***

***

Ads

Minggu, 02 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 185

Kembali nikouw tua itu menarik napas panjang.
“Yang dimaksud keluarga juga termasuk anak, sicu, maka semua nikouw yang berada disini sudah tidak ada ikatan lagi dengan dunia, tidak ada ikatan dengan keluarga, termasuk anak. Maka, kalau sicu bukan bermaksud untuk sembahyang, pinni mohon agar sicu suka meninggalkan kuil ini dan harap jangan mengganggu ketenteraman kehidupan para nikouw.”

Beng Sin mengerutkan alisnya. Dia sudah melakukan perjalanan jauh dan susah payah akan tetapi setelah tiba di tempat yang dicarinya, dia disuruh pergi begitu saja tanpa diberi kesempatan untuk bertemu dengan ibunya, bahkan untuk sekedar mendapat keterangan apakah ibunya masih hidup ataukah sudah mati!

“Hemm, beginikah yang dinamakan prikemanusiaan dan mengabdi prikemanusiaan?” Dia berkata penasaran. “Agaknya para pendeta hanya mementingkan diri para pendeta sendiri, akan tetapi sama sekali tidak memperdulikan perasaan hati orang-orang biasa! Apakah suthai tidak merasakan betapa rindu hati seorang anak terhadap ibu kandungnya? Apakah suthai hendak membiarkan seorang anak menjadi kecewa dan berduka karena tidak diperbolehkan berjumpa dengan ibu kandungnya yang selamanya belum pernah dikenalnya karena sejak kecil telah dipisahkan? Bukankah itu merupakan perbuatan yang amat kejam, bertentangan dengan sifat welas asih dari Kwan Im Hud-couw sendiri?”

Nikouw tua itu menarik napas panjang.
“Ahhh, sicu tidak tahu tentang belas kasih! Belas kasih adalah cinta kasih, dan cinta kasih tidak lagi membeda-bedakan antara anak atau orang lain, tidak lagi mementingkan diri pribagi, tidak ada lagi iba diri. Kami para nikouw memandang semua orang seperti anak sendiri, seperti diri sendiri, dan pemisah-misahan antara anak dan orang lain itu hanya mendatangkan ikatan belaka dan mengembalikan kami kepada asal semula, yaitu dunia yang penuh dengan ikatan-ikatan. Harap sicu memaklumi keadaan kami dan sudilah sicu meninggalkan kami, dan tidak lagi menganggap bahwa ada ibu kandung di tempat ini. Tempat ini tiada bedanya dengan tanah kuburan dan yang tinggal hanya namanya saja. Cukuplah, sicu, semoga Hud-couw memberkahimu.”

Setelah berkata demikian, nikouw itu menjura dan pergi meninggalkan Beng Sin yang masih berdiri termangu-mangu di tempat itu.

Akhirnya dia tahu bahwa berdebatpun tidak akan ada gunanya, dan untuk memaksapun selain dia tidak berani dan tidak mau, juga apa hasilnya? Dia tidak akan dapat mengetahui yang mana ibu kandungnya. Dia tidak mungkin dapat bertemu dengan ibu kandungnya kecuali kalau ibu itu sendiri yang memperkenalkan diri.

Dengan kedua kaki lemas Beng Sin keluar dari kuil itu dan akhirnya dia menjatuhkan diri di bawah pohon tak jauh dari kuil. Baru sekarang terasa olehnya betapa seluruh tubuhnya lemas dan lelah sekali. Tadinya dia masih penuh semangat dan bayangan kegembiraan bertemu dengan ibu kandungnya membuat dia lupa akan segala kesengsaraan perjalanan jauh itu. Akan tetapi setelah kini dia kehilangan harapan dan semangat, lemaslah dia dan terasalah semua kelelahannya. Mengingat akan semua itu, kalau saja dia tidak memiliki kekerasan hati ingin rasanya dia menangis!

Selagi dia duduk dengan muka pucat dan berulang kali menarik napas panjang, hatinya penuh kekecewaan dan kedukaan, tiba-tiba terdengar suara halus menegurnya,

“Sicu, bukankah engkau she Tee bernama Beng Sin?”

Beng Sin terkejut dan melompat berdiri, lalu membalikkan tubuhnya. Dilihatnya seorang nikouw yang agak gemuk berdiri di depannya, seorang nikouw yang usianya kurang lebih tiga puluh lima lebih, masih nampak muda karena wajahnya terang dan bibirnya selalu mengandung senyuman biarpun sepasang matanya lembut sekali. Sejenak mereka berdua berdiri berhadapan dan saling pandang dengan penuh perhatian. Jantung Beng Sin berdebar penuh ketegangan, akan tetapi dia ragu-ragu dan dengan lirih dia bertanya sambil menjura.






“Benar sekali, bagaimana suthai mengetahuinya?”

“Tentu saja aku tahu, karena wajahmu dan tubuhmu persis sekali, seperti kembar saja kalau dibandingkan dengan pamanmu yang tiada,” jawab nikouw itu.

Beng Sin menatap wajah nikouw itu, melihat betapa bibir dan pelupuk mata nikouw itu gemetar, biarpun pandang matanya tetap lunak dan lembut.

“Suthai... siapakah...?”

“Pinni Thian Sin Nikouw, seorang anggauta kuil ini...”

“Suthai... suthai mengenal Tee Cu Hwa yang saya cari-cari...?” Beng Sin bertanya dan sepasang matanya menatap tajam.

Nikouw itu mengangguk dan matanya berkejap dua kali, alisnya agak berkerut
“Tee Cui Hwa telah mati, tidak ada lagi di dunia ini... apa yang kau kehendaki?”

Beng Sin tidak terkejut mendengar ini akan tetapi dia menatap wajah itu makin tajam, wajah yang mendatangkan rasa aneh dalam hatinya, seolah-olah dia selama hidupnya pernah mengenal wajah ini.

“Saya... saya hanya ingin mengetahui apakah benar saya adalah anak kandung dari Kui Hok Boan, dan agaknya hanya ibu kandung saya yang dapat menceritakannya kepada saya. Maka saya harap ibu... saya harap suthai sudi membebaskan saya dari kegelisahan dan keraguan ini, sudi menceritakan kepada saya tentang riwayat ibu kandung saya dan juga ayah kandung saya!”

Sepasang mata itu terpejam rapat-rapat seolah-olah hendak mencegah mengalirnya air mata dan menekan perasaan haru yang menghimpit, akan tetapi ketika kedua mata itu dibuka, biarpun tidak ada air mata mengalir tetap saja kedua mata itu basah.

“Benar, Kui Hok Boan adalah ayah kandungmu. Akan tetapi perlukah sicu mengetahui riwayat yang tidak baik itu? Perlukah segala kekotoran dibongkar kembali? Tidak ada manfaatnya bagimu, sicu.”

“Tidak, saya harus mengetahuinya! Lebih tidak baik lagi kalau kekotoran itu dirahasiakan dan ditutup-tutupi karena saya telah mencium baunya yang busuk! Demi Tuhan, demi segala dewa, demi Kwan Im Pouwsat, harap suthai suka menaruh kasihan kepada saya, seorang yang ayah bundanya masih hidup dan segar-bugar, akan tetapi yang merasa telah menjadi yatim piatu, karena baik ayahnya maupun ibunya sudah lama sekali tidak memperdulikan lagi kepada saya!”

“Sicu! Jangan kau keluarkan kata-kata seperti itu,” Nikouw itu menunduk, dan dengan halus dia menggunakan ujung lengan bajunya untuk menghapus dua titik air mata yang turun dari kedua matanya. “Sicu tidak tahu betapa mendiang Tee Cui Hwa menderita dengan hebat, menderita lahir batin, jauh lebih hebat daripada perasaan yang sicu derita sekarang ini.”

“Akan tetapi saya sebagai anak kandung ibu dan ayah, berhak sepenuhnya untuk mengetahui riwayat mereka, suthai!” Beng Sin mendesak.

“Baiklah, baiklah, mari kita masuk ke ruangan tamu di kuil, nanti pinni ceritakan semua kepadamu, sicu.”

Setelah berkata demikian, nikouw itu lalu berjalan menuju ke kuil dengan kepala tunduk, diikuti oleh Beng Sin dari belakang. Nikouw yang mengaku bernama Thian Sin Nikouw itu memasuki ruangan tamu kuil dari pintu samping, kemudian dia duduk sambil mempersilakan pemuda itu duduk di depannya. Sejenak mereka yang duduk saling berhadapan itu saling pandang dan akhirnya nikouw itu menarik napas panjang.

“Omitohud... sama sekali bukan maksud pinni untuk membongkar kebusukan orang, akan tetapi memang benar seperti ucapan sicu tadi, sebagai putera mereka, sicu berhak mendengar dan mengetahui kesemuanya itu.”

Dia berhenti sejenak, memejamkan mata seolah-olah sedang berdoa mohon pengampunan kepada Dewi Kwan Im Pouwsat yang dipujanya atas kelancangannya membongkar kebusukan orang. Kemudian dia membuka matanya yang menjadi jernih dan tenang, lalu berceritalah dia dengan suara datar dan halus tanpa disertai ketegangan atau keharuan hati, seolah-olah hanya mulutnya saja yang bergerak akan tetapi hatinya tidak ikut bicara.

Belasan tahun yang lalu, hampir dua puluh tahun yang lalu, gadis Tee Cui Hwa yang berusia tujuh belas tahun hidup berdua saja dengan Tee Kang, yaitu kakaknya yang berusia dua puluh lima tahun. Kakak beradik ini sudah yatim piatu, dan mereka hanya hidup berdua saja dari hasil pekerjaan Tee Kang sebagai seorang penjaga keamanan sebuah rumah judi yang besar.

Tee Kang adalah seorang pemuda yang bertubuh kuat dan memiliki kepandaian silat lumayan, maka dia dapat bekerja sebagai penjaga keamanan rumah perjudian itu. Biarpun hidup sederhana, namun kakak beradik ini tidak kekurangan dan mereka hidup saling menyayangi karena hanya berdua saja mereka di dunia ini.

Pada suatu hari, Tee Kang pulang membawa seorang tamu. Tamu ini adalah sahabatnya yang bernama Kui Hok Boan, seorang pemuda yang tampan dan menarik sekali, pandai dalam ilmu sastera dan ilmu silat, akan tetapi pemuda ini juga menjadi langganan setia dari rumah perjudian itu sehingga kenal dengan Tee Kang. Tee Kang yang diam-diam hendak mencarikan jodoh untuk adik perempuannya, tertarik melihat teman ini dan dia membayangkan betapa akan bahagianya adiknya dan dia kalau Kui Hok Boan yang disebut Kui-siucai ini dapat berjodoh dengan Cui Hwa!

Setelah Kui Hok Boan bertemu dengan Cui Hwa, pemuda tampan ini segera tertarik, bukan oleh kecantikan Cui Hwa karena sesungguhnya gadis itu bukan tergolong gadis yang terlalu cantik sungguhpun wajahnya bersih dan tubuhnya montok. Akan tetapi memang Kui-siucai adalah seorang pemuda mata keranjang dan hidung belang, hanya semua watak ini tertutup oleh sikapnya yang halus sebagai sasterawan sehingga Tee Kang terkelabui dan mengira bahwa pemuda itu adalah seorang yang baik budi!

Melihat seorang gadis bagi Kui Hok Boan tiada bedanya dengan melihat seekor daging segar bagi seekor serigala kelaparan, maka tentu saja dia diam-diam sudah mengilar! Hubungannya dengan Tee Kang menjadi makin erat sehingga akhirnya kadang-kadang Kui Hok Boan sampai bermalam di rumah kakak beradik itu.

Pada suatu sore, ketika Tee Kang pulang dari tempat kerjanya, dia terkejut melihat adiknya menangis di dalam kamarnya. Ketika ditanya, Tee Cui Hwa mengaku bahwa siang tadi, ketika Tee Kang sedang bekerja, Kui Hok Boan datang dan memaksanya menuruti kehendaknya. Dia menolak, karena mereka belum menikah, akan tetapi Kui Hok Boan memaksa dan dengan kejam telah memperkosanya!

Mendengar ini, Tee Kang menjadi marah bukan main. Memang benar dia ingin sekali agar adiknya menjadi isteri Kui Hok Boan, akan tetapi tidak secara dipaksa dan diperkosa! Maka dia cepat pergi lagi mencari Kui Hok Boan dan setelah bertemu, dia minta pertanggungan jawab Kui Hok Boan untuk segera mengawini adiknya.

Akan tetapi, Kui Hok Boan menolak, bahkan menantangnya. Tee Kang menjadi marah sekali dan mereka lalu berkelahi. Akan tetapi akhirnya Tee Kang roboh dan tewas di tangan Kui Hok Boan yang lebih lihai.

Nikouw itu menghentikan ceritanya dan memejamkan kedua matanya.
“Demikianlah, sicu, pamanmu itu tewas di tangan pria yang jahat itu...”

“Dan ibuku? Apa jadinya dengan dia?”

Beng Sin mendesak, mukanya menjadi merah karena diam-diam dia marah sekali kepada Kui Hok Boan.

“Dia telah kehilangan satu-satunya orang yang dapat dijadikan pelindungnya, satu-satunya keluarganya di dunia ini. Orang she Kui itu lalu datang dan memaksanya ikut pergi, memperkosanya dan mempermainkan sesuka hati sampai dia mengandung, lalu ditinggal pergi...”

“Keparat jahanam Kui Hok Boan!” Beng Sin berseru sambil mengepal tinjunya.

“Omitohud... semoga Pouwsat menerangi batinmu, sicu. Tidak boleh memaki dan mengutuk orang yang menjadi ayah kandungmu sendiri.”

“Lalu bagaimana dengan ibuku, suthai?”

“Dia melahirkan engkau, sicu... kemudian setelah menitipkan atau memberikanmu kepada sebuah keluarga dusun yang baik hati, dia lalu masuk menjadi nikouw...”

“Dan orang bernama Kui Hok Boan itu lalu mengambilku dan mengakuinya sebagai keponakannya!”

Nikouw itu mengangguk.
“Pinni mendengar bahwa sicu telah diambilnya dan tadinya hati pinni ikut merasa gembira karena agaknya ayah kandung itu ingat kepada anaknya sendiri...”

“Tapi dia tetap jahat! Dan ibu... ibuku adalah engkau, suthai...! Ibu...!” Beng Sin lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki nikouw itu.

Nikouw itu bangkit berdiri, memejamkan mata dan merangkap kedua tangan di depan dada.

“Tidak...! Ibumu, Tee Cui Hwa telah mati bagimu dan bagi dunia, sicu. Pinni adalah Thian Sin Nikouw...”

“Ibu... tidak kasihankah engkau kepadaku, anakmu?” Beng Sin meratap, masih berlutut.

“Pinni kasihan kepadamu seperti kepada semua orang yang menderita, sicu. Pouwsat tidak memilih-milih orang dalam belas kasihan beliau! Ibumu telah mati dan pinni adalah seorang nikouw...” Nikouw itu menyentuh kedua pundak Beng Sin, sejenak kedua tangannya menyentuh mesra dan jari-jari tangan itu gemetar, akan tetapi tak lama kemudian seperti ada tenaga baru yang menghilangkan getaran itu, lalu dia membangkitkan Beng Sin. “Bangkitlah dan jangan menuruti hati yang lemah, sicu.”

Beng Sin bangkit berdiri, memandang kepada nikouw itu dengan mata basah.
“Baiklah, suthai, akan tetapi tentu suthai sudi untuk menggantikan kedudukan ibuku dan memberi kepastian dan pendapat suthai tentang perjodohanku.”

“Perjodohan? Sicu hendak menikah? Ah, baik sekali itu, tentu saja pinni merasa bersyukur dan akan pinni doakan selalu kepada Pouwsat agar hidupmu penuh dengan kebahagiaan, sicu, tidak seperti kehidupan ibumu dahulu!”

Beng Sin lalu menceritakan tentang usul yang diajukan keluarga Ciook kepadanya, dan menceritakan pula semua peristiwa yang terjadi di dalam keluarga Kui Hok Boan, betapa dia hendak membela dua orang gadis kembar yang ternyata masih adik-adik tirinya sendiri seayah itu, dan betapa dalam perkelahian dia telah membunuh kakak tirinya.

Nikouw itu mendengarkan dengan alis berkerut. Kemudian dia berkata setelah pemuda itu menghabiskan ceritanya,

“Sicu, biarlah pinni mewakili ibumu dan menasihatimu. Sebaiknya engkau jangan kembali lagi kepada ayah kandungmu yang ternyata sampai sekarang masih belum juga insaf dari kesesatannya itu. Sebaiknya, mulai sekarang sicu tidak mendekatinya agar tidak timbul segala urusan yang tidak baik dan pergilah engkau kepada keluarga Ciook itu, terimalah usul mereka untuk menjodohkan sicu dengan gadis she Ciook itu. Pinni akan selalu berdoa untuk keselamatan dan kebahagiaanmu, sicu. Nah, sekarang terpaksa pinni mempersilahkan sicu pergi.”

Beng Sin merasa girang sekali mendengar betapa nikouw ini, yang dia yakin adalah ibu kandungnya, telah menyetujui perjodohannya, dia merasa girang dan terharu sekali, maka dia lalu kembali menjatuhkan diri berlutut,

“Ibu... suthai... terima kasih atas segala nasihatmu... kelak pada suatu hari... aku akan mengajak isteriku untuk datang menghadap ibu...!”

Sejenak nikouw itu berdiri seperti patung, dua matanya menjadi basah dan cepat-cepat dia mengusapnya dengan ujung lengan bajunya, lalu dia tersenyum,

“Bangkitlah, Beng Sin! Pouwsat akan selalu melindungimu, nak. Dan selamat jalan, doa restuku selalu menyertaimu!” Dan dia lalu membalikkan tubuh, mengucapkan doa sambil pergi dari ruangan tamu itu.

Beng Sin juga bangkit berdiri lalu melangkah keluar dari kuil, hatinya kini terasa lapang. Dia dapat memaklumi akan sikap ibu kandungnya. Dapat dia membayangkan betapa sengsara ibu kandungnya ketika diperkosa oleh Kui Hok Boan, dipermainkan bahkan dipisahkan dari kakak kandungnya yang terbunuh, kemudian, setelah mengandung lalu ditinggalkan oleh pria yang jahat itu. Dan pria itu adalah ayah kandungnya sendiri! Betapa benci hatinya terhadap orang itu, ingin dia kembali ke dusun Pek-jun dan membunuh Kui Hok Boan, atau terbunuh olehnya!

Akan tetapi dia teringat akan semua kata-kata nikouw itu, ibu kandungnya, dan semua kebenciannya itupun dilupakannya. Memang tidak benar kalau dia akan memusuhi, apalagi membunuh ayah kandungnya sendiri. Kalau begitu, maka dia akan menjadi seorang manusia durhaka dan keji, bahkan mungkin lebih keji daripada ayah kandungnya itu sendiri!

Maka, memang tepat nasihat ibunya, lebih baik dia tidak lagi mendekati manusia itu, dan menerima saja usul Ciook-piauwsu yang gagah dan baik budi itu untuk menjadi suami Ciook Sui Lan yang manis dan halus budi pula. Maka berangkatlah Beng Sin langsung menuju ke Su-couw dan dia melihat cahaya hidup baru membentang luas di depannya.

**** 185 ****
Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: