***

***

Ads

Rabu, 05 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 195

Padahal di situ terdapat banyak orang, terdapat banyak murid pria, mengapa justeru murid wanita cantik ini yang harus melayaninya? Sin Liong yang tidak pernah dilayani wanita seperti itu, tentu saja menjadi gugup dan kikuk sekali, dan sikapnya ini agaknya semakin menarik hati Ciauw Ki.

Karena Ciauw Ki terus mengisi cawan araknya dan mempersilakan minum, akhirnya pengaruh arak membuat Sin Liong agak nanar juga. Ketika tari-tarian yang dilakukan oleh wanita-wanita cantik, nyanyian yang diiringi musik merdu dipertunjukkan, Sin Liong tidak lagi merasa heran, bahkan menonton dengan gembira sambil mendengarkan pula obrolan Ciauw Ki yang bercerita dengan suara merdu.

“Ini adalah ulang tahun kami yang ke delapan, sicu, sudah delapan tahun kami mempergunakan tempat ini sebagai pusat dan tidak pernah mengalami gangguan. Dan pesta ulang tahun sekarang ini bagiku paling indah berkesan karena kehadiranmu...”

Sin Liong hanya tersenyum. Telinganya penuh dengan suara-suara merdu merayu yang mempesona dan membuatnya lengah. Ketika itu, para wanita yang menari telah mengundurkan diri dan suara tambur dipukul gencar, musik mengalunkan lagu perang yang dahsyat. Lalu muncullah dua orang wanita dan Sin Liong terbelalak.

Dua orang wanita muda itu memakai pakaian tipis yang membayangkan bentuk tubuh mereka, kedua tangan mereka memegang dua batang obor yang belum dinyalakan. Setelah mereka menjatuhkan diri berlutut di depan sang ketua, lalu Kim Hwa Cinjin meraih dan obor-obor itu menyala! Seperti main sulap saja!

Kini kedua orang wanita muda itu mulai menari dengan obor-obor di kedua tangan. Sinar obor yang merah itu menyoroti tubuh mereka dan mereka itu seperti telanjang bulat saja karena sinar itu menembus pakaian yang tipis, memperlihatkan semua lekuk lengkung tubuh mereka yang masih muda dan padat berisi. Para murid Pek-lian-kauw bersorak dan bertepuk-tepuk tangan mengikuti irama musik dan suasana penuh dengan pesona dan gairah!

Tiba-tiba Sin Liong merasa betapa ada tangan halus yang membelai jari-jari tangannya yang terletak di atas meja. Dia terkejut melihat betapa yang mengelus tangannya itu adalah tangan Ciauw Ki! Sin Liong cepat mengibaskan tangannya dan menarik tangan itu dari atas meja. Ciauw Ki menahan jeritnya karena tangannya terasa agak nyeri. Matanya terbelalak menatap wajah Sin Liong, akan tetapi sinar matanya segera melembut kembali dan senyumnya makin manis memikat.

Dari tempat duduknya, Kim Hwa Cinjin melihat adegan ini. Tiba-tiba dia mengangkat kedua tangannya ke atas, menghadap ke arah Sin Liong dan mulutnya kemak-kemik. Ketika itu Sin Liong masih menentang pandang mata Ciauw Ki. Tiba-tiba dia merasa seperti ada dorongan yang mengharuskan dia menoleh, memandang kepada dua orang penari wanita yang menggerak-gerakkan obor mereka.

Sinar obor itu menyilaukan kedua matanya dan Sin Liong mengeluh. Tiba-tiba dia melihat dua buah mata, sepasang mata yang tajam liar dan menyeramkan, seperti mata iblis sendiri, memandangnya sedemikian rupa sehingga dia terbelalak. Sang mata iblis ini seperti menari-nari di antara obor yang bergerak-gerak itu dan tiba-tiba dia merasa tubuhnya lemas dan matanya mengantuk.

Tak tertahankan lagi olehnya rasa kantuk itu. Kepalanya terasa berat, dan obor-obor yang bernyala itu kini terputar-putar. Sin Liong lalu memejamkan mata dan merebahkan kepalanya di atas lengannya yang dipakai sebagai bantal di atas meja. Tiba-tiba dia merasa tengkuknya diraba orang dan tubuhnya semakin lemas lalu dia tidak ingat apa-apa lagi!






Pemuda itu sama sekali tidak tahu bahwa semenjak pertama kali memasuki rumah induk dimana Kim Hwa Cinjin dan para murid dan pembantunya merayakan pesta ulang tahun mereka, dia telah memasuki perangkap yang amat berbahaya.

Mula-mula Kim Hwa Cinjin memperlihatkan sikap ramah sehingga lenyaplah kecurigaan di hati Sin Liong. Ketika Ciauw Ki, seorang di antara murid-murid wanita yang terkasih memperlihatkan keinginan untuk memiliki pemuda tampan itu, Kim Hwa Cinjin menyetujuinya. Sin Liong mulai dijamu dan diperlakukan dengan manis penuh pikatan oleh Ciauw Ki.

Biarpun ketika Sin Liong sudah terpengaruh arak namun melihat gadis itu berusaha untuk memikatnya dengan sentuhan tangan, pemuda ini terkejut dan cepat menolak. Kim Hwa Cinjin melihat ini dan dia tidak mau mengecewakan muridnya, maka diam-diam dia lalu mempergunakan ilmu sihirnya.

Sin Liong yang sedang lengah itu sama sekali tidak tahu bahwa dia diserang dengan ilmu sihir, maka dengan bantuan suara musik dan penglihatan indah dari tari obor oleh dua orang murid wanita itu, sinar obor yang menyilaukan, akhirnya dia berhasil menyihir Sin Liong sehingga pemuda itu tertidur sebelum dia dapat menyadari keadaannya. Ciauw Ki juga cepat menggunakan jari-jari tangannya menotok dan membuat pemuda itu tidak sadar.

Sin Liong membuka matanya dan pertama kali yang dirasakannya adalah kepalanya yang berdenyut-denyut pening. Dia mengeluh lirih dan mencium bau arak yang memuakkan. Teringatlah dia bahwa dia terlalu banyak minum arak. Ingin dia memijat-mijat kepalanya, akan tetapi ketika dia hendak menggerakkan tangan, dia terkejut dan heran.

Cepat dia membuka mata dan terbelalak memandang kepada kedua lengannya yang terbelenggu. Kedua lengan itu terikat pada pergelangan tangan. Suara tertawa kecil membuat dia makin sadar dan kini dia memandang wanita yang duduk di tepi pembaringan itu dengan sinar mata penuh keheranan. Dia telah rebah di atas pembaringan yang empuk, bersih dan harum, dalam sebuah kamar yang diterangi oleh tiga batang lilin. Wanita itu bukan lain adalah Ciauw Ki yang duduk sambil memegangi sebuah cawan arak dengan tangan kanan, sedangkan tangan kiri wanita itu mengelus-elus pahanya!

Sin Liong menggerakkan kaki untuk mundur dan ternyata bahwa pergelangan kedua kakinya juga terikat! Agaknya Ciauw Ki mendengar dari para saudara seperguruannya akan kelihaian Sin Liong maka biarpun pemuda itu sudah ditotoknya, tetap saja dia merasa khawatir dan mengikat pergelangan kaki dan tangan pemuda itu.

“Apa... apa artinya ini...?” Sin Liong bertanya sambil mengangkat kepalanya dari bantal.

“Hik-hik...!”

Ciauw Ki tertawa genit dengan kepala agak bergoyang-goyang. Wanita cantik ini agaknya sudah setengah mabok. Diam-diam Sin Liong memperhatikan keadaan sekeliling. Tentu malam telah tiba, pikirnya heran. Betapa lamanya dia pingsan atau tertidur di tempat ini. Dia mengingat-ingat dan ketika dia teringat akan sepasang mata yang membuatnya mengantuk, diam-diam dia mengutuk. Dia telah disihir! Tidak ragu-ragu lagi dia. Pek-lian-kauw terkenal dengan ilmu sihirnya. Dalam keadaan lengah dan tidak waspada dia telah kena disihir.

“Artinya, orang ganteng... bahwa engkau berada di kamarku dan kita... kita akan bersenang-senang malam ini sepuas hati kita... hik-hik...!”

Diam-diam Sin Liong merasakan be¬tapa masih ada sisa pengaruh totokan di tubuhnya, maka dia lalu mengerahkan sin-kang melancarkan kembali jalan darah¬nya. Dia masih belum mau mengambil tindakan keras, otaknya berpikir dan timbul kembali kecurigaannya bahwa jangan-jangan Bi Cu juga menjadi korban seperti dia. Maka dia pura-pura tidak berdaya, dan berkata,

“Mengapa aku dibelenggu kaki tanganku?”

“Aku khawatir engkau akan menolak, sayang. Aku membelenggumu, akan tetapi lihatlah, belenggu itu dari ikat pinggang suteraku, baunya harum, kau ciumlah, hik-hik. Kalau engkau bersikap manis, tentu akan kulepaskan belenggumu. Sekarang, kau minumlah secawan arak ini. Arak ini pemberian suhu, arak istimewa, kau¬ minumlah, sayang, setelah itu baru kubebaskan engkau dan kita bersenang-senang...”

Cawan arak itu didekatkan pada mulut Sin Liong dan dia mencium bau arak bercampur bau yang aneh. Mengertilah Sin Liong bahwa arak inipun tidak wajar, bukan sembarang arak, akan tetapi tentu saja dia tidak mau minum.

“Nanti dulu... aku masih pening karena terlalu banyak minum... sebetulnya... aku sedang mencari seseorang... saudaraku...”

Dia membohong. Yang dicarinya adalah seorang gadis, kalau dia bilang sahabat tentu akan menimbulkan kecurigaan, maka dia mengatakan saudaranya.

“Hemmmm, saudaramu? Siapakah sau¬daramu dan mengapa kau mencarinya disini?” tanya wanita yang sudah merah mukanya karena setengah mabuk itu tangan kirinya masih mengelus paha Sin Liong yang membuat pemuda itu merasa geli.

“Saudaraku seorang gadis bernama Bi Cu...”

Sin Liong berhenti bicara karena melihat perubahan pada wajah gadis itu, sepasang mata yang tadinya nampak penuh gairah dan setengah terpejam itu tiba-tiba agak terbelalak. Jantungnya berdebar dan yakinlah dia bahwa wanita ini tahu tentang diri Bi Cu.

Tentu saja Ciauw Ki tahu tentang Bi Cu, murid baru gurunya itu. Dia merasa iri hati kepada Bi Cu yang muda dan cantik, dan yang oleh suhunya dipilih sebagai kembang untuk diperebutkan pada perayaan ulang tahun itu! Kalau tidak ada Bi Cu, tentu dialah yang akan di¬perebutkan, bukan Bi Cu. Dan karena iri hati itulah maka dia sengaja minta ganti kepada suhunya ketika dia melihat Sin Liong!

“Aihh... kiranya engkau saudaranya! Jangan khawatir, orang tampan, saudaramu itu sekarang sedang dilimpahi kesenangan oleh tiga orang murid Pek-lian-kauw yang paling tampan dan gagah! Akan tetapi engkaupun tidak kalah mujurnya karena engkau mendapatkan aku... heiii... ahhh, aupppp...!”

Tiba-tiba saja Sin Liong menggunakan sin-kang¬nya dan semua ikatan tangan kakinya putus. Ketika melihat dia mematahkan belenggu dan tahu-tahu telah bangkit duduk itu, Ciauw Ki terkejut bukan main dan sebelum dia sempat menjerit, jari tangan kiri Sin Liong telah mendekap mulut yang tadinya tersenyum manis penuh pikatan itu dan meremasnya perlahan sehingga mulut yang manis itu kini nampak peot dan buruk, mata yang tadinya setengah terpejam penuh gairah dan nafsu berahi itu kini terbelalak ketakutan.

“Hemm, kuhancurkan mulutmu, kalau engkau tidak mengaku terus terang!” desis Sin Liong yang sudah merasa marah dan khawatir sekali. Tidak salah dugaannya, Bi Cu terjatuh ke tangan mereka dan kini agaknya terancam bahaya besar.

“Aa... aku... ahhhhh...”

Sukar sekali Ciauw Ki bicara karena mulutnya masih didekap oleh jari tangan Sin Liong. Ciauw Ki tiba-tiba menggunakan tangan yang memegang cawan arak itu untuk menghantam ke arah muka Sin Liong, akan tetapi Sin Liong menepuk pundaknya, diapun terkulai lemas dan tidak mampu bergerak lagi. Ketika Sin Liong melepaskan dekapannya pada mulut itu, tubuh Ciauw Ki terkulai di atas pembaringan.

“Hayo katakan di mana Bi Cu!”

Dengan suara lemah, Ciauw Ki berkata,
“Bunuhlah, murid Pek-lian-kauw tidak takut mati! Bi Cu kini tentu sudah habis-habisan diperkosa oleh tiga orang suhengku...!”

“Plakk!” tangan Sin Liong menampar dan wanita itu pingsan.

Mulutnya berdarah dan beberapa buah gigi di mulutnya patah-patah. Tentu kecantikannya akan banyak berkurang oleh tamparan itu, kalau tidak membuat wajahnya bahkan menjadi buruk kelak.

Cepat Sin Liong meloncat keluar dari kamar itu. Dengan beberapa loncatan dia sudah berada di atas genteng. Pesta kaum Pek-lian-kauw itu masih dilanjutkan dengan meriah, maka mudah baginya untuk melakukan penyelidikan, mencari-cari dimana Bi Cu disembunyikan. Dia tidak perlu terus memaksa Ciauw Ki untuk mengaku karena wanita itu agaknya merupakan tokoh Pek-lian-kauw yang tidak akan mau membuka rahasia perkumpulan, biar diancam atau disiksa sekalipun.

Dan Sin Liong takkan tega untuk menyiksa orang, maka dia mengambil keputusan untuk mencari sendiri setelah menampar wanita itu sampai pingsan dalam keadaan tertotok agar tidak membuat gaduh selagi dia mencari tempat Bi Cu disembunyikan.

Dia mengintai dari genteng, melihat ke dalam kamar-kamar yang banyak terdapat di perumahan itu. Banyak dia melihat kecabulan-kecabulan yang menjijikkan hatinya dan membuat dia tidak mengerti mengapa perkumpulan agama seperti Pek-lian-kauw ternyata memiliki pimpinan dan anggauta-anggauta yang menjadi hamba-hamba natsu berahi seperti itu. Hampir di setiap kamar dia melihat para anggauta Pek-lian-kauw bermain cinta dengan pasangan masing-masing dalam keadaan mabuk!

Tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat di bawah. Gerakan bayangan itu amat ringannya, maka dia cepat mengintai. Dengan heran dia melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalan bayangan Kim Hwa Cinjin, ketua Pek-lian-kauw sendiri. Dan kakek tua itu kini berindap-indap menghampiri jendela sebuah kamar dan sinar lampu yang menimpa wajah tua itu memperlihatkan senyum iblis, yang membuat Sin Liong bergidik.

Melihat kakek itu kini mengintai dari jendela, dia tertarik dan cepat dia melayang ke atas genteng dan dengan hati-hati membuka genteng untuk melihat apa yang sedang terjadi didalam kamar yang diintai sendiri oleh ketua Pek-lian-kauw itu. Dan hampir saja Sin Liong terjengkang di atas genteng, hampir saja dia berseru keras ketika melihat apa yang terdapat di dalam kamar itu!

Kamar itu besar, tidak seperti kamar Ciauw Ki tadi. Di sudut kamar mengelilingi sebuah meja yang penuh masakan dan arak sehingga bau arak sampai ter¬cium olehnya di atas genteng, duduk tiga orang laki-laki yang hampir telanjang bulat, hanya mengenakan cawat saja!

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: