***

***

Ads

Minggu, 02 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 183

“Ha, kau baru datang Sin-te (adik Sin)? Ha-ha, aku lebih berhasil menemukan Lan-moi dan Lin-moi dan membawa mereka pulang tiga hari yang lalu. Kau tahu dimana mereka itu? Ha, betapa bodohnya kita, mencari ke timur dan ke barat, padahal mereka itu pergi...”

“Aku sudah tahu, Bu-ko. Aku baru saja datang dari Su-couw, bahkan aku lebih dulu dari engkau tiba di Su-couw, hanya tidak kebetulan... ah, sudahlah. Engkau telah berhasil menemukan mereka dan membawanya kembali ke sini, itu yang penting. Tapi dimana mereka sekarang? Dan dimana paman?”

Kembali Siong Bu tertawa dan pemuda ini nampak girang bukan main.
“Duduklah, Sin-te, duduklah disini. Kita bernasib baik sekarang! Ah, kita akan bisa menjadi orang-orang penting di istana! Pendeknya, kita dapat menjadi pembesar tanpa melalui ujian apapun, dan Pangeran Ceng Han Houw tentu akan menolong kita. Paman juga girang bukah main, dan kemarin paman sendiri pergi ke kota raja untuk menemui pangeran!”

Berubah wajah Beng Sin, alisnya berkerut dan jantungnya berdebar tegang.
“Apa...? Apa maksudmu, Bu-ko? Dimana Lan-moi dan Lin-moi?”

Melihat ini, Siong Bu memandang dengan heran.
“Tentu saja mereka berada di istana Pangeran Ceng Han Houw! Masa engkau masih harus bertanya lagi, Sin-te? Kita disuruh mencari untuk membawa mereka pulang dan untuk diserahkan kepada pangeran, karena kalau tidak, kita sekeluarga tentu akan celaka. Dan begitu berhasil, aku kebetulan bertemu pangeran sebelum tiba di rumah, maka tentu saja menjadi lebih mudah bagiku untuk menyerahkan mereka kepada pangeran dan beliau girang sekali, langsung membawa mereka ke istana dan menjanjikan kepadaku bahwa keluarga kita akan memperoleh kedudukan tinggi! Bukan hanya kemuliaan di istana atau di kota raja, Sin-te, bahkan lebih lagi! Diam-diam pangeran menjanjikan sesuatu yang lebih hebat lagi!”

Pemuda berwajah tampan itu tersenyum-senyum dan wajahnya berseri tanda bahwa dia merasa gembira sekali.

Beng Sin diam-diam merasa terkejut, marah akan tetapi juga heran. Dia tahu bahwa kakak misannya ini mencinta Kui Lan, akan tetapi mengapa sekarang begitu girang menyerahkan dara yang dicintanya itu kepada pangeran? Dia masih dapat menahan kemarahannya, dan dengan suara dingin dia bertanya,

“Hemmm, sesuatu apakah yang dijanjikannya itu?”

Dalam kegembiraannya, Siok Bu tidak mendengar betapa suara adik misannya itu dingin sekali dan sinar mata yang biasanya jenaka itu berapi-api. Sambil tersenyum dia menjawab,

“Ah, hal ini hanya kuberi tahu kepadamu, Sin-te, tentu pamam tidak kuberi tahu karena ini merupakan rahasia kita berdua. Apa yang dijanjikan oleh pangeran itu? Beliau berkata bahwa kelak, kalau dia tidak membutuhkan lagi dia akan menghadiahkan Lan-moi dan Lin-moi kepadaku! Ha-ha, tentu saja Lin-moi akan kuserahkan kepadamu, Sin-te!”

“Plakkk!”

“Hei, gilakah engkau?”






Siong Bu meloncat ke belakang, melintangkan pedangnya dan menggosok-gosok pipinya yang tadi ditampar oleh Beng Sin dengan keras sekali itu. Ujung bibirnya berdarah. Dia dapat ditampar karena dia tidak pernah menyangka sama sekali bahwa adik misan yang sejak kecil takut dan taat kepadanya itu tiba-tiba menyerangnya seperti itu.

“Bu-ko, sungguh hatimu busuk dan kotor sekali!”

Beng Sin membentak marah. Memang sejak kecil dia mengenal Siong Bu sebagai seorang yang nakal, disangkanya bahwa Siong Bu yang amat mencinta Kui Lan itu akan melindungi dara itu. Siapa kira, dengan keji sekali Siong Bu malah menyerahkan dua orang dara kembar itu kepada pangeran dan merasa girang akan memperoleh hadiah kedudukan, bahkan begitu tak tahu malu untuk bergirang hati oleh janji pangeran bahwa kalau kelak pangeran sudah bosan, dara kembar itu akan dihadiahkan kepadanya!

Memang sejak kecil dia takut dan menurut kepada Siong Bu karena memang dia merasa kalah. Akan tetapi sekarang, setelah mereka sama-sama dewasa, apalagi demi membela Kui Lan dan terutama Kui Lin yang dicintanya, dia tidak akan takut melawan Siong Bu. Apalagi Siong Bu, siapapun akan dilawannya demi untuk membela dara kembar itu.

“Sin-te, apakah engkau sudah gila? Kau berani menamparku?” Siong Bu memandang marah.

“Bu-ko, hatimu busuk! Kusangka engkau menyayang Lan-moi dan Lin-moi, kukira engkau mencari mereka untuk melindungi, akan tetapi siapa kira, engkau malah menyerahkan mereka kepada pangeran, seperti mendorong masuk dua ekor domba ke kandang serigala! Engkau layak ditampar, bahkan patut dibunuh karena engkau jahat!”

“Keparat! Jadi engkau bukan hanya berani menentangku, bahkan engkau hendak menjadi pemberotak menentang pangeran? Jahanam busuk, aku harus membunuhmu!” bentak Siong Bu sambil memegang sarung pedang dengan tangan kiri dan pedang di tangan kanannya digerakkan di depan mukanya.

“Hemm, boleh kau coba! Akulah yang akan menamatkan riwayatmu karena engkau busuk dan hina, dan aku harus membalaskan penghinaan yang kau timpakan atas diri Lan-moi dan Lin-moi!”

“Beng Sin, tutup mulutmu yang kotor! Kubunuh engkau!” bentak Siong Bu makin marah.

Beng Sin melintangkan golok di depan dada, tangan kirinya memegang punggung golok besar itu dan dengan tenang berseru,

“Majulah, manusia busuk!”

Pada saat itu, terdengar teriakan dari pintu!
“Tahan! Jangan berkelahi!”

Suara itu adalah suara Kui Hok Boan yang muncul di pintu dan terkejut melihat dua orang pemuda itu saling berhadapan dengan senjata di tangan, dan kelihatannya bukan seperti sedang berlatih silat seperti biasa karena wajah mereka tegang dan kelihatan marah.

Akan tetapi, begitu melihat munculnya pamannya yang dianggapnya tentu cocok dengan dia mengenai urusan Lan Lan dan Lin Lin, Siong Bu sudah menubruk maju dan berkata,

“Paman, bocah ini hendak memberontak!”

Dan pedangnya sudah menyambar-nyambar ganas. Beng Sin cepat mengelak dan menangkis dengan penuh kewaspadaan karena diapun maklum betapa kakak misan atau juga suhengnya ini pandai sekali bermain pedang.

“Jangan berkelahi!” bentak pula Kui Hok Boan akan tetapi dua orang muda itu sudah begitu marah, dan terutama sekali Beng Sin sudah membenci sekali karena tahu betapa dua orang dara itu seolah-olah disuguhkan begitu saja oleh Siong Bu kepada pangeran itu dan dia dapat membayangkan betapa sengsara dan sedihnya hati dua orang dara kembar itu dan bahwa keadaan mereka sukar ditolong lagi karena sudah berada dalam cengkeraman pangeran itu.

Maka segala kedukaan, penyesalan dan kemarahannya dia timpakan kepada Siong Bu yang dianggap sebagai biang keladinya. Siong Bu yang merasa bahwa pamannya tentu membenarkannya juga menyerang dengan ganas sekali dan biarpun pamannya sudah berteriak agar mereka jangan berkelahi, dia masih terus menyerang dan tidak mau mengalah, apalagi karena di fihak Beng Sin juga sudah terus menyerangnya dengan nekat.

Kui Hok Boan sendiri sejenak termangu-mangu, tak tahu harus berbuat apa. Dia baru saja kembali dari kota raja dan bertemu dengan Pangeran Ceng Han How, diterima sebagai tamu terhormat dan diberi janji-janji muluk oleh sang pangeran.

Akan tetapi, dia tidak dapat bertemu dengan dua orang anaknya. Biarpun dia sudah mohon kepada pangeran itu untuk bertemu dengan mereka, akan tetapi Pangeran Ceng Han Houw tidak mengijinkannya dan hanya berkata bahwa dua orang puterinya itu telah berada di bagian keputren dan tidak bisa sembarangan begitu saja keluar dari istana.

“Harap engkau tidak khawatir, mereka akan baik-baik saja, hidup dalam kemuliaan dan kemewahan,” kata Ceng Han Houw sambil tersenyum, kemudian Kui Hok Boan dipersilakan untuk bermalam di dalam istana.

Biarpun dia memperoleh kamar yang amat mewah dan indah, namun Kui Hok Boan merasa gelisah. Sebagai seorang ayah, betapapun juga dia mengkhawatirkan keadaan dua orang puteri yang dicintanya. Semenjak Lan Lan dan Lin Lin minggat, selama berbulan-bulan lamanya dia berduka sekali dan setelah kini dua orang puterinya itu ditemukan oleh Siong Bu, dia belum sempat bertemu karena mereka telah diserahkan kepada Pangeran Ceng Han Houw oleh Siong Bu.

Dia merasa rindu sekali dan ingin melihat wajah dua orang puterinya, akan tetapi tidak ada kesempatan baginya. Diam-diam dia mulai menyesal. Biarpun dia akan mendapatkan hadiah dan mendapat kedudukan, apa artinya kalau dia tidak dapat lagi bertemu dengan mereka dan melihat dengan mata kepala sendiri bahwa mereka itu benar-benar hidup berbahagia?

Karena itu, biarpun dia mendapat pelayanan sebagai tamu agung, Kui Hok Boan merasa tidak betah tinggal di istana dan pada keesokan harinya dia sudah berpamit dan pulang ke rumahnya di dusun Pek-jun. Dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat dua orang keponakan itu sedang saling berhadapan kemudian berkelahi mati-matian. Hatinya terlalu pedih, terlalu risau untuk dapat bertindak cepat sehingga dia hanya berteriak-teriak melarang mereka berkelahi, seolah-olah tidak tahu harus berbuat apa, bahkan sama sekali tidak turun tangan melerai mereka.

Tiba-tiba Kui Hok Boan terbelalak kaget melihat Beng Sin menjatuhkan diri bergulingan di lantai. Itulah jurus-jurus Trenggiling dari Go-bi-pai aseli yang tidak sempat dia pelajari! Heran bukan main hatinya. Dari mana Beng Sin dapat mainkan jurus-jurus yang berbahaya dan lihai ini?

Juga Siong Bu terkejut sekali dan beberapa kali pedangnya masih mampu melindungi tubuhnya, akan tetapi tiba-tiba tangannya yang memegang pedang kena tendangan dari bawah sehingga pedangnya terlepas dan pada saat itu, golok Beng Sin menyambar.

“Cappp!”

“UGHHH!” Siong Bu menjerit dan darah bercucuran dari perutnya yang robek.

“Heiiiii...!”

Kui Hok Boan juga berseru dan meloncat ke depan, menendang tangan Beng Sin yang memegang golok, Beng Sin yang berdiri terbelalak memandang kepada kakak misannya yang roboh sambil mendekap perut yang terobek itu, tidak mengelak dan goloknya terlepas ketika tangannya ditendang oleh pamannya.

“Siong Bu...!” Kui Hok Boan menubruk pemuda yang berkelojotan itu.

Siong Bu merintih-rintih, kedua tangan mendekap perut menahan isi perut yang mau keluar.

“Paman... aduhhh... mati aku, paman...” Dia merintih dan menangis.

“Siong Bu... ah, Siong Bu, anakku...! Ah, Beng Sin, apa yang kau lakukan ini? Apa yang telah kalian lakukan ini?”

Hok Boan menjerit-jerit dan memukul-mukul tanah dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya merangkul leher Siong Bu.

“Kalian adalah saudara-saudara seayah, kalian adalah anak-anakku sendiri berlainan ibu, dan sekarang kalian saling serang, saling bunuh! Ya Tuhan...!”

Beng Sin terbelalak dan wajahnya menjadi pucat sekali. Diapun berlutut dan memandang ayahnya dengan bingung.

“Paman... ayahku... bagaimana ini...?” dia tergagap.

“Siong Bu, ibumu adalah mendiang Kwan Siang Li, seorang janda... dan akulah ayah kandungmu... dan kau Beng Sin, ibumu yang kini menjadi nikouw bernama Tee Cui Hwa, dan akulah ayah kandungmu pula... dan kau sekarang membunuh saudara tirimu, seayah...!”

Kui Hok Boan tak dapat menahan diri lagi, menangis terisak-isak karena Siong Bu mulai lemas dan kepala pemuda itu terkulai.

Beng Sin memegang tangan yang lemas itu.
“Bu-ko, maafkan aku... aku tidak tahu, bahwa... kita... kita masih seayah...” katanya seperti berbisik.

Siong Bu membuka matanya, tersenyum. Agaknya kini rasa nyeri sudah meninggalkannya.

“Aku... aku... yang salah...!” Dia memejamkan matanya dan napasnya putus!

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: