***

***

Ads

Rabu, 05 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 193

Di antara empat belas orang perajurit itu beramai-ramai hendak berebut. Mereka tentu saja tidak berani bertindak lebih sebelum memperoleh ijin komandan mereka, pula mereka tahu bahwa dara ini pernah berurusan langsung dengan Pangeran Ceng Han Houw, maka tentu saja mereka tidak berani mencoba untuk melakukan hal yang berlebihan. Namun, kalau diperbolehkan menangkap, setidaknya mereka memperoleh kesempatan untuk sekedar merangkul, meraba dan mencolek tubuh dara remaja yang sedang mekarnya ini!

Melihat kegairahan anak buahnya, komandan itu tersenyum.
“Kalian semua boleh maju dan coba tangkap dia, akan tetapi jangan sampai dia terluka. Ingat, dia itu seorang buronan yang penting dan beliau telah memesan khusus kepadaku agar berusaha menangkapnya tanpa mengganggunya!”

Empat belas orang perajurit itu ber¬sorak dan tiba-tiba mereka itu saling bergerak berlumba untuk lebih dulu me¬raba tubuh Bi Cu yang memang mulai dewasa seperti buah meranum atau bu¬nga, sedang terbuka kuncupnya. Seorang perajurit tinggi kurus menubruk dari depan. Akan tetapi Bi Cu sudah meng¬gerakkan kakinya.

“Dukkk! Waaahhh!”

Orang itu ter¬jengkang karena perutnya kena ditendang ujung sepatu Bi Cu. Orang ke dua dari kiri juga disambar tendangan, tepat me¬ngenai lututnya sehingga orang itu jatuh berlutut.

“Wah, A-piauw, begitu hebatkah engkau tergila-gila kepadanya sampai berlutut?” komandan itu mengejek anak buahnya ini.

Maka terjadilah perkelahian yang ribut dan Bi Cu mengamuk dengan pu¬kulan-pukulan, tamparan dan tendangan-tendangan. Akan tetapi para pengeroyok¬nya terdiri dari orang-orang yang ber¬tubuh kuat dan karena jumlahnya banyak, dia kewalahan juga.

Tiba-tiba, selagi dia menghadapi lawan yang mendesak dari depan, seorang perajurit berhasil me¬nubruk dan menyikapnya dari belakang dan kedua tangan dengan jari-jari yang panjang itu mencengkeram ke arah dada¬nya! Bi Cu menjerit lirih.

“Heh-heh, lihat, aku berhasil menangkapnya!” seru perajurit itu sambil ter¬tawa-tawa.

“Ngekk!”

Tiba-tiba dia meringis dan kedua tangannya yang nakal itu terlepas dari pegangannya karena hidungnya pecah dan berdarah ketika dibantam oleh siku kanan Bi Cu.

“Desss... auuuughh...!”

Kini dia terhuyung lalu roboh terjengkang, kedua tangan memegangi bawah pusarnya karena tadi dengan kemarahan meluap-luap Bi Cu telah menyepakkan kakinya ke belakang, seperti seekor kuda betina yang diganggu dari belakang. Tumit sepatu dengan tepat mengenai anggauta tubuh bawah pusar sehingga laki-laki itu kini mengaduh-aduh seperti seekor babi disembelih. Hanya mereka yang pernah merasakannya sajalah yang mampu meng¬gambarkan betapa nyeri, kiut-miut rasa¬nya kalau bagian itu kena tendang!

Bi Cu sudah marah sekali. Kini dia bukan sekedar membela diri, melainkan balas menyerang untuk membunuh! Dia seperti seekor harimau betina yang sudah tersudut dan menjadi buas dan liar! Ke¬dua tangannya menampar dengan pe¬mgerahan seluruh tenaga, dan ketika ada seorang perajurit menjerit kesakitan dan sebuah biji matanya copot kena ditusuk jari tangan Bi Cu, kaget dan marahlah komandan pasukan kecil itu.






“Robohkan dia!” bentaknya dan kini para perajurit yang juga marah melihat betapa seorang teman mereka cedera demikian parah, lalu mendesak maju dan mulai menyerang dengan pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan, tidak seperti tadi yang hanya sekedar ingin menangkap dan meraba saja!

Dan mulailah Bi Cu ke¬walahan! Beberapa pukulan dan tendangan telah mengenai tubuhnya, membuat dia terhuyung-huyung. Namun dia sama sekali tidak mau menyerah, bahkan mengamuk seperti seekor harimau memukul, men¬cakar, kalau perlu menggigit!

“Hantam perempuan liar ini! Baru kita ringkus!” bentak lagi komandan yang juga pernah kebagian tendangan kaki Bi Cu yang mengenai betisnya dan me¬nimbulkan kenyerian yang cukup mem¬buat dia semakin marah.

Para perajurit itu, seperti sekumpulan serigala mengeroyok seekor harimau beti¬na, kini menubruk dari empat jurusan, menampar, menjambak dan akhirnya ro¬bohlah Bi Cu karena kakinya kena di¬tangkap dan ditarik. Begitu dia roboh, para perajurit itu bersorak dan mereka berlumba untuk menubruk dan meringkus Bi Cu.

“Siancai...! Anjing-anjing pemerintah lalim menghina rakyat lagi!”

Suara ini tiba-tiba saja terdengar, disusul teriakan dua orang perajurit yang terpelanting ke kanan kiri dengan kepala pecah karena ada tongkat butut yang menyambar dan menghantam kepala dua orang itu secara cepat sekali. Tongkat itu berada di tangan seorang kakek tua yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, berpakaian jubah pendeta berwarna putih kumal dan rambutnya yang sudah putih digelung ke atas, seperti seorang tosu yang baru saja keluar dari tempat pertapaannya.

Melihat robohnya dua orang teman mereka yang tewas dengan kepala pecah itu, semua perajurit terkejut bukan ma¬in dan mereka segera mengurung per¬tapa itu, meninggalkan Bi Cu yang masih rebah.

Bi Cu bangkit duduk, mengelus-elus kaki kirinya yang terasa nyeri sekali terkena tendangan keras dari si komandan, dan dengan heran dia me¬mandang kepada kakek yang tak dikenal¬nya itu.

“Pertapa jahat!” komandan itu mem¬bentak dan menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek itu. “Berani engkau membunuh dua orang perajurit kerajaan?”

“Huh, siapa yang tidak berani? Kalau bisa aku akan membunuh seluruh peraju¬rit kerajaan yang lalim dan menindas rakyat!” jawab pendeta itu.

“Kakek pemberontak!” Komandan itu berteriak lalu dia memberi aba-aba. “Tangkap atau bunuh dia!”

Komandan itu sendiri kini mencabut pedangnya, dan semua anak buahnya juga mencabut golok masing-masing. Ketika mereka mengeroyok Bi Cu tadi, tidak seorangpun di antara mereka yang mempergunakan sen¬jata, karena mereka hendak menangkap Bi Cu hidup-hidup, pula mereka agak memandang ringan kepada dara muda remaja itu. Akan tetapi sekarang, me¬lihat betapa kakek itu telah membunuh dua orang kawan mereka, tentu saja mereka menjadi marah dan sinar kejam dalam mata semua perajurit itu.

“Ha-ha-ha, marilah kuantar nyawa kalian ke neraka!”

Kakek itu tertawa dan si komandan sudah menerjang dengan pe¬dangnya, diikuti oleh anak buahnya. Tiba-tiba terdengar suara angin bercuitan dan tongkat itu lenyap berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang menyambar semua perajurit yang telah menyerang.

Ter¬dengar teriakan-teriakan mengerikan disusul robohnya para perajurit itu seorang demi seorang! Golok beterbangan dan akhirnya, dalam waktu yang amat sing¬kat, seluruh perajurit termasuk koman¬dannya telah roboh dan tewas karena semua roboh dengan kepala pecah!

Melihat ini, diam-diam Bi Cu terkejut dan juga merasa ngeri sekali. Dia hanya du¬duk dan terbelalak memandang kepada kakek yang kini berdiri tegak dengan tongkat butut di tangan kanan, tangan kiri bertolak pinggang dan kakek itu ter¬tawa menyeramkan

Betapapun, karena mengingat bahwa kakek yang kejam dan menyeramkan ini telah menyelamatkanya, Bi Cu lalu bangkit dan terpincang-pincang menghampiri kakek itu sambil berkata,

“Terima kasih atas pertolongan locianpwe

Kakek itu sudah berhenti tertawa, lalu membersihkan ujung tongkatnya yang berlumuran darah itu pada baju yang menutupi tubuh seorang di antara para korbannya yang terdekat. Kemudian dia menunduk dan memandang kepada dara remaja itu, berkata lirih,

“Anak yang baik, kau angkatlah mukamu dan pandang aku”

Biarpun merasa serem, Bi Cu mengangkat muka memandang. Kakek itu su¬dah tua namun mulutnya yang selalu ter¬senyum itu membayangkan ketampanan, dan terutama sekali sepasang matanya mencorong menakutkan. Bi Cu terkejut dan ingin mengalihkan pandang matanya, akan tetapi dia tidak sanggup! Sinar matanya seperti melekat atau tertangkap oleh sinar mata kakek itu, membuat dia tidak mampu menggerakkan mata untuk mengalihkan pandangan

Kakek itu mengangguk-angguk.
“Bagus, engkau seorang perawan remaja yang cantik manis, berdarah bersih dan bertulang baik. Engkau patut menjadi murid¬ku. Siapakah namamu?”

Dengan suara gemetar dan yang keluar seolah-olah di luar kehendaknya, Bi Cu menjawab,

“Nama saya adalah Bhe Bi Cu

“Bagus! Nah Bi Cu, mulai sekarang engkau kuambil sebagai muridku”

Di dalam batinnya Bi Cu menolak, akan tetapi anehnya, dia tidak kuasa untuk menolaknya! Dia sudah ditolong, diselamatkan nyawanya, bagaimana mungkin dia menolak kehendak kakek sakti ini yang hendak mengangkatnya sebagai murid? Selain dia tidak mempunyai kekuatan untuk menolak, juga dia tidak akan berani! Dia lebih aneh lagi, seperti digerakkan oleh tenaga yang tidak nampak, dia lalu memberi hormat dan berkata,

“Suhu...!” Bi Cu merasa heran sendiri mengapa dia melakukan hal ini

“Ha-ha-ha, bagus sekali, Bi Cu. Engkau akan hidup senang menjadi murid Kim Hwa Cinjin! Hayo, kau ikutlah ber¬samaku”

Kakek itu tertawa girang dan Bi Cu bangkit berdiri dengan taat. Dia telah terlanjur mengangkat kakek ini sebagai guru, kakek yang namanya Kim Hwa Cinjin! Tentu saja dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa kakek ini adalah seorang tokoh besar, ketua dari perkumpulan Pek-lian-kauw di selatan!

Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang menentang pemerintah, oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau Kim Hwa Cinjin membunuh semua perajurit kera¬jaan itu, bukan semata-mata untuk menyelamatkan Bi Cu. Dan Bi Cu juga sama sekali tidak tahu bahwa Kim Hwa Cinjin dahulu di waktu mudanya adalah seorang penjahat cabul yang amat ditakuti semua wanita. Lebih lagi dia tidak pernah mimpi bahwa biarpun pada lahirnya dia diambil murid, namun istilah mengambil murid dari ketua Pek-lian-kauw ini me¬ngandung maksud yang lebih buruk lagi, bahkan maksud yang amat keji terhadap diri Bi Cu.

Tanpa disadarinya, dara re¬maja ini terjatuh ke dalam tangan ketua Pek-lian-kauw yang telah mempergunakan kekuatan sihirnya membuat dara itu tun¬duk dan kehilangan kekuatan dan kemau¬an untuk menolak ketika diambil sebagai murid

Seperti telah kita kenal cerita ini bagian depan, juga dalam cerita Dewi Maut, Kim Hwa Cinjin dahulunya adalah seorang jai-hwa-cat. Setelah usianya menjadi amat lanjut, kecabulannya berubah dan kini dia mencari kenikmatan dengan menonton kecabulan berlangsung, bukan melakukannya sendiri.

Sudah biasa bagi tokoh ini untuk menghadiahkan wanita-wanita cantik kepada para murid¬nya yang dianggap berjasa, dan diam-diam dia mengintai bagaimana para muridnya itu menikmati hadiah yang diberikannya kepada mereka itu. Kini setelah melihat Bi Cu sebagai seorang dara re¬maja yang cantik manis dan bertulang baik, dia tertarik sekali.

Kalau dara seperti ini menjadi muridnya dan dihadi¬ahkan kepada para murid terbaik, kelak kalau sampai dara ini melahirkan keturunan, maka keturunan itu tentu dapat diharapkan menjadi anggauta Pek-lian-kauw yang hebat! Inilah yang terutama mendorongnya untuk menolong Bi Cu dan mengambilnya sebagai murid

Baik itu dinamakan kecabulan, ke¬maksiatan, yang menjurus kepada per¬buatan kejahatan, maupun yang dinamakan pengejaran cita-cita, ambisi yang menjurus kepada persaingan dan perebut¬an kedudukan sampai kepada perang, sampaipun kepada pengejaran terhadap apa yang dianggap murni dan agung, se¬perti daya upaya untuk menjadi orang baik, orang suci, atau tempat yang damai di alam baka, semua itu mempunyai dasar dan sifat yang sama, yaitu pamrih untuk menyenangkan diri sendiri! Me¬ngejar dan memperebutkan uang, ke¬dudukan, wanita, nama besar, kehormatan dan sebagainya itu dapat mendatangkan kesenangan!

Demikian pula, orang me¬ngejar kedamaian di alam fana maupun baka karena mengganggap bahwa ke¬damaian itu menyenangkan. Boleh saja dipakai kata lain untuk kesenangan, misal¬nya kebahagiaan. Karena menganggap bahwa semua yang dikejar itu akan men¬datangkan kebahagiaan, maka terjadilah pengejaran-pengejaran itu. Jadi, semua tindakan itu didasari oleh keinginan memperoleh sesuatu! Yaitu pamrih!

Kita lupa bahwa segala sesuatu yang didorong oleh pamrih sudah pasti akan mendatangkan konflik dan pertentangan. Pamrih adalah pementingan diri pribadi, dan pementingan diri pribadi inilah yang menimbulkan konflik, baik konflik dalam batin sendiri maupun konflik dengan orang lain.

Orang yang mengejar-ngejar uang akan menyamakan diri dengan uang itu dan uang dianggap lebih penting dari¬pada apa saja. Sama pula dengan pe¬ngejaran terhadap kedudukan, dan sebagainya. Jadi bukan si kedudukan, si uang, si kehormatan, si keluarga, si bangsa, yang penting, melainkan si aku! Maka terjadilah demikian : Yang dibela mati-matian adalah uangku, kedudukanku, kehormatanku, keluargaku, bangsaku, agamaku dan selanjutnya yang berpusat kepada si aku.

Uang orang lain, kehor¬matan orang lain, bangsa orang lain, agama orang lain, sama sekali tidak masuk hitungan! Tentu saja sikap ini memancing datangnya pertentangan. Ini sudah amat jelas, bukan? Dapatkah kita hidup tanpa pamrih ini, tanpa adanya si aku yang mendorong segala perbuatan kita menjadi tindakan pementingan si aku? Hanya kalau sudah begini, maka uang, kedudukan, kehormatan, keluarga, bangsa, agama dan lain-lain memiliki arti dan nilai yang sama sekali berbeda

Orang semacam Kim Hwa Cinjin se¬menjak kecil telah menjadi budak dari¬pada nafsu-nafsunya sendiri, yaitu selalu mengejar kesenangan! Kesenangan itu dapat berbentuk seribu satu macam, ter¬cipta dari keadaan lingkungan, tradisi, pendidikan, kebiasaan dan sebagainya. Sam¬pai setua itu, Kim Hwa Cinjin masih saja diperhamba oleh akunya yang selalu mendambakan kesenangan. Sifat kesenang¬an sama saja, hanya bentuknya berubah menurut perubahan usianya. Dari pengejaran-pengejaran kesenangan inilah timbullah segala macam maksiat, ke¬jahatan dan kekacauan di dunia ini

Bi Cu yang berada di bawah pengaruh sihir itu seperti seekor domba dituntun ke tempat jagal. Dia menurut saja diajak ke sarang Pek-lian-kauw yang pada waktu itu berada di puncak pegunungan di depan. Ada juga naluri sehat yang mem¬buat dara ini meragu, dan ketika mereka mendaki sebuah bukit, dara itu berkata,

“Suhu”

“Eh, ada apakah, Bi Cu yang manis?”

Kim Hwa Cinjin berhenti dan menoleh kepada dara itu yang berdiri dengan muka pucat dan pandang mata meragu

“Teecu... teecu tidak ingin naik ke sana... teecu ingin... pergi mencari Sin Liong”

“Sin Liong? Siapa itu”

“Dia... dia seorang sahabatku yang amat baik”

“Hemm, engkau adalah muridku, Bi Cu, maka engkau harus ikut denganku dan menurut semua perintahku.”

“Tapi, suhu”

“Agaknya engkau belum yakin akan kemampuan gurumu, ya? Nah, kau lihatlah ini!”

Kim Hwa Cinjin menghampiri sebongkah batu yang besarnya seperti kerbau bunting. Dengan kakinya dia mengungkit batu itu dan melontarkannya ke atas, kemudian dengan tongkatnya dia menerima batu itu, diputar-putar di atas ujung tongkat. Melihat permainan sulap ini, Bi Cu menjadi bengong dan kagum.

“Hiyaaat!”

Kim Hwa Cinjin melontarkan batu dengan ujung tongkat. Batu melambung tinggi dan turun menimpa kepala kakek itu. Bi Cu hampir menjerit, akan tetapi ketika batu itu tiba di atas kepala, Kim Hwa Cinjin menggerakkan tangan kirinya menampar

“Blaaarrr...!” Batu besar itu pecah berkeping-keping

“Dan kau lihat pukulan api dari tanganku ini!” katanya pula menghampiri sebatang pohon.

Dengan tangan kirinya dia menampar ke arah batang pohon. Terdengar suara keras seperti ledakan dan... pohon itu terbakar dan api menyala tinggi!

Tentu saja Bi Cu makin terbelalak kagum. Dia tidak tahu bahwa yang dipertunjukkan itu bukanlah ilmu pukulan yang sesungguhnya, melainkan ilmu sihir! Demikian kagum rasa hati dara itu sehingga dia menjatuhkan diri berlutut dengan hati penuh takluk dan kagum

“Nah, apakah engkau ingin mempelajari semua kesaktian itu, Bi Cu”

“Tentu saja, suhu, teecu ingin sekali”

“Kalau begitu, mulai saat ini engkau harus mentaati segala perintahku”

“Baik suhu, teecu akan taat”

Girang bukan main hati Kim Hwa Cinjin dan dia lalu mengajak dara itu melanjutkan perjalanan menulu ke sarang Pek-lian-kauw, sebulan lagi, Pek-lian-kauw akan mengadakan pesta ulang tahun, dan dalam pada itulah dia akan menghadiahkan Bi Cu kepada beberapa orang muridnya yang berjasa.

Sambil melangkah, diikuti oleh muridnya yang baru, kakek ini tersenyum-senyum, mengelus jenggotnya dan memilih-milih, siapa di antara muridnya akan dihadiahi dara ini! Bi Cu, tak sadar akan bahaya yang mengancam dirinya, seperti seekor domba dituntun oleh harimau ke dalam sarangnya.

**** 193 ****
Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: