***

***

Ads

Rabu, 05 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 196

Mereka itu minum arak sambil tertawa-tawa gembira. Yang seorang berusia kurang lebih empat puluh tahun, kumis¬nya tebal pendek dan jenggotnya ter¬pelihara rapi, yang dua orang berusia sekitar tiga puluh tahun dengan muka halus. Ketiganya bertubuh tegap dan ber¬wajah yang dapat disebut tampan dan gagah, rambut mereka digelung ke atas seperti rambut para tosu Pek-lian-kauw.

Akan tetapi bukan tiga orang itu yang mengejutkan hati Sin Liong, melainkan apa yang nampak di atas sebuah pem¬baringan yang berada di tengah kamar itu. Di atas pembaringan itu rebah se¬orang wanita, rebah terlentang dan lekuk lengkung tubuhnya nampak nyata di bawah pakaian dalam yang tipis sekali. Pakaian luar wanita itu berserakan di bawah tempat tidur dan wanita itu kelihatan seperti orang yang tidur nyenyak.

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Sin Liong melihat wanita ini karena dia mengenalnya sebagai Bi Cu! Dan dara itu tentu dibius, pikirnya dengan kedua tangan dikepal dan mulai berubah merah, sepasang matanya mencorong seperti mata naga yang marah!

“Sayang dia terpaksa dibius,” kata si kumis tebal. “Kalau tidak dia tentu akan menolak dan melawan mati-matian!”

“Aku lebih senang kalau dia melawan dan meronta, tidak seperti sekarang ini, mirip mayat!” cela orang ke dua sambil menenggak araknya.

“Dan aku lebih senang kalau dia itu menyerahkan diri dengan manis dan suka rela. Mengapa suhu tidak mempergunakan obat perangsang saja?”

“Seorang dara yang berhati baja seperti dia itu sukar dapat dipengaruhi obat perangsang, ah, betapapun juga, dia mulus dan masih remaja. Hemm, biarlah kalian menonton dulu, aku akan menjadi orang pertama...”

“Ah, jangan begitu, suheng! Engkau harus mengalah kepadaku! Biarlah aku dulu yang...”

“Tidak, aku dulu! Aku yang termuda dan aku lebih pantas baginya!

Si kumis tebal tertawa.
“Ha-ha, kita berebutan seperti anak kecil, seolah-olah kita tidak pernah mendapatkan seorang perawan remaja. Sudahlah, lebih baik kita undi saja!”

“Atau kita berpetak tangan, siapa menang dia mendapatkan dulu!”

Mendengar percakapan itu lega bukan main rasa hati Sin Liong. Jelaslah bahwa mereka itu belum sempat mengganggu Bi Cu. Bi Cu belum ternoda dan kedatangannya belum terlambat! Dia tidak mau membuang waktu lagi. Selagi tiga orang tosu itu main petak tangan untuk menentukan siapa yang berhak mendapatkan tubuh dara itu lebih dulu, tiba-tiba terdengar suara keras di atas kamar dan juga di luar rumah.

Suara keras di atas kamar itu terjadi karena Sin Liong menerjang genteng sampai bobol dan tubuhnya melayang ke dalam kamar seperti seekor naga melayang dari angkasa menerobos awan gelap. Sedangkan suara ke dua lebih keras lagi, yaitu suara sorak-sorai yang gegap-gempita dari banyak orang berkelahi dan beradunya senjata-senjata tajam!






Semua orang yang berada di kamar itu terkejut, demikiah pula Kim Hwa Cinjin yang sedang mengintai dengan hati berdebar penuh ketegangan bernafsu berahi itu menjadi terkejut bukan main. Dia melihat betapa pemuda yang menjadi tamunya, yang telah ditundukkannya dengan ilmu sihir dan diserahkan kepada Ciauw Ki untuk dimiliki wanita muridnya itu untuk malam ini dan dia sendiri akan mengintai di kamar Ciauw Ki, tiba-tiba melayang turun ke dalam kamar.

Akan tetapi lebih kaget lagi ketika dia mendengar suara hiruk-pikuk di luar. Perhatiannya terbagi, akan tetapi dia menganggap keadaan di luar amat berbahaya, maka tanpa memperdulikan keadaan dalam kamar itu, karena dia memandang rendah kepada Sin Liong dan percaya bahwa tiga orang muridnya akan dapat menghadapinya, Kim Hwa Cinjin cepat melompat keluar.

Dia terkejut sekali melihat bahwa yang menimbulkan suara gaduh itu adalah penyerbuan dari pasukan pemerintah terhadap sarang Pek-lian-kauw. Kini para anggauta Pek-lian-kauw yang tadi masih berpesta-pora, menghadapi serbuan pasukan pemerintah dengan gugup. Bahkan ada beberapa orang muridnya yang masih telanjang bulat terpaksa melawan musuh, karena mereka itu tadi sedang bersenang-senang dengan pasangannya di dalam kamar, dikejutkan oleh suara itu sehingga keluar dan lupa memakai pakaiannya!

Sementara itu, dengan ringan sekali Sin Liong sudah melayang turun ke dalam kamar. Diapun mendengar suara ribut-ribut di luar dan dia merasa khawatir. Dia harus dapat cepat melarikan Bi Cu dari kamar ini dan keluar dari perkampungan Pek-lian-kauw, karena kalau sampai dia dikepung oleh semua tokoh dan anggauta Pek-lian-kauw, akan sukarlah baginya untuk dapat menolong Bi Cu. Apalagi Bi Cu berada dalam keadaan pingsan terbius seperti itu, tidak mampu bergerak sendiri.

Tiga orang tosu Pek-lian-kauw yang memenangkan hadiah murid wanita baru itu, juga terkejut bukan main. Mereka segera mengenal pemuda yang menjadi tamu ketua mereka dan yang siang tadi sudah ditawan dan diberikan kepada sumoi mereka. Marahlah mereka dan serentak mereka maju menerjang Sin Liong, biarpun mereka dalam keadaan hampir telanjang seperti itu.

Melihat gerakan mereka, tahulah Sin Liong bahwa mereka itu ternyata adalah tokoh-tokoh besar Pek-lian-kauw, dan tentu merupakan murid-murid utama dari ketua Pek-lian-kauw maka diapun cepat mengelak dan menangkis, kemudian dengan beberapa jurus San-in-kun-hoat, dengan mengisi kedua tangannya dengan Thian-te Sin-ciang, Sin Liong balas menyerang.

Tiga orang tosu itu cepat menangkis dan seorang demi seorang berteriak kaget sekali, tubuh mereka terlempar dan menabrak dinding kamar karena mereka itu tidak tahan beradu lengan yang terisi Thian-te Sin-ciang itu. Sejenak mereka nanar dan pusing karena terbanting keras pada dinding kamar dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sin Liong untuk menyambar tubuh Bi Cu, tanpa memperdulikan keadaan tubuh dara itu yang hanya tertutup pakaian dalam tipis, dia lalu memondongnya dan melarikan diri meloncat keluar melalui lubang di atas genteng, kemudian dengan cepat diapun meloncat ke tempat yang agak sunyi di belakang rumah karena di banyak tempat kini nampak obor-obor dan orang-orang berkelahi dengan hebat dan mati-matian!

Dia tidak tahu apa yang telah terjadi, siapa yang sedang bertempur itu, dan diapun tidak perduli. Yang penting adalah menyelamatkan Bi Cu dan selama dia masih berada di dalam perkampungan itu, keselamatan Bi Cu terancam bahaya. Maka larilah dia, menyusup-nyusup di antara tempat-tempat gelap. Beberapa kali dia bertemu dengan anggauta Pek-lian-kauw atau anggauta pasukan penyerbu sehingga terpaksa dia merobohkan mereka ini dengan tendangan-tendangan kakinya.

Tiba-tiba terdengar suara yang amat nyaring melengking, seolah-olah datang dari atas langit.

“Liong-te... dimana engkau...?”

Sin Liong terkejut bukan main seolah-olah mendengar kilat menggelegar di siang hari yang panas. Tentu saja dia mengenal suara itu! Suara Ceng Han Houw! Celaka, pikirnya, kiranya para penyerbu Pek-lian-kauw itu adalah pasukan pemerintah yang agaknya dipimpin sendiri oleh Ceng Han How. Pangeran ini jauh lebih lihai dan berbahaya daripada semua orang Pek-lian-kauw. Maka dia mempercepat larinya berloncatan dan akhirnya dia berhasil keluar dari perkampungan Pek-lian-kauw yang geger itu.

Setelah memasuki sebuah hutan yang amat gelap, cukup jauh dari perkampungan itu, hatinya lega. Akan tetapi diapun tidak mungkin dapat melanjutkan larinya karena hutan itu gelap sekali. Maka dicarinyalah tempat yang bersih dan dia merebahkan tubuh Bi Cu ke atas tanah berumput tebal di bawah pohon-pohon besar. Dia berusaha menyadarkan Bi Cu, akan tetapi dara yang telah terbius ini sama sekali tidak mungkin dapat siuman sebelum obat biusnya habis pengaruhnya. Dia seperti orang pingsan, atau orang yang tidur nyenyak sekali.

Sin Liong yang maklum bahwa bahaya masih belum lewat dan tentu kaum Pek-lian-kauw, bahkan yang lebih berbahaya lagi, pasukan yang dipimpin Han Houw tentu akan mengejar dan mencarinya, tidak berani membuat api unggun dan untuk melindungi tubuh Bi Cu yang setengah telanjang itu dari serangan nyamuk dan hawa dingin, dia lalu melepaskan bajunya dan menyelimuti Bi Cu dengan baju itu. Kemudian dia memegang kedua tangan Bi Cu, menyalurkan sin-kang sehingga hawa hangat memasuki tubuh dara itu, melindunginya dari hawa dingin yang menusuk tulang.

Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali Sin Liong sudah mendengar suara orang-orang memasuki hutan itu. Terpaksa dia memondong lagi tubuh Bi Cu yang masih juga belum siuman. Dia merasa marah sekali. Orang-orang Pek-lian-kauw itu sungguh keji, membius Bi Cu sampai semalam suntuk belum juga siuman, tentu dengan maksud yang amat kotor dan keji! Dengan bantuan sinar matahari pagi yang remang-remang, dia terus melangkah memasuki hutan sambil memondong tubuh Bi Cu.

Tiba-tiba dari balik pohon-pohon besar berloncatan tiga orang tosu, seorang diantara mereka yang berkumis tebal membentak,

“Pemuda iblis, mau lari kemana engkau?”

Sin Liong terkejut dan dia segera mengenal bahwa tiga orang tosu ini adalah mereka yang semalam hendak memperkosa Bi Cu di dalam kamar itu. Akan tetapi karena dia menduga bahwa selain mereka tentu masih terdapat banyak orang Pek-lian-kauw yang agaknya sudah tersebar di dalam hutan, dan mengingat lagi bahwa mungkin akan muncul Ceng Han Houw sehingga akan menyukarkan dia melindungi Bi Cu, dia lalu membalikkan tubuh dan berlari tanpa berkata apa-apa.

Tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu mengejar dengan marah. Setelah lari beberapa lamanya, Sin Liong menoleh dan mengerling ke belakang. Ternyata pengejarnya tetap hanya tiga orang tosu itu. Giranglah hatinya dan dia cepat menurunkan tubuh Bi Cu ke atas rumput, dan dengan tenang dia menanti kedatangan mereka.

Tiga orang tosu itu adalah murid-murid pilihan dari Kim Hwa Cinjin. Kalau di waktu Sin Liong masuk ke dalam kamar untuk menolong Bi Cu mereka itu tidak sempat melakukan perlawanan yang gigih adalah karena mereka bertiga berada dalam keadaan hampir telanjang. Kini mereka sudah siap siaga dengan pakaian lengkap dan melihat pemuda itu menurunkan tubuh dara yang telah menjadi sumoi mereka dan menjadi kekasih mereka bertiga karena oleh suhu mereka telah diserahkan kepada mereka, tiga orang tosu ini segera menerjang ke depan.

Mereka semalam setelah mengenakan pakaian lalu melakukan pengejaran, tanpa memperdulikan kegegeran yang terjadi di dalam perkampungan Pek-lian-kauw dan melihat pemuda itu lenyap dalam hutan, mereka lalu mencari-cari sampai jauh ke dalam hutan. Karena keadaan amat gelap, maka mereka menanti dan pada pagi hari itu, benar saja mereka melihat pemuda yang dikejarnya berjalan memondong tubuh calon korban mereka.

Setelah merasa yakin bahwa pengejarnya hanya tiga orang murid Pek-lian-kauw itu, timbullah kemarahan di hati Sin Liong. Tiga orang itu jahat sekali dan semalam hampir saja menodai kehormatan Bi Cu yang sedang pingsan, maka, orang-orang seperti itu patut dihajar, bahkan patut dibunuh!

Melihat mereka bertiga menyerangnya dengan tangan kosong, dengan pukulan berbentuk tamparan yang dia tahu tentulah merupakan pukulan yang beracun, dia sama sekali tidak mau mengelak dan menerima pukulan itu dengan tubuhnya, hanya menggerakkan kepala agar mukanya jangan sampai terkena pukulan.

“Plak! Plak! Plak!”

Pukulan atau tamparan tiga orang tosu itu semua mengenai dada, pundak, dan leher. Akan tetapi, betapa kagetnya tiga orang tosu itu ketika tangan mereka seperti mengenai besi baja saja dan lebih kaget lagi hati mereka ketika tangan mereka itu melekat tanpa dapat ditarik kembali dan sin-kang mereka membanjir keluar melalui tangan mereka ke dalam tubuh pemuda itu.

Mereka meronta, akan tetapi makin kuat mereka meronta, makin hebat lagi tenaga rontaan itu membanjir keluar dari tangan mereka. Si kumis tebal terbelalak memandang wajah Sin Liong yang tersenyum dingin, dan dia lalu berseru tergagap-gagap,

“Thi... khi... i... beng...!”

Mereka pernah mendengar dari guru mereka tentang ilmu yang mujijat ini, akan tetapi belum pernah melihat sendiri ilmu yang mereka anggap hanya terdapat dalam dongeng itu. Akan tetapi kini, melihat betapa tenaga sin-kang mereka memberobot keluar tanpa dapat dicegah, mereka teringat akan ilmu itu dan mereka ketakutan setengah mati.

Makin lemaslah mereka, muka mereka telah menjadi pucat karena kehabisan tenaga. Tiba-tiba timbul perasaan kasihan dalam hati Sin Liong. Mengapa dia harus membunuh orang, pikirnya. Memang tiga orang ini amat jahat, akan tetapi kejahatan mereka itu belum merupakan alasan kuat bagi dia untuk berubah menjadi Giam-lo-ong alias malaikat pencabut nyawa!

Tangan kirinya bergerak enam kali dan tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu berteriak dan roboh terjengkang, kedua pundak mereka patah-patah tulangnya. Untuk menghukum mereka, Sin Liong sengaja menghabiskan sin-kang mereka dengan jalan mempergunakan ilmu Thi-khi-i-beng kemudian menampar remuk tulang-tulang kedua pundak mereka. Dengan demikian, biarpun tiga orang itu akan dapat pulih lagi kesehatannya, namun mereka sulit diharapkan akan dapat menjadi ahli-ahli silat yang pandai. Boleh dikata mereka dibuat menjadi tapadaksa dan lenyap kekuatan mereka.

“Sin Liong...”

Pemuda itu cepat membalik dan giranglah dia melihat Bi Cu sudah bergerak dan cepat dia menghampiri dan berlutut di dekatnya.

“Bi Cu, kau sudah siuman...?” teriaknya. “Hayo cepat kita melarikan diri, banyak musuh jahat mengejar kita!” Sin Liong lalu merangkul dan hendak memondongnya kembali.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: