***

***

Ads

Minggu, 02 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 182

“Dan memang benar, aku sendiripun melarangnya, taihiap. Lebih baik seorang wanita mempelajari ilmu-ilmu yang halus, menulis, membuat sajak, menjahit, menari, bernyanyi dan memasak. Lebih berguna kalau kelak menjadi isteri orang.”

“Ihhh, ibu...!” Siu Lan berkata sambil menunduk, mukanya menjadi merah sekali.

“Tentu... tentu paman Ciook lihai sekali ilmu silatnya,”

Beng Sin berkata dan diapun merasa sungkan dan tidak enak ketika ibu itu menyebut-nyebut tentang wanita menjadi isteri orang!

Wanita itu menarik napas panjang.
“Sejak muda, suamiku paling senang dengan ilmu silat. Dia seorang kasar, taihiap, akan tetapi dalam ilmu silat, dia cukup terkenal dan di Hek-eng-piauwkiok dia menjadi piauwsu yang diandalkan oleh majikan piauwkiok.”

Ketika mereka tiba di rumah keluarga Ciook yang cukup besar, mereka disambut oleh seorang laki-laki setengah tua yang kelihatan gagah dan bermata tajam. Dia ini bukan lain adalah Ciook-piauwsu sendiri. Betapa kaget hati piauwsu ini ketika mendengar penuturan isteri dan puterinya bahwa kereta mereka dihadang perampok dan bahwa puterinya hampir saja celaka kalau tidak ditolong oleh pemuda gendut yang terus mengawal mereka sampai tiba di rumah.

“Ah, sicu muncul seperti dituntun tangan Thian! Betapa besar rasa terima kasih kami kepadamu, sicu!” Piauwsu itu cepat memberi hormat kepada pemuda itu.

Beng Sin cepat membalas dengan menjura.
“Aih, lo-enghiong, aku telah mendengar bahwa engkau juga seorang ahli silat yang pandai. Antara sesama orang yang suka menentang kejahatan, bantu-membantu adalah wajar. Mana bisa bicara tentang budi?”

Piauwsu itu menjadi kagum dan tahulah dia bahwa pemuda ini adalah seorang yang berwatak gagah dan jujur. Beng Sin lalu dipersilakan masuk dan mereka berkenalan. Ketika Beng Sin minta diri dan berpamit, piauwsu itu dan isterinya menahan-nahannya.

“Tee-sicu telah menyelamatkan keluargaku, berarti telah menjadi seperti keluarga atau sahabat baik kami sendiri, mengapa begitu tergesa-gesa? Sicu akan mengecewakan hati kami sekeluarga kalau tidak mau tinggal di sini untuk beberapa hari lamanya, sekedar memberi kesempatan kepada kami untuk menyatakan rasa terima kasih kami,”

Ciook-piauwsu berkata dan karena dibujuk-bujuk, akhirnya Beng Sin merasa tidak enak juga dan akhirnya dia menyetujui. Pada sore harinya, ketika Beng Sin dan tuan rumah bercakap-cakap di kebun belakang, Ciook-piauwsu bertanya dari mana pemuda itu mempelajari ilmu silat dari golongan apa.

“Saya belajar dari paman saya sendiri, lo-enghiong. Saya telah yatim piatu, ayah saya telah tiada dan ibu saya telah masuk menjadi nikouw dan tidak berurusan lagi dengan dunia, dan sejak kecil saya dirawat dan dididik oleh paman saya yang bernama Kui Hok Boan. Karena paman saya pernah menjadi murid Go-bi-pai, maka saya kira ilmu silat yang diajarkan kepada saya tentu dari aliran Go-bi-pai.”

Wajah Ciook-piauwsu berseri.
“Ahh, kalau begitu kita orang sendiri!” Dia berseru girang. “Ketahullah, sicu. Aku sendiripun adalah seorang murid Go-bi-pai!”






“Kalau begitu, lo-enghiong mengenal paman saya?”

Piauwsu itu menggeleng kepala.
“Murid Go-bi-pai ribuan orang banyaknya dan berpencar di mana-mana. Menurut penuturanmu, pamanmu datang dari utara dan aku tinggal di selatan, biarpun antara kami memiliki sumber ilmu silat yang sama, namun tentu diajarkan oleh guru-guru yang lain. Sicu, kalau boleh, aku ingin melihat ilmu sliatmu. Harap kau perlihatkan ilmu golokmu, barangkali saja kita dapat saling memberi petunjuk karena sealiran.”

Dengan girang Beng Sin lalu bersilat. Goloknya yang besar dan berat itu diputar sampai mengeluarkan suara berdesing dan nampak gulungan sinar yang besar menyambar-nyambar. Setelah selesai, piauwsu itu mengangguk-angguk.

“Ilmu golokmu sudah cukup baik, akan tetapi sayang...”

“Bagaimana, lo-enghiong?”

“Masih banyak kekurangannya karena agaknya tercampur dengan ilmu dari sumber lain sehingga agak lemah, terutama sekali di bagian penyerangan. Ilmu golok Go-bi-pai yang aseli banyak menggunakan penyerangan dari bawah yang amat lihai dan berbahaya bagi lawan. Coba kau lihat, akan tetapi golokmu terlampau berat untukku, sicu, biarlah aku memakai golok biasa dan kau lihatlah baik-baik.”

Ciook-piauwsu lalu bersilat dengan sebatang golok biasa dan gerakannya memang dikenal oleh Beng Sin sebagai ilmu golok Go-bi-pai, akan tetapi terdapat perbedaan-perbedaan dan terutama sekali ketika kakek setengah tua itu bersilat makin cepat, gerakannya berbeda dan kini dia melihat berkali-kali piauwsu itu bergulingan dan goloknya menyambar-nyambar dari bawah dengan amat cepatnya. Melihat ini, Beng Sin kagum sekali. Kiranya benar ucapan Siu Lan dan ibunya bahwa piauwsu ini memang benar memiliki ilmu silat yang tinggi sehingga kalau piauwsu ini mengawal anak isterinya, tentu lima orang perampok itu akan ketemu batunya!

“Lo-enghiong, saya mohon petunjuk!” katanya setelah piauwsu itu menghentikan permainan silatnya.

Ciook-piauwsu berdiri sambil tertawa dan mengangguk-angguk,
“Boleh, boleh... akan tetapi untuk itu sicu harus tinggal disini selama beberapa hari.”

Tentu saja Beng Sin setuju dan menghaturkan terima kasih. Mulai hari itu pemuda gendut ini menerima petunjuk-petunjuk dalam ilmu golok Go-bi-pai dari Ciook-piauwsu. Kalau dibuat perbandingan, belum tentu Kui Hok Boan kalah oleh Ciook-piauwsu, akan tetapi dalam ilmu golok Go-bi-pai, memang ilmu yang dimiliki Kui Hok Boan kalah murni.

Kui Hok Boan adalah murid Go-bi-pai, murid mendiang Kauw Kong Hwesio, akan tetapi dia telah memperdalam ilmu silatnya dengan ilmu-ilmu dari sumber lain sehingga ilmu golok yang diajarkannya kepada Beng Sin sudah tidak aseli lagi. Sebaliknya, Ciook-piauwsu adalah murid Go-bi-pai yang tidak mencampurkan ilmu golok itu dengan ilmu lain, dan selain itu, memang dia paling suka dengan senjata ini sehingga dalam hal memainkan golok dia lebih mahir.

Selama kurang lebih sepuluh hari Beng Sin tinggal di situ, setiap hari dengan tekun menerima petunjuk-petunjuk sehingga kepandaiannya dalam hal main golok dalam ilmu golok Go-bi-pai menjadi lebih matang dan dia kini mampu melakukan jurus-jurus bergulingan yang amat lihai itu. Akan tetapi di samping itu, juga hubungannya dengan keluarga itu menjadi semakin akrab.

Pada hari ke sebelas, ketika Beng Sin bermohon diri dari tuan rumah Ciook-piauwsu mengajaknya duduk bercakap-cakap di ruangan belakang dan piauwsu yang selama beberapa hari sangat memperhatikan Beng Sin dan merasa suka kepada pemuda gendut yang ramah dan jujur ini, berkata,

“Tee-sicu, ada sesuatu hal yang ingin saya tanyakan kepada sicu, harap sicu tidak menjadi kecil hati.”

“Ah, lo-enghiong telah begitu baik kepada saya, seperti seorang guru saya, mengapa masih begitu sungkan? Kalau ada sesuatu, tanyakanlah saja tanpa ragu-ragu.”

“Begini, sicu. Hal ini sudah saya bicarakan dengan isteri dan puteri kami, dan kami ingin sekali tahu apakah sicu sudah berkeluarga? Maksud saya, apakah sudah menikah?”

Pertanyaan ini membuat Beng Sin yang jujur terbelalak heran dan cepat dia menggelengkan kepala.

“Dan sudah bertunangan ataukah belum?”

“Belum, lo-enghiong... akan tetapi kenapa...?”

“Bagus! Ketahuilah, sicu, setelah berkenalan dengan sicu, apalagi mengingat betapa sicu telah menyelamatkan puteri kami dari bahaya, kami mengambil keputusan untuk menyerahkan puteri kami kepada sicu, yaitu kami ingin mengikatkan perjodohan antara puteri kami dengan sicu... harapan kami agar sicu tidak menolak maksud baik kami ini.”

Tentu saja Beng Sin menjadi kaget dan bingung sekali, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Mukanya yang gemuk menjadi kemerahan karena memang sesungguhnya dia sama sekali belum berpikir tentang perjodohan, sungguhpun diam-diam dia merasa telah “jatuh cinta” kepada Lin Lin, adik misannya itu.

“Ini... ini... saya belum pernah berpikir tentang perjodohan, lo-enghiong, dan pula... tentu saya harus bertanya dulu kepada paman saya sebelum memberi keputusan...” katanya gagap.

Piauwsu itu tersenyum dan mengangguk-angguk. Sikap pemuda ini jelas menunjukkan bahwa pemuda ini masih hijau dan polos, masih seorang jejaka tulen sehingga hatinya menjadi semakin suka.

“Tentu saja, sicu. Aku akan mendatangi pamanmu itu sewaktu-waktu untuk minta persetujuannya. Dalam waktu dekat aku akan mengunjungi dusun Pek-jun untuk bicara dengan pamanmu kalau saja engkau sendiri sudah setuju. Kecuali kalau sicu menolak karena anak kami memang buruk rupa dan bodoh...”

“Ah, tidak, tidak demikian, lo-enghiong. Puterimu adalah seorang gadis yang cantik dan baik... akan tetapi harap lo-enghiong tidak tergesa-gesa karena terus terang saja, keluarga kami sedang mengalami persoalan yang menyedihkan. Paman saya sedang dalam duka karena kehilangan kedua orang puterinya, bahkan saya sekarang inipun sedang dalam tugas untuk mencari jejak kedua orang adik misan saya itu. Sudah setengah tahun saya meninggalkan rumah dan belum juga berhasil. Saya telah menemukan jejak mereka ke daerah ini, akan tetapi belum juga berhasil menemukan kedua orang adik misan saya itu.”

“Ahh!” Ciook-piauwsu nampak terkejut, “Kalau saya boleh tahu, apakah yang terjadi, sicu? Siapa tahu saya dapat membantumu.”

Dengan singkat Beng Sin menceritakan peristiwa yang menimpa diri dua piauw-moinya (adik perempuan misan) itu. Dia sudah percaya kepada piauwsu ini yang dianggap sebagai guru sendiri. Tentu saja dia tidak bercerita terlalu banyak, hanya menceritakan bahwa dua orang gadis kembar itu melarikan diri karena tidak mau dijadikan selir pangeran dan sekarang dia harus mencari mereka sampai dapat.

Mendengar cerita ini, Ciook-piauwsu terheran-heran.
“Diangkat selir oleh pangeran adik kaisar! Itu merupakan kehormatan yang amat tinggi! Kenapa mereka melarikan diri... eh, kau bilang mereka itu adalah saudara kembar? Ahh, betapa kebetulan sekali!” Tiba-tiba piauwsu itu berkata dengan wajah berseri. “Aku... aku tahu dimana adanya mereka! Ah, kenapa tidak sejak dulu engkau menceritakan padaku, sicu? Mari, mari kau ikut aku!”

Bukan main kagetnya Beng Sin mendengar ini. Tak disangkanya sama sekali bahwa piauwsu ini justeru tahu tentang Lan Lan dan Lin Lin!

“Benarkan engkau tahu, lo-enghiong? Dimana mereka?”

“Agaknya tidak salah lagi! Majikanku, yaitu ketua atau pemilik Hek-eng-piauwkiok memungut sepasang gadis yatim piatu sebagai anak-anak angkatnya! Agaknya mereka itulah adik-adikmu itu! Tak salah lagi. Merekapun pandai ilmu sliat. Majikanku melihat mereka ketika mereka dibajak di Sungai Huang-ho dan majikanku menolong mereka, lalu membawa mereka pulang dan mereka diambil anak angkat!”

Bergegas mereka pergi ke rumah ketua Hek-eng-piauwkiok yang bernama Ciang Lok, seorang piauwsu kawakan yang tidak mempunyai keturunan dan yang pada beberapa bulan yang lalu telah mengangkat dua orang gadis kembar menjadi anak-anak angkatnya. Setelah tiba disitu, mereka disambut oleh Ciang Lok sendiri.

Begitu bertemu, Ciook-piauwsu cepat memberi hormat dan berkata
“Ciang-twako, dimana adanya dua orang anak angkatmu itu? Kalau tidak salah, mereka itu adalah adik-adik piauw dari Tee-sicu ini yang mencari-carinya!”

Mendengar itu, Ciang Lok mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang, lalu memandang kepada pemuda gendut itu sejenak, kemudian tanpa menjawab pertanyaan pembantunya itu dia lalu bertanya kepada Beng Sin,

“Apakah engkau mengenal seorang pemuda bernama Kwan Siong Bo?”

“Tentu saja!” Beng Sin menjawab. “Dia adalah kakak misanku pula, juga masih kakak misan dari kedua orang adik Lan dan Lin, sepasang gadis kembar yang saya cari, itu!”

Piauwsu berusia lima puluh tahun lebih itu mengangguk-angguk, dan kembali menarik napas panjang.

“Harap kalian suka duduk dan dengarkan ceritaku. Agaknya kedatanganmu terlambat, orang muda.”

Tentu saja Beng Sin kaget sekali. Dia lalu cepat duduk bersama Ciook-piauwsu dan dengan hati tegang dia bertanya,

“Terlambat bagaimana, lo-enghiong?”

“Baru tiga hari yang lalu datang seorang pemuda yang bernama Kwan Siong Bu itu, dan ternyata dua orang anak angkatku itu mengenalnya sebagai kakak misan. Kemudian mereka berpamit karena dua orang anak angkatku itu terpaksa harus pulang ke dusun Pek-jun di utara bersama piauw-ko (kakak misan) mereka. Tentu saja aku, biarpun dengan hati amat berat, tidak berhak untuk melarang mereka.”

Wajah Beng Sin berseri.
“Ah, saya girang mendengar hal ini, lo-enghiong. Syukurlah kalau mereka sudah pulang bersama Kwan-twako. Dan saya sebagai kakak misannya menghaturkan beribu terima kasih kepada lo-enghiong yang telah menolong mereka, bahkan bersikap baik kepada mereka, menampung dan memelihara mereka selama ini!” Beng Sin lalu bangkit berdiri dan memberi hormat. Tuan rumah itu balas menghormat.

“Hemm, engkau baik sekali sicu, jauh lebih baik daripada kakak misanmu itu yang kelihatan angkuh. Sebaiknya kalau sicu cepat menyusul mereka, karena hatiku akan merasa lebih tenang kalau sicu sendiri yang mengantar mereka pulang.”

Beng Sin bergegas pamit dan kembali bersama Ciook-piauwsu. Dia lalu mengemasi pakaiannya dan berangkat hari itu juga setelah berjanji kepada Ciook-piauwsu untuk membicarakan hal usul perjodohan itu kepada pamannya. Juga dalam kesempatan ini Beng Sin berpamit kepada nyonya Ciook dan kepada Siu Lan yang nampak berduka, akan tetapi dia melihat betapa dara ini makin cantik saja!

Dengan menunggang kuda pemberian Ciook-piauwsu, Beng Sin melakukan perjalanan cepat menuju pulang ke utara. Di sepanjang jalan dia mencari keterangan dan mendapat petunjuk bahwa memang benar dua orang gadis kembar itu ditemani oleh Kwan Siong Bu melakukan perjalanan, akan tetapi ternyata mereka melakukan perjalanan cepat berkuda pula sehingga dia yang tertinggal selama tiga hari itu sukar untuk dapat menyusul mereka.

Akhirnya, setelah melakukan perjalanan cepat, akhirnya Beng Sin tiba juga di pekarangan rumah pamannya di dusun Pek-jung. Dia melompat turun dari kudanya yang mandi keringat, membiarkan seorang pelayan merawat kuda itu, dan dia sendiri sudah berlari memasuki rumah pamannya.

Rumah itu sunyi saja! Hanya ada pelayan-pelayan yang memandangnya dengan kaget karena tuan muda yang baru datang ini kelihatan tergesa-gesa dan begitu tegang,

“Dimana tuan besar? Dimana kedua orang siocia?” Berkali-kali dia bertanya dan para pelayan hanya menggeleng kepala.

Beng Sin tidak sabar lagi dan berlari mencari ke seluruh kamar di rumah itu. Akhirnya dia melihat Siong Bu seorang diri di dalam lian-bu-thia (ruangan belajar silat) yang luas, agaknya habis berlatih silat karena pedang telanjang masih di tangannya dan mukanya berkeringat. Dia sedang mengusap peluhnya dan tersenyum lebar ketika melihat masuknya Beng Sin.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: