terkena pukulan ampuh dari tangan pemuda yang mengandung hawa beracun itu.

Han Houw memandang hwesio yang baru muncul itu dengan penuh perhatian. Hwesio itu bertubuh gemuk, berwajah halus dan penuh kesabaran, namun sepasang mata yang bersinar lembut itu kelihatan amat berwibawa, usianya beberapa tahun lebih tua daripada Thian Bi Hwesio dan Thian Bun Hwesio. Hwesio ini melangkah maju menghampirinya lalu menjura dengan penuh hormat, sikapnya halus sekali.

“Omitohud...! Dari laporan anak murid, pinceng mendengar bahwa paduka adalah Pangeran Ceng Han Houw dari kota raja. Perkenankan pinceng menghaturkan maaf sebesarnya atas kekasaran dua orang sute pinceng terhadap paduka.”

Han Houw tersenyum. Dua orang hwesio yang pertama tadi juga bersikap halus dan hormat kepadanya, dan kini sikap amat halus dari hwesio ke tiga ini dianggapnya sebagai sikap takut terhadapnya. Setelah berhasil mengalahkan dua orang hwesio itu dia merasa makin bangga dan angkuh, memandang rendah kepada Siauw-lim-pai. Setelah dia mampu merobohkan dua orang itu, maka dia pikir bahwa untuk melawan guru merekapun dia tentu akan menang. Dia memandang hwesio tua yang menyebut sute kepada kedua orang hwesio tadi, lalu bertanya.

“Siapakah locianpwe?”

“Omitohud, paduka masih begini muda dan berkedudukan begitu tinggi akan tetapi paduka sudah pandai bersikap, sebagai seorang gagah yang menghormati orang tua, dan telah memiliki tingkat kepandaian yang demikian tinggi! Pinceng adalah Thian Sun Hwesio, murid tertua dari suhu yang menjadi ketua Siauw-lim-pai di kuil ini. Oleh karena itu, pincenglah yang mewakili suhu menghaturkan maaf sebesarnya kepada paduka.”

“Hemm, Thian Sun Hwesio. Kedatanganku ini bukan untuk beramah-tamah, bukah pula untuk menjadi tamu, bukan untuk mengacau atau mencari permusuhan. Akan tetapi, sejak kecil aku suka sekali mempelajari ilmu silat dan aku ingin sekali menguji kepandaian semua tokoh persilatan, untuk melihat apakah aku patut menjadi jagoan nomor satu di dunia! Aku tadinya hendak mencari Thian Khi Hwesio untuk kuuji kepandaiannya, akan tetapi karena dia tidak ada, maka kuharap engkau sebagai murid tertua suka mewakilinya untuk menguji kepandaian denganku.”

“Omitohud, mana pinceng berani begitu lancang? Pendeta-pendeta tua yang bodoh seperti pinceng ini mana ada kepandaian untuk memukul orang? Pinceng hanya dapat membaca liam-keng dan kalau paduka minta petunjuk tentang prikemanusiaan dan kehidupan, bolehlah pinceng memberinya sedapat pinceng. Akan tetapi ilmu silat? Pinceng tidak mengenal ilmu silat untuk memukul orang.”

“Hemm, Thian Sun Hwesio, tidak perlu locianpwe seperti anda ini menyembunyikan kenyataan. Siapakah yang tidak tahu bahwa di samping ilmu keagamaan, para pendeta di Siauw-lim-si merupakan ahli-ahli silat yang pandai? Aku telah menguji kepandaian kedua orang sutemu yang ternyata tidak berapa tinggi, maka kini aku minta locianpwe suka mewakili Thian Khi Hwesio untuk mengadu kepandaian melawanku.”

“Pinceng tidak berani.”

“Kalau tidak berani, harap locianpwe suka membuat pernyataan tertulis bahwa Siauw-lim-pai tidak dapat menandingi ilmu silatku!”

“Ah, untuk membuat itupun pinceng mana berani? Sebaiknya kelak kalau suhu sudah pulang saja paduka datang lagi dan bicara sendiri kepada suhu. Tentang kepandaian silat, di dunia ini siapakah yang dapat menentukan atau mengukur?”

“Thian Sun Hwesio, bicaramu bercabang! Kalau memang ada kepandaian, hayo keluarkan untuk kutandingi!”

“Omitohud... harap paduka pangeran jangan salah artikan. Pinceng tidak pernah mempelajari ilmu untuk berkelahi, melainkan hanya belajar sedikit ilmu untuk menjaga kesehatan.”

“Hemm, kalau begitu coba locianpwe memperlihatkan ilmu untuk menjaga kesehatan itu!”

Han Houw mendesak dan menantang. Hwesio ini tentu merupakan tokoh nomor satu di kuil ini sesudah ketuanya yang sedang pergi, maka hatinya belum puas kalau dia belum mengalahkan hwesio ini.

Thian Sun Hwesio tersenyum ramah, lalu dia menghampiri sebuah sapu yang bersandar di sudut ruangan itu.

“Beginilah pinceng menjaga kesehatan, yaitu dengan pekerjaan yang bermanfaat, misalnya menyapu lantai.”

Sambil berkata demikian, Thian Sun Hwesio menggerakkan sapu tua itu dengan sekali ayun. Han Houw terkejut bukan main karena dia merasakan adanya sambaran angin yang berputar-putar dan semua debu dan kotoran di dalam ruangan itu ikut berputaran seperti terbawa angin puyuh dan semua kotoran dan debu terkumpul di suatu sudut ruangan itu.

Dengan sekali ayun saja kakek itu telah dapat “menyapu” lantai ruangan itu sampai bersih, dan angin yang berputar-putar keluar dari ayunan sapunya tadi saja menunjukkan betapa kuatnya tenaga sin-kang dari Thian Sun Hwesio! Hwesio ini benar-benar tak boleh dipandang ringan, sama sekali tidak dapat dibandingkan dengah dua orang hwesio pertama tadi, dan dia harus berpikir sepuluh kali lebih dulu untuk dapat memastikan bahwa dia akan menang melawan kakek ini!

“Bagus sekali! Kekuatanmu demikian hebatnya, Thian Sun Hwesio, marilah kita bertanding mengadu ilmu beberapa jurus!” tantangnya dan dia sudah melangkah maju lalu memasang kuda-kuda.

Akan tetapi hwesio itu tersenyum dan menggeleng kepala.
“Omitohud, pinceng sudah menyatakan bahwa pinceng tidak pernah mempelajari ilmu silat untuk berkelahi. Biar pinceng dipukul matipun pinceng tidak berani melawan dengan kekerasan. Pinceng hanya bisa menyapu lantai seperti tadi, tidak bisa berkelahi,” jawab pendeta itu.

Han Houw mengerutkan alisnya. Dia merasa penasaran sekali, akan tetapi diapun tahu bahwa amat tidak baik kalau dia menyerang orang yang tidak akan mau melawan. Selain hal itu amat tidak baik, terutama bagi namanya yang diharapkan akan dapat disebut jagoan nomor satu di dunia, juga dia tidak sudi dan tidak tertarik. Maka dia menarik napas panjang, dan untuk melampiaskan rasa penasaran di dalam hatinya, dia lalu menghampiri sapu yang sudah disandarkan di pojok tadi. Dipegangnya gagang sapu dari kayu itu, ditimang-timangnya, kemudian digerak-gerakkan seperti orang menyapu, lalu diletakkannya kembali menyandar dinding.

“Jelas aku tidak akan mampu menandingi kepandaianmu menyapu lantai, Thian Sun Hwesio! Maafkan aku!”

Han Houw berkata sambil mengangguk dan membalikkan tubuhnya, pergi dari situ, diikuti oleh penghormatan Thian Sun Hwesio yang menjura dan merangkap kedua tangan di depan dada.

Setelah Han Houw pergi jauh, hwesio muda murid Thian Bi Hwesio yang tadi dikalahkan oleh Han Houw berkata,

“Omitohud... baiknya ada supek yang membuat dia jerih dan pergi. Kepandaian supek amat hebat sehingga pemuda sombong itu mundur tanpa berani mendesak!”

Thian Sun Hwesio mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala.
“Pangeran itu benar-benar hebat luar biasa dan dunia kang-ouw tentu akan geger dengan kemunculannya, bukan hanya karena ilmunya amat tinggi, akan tetapi terutama sekali karena dia seorang pangeran. Kau kira dia takut? Kau periksa sapu itu baik-baik.”

Mendengar ini, hwesio yang bertubuh tinggi besar itu lalu memandang heran, dan dihampirinya sapu yang dipegang oleb Han Houw. Kelihatannya sapu itu tidak apa-apa, akan tetapi begitu jari tangan pendeta itu menyentuhnya, sapu yang kelihatan tadi masih utuh itu tiba-tiba hancur berantakan! Tentu saja hwesio itu terkejut sekali dan mengeluarkan seruan kaget sambil melompat ke belakang.

“Nah, kalian lihat betapa lihai dan berbahayanya tangan pangeran itu. Pinceng sendiripun belum tentu akan mampu menandingi kekuatan sin-kangnya yang mengandung keajaiban. Sute berdua apakah tadi mengenal gerakan-gerakannya, dan dari golongan manakah ilmu silatnya?” tanya hwesio ini kepada dua orang sutenya.

Thian Bi Hwesio dan Thian Bun Hwesio saling pandang, kemudian menggeleng kepala dengan pandang mata terheran.

“Gerakannya amat aneh dan selama hidup belum pernah pinceng melihat dasar ilmu silat seperti itu,” kata Thian Bi Hwesio.

“Terutama gerakan-gerakannya dengan kepala di bawah dan kaki di atas itu,” sambung Thian Bun Hwesio. “Seperti didasari gerakan yoga dari India, akan tetapi tentu bercampur dengan ilmu kaum sesat.”

Setelah kemunculan Han Houw yang seperti badai mengamuk mendatangkan kekalutan di dalam kuil itu, suasananya menjadi sunyi dan tenteram setelah pemuda itu pergi dan para hwesio melanjutkan tugas masing-masing, sungguhpun badai yang baru saja mengamuk itu mendatangkan kesan di dalam hati mereka dan menimbulkan kekhawatiran.

Sementara itu, Han Houw pergi dengan hati yang puas. Betapapun juga, dia telah mengalahkan dua orang tokoh besar dari Siauw-lim-pai, dan hal ini saja tentu akan mengangkat namanya tinggi-tinggi di dunia kang-ouw! Dia lalu melanjutkan perjalanannya ke utara, ke kota raja akan tetapi di setiap kota dia tentu berhenti, mencari tokoh-tokoh kang-ouw untuk diajak mengadu ilmu silat!

Banyaklah tokoh-tokoh kang-ouw yang dirobohkannya, sebagian besar dikalahkannya dengan ilmu silatnya yang memang amat tinggi itu, akan tetapi ada pula sebagian tokoh besar dunia kang-ouw yang tidak berani melawan sungguh-sungguh ketika tahu bahwa pemuda yang lihai itu adalah Pangeran Ceng Han Houw, adik dari kaisar!

Mereka lebih baik mengalah daripada harus melukai atau salah-salah dapat membunuh seorang pangeran karena hal ini akan menimbulkan akibat yang amat hebat sekali! Maka, kemenangan demi kemenangan diraih oleh Han Houw yang menjadi semakin angkuh dan merasa bahwa sesungguhnya dialah jagoan nomor satu di dunia ini!

Dan tentu saja, sepak terjangnya itu tersiar luas di dunia kang-ouw ketika berita bahwa di dunia persilatan muncul seorang jago muda yang amat lihai, yaitu Pangeran Ceng Han Houw. Bahkan tersiar pula berita bahwa selain banyak orang kang-ouw di selatan yang sudah kalah oleh pangeran ini, juga tokoh-tokoh Siauw-lim-pai roboh pula oleh jagoan muda ini! Berita ini tentu saja disiarkan oleh Han Houw sendiri dan para tokoh kang-ouw menjadi semakin ribut dan kagum!

Pemuda itu menghempaskan dirinya di atas rumput hijau di bawah pohon besar yang teduh. Dia mengeluh panjang, lalu mengambil sehelai saputangan lebar dan menyusuti keringatnya di muka dan lehernya, membuka kancing bajunya bagian atas untuk merogoh dada dengan saputangannya yang kini menjadi basah kuyup.

Diperasnya saputangan itu sehingga air keringat mengucur dan diusapnya lagi mukanya yang kemerahan. Dia mengeluh lagi. Sinar matahari amat teriknya di waktu siang hari itu, lewat tengah hari. Dan keteduhan di bawah pohon besar itu amat nyaman.

Sehabis tertimpa panas matahari setengah harian lalu duduk berteduh di tempat itu, di tepi hutan, benar-benar menimbulkan rasa nyaman. Apalagi ketika ada angin berhembus lembut, membuat muka, leher dan dada yang kini terbuka sedikit itu tertiup angin, bukah main nikmatnya. Kulit yang tadinya gatal-gatal panas itu ditiup angin terasa sejuk nyaman dan pemuda itupun menguap. Kedua matanya mulai letih dan mengantuk.

**** 180 ****
Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: