***

***

Ads

Rabu, 05 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 192

Ke manakah Sin Liong harus mencari Bi Cu? Apa yang terjadi dengan dara itu semenjak dia berpisah dari Sin Liong? Seperti telah kita ketahui Bi Cu tadinya tertawan oleh Pangeran Ceng Han Houw dan hanya setelah Sin Liong memberikan janjinya untuk membawa pangeran itu kepada suhengnya sehingga pangeran itu akhirnya diterima menjadi murid Bu Beng Hud-couw, maka Bi Cu dibebaskan oleh sang pangeran.

Tentu saja diam-diam pangeran ini meninggalkan pesan kepada orang-orangnya agar mengamat-amati dara itu karena betapapun juga, Bi Cu adalah murid mendiang Hwa-i Kai-pang, dan karenanya dianggap sebagai musuh pemerintah pula.

Semenjak berpisah dari Sin Liong, Bi Cu merasa betapa hidupnya menjadi lain sama sekali. Kalau tadinya sebagai Kim-gan Yan-cu, pemimpin para pengemis muda, biasa hidup lincah dan gembira, kini dia merasa betapa hidupnya sunyi dan tidak ada kegembiraan lagi. Dia tidak berani kembali ke kota raja setelah dia dianggap pemberontak pula. Kini, dia terlunta-lunta, mencoba untuk mencari-cari Sin Liong, berkelana dengan hati duka ke barat dan ke selatan. Semenjak berpisah dari Sin Liong, terasa lagi kesengsaran yang menindih hatinya semenjak dia masih kecil, bahkan kini makin parah kedukaan melukai hatinya.

Semenjak kecil, Bi Cu merindukan kasih sayang orang tuanya. Sejak kecil dia telah kematian ibu kandungnya, ke¬mudian oleh ayah kandungnya dia diberikan kepada orang lain! Hal inilah, setelah dia agak besar mulai mengerti, yang mencabik-cabik perasaan hatinya, kedukaan yang pertama kali terasa olehnya. Dia merasa dikesampingkan, bahkan merasa dibuang, merasa diremehkan sekali oleh orang yang menjadi ayah kandungnya sendiri, satu-satunya orang tuanya, setelah ibu kandungnya meninggal!

Ayah kandungnya, satu-satunya orang di dunia ini yang menjadi darah dagingnya, telah menyingkirkan ia karena hendak menikah dengan wanita lain setelah ibunya meninggal! Hatinya terasa perih, bukan karena ayahnya menikah dengan wanita lain, melainkan karena dia merasa telah dibuang oleh ayahnya!

Kadang-kadang, dia merasa penasaran, dia me¬rasa kesepian dan marah, sehingga ada kalanya, timbul perasaan benci kepada ayah kandungnya. Dalam keadaan seperti itu, kadang-kadang dia merasa betapa dunia ini merupakan tempat yang gelap pekat, sempit dan tidak menyenangkan. Apalagi setelah kehidupannya mulai ter¬hibur karena kebaikan Na-piauwsu, kemu¬dian piauwsu ini tewas oleh musuh-musuh¬nya di depan matanya. Dia merasa se¬olah-olah dunia kiamat.

Satu-satunya pengganti orang tuanya, Na-piauwsu yang demikian baik kepadanya, telah tewas dalam keadaan menyedihkan, dan putera piauwsu itu, Na Tiong Pek, agaknya hen¬dak memaksa hasrat hatinya, hendak memperisterinya di luar kehendak hati¬nya.

Dalam keadaan seperti itu, dia terlunta-lunta dan akhirnya dia memperoleh penerangan jiwa lagi ketika dia menjadi murid Hwa-i Sin-kai, ketua Hwa-i Kai-pang yang juga amat baik kepadanya dan kemudian dia masih dapat hidup gembira ketika gurunya ini meninggal dunia dan dia memimpin para pengemis muda.

Akan tetapi, sedikit sinar terang inipun padam dan dia menjadi buronan pemerintah! Namun, hidupnya mengalami perubahan besar, kegembiraan mulai memenuhi batinnya ketika dia bertemu dengan Sin Liong, dan ternyata kebahagiaan bersama Sin Liong inipun direnggut orang dari tangannya! Dia kini terpisah dari pemuda itu, dan dia hidup terlunta-lunta, seorang diri saja di dunia ini, kesepian, dan kekeringan!






Mau rasanya dia mati saja daripada hidup dalam penderitaan batin tiada hentinya itu. Dia haus akan cinta kasih, dan sikap Sin Liong membayangkan cinta kasih yang dapat memenuhi hatinya, sebagai pengganti cinta kasih ayah bundanya. Namun, kini dia tidak tahu apakah Sin Liong masih hidup dan dapat menyelamatkan diri dari tangan pangeran yang amat dibencinya itu.

Bi Cu menjatuhkan dirinya duduk di bawah pohon besar dan tak tertahankan lagi dia menangis. Air matanya bercucuran tak dapat ditahannya, dan diapun tidak berusaha menahannya. Dia merasa amat lelah, lelah lahir batin. Kakinya lelah karena sehari penuh dia berjalan kaki, seluruh tubuh lelah karena sehari itu tak pernah ada makanan memasuki perutnya dan diapun tidak ada nafsu makan sama sekali.

Batinnya juga lelah, karena digerogoti kesepian dan kerinduan akan kasih sayang. Dia merasa pada saat itu betapa sia-sia hidupnya, betapa ko¬song tiada artinya sama sekali. Bi Cu menangis mengguguk. Air matanya ber¬cucuran, ujung hidungnya menjadi merah dan dia tersedu-sedu. Iba diri makin meng¬gerogoti hatinya, iba diri yang datang dari pikiran membayangkan kesengsaraan yang dideritanya, menciptakan tangan maut yang mencengkeram hatinya dan meremas-remas hatinya sehingga ber¬darah.

Bukan hanya Bi Cu yang mendamba¬kan cinta kasih, merindukan kasih sayang dilimpahkan kepadanya. Kita semua rindu akan kasih sayang. Kita semua meng-hendaki agar semua orang di dunia ini suka dan cinta kepada kita! Kita haus akan cinta kasih! Dari manakah datang¬nya kehausan ini? Mengapa kita dahaga akan cinta kasih orang lain terhadap diri kita.

Kita tidak pernah mau sadar melihat kenyataan bahwa yang terpenting daripada segala keinginan dicinta orang itu adalah pertanyaan : apakah KITA suka atau mencinta kepada SEMUA orang? Sesungguhnya di sinilah letak sumber daripada segalanya.

Tanpa adanya cinta kasih dalam batin kita sendiri terhadap semua orang dan segala sesuatu, kita akan selalu haus akan cinta kasih lain orang! Akan tetapi apabila hati ini penuh cinta kasih, maka kita tidak lagi akan kehausan. Karena batin tidak ada cinta kasih inilah maka kita selalu dahaga akan cinta kasih terhadap diri kita, seperti sumur kering merindukan air. Kalau su¬mur itu penuh air, dia tidak akan lagi rindu akan air, bahkan airnya yang ber¬limpah-limpah itu menghilangkan dahaga SIAPA SAJA!

Sungguh sayang, kita tidak pernah mengamati apakah ada cinta kasih dalam diri kita terhadap sesama manusia atau sesama hidup. Sebaliknya malah, kita selalu mengamati apakah ada cinta kasih dari orang lain untuk kita! Kalau ada maka kita merasa senang dan kalau tidak, kita merasa sebaliknya.

Kita baru dapat bicara tentang cinta kasih kalau batin ini sudah kosong dan bersih daripada kebencian, iri hati dan pementingan diri sendiri. Selama semua ini ada di dalam batin, jangan harap akan ada sinar cinta kasih dalam diri kita. Dan kalau semua itu sudah bersih, lalu ada cinta kasih di dalam hati, jelaslah bahwa kita tidak MENGHARAPKAN lagi cinta kasih orang lain terhadap kita, bahkan kita TIDAK MENGHARAPKAN APA-APA LAGI!

Hati yang penuh cinta kasih tidak mengharapkan apa-apa lagi, seperti cawan yang penuh anggur tidak menghendaki apa-apa lagi. Tidak ada lagi rasa takut, tidak ada lagi rasa khawatir tidak akan dicinta orang, tidak ada lagi rasa takut akan dibenci orang. Yang takut tidak dicinta, yang takut dibenci, adalah si aku, yaitu pikiran yang mengaung-ngaungkan si aku, yang memupuk iba diri. Akan tetapi, kalau hati penuh dengan cinta kasih, tidak ada lagi si aku yang ingin ini dan itu.

Bi Cu masih menangis sesenggukan. Tangisnya mulai mereda, hanya tinggal isak-isak pelepas ganjalan hati. Suka maupun duka ada batasnya. Permainan pikiran selalu terbatas. Penghamburan tenaga sakti berupa senang dan susah mendatangkan kelelahan dan biasanya orang akan merasa lelah dan lemah setelah penumpahan rasa duka maupun suka ini.

Demikian pula dengan Bi Cu. Setelah air matanya dikuras, seolah-olah hendak mencuci bersih hal-hal yang mengganjal hatinya, dia merasa lelah dan dia rebah di atas rumput, berbantal kedua lengannya, merenung dan melamun menatap langit. Dengan pesona yang aneh matanya mengamati dan mengikuti gerakan awan-awan putih berarak di langit biru, seperti sekumpulan domba-domba yang bulunya tebal dan lunak.

Ketika ada segumpal awan memanjang dan khayalnya membentuk gumpalan awan itu sebagai seorang anak laki-laki penggembala domba-domba itu, teringatlah dia kembali kepada Sin Liong dan dia mengeluh lirih. Dia tidak tahu betapa dalam waktu beberapa menit tadi dia mengamati awan berarak, pikirannya kosong sama sekali, maka semua duka lenyap tanpa bekas dan pada saat itulah dia berada dalam keadaan kosong dan bersih! Namun, begitu pikirannya teringat kembali, bekerja kembali, diapun dilontarkan kembali ke dunia penuh pertentangan antara suka dan duka ini.

Bentuk itu mengingatkan dia kepada Sin Liong dan dia termenung. Semenjak dia bertemu kembali dengan Sin Liong, dia merasakan sesuatu yang hanya dapat dirasakan olehnya sendiri saja. Dia tidak tahu apakah adanya perasaan itu. Cinta kasihkah? Atau apa? Yang jelas, dia selalu terbayang-bayang kepada Sin Liong, wajahnya, gerak-geriknya, bahkan pakaiannya, dan suaranya seperti selalu bergema di dalam telinganya. Dan semua ini menimbulkan kerinduan yang amat sangat, kerinduan terhadap Sin Liong.

Dia tahu bahwa Sin Liong telah mengorbankan diri untuknya, dia tahu bahwa pemuda itu telah menolongnya bebas dari tangan pangeran yang dibencinya itu. Akan tetapi dia tidak tahu apakah adanya urusan antara Sin Liong dan pangeran itu. Teringat akan pengorbanan pemuda itu, dia menjadi semakin rindu kepadanya. Terbayang betapa gembiranya ketika dia melakukan perjalanan di samping Sin Liong, bahkan teringat betapa mesranya ketika mereka bersama-sama menghadapi maut, ketika mereka hanyut dalam arus air dan menghadapi maut di ujung anak-anak panah yang dilepas oleh para perajurit.

Bayangan Sin Liong ini mendatangkan keharuan, kerinduan, akan tetapi juga membangkitkan semangatnya kembali. Aku harus mencarinya, aku harus menemukannya, demikian pikiran yang mendatangkan semangat itu. Aku tidak boleh mati sebelum bertemu kembali dengan Sin Liong!

Dara itupun bangkit berdiri dan memandang ke depan. Di atas lereng bukit berdiri di depan nampak genteng-genteng rumah dusun. Dia harus mencapai dusun itu sebelum gelap menyelubungi bumi. Perutnya lapar dan dimana ada genteng rumah, tentu ada manusia dan dimana ada orang tentu ada makanan. Diapun lalu berlari ke depan, menuju ke dusun di lereng bukit itu.

Sampai berbulan lamanya Bi Cu berkelana ke barat, berputar-putar kemudian ke selatan. Di setiap tempat yang dilaluinya, dia selalu mencari keterangan tentang Sin Liong, akan tetapi agaknya orang di dunia ini tidak ada yang mengenal nama Sin Liong dan dia tidak pernah menemukan jejaknya.

Bi Cu sama sekali tidak tahu betapa ketika dia memasuki dusun itu dan langsung menuju ke sebuah kedai makanan, ada beberapa pasang mata memandangnya dengan penuh perhatian. Beberapa pasang mata ini makin lama makin bertambah banyak dan belasan orang itu mengintainya dari jauh. Bahkan mereka selalu membayanginya ketika dia sehabis makan mondok di rumah keluarga petani yang ramah.

Malam itu Bi Cu tidur dengan nyenyaknya setelah perutnya diisi. Dia merasa tenaganya pulih kembali dan dia mengambil keputusan untuk besok pagi-pagi mulai lagi dengan pencariannya. Dia akan mencari Sin Liong sampai jumpa, biar ke ujung dunia sekalipun!

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bi Cu sudah sarapan di warung makanan dan karena dia hendak pergi melintasi bukit-bukit di depan, maka dia memesan roti kering untuk bekal di jalan, kalau-kalau dia tidak akan bertemu dengan dusun hari itu. Kemudian Bi Cu berangkat meninggalkan dusun itu, sama sekali tidak tahu betapa tak lama setelah dia pergi, ada lima belas orang perajurit menunggang kuda membalapkan kuda keluar dari dusun itu dan melakukan pengejaran kepadanya.

Bi Cu masih belum sadar akan datangnya bahaya ketika dia mendengar derap kaki kuda di sebelah belakangnya. Dia hanya menduga ada serombongan orang berkuda hendak lewat, maka dia cepat minggir di tepi jalan dan menundukkan mukanya agar jangan terlihat oleh rombongan itu. Dia sudah sering kali mengalami hal-hal tidak enak kalau memperlihatkan muka dan bertemu de¬ngan kaum pria di tempat sunyi. Hanya karena mengandalkan kepandaian silatnya maka selama ini dia dapat menghindar¬kan segala bencana yang mungkin datang dari pria-pria hidung belang atau mata keranjang.

Akan tetapi ketika rombongan ber¬kuda itu lewat, dia terkejut melihat bahwa mereka itu berpakaian seragam, dan baru dia tahu akan bahaya ketika mereka berturut-turut berloncatan turun dari atas kuda dan sudah mengepungnya dengan wajah bengis! Tahulah dia bahwa para perajurit ini telah mengenalnya dan tentu hendak menangkapnya!

Seorang diantara mereka ber¬pakaian komandan, sambil tersenyum lebar melangkah maju. Pria ini usianya tiga puluh tahun lebih, kumisnya tebal dan matanya lebar. Sambil tersenyum mengejek komandan itu berkata.

“Kim-gan Yan-cu, susah payah kami mencari-carimu, kiranya engkau berada disini. Ha-ha, engkau hendak lari kemana sekarang?”

Disebut nama julukannya, timbul semangat dalam diri Bi Cu. Ketika dia masih menjadi pemimpin para pengemis, hidupnya penuh petualangan dan dia tidak pernah takut terhadap apapun juga. Ber¬kelahi merupakan “pekerjaan” sehari-hari, maka kini begitu dia disebut Kim-gan Yan-cu, semangatnya terbangun dan biar¬pun dia dikepung oleh lima belas orang perajurit, dia bersikap tenang saja dan memanggul buntalan terisi pakaian dan bekal roti kering.

“Hemm, kalian ini perajurit-perajurit kerajaan, apakah tidak malu mengganggu seorang wanita di tengah jalan sunyi dalam hutan? Kalian mau apakah?”

“Ha-ha-ha, tak perlu kau berpura-pura lagi, Kim-gan Yan-cu. Engkau adalah seorang pemberontak, dan kami adalah perajurit-perajurit kerajaan maka kalau kami bertemu dengan seorang pemberontak, lalu mau apa? Tentu saja hendak menangkap dan meringkusmu untuk kami bawa ke kota raja dan dijebloskan ke dalam penjara!” kata komandan itu.

“Biarkan aku menangkapnya!”

“Aku saja!”

“Aku saja!”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: