***

***

Ads

Rabu, 05 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 194

Sin Liong mendaki bukit yang nampak sunyi itu dengan hati-hati. Dia telah menemukan jejak Bi Cu! Di dusun terakhir di kaki pegunungan ini, dia mendengar dari seorang petani bahwa hampir sebulan yang lalu ada seorang dara remaja yang wajahnya mirip dengan yang dia gambarkan datang ke dusun itu, bahkan bermalam di dalam rumah keluarga petani itu.

Dari penuturan mereka, dia tidak ragu-ragu lagi bahwa tentu dara itu Bi Cu. Yang meyakinkan dia adalah karena Bi Cu juga bertanya-tanya tentang dia, mencari-cari dia! Hatinya berdebar girang dan penuh harapan ketika dia mendaki bukit itu. Biarpun dia sudah ketinggalan hampir sebulan, akan tetapi kini dia telah menemukan jejaknya dan tentu akan bisa memperoleh keterangan lebih lanjut disana, atau di balik pegunungan itu

Akan tetapi, timbul kekhawatiran di dalam hatinya ketika dia mendengar keterangan seorang pemburu yang dijumpainya di dalam hutan di lereng gunung, bahwa daerah pegunungan itu termasuk wilayah yang dikuasai secara diam-diam oleh perkumpulan Pek-lian-kauw yang membuka sarang di puncak pegunungan. Mendengar disebutnya nama Pek-lian-kauw dia merasa khawatir.

Bi Cu telah tiba di wilayah ini, daerah kekuasaan Pek-lian-kauw dan dia tahu betapa berbahayanya bagi dara itu me¬lewati daerah ini. Maka timbullah kecuri¬gaannya dan dia harus lebih dulu menyelidiki sarang Pek-lian-kauw. Kalau disana tidak terdapat Bi Cu, baru dia akan meninggalkan tempat itu karena dia sen¬diri tidak ingin berurusan dengan fihak Pek-lian-kauw. Mudah-mudahan saja Bi Cu tidak bertemu dengan fihak mereka, pikirnya

Setelah tiba di lereng gunung itu, nampaklah olehnya bangunan-bangunan Pek-lian-kauw yang merupakan perkampungan tersendiri, terletak di dekat puncak. Dan mulai terdengar olehnya suara musik yang membuatnya merasa heran sekali. Pek-lian-kauw adalah perkumpulan agama, mengapa kini terdengar suara musik seolah-olah disana diadakan pesta, dimana orang bergembira ria? Melihat betapa tempat pendakian itu sunyi saja, Sin Liong lalu mempercepat pendakiannya menuju ke perkampungan di dekat puncak itu

Setelah melewati daerah yang berbatu-batu lalu dia tiba di padang rumput yang penuh dengan rumput tebal dan subur. Rumput itu sampai setinggi lutut¬nya dan Sin Liong berlari terus karena dusun Pek-lian-kauw itu berada di ujung padang rumput itu.

Tiba-tiba kakinya tersangkut semacam tali halus yang tidak nampak karena tersembunyi di dalam rumput. Begitu kakinya tersangkut, ter¬dengar suara berdesir dan bercuitan dari bawah. Sin Liong terkejut sekali, maklum bahwa ada penyerangan gelap dari bawah maka seketika dia sudah meloncat ke atas lalu berjungkir balik di udara sam¬pai tiga kali.

Benar saja, dari bawah menyambar empat batang tombak dari depan, belakang, kanan dan kiri. Agaknya empat batang tombak itu digerakkan oleh alat rahasia ketika tali halus tadi tersangkut kakinya! Sin Liong lalu melom¬pat turun lagi ke depan kurang lebih empat meter dari tempat dimana kakinya tersangkut tali penggerak alat yang meluncurkan tombak-tombak itu

“Blussss...!”

Begitu kedua kakinya menginjak tanah di bawah rumput, tiba-tiba dia berseru keras karena ternyata kedua kakinya menginjak tempat kosong! Kiranya di bawah itu adalah lubang yang ditutupi rumpun, sebuah lubang jebakan yang amat berbahaya! Karena tidak mengira sama sekali, tentu saja Sin Liong tidak dapat mencegah tubuhnya terjeblos. Dia melihat ke bawah dan ternyata lubang sumur itu dipasangi tombak-tombak runcing yang siap menerima tubuhnya yang terjeblos ke bawah






Kalau orang hanya memiliki kepandai¬an gin-kang biasa saja, agaknya tidak akan mungkin dapat lolos dari ancaman maut ini. Tubuh Sin Liong sudah melun¬cur turun dan dibawah nampak ujung tombak-tombak runcing seperti deretan gigi mulut raksasa yang siap mencaplok dan menggigitnya.

Sin Liong memiliki ketenangan yang luar biasa. Dia tidak mudah putus asa, maka dengan waspada dia memandang ke bawah, mengerahkan gin-kangnya dan ketika dekat dengan ujung-ujung runcing itu, dia malah hinggap di atas ujung tombak mengerahkan sin-kang pada telapak kakinya sehingga ujung tombak yang menembus sepatunya itu tidak melukai kaki dan dia lalu mengenjot tubuhnya, meloncat ke atas, keluar lagi dari sumur itu!

Dia tiba di luar sumur, berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, waspada memandang ke sekeliling, akan tetapi tidak nampak gerakan seorangpun manusia, tanda bahwa dia tadi hanya menjadi korban jebakan-jebakan saja yang diatur sedemikian baiknya dan amat membahayakan orang yang terjeblos ke dalamnya.

Dia melangkah terus, kini dengan hati-hati agar tidak sampai terjeblos ke dalam perangkap lagi. Kalau kakinya menginjak sesuatu yang tidak wajar, dia lalu meloncat jauh ke depan, melewati daerah yang dipasangi jebakan itu. Akhirnya dia keluar dari padang rumput itu dengan selamat dan tibalah dia di sebuah taman penuh dengan pohon-pohon besar yang merupakan pekarangan depan yang luas dari perkampungan Pek-lian-kauw.

Suara musik makin jelas terdengar dari pusat perkampungan itu. Perkampungan Pek-lian-kauw terkurung dinding tembok putih, dan tidak nampak seorangpun di luar tembok.

“Syet-syet-syetttt...!”

Tiba-tiba nampak sinar-sinar berkelebatan dan tahu-tahu ada belasan batang anak panah menyambar dari atas, menancap di atas tanah di depan Sin Liong, merupakan pagar anak panah yang menghadang perjalanannya. Melihat ini, Sin Liong mengerling ke atas dan melihat bayangan orang-orang di atas pohon besar

“Hemm, beginikah caranya Pek-lian-kauw menyambut kedatangan seorang tamu? Dengan perangkap-perangkap dan anak panah?” tanyanya dengan suara melengking nyaring sehingga suara itu berdengung sampai jauh

Hening sejenak setelah terdengar suara nyaring dari Sin Liong ini. Kemudian terdengar suitan-suitan tanda rahasia, dan tak lama lagi banyak bayangan orang melayang turun dari atas pohon, dan ternyata orang ini adalah seorang yang berjubah pendeta, berusia kurang lebih lima puluh tahun.

Setelah dia melayang turun berturut-turut nampak bayangan orang berloncatan turun dari atas pohon-pohon sekitar tempat itu dan dalam waktu singkat saja ada tujuh orang tosu Pek-lian-kauw yang berdiri menghadapi Sin Liong, memandang pemuda itu penuh perhatian dan kecurigaan

“Sicu datang dari daerah terlarang, bukan sebagai tamu undangan, maka maafkan kami yang melepas anak panah peringatan tadi. Siapakah sicu dan ada urusan apa sicu datang ke tempat kami?” tanya seorang diantara mereka, pendeta yang pertama melayang turun tadi.

Sin Liong mengangkat tangan menjura kepada mereka, lalu menjawab tenang,
“Saya adalah seorang pelancong yang sedang melakukan perjalanan lewat di daerah ini. Mendengar suara musik dari perkampungan Pek-lian-kauw, hati saya tertarik untuk mengunjungi dan berkenalan dengan para pemimpin Pek-lian-kauw, sedikitpun tidak mempunyai niat untuk melakukan hal yang tidak bersahabat,” jawabnya karena memang dia tidak berniat bermusuhan dengan fihak Pek-lian-kauw, tentu saja kalau Pek-lian-kauw tidak melakukan sesuatu terhadap Bi Cu, misalnya. Dan dia tidak mau menyebutkan namanya kepada mereka, kecuali kepada para pimpinan Pek-lian-kauw sendiri

Tiba-tiba melayang turun seorang pendeta lain yang menghampiri pendeta penanya tadi, dan orang baru ini berbisik. Dialah pendeta yang melapor ke dalam, dan ketua Pek-lian-kauw memberi perintah bahwa kalau orang muda yang datang itu bukan musuh dan bermaksud baik, boleh diterima sebagai tamu, karena pada hari itu Pek-lian-kauw memang sedang merayakan hari ulang tahunnya

Pendeta pembicara itu lalu tersenyum.
“Baiklah, sicu. Ketua kami menyuruh kami menerima sicu sebagai tamu, dan mari kami persilakan sicu untuk masuk ke dalam dan berkenalan dengan para pimpinan kami”

Perkumpulan Pek-lian-kauw adalah perkumpulan yang menentang pemerintah, oleh karena itu kalau merayakan ulang tahun tidak mengundang umum karena mereka selalu menyembunyikan tempat atau sarangnya, dan hanya mengundang golongan atau kawan-kawan sendiri yang sudah dipercaya penuh saja. Undangan itupun baru akan dilaksanakan beberapa hari sesudah mereka merayakannya sendiri sampai beberapa hari lamanya, dan pada saat itu, hari undangan bagi para kawan mereka belum tiba dan pada hari itu mereka sedang merayakan hari ulang tahun perkumpulan mereka tanpa ada seorangpun tamu dari luar.

Akan tetapi pada hari itu, seluruh anggauta, baik yang berada dan bertugas jauh dari tempat itu, hadir sehingga suasana menjadi amat meriah dan penjagaanpun tidaklah begitu ketat seperti biasanya, sehingga Sin Liong sampai dapat memasuki pekarangan itu dan baru setelah tiba disitu dia dihadang oleh para anggauta Pek-lian-kauw.

Kini pintu gerbang dibuka dan Sin Liong diantar masuk ke dalam perkampungan yang cukup luas. Semua rumah di perkampungan itu dihias dengan kertas-kertas merah dan suasananya cukup meriah, dan di bangunan induk berkumpul para pimpinan, dimana para anggauta bagian musik sedang memeriah¬kan suasana dengan permainan musik dan nyanyian serta tarian.

Munculnya pemuda ini tentu saja menimbulkan sedikit keheranan dan kecurigaan, akan tetapi karena Kim Hwa Cinjin sendiri yang memerintahkan pe¬muda itu disambut sebagai tamu, maka kini Sin Liong diiringkan memasuki bangunan induk dan masuk ke dalam ruangan luas dimana terdapat Kim Hwa Cin¬jin sendiri bersama para tokoh Pek-lian-kauw, para murid terkasih dan semua orang memandang kepada pemuda yang melangkah masuk dengan tenang itu.

Kim Hwa Cinjin sendiri masih tetap duduk sambil menatap wajah pemuda yang masuk itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Dari kedudukan dan sikap kakek yang memiliki sepasang mata ta¬jam dan aneh menyeramkan seperti mata iblis dalam dongeng itu, Sin Liong dapat menduga tentulah kakek tua yang me¬nyambutnya dengan duduk saja itulah ketua Pek-lian-kauw maka dia lalu berhenti di depan Kim Hwa Cinjin, menjura dengan hormat sambil berkata,

“Harap kauwcu (ketua agama) suka memaafkan kalau saya datang mengganggu.”

Ketika masuk tadi, Sin Liong sudah mencari-cari dengan pandang matanya, namun dia tidak melihat adanya Bi Cu disitu, maka dia merasa agak lega dan dia bersikap sopan agar tidak menyinggung orang-orang Pek-lian-kauw.

Kim Hwa Cinjin mengangguk-angguk.
“Hemm, dari pelaporan kami mendengar bahwa engkau memiliki kepandaian yang tinggi, sicu. Sungguh membuat kami me¬rasa kagum bahwa seorang pemuda se¬perti sicu telah dapat memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Tentu sicu murid seorang sakti dan siapakah nama sicu?”

“Nama saya Sin Liong,” jawab pemuda ini tanpa menyebutkan she (nama keturunan), dan kiranya ketua Pek-lian-kauw itupun tidak bertanya tentang itu tanda bahwa ketua ini bersikap ramah dan menanyakan nama hanya untuk membalas sikapnya yang sopan saja padahal sebenarnya ketua ini tidak memandang dia sebagai orang penting!

“Saya kebetulan lewat dekat sini dan mendengar suara musik, saya tertarik dan memasuki daerah ini tanpa memiliki niat yang buruk.”

Kim Hwa Cinjin hanya mengangguk. Tiba-tiba terdengar suara merdu di sebelah kanan kakek itu,

“Suhu, dalam suasana gembira ini kita kedatangan tamu terhormat, bagaimana kalau teecu (murid) mempersiapkan hidangan untuk tamu agung?”

Sin Liong cepat memandang dan ternyata yang bicara ini adalah seorang di antara sekelompok wanita-wanita muda yang duduk di dekat kakek itu. Wanita-wanita itu berusia antara dua puluh sampai hampir empat puluh tahun, rata-rata berwajah cantik dan sikapnya jelas menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang pandai ilmu silat.

Dan memang mereka itu adalah murid-murid dari Kim Hwa Cinjin, murid-murid wanita yang berbakat. Yang bicara tadi adalah seorang wanita cantik berusia kurang lebih dua puluh tujuh tahun, pakaiannya indah dan rambutnya digelung rapi, dihias burung hong terbuat dari emas dan permata yang berkilauan.

Diantara para murid wanita itu, wanita inilah yang paling cantik, kerling matanya tajam dan senyumnya amat manis. Ketika Sin Liong memandang kepadanya, wanita itupun menatapnya dengan sinar mata yang demikian menantang dan penuh gairah sehingga Sin Liong cepat menundukkan mukanya kembali.

“Ha-ha-ha, Ciauw Ki, kita sedang berulang tahun dan biarlah kuturuti permintaanmu sebagai hadiahku tahun ini. Memang benar sekali, kita harus menjamu tamu agung, nah, kau layanilah sicu ini!”

Sin Liong menjadi kikuk sekali, akan tetapi dia sudah terlanjur masuk ke situ dan memang dia berniat menyelidiki apakah Bi Cu berada di situ, maka ketika wanita cantik itu bangkit dan menghampirinya, lalu dengan sikap manis mempersilakan dia duduk di atas sebuah kursi menghadapi meja yang masih kosong, tidak jauh dari situ, dia tidak membantah, mengangguk dan menjura menyatakan terima kasihnya.

Ciauw Ki, murid wanita Kim Hwa Cinjin itu, lalu mengeluarkan hidangan dan arak, diatur di atas meja di depan Sin Liong. Ketika wanita itu melakukan semua ini dengan senyum manis dan kerling mata menyambar-nyambar penuh tantangan, Sin Liong mencium keharuman keluar dari saputangan dan pakaian wanita itu. Dia merasa makin kikuk, akan tetapi juga tidak berani menolak ketika Kim Hwa Cinjin sendiri dari tempat duduknya mempersilakan dia makan minum.

Betapa heran rasa hatinya ketika dia melihat Ciauw Ki duduk di depannya dan melayaninya, mengisi cawannya dengan arak kalau sudah kosong menawarkan masakan ini dan itu, dengan sikap amat mesranya.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: