***

***

Ads

Rabu, 05 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 198

Melihat kini dara itu sudah pulih kembali kegembiraannya, Sin Liong lalu duduk di atas akar pohon.

“Bi Cu, selama ini engkau kemana sajakah? Bagaimana engkau sampai dapat terjatuh ke tangan orang-orang Pek-lian-kauw?”

Wajah Bi Cu masih berseri gembira, akan tetapi dia menarik napas panjang.
“Ah, gara-gara engkau menyuruhku pergi ketika itu, banyak hal menimpa diriku.”

Dia lalu menceritakan semua pengalamannya, sampai akhirnya dia hampir ditangkap pasukan pemerintah dan kemudian ditolong oleh Kim Hwa Cinjin dan diajak pergi ke Pek-lian-kauw untuk menjadi muridnya.

“Hemm, Ceng Han Houw memang berhati palsu! Dia sudah berjanji tidak akan mengganggumu, akan tetapi tetap saja pasukannya hendak menangkapmu. Akan tetapi mengapa engkau mau diambil murid oleh tosu itu, Bi Cu? Apakah kau tidak tahu bahwa dia adalah ketua Pek-lian-kauw yang jahat?”

“Aku tidak tahu, andaikata aku tahupun agaknya hal itu tidak mempengaruhi, karena aku tidak mengenal Pek-lian-kauw. Dan dia telah menolongku, Sin Liong, dia membunuh belasan orang perajurit itu, dan dia demikian lihai sehingga aku kagum sekali. Entah mengapa, biarpun di lubuk hatiku aku tidak suka menjadi muridnya, namun ternyata aku telah menerimanya dan ikut dengan dia ke pusat perkumpulan itu. Aku diperlakukan dengan amat baik dan manis oleh semua muridnya, dan dalam pesta itu, aku minum arak pesta ulang tahun kemudian tidak ingat apa-apa lagi sampai aku siuman di dalam hutan ini. Dan mereka itu... ah, mereka harus dibunuh!” Dara itu meloncat bangun ketika teringat akan tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu.

Akan tetapi Sin Liong sudah memegang lengannya.
“Tenanglah, mereka sudah terhukum dan mungkin sekarang Pek-lian-kauw sudah hancur oleh pasukan pemerintah.”

“Eh, apa maksudmu?”

“Engkau diberi obat bius sehingga tidak ingat apa-apa, untung kedatanganku belum terlambat dan engkau sudah selamat. Inilah yang terpenting. Ketika aku membawamu keluar dari sarang Pek-lian-kauw, malam itu Pek-lian-kauw diserbu oleh pasukan pemerintah. Mungkin hal itu ada hubungannya dengan belasan orang perajurit yang telah dibunuh oleh Kim Hwa Cinjin. Dan kalau yang memimpin penyerbuan pasukan itu Ceng Han Houw sendiri, dan aku yakin akan hal ini karena aku mendengar suaranya, maka tentu tidak akan ada orang Pek-lian-kauw yang dapat lolos.”

“Sin Liong, bagaimana engkau dapat menolongku? Dan kemana saja engkau pergi selama kita berpisah?”

“Setelah kita saling berpisah pada tempo hari, aku terpaksa mengantar Pangeran Ceng Han Houw menemui seseorang di selatan. Setelah beres, aku lalu kembali ke utara dan mulai mencarimu.”

“Sin Liong, engkau adalah adik angkat seorang pangeran. Kalau engkau adik angkatnya, mengapa pangeran itu memusuhimu?”

“Tidak memusuhi, Bi Cu. Hanya dia itu... ah, kelak engkaupun akan mengerti sendiri. Sekarang tidak perlu dia kita bicarakan, engkau tahu... mungkin sekarang dia bersama pasukannya sedang mencari-cari di dalam hutan ini!”






“Aku tidak takut!” Tiba-tiba Bi Cu berseru. “Dan sekali ini, jangan engkau mengorbankan diri untukku lagi. Aku tidak sudi pergi dengan selamat tapi harus meninggalkanmu. Aku tidak tahan hidup sendiri lagi tanpa engkau yang menemaniku, selalu gelisah dan bingung. Sin Liong, berjanjilah lagi, bahwa engkau takkan meninggalkan aku, apapun yang terjadi. Kita akan menghadapi bahaya bersama, kalau perlu, aku tidak takut mati, asal bersamamu!”

Kembali keharuan menyelinap di dalam hati Sin Liong. Entah mengapa, diapun memiliki perasaan seperti yang secara jujur diucapkan oleh dara itu. Kalau dia terpaksa mau berpisah dari Bi Cu seperti yang telah terjadi, adalah karena dia ingin melihat dara itu terbebas dari bencana. Maka kini dia mengangguk dan berkata lirih,

“Percayalah, aku tidak akan meninggalkanmu lagi, Bi Cu.”

“Sin Liong, berkali-kali engkau berhasil menolongku. Bagaimana mungkin dengan kepandaianmu yang tidak seberapa tinggi... ah, aku tahu sekarang! Engkau tentu memiliki kepandaian hebat yang kau sembunyikan. Betul, tidak? Kalau tidak, mana bisa engkau mengalahkan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu? Juga tidak mungkin engkau mampu melarikan aku yang dalam keadaan pingsan itu lolos dari Pek-lian-kauw! Sudah lama hal ini menjadi pikiranku. Engkau tentu memiliki kepandaian tinggi, Sin Liong.”

“Ah, engkau tahu bahwa aku tidak memiliki kepandaian apa-apa, Bi Cu.”

“Ilmu silatmu tentu tinggi...”

“Tidak lebih tinggi daripada ilmu silatmu.”

“Benarkah?”

Dara itu menarik napas panjang, memandang dengan penuh keraguan kepada Sin Liong. Betapapun juga, dia belum pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri tentang kepandaian pemuda ini. Maka diapun belum yakin benar. Tiba-tiba telinganya kembali menangkap suara berkeruyuk dan kebetulan sekali kembali perut mereka berdua yang mengeluarkan bunyi itu secara berbareng! Bi Cu tertawa lagi.

“Ih, lekas kau mencari makanan untuk mendiamkan perut-perut tak tahu malu ini, Sin Liong.”

Sin Liong mengerutkan alisnya. Dia merasa sangsi untuk meninggalkan Bi Cu seorang diri di tempat itu, akan tetapi menolak permintaan itupun dia tidak tega karena maklum bahwa memang dara itu lapar sekali, seperti juga dia sendiri.

“Aku harus melihat dulu dimana terdapat makanan disini.”

Dia lalu memanjat sebatang pohon besar. Tentu saja kalau dia menghendaki, sekali loncat saja dia sudah akan dapat melayang naik ke puncak pohon, akan tetapi dia tidak mau memperlihatkan kepandaiannya secara terang-terangan kepada Bi Cu, khawatir kalau-kalau sikap Bi Cu akan berubah kalau melihat bahwa dia memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada dara itu. Maka dia lalu memanjat sampai ke puncak dan dari situ dia memandang ke sekeliling.

“Heii, ada sebuah dusun di barat sana!” teriaknya dari atas. Lalu dia bergegas turun, disambut oleh Bi Cu dengan wajah berseri.

“Kalau begitu, kau cepatlah ke sana mencari makanan, Sin Liong. Perutku sudah lapar sekali.”

“Bi Cu, apakah tidak sebaiknya kalau kita berdua yang pergi ke sana? Dengan demikian akan lebih aman bagimu, bukan? Dusun itu tidak jauh, paling lama berjalan satu jam akan sampai...”

“Tidak, Sin Liong. Aku lelah sekali. Tempat ini sunyi, siapa yang akan dapat menggangguku? Pula, aku dapat menjaga diri. Jangan khawatir, lekaslah kau mencari makanan, biar kutunggu disini.”

Sin Liong mulai mengenal kekerasan hati Bi Cu, maka menghela napas panjang dan berkata,

“Baiklah, harap engkau jangan pergi kemana-mana, Bi Cu. Kau tunggulah aku di sini saja, aku takkan lama pergi.”

Sin Liong akhirnya menyetujui untuk meninggalkan Bi Cu, karena diapun berpikir bahwa kalau Bi Cu tidak ikut, dia akan dapat pergi ke dusun itu dan kembali dalam waktu yang jauh lebih cepat. Pula, hari sudah menjelang gelap, kalau masih ada pengejaran dan pencarian dari fihak pasukan pemerintah sekalipun, tentu mereka itu akan menundanya dan akan melanjutkan besok pagi. Sin Liong sudah melangkah ke depan ketika Bi Cu memanggil,

“Sin Liong...”

Pemuda itu berhenti membalikkan tubuh.
“Ada apa, Bi Cu?”

“Jangan lupa... eh, kau carikan pakaian untukku!”

“Pakaian? Akan tetapi engkau sudah...”

“Hushh, siapa sudi memakai pakaian ini terus-terusan? Aku ingin pakaian wanita yang sopan dan pantas, berikut sepatunya. Maukah kau...?”

“Tentu saja! Akan kucarikan untukmu, jangan khawatir.”

Bi Cu tersenyum sambil memandang dengan wajah berseri dan sepasang mata bersinar-sinar penuh perasaan syukur dan terima kasih. Sin Liong menelan ludah. Bukan main manisnya Bi Cu kalau sudah begitu! Bukan hanya manis, akan tetapi juga ada sesuatu yang menyentuh perasaannya, yang membuat dia merasa terharu, membuat dia merasa ingin untuk merangkul dara itu, mendekapnya, menghiburnya, menyenangkan hatinya.

Akan tetapi Sin Liong melawan perasaan ini dengan membalikkan tubuhnya lagi dan mulai melangkah meninggalkan Bi Cu, menuju ke barat. Tanpa disadarinya sendiri, bibirnya meruncing dan dia mendengar mulutnya sendiri bersiul-siul! Perasaan senang yang bukan karena sesuatu, melainkan perasaan nyaman di hati, yang membuat segala sesuatu nampak indah!

Memang demikianlah, senang atau susah bukan didatangkan dari luar, melainkan tergantung dari keadaan batin kita sendiri, sungguhpun keadaan itupun dipengaruhi oleh keadaan luar. Senang atau susah masih berada dalam daerah terbatas, daerah terkurung dari kesibukan si aku.

Si aku merasa diuntungkan, maka senanglah batin. Si aku merasa dirugikan, maka susahlah batin. Batin seperti ini berada dalam cengkeraman si aku yang bukan lain adalah pikiran itu sendiri. Pikiran mencatat segala pengalaman, baik yang senang maupun yang susah, dan pikiran menciptakan si aku, yaitu gambaran tentang diri sendiri, sebagai penikmat kesenangan maupun si penderita kesusahan.

Timbullah keinginan untuk mengulang atau melanjutkan kesenangan dan menjauhkan kesusahan. Keinginan inilah yang menciptakan lingkaran setan, yang menyeret kita di antara gelombang-gelombang kesenangan dan kesusahan sehingga keadaan kehidupan kita menjadi seperti sekarang ini.

Setiap manusia berlumba untuk memperoleh kesenangan, dan demi kesenangan yang dikejar inilah maka terjadi perebutan persaingan, permusuhan, iri hati, kebencian dan sebagainya. Pengejaran kesenangan memisah-misahkan antara manusia, memupuk dan memperkuat si aku.

Keadaan bahagia sama sekali tidak dapat disamakan dengan kesenangan, walaupun kita pada umumnya menganggap bahwa kesenangan adalah kebahagiaan! Kebahagiaan berada di atas senang dan susah, sama sekali tidak tersentuh oleh keduanya itu. Keadaan bahagia adalah lenyapnya si aku, lenyaplah keinginan mengejar kesenangan dan menghindari kesusahan yang hanya merupakan kesibukan pikiran belaka yang terpengaruh oleh masa lalu, kenangan lalu, pengalaman lalu, ingin mengulang yang menyenangkan dan menjauhi kesusahan.

Keadaan bahagia tak dapat diulang-ulang, merupakan sesuatu yang selalu baru. Keadaan bahagia baru mungkin ada kalau terdapat cinta kasih! Cinta kasih baru nampak sinarnya kalau batin dalam keadaan hening dalam arti kata tidak dipengaruhi oleh kesibukan pikiran atau si aku yang selalu ingin senang!

Setelah merasa yakin bahwa Bi Cu tidak dapat melihatnya lagi, Sin Liong lalu mengerahkan kepandaiannya, mempergunakan gin-kang dan ilmu berlari cepat, berlompatan dan berlari seperti seekor kijang muda saja menyusup-nyusup antara pohon-pohon dan semak-semak menuju ke barat, ke arah dusun yang tadi dilihatnya dari atas puncak pohon.

Biarpun dusun itu kecil saja dan tidak ada restorannya, namun tidak sukar bagi Sin Liong untuk mendapatkan sekedar roti gandum dan sebotol arak, bahkan dia juga membeli satu stel pakaian yang masih baru milik seorang gadis petani yang tentu saja mau menjual pakaiannya dengan harga yang jauh lebih tinggi daripada harga sebenarnya.

Akan tetapi untuk sepatunya, Sin Liong terpaksa hanya dapat memperoleh sepasang sepatu bekas saja, bersama kaus kakinya yang masih baik. Dengan girang pemuda ini lalu berlari cepat kembali ke dalam hutan. Cuaca sudah mulai gelap ketika dia tiba di dalam hutan itu. Hatinya berdebar penuh kegembiraan membayangkan betapa akan senangnya hati Bi Cu melihat dia kembali membawa makanan dan arak, bahkan membawa pula pakaian dan sepatu yang cukup baik untuk dara itu.

Dibayangkannya betapa wajah manis itu akan menjadi semakin manis karena senyum yang cerah dan sepasang mata yang bersinar-sinar, dan terutama sekali betapa sepasang mata itu memandang kepadanya dengan penuh kegembiraan.

Tiba-tiba bayangan ini dihancurkan oleh berkelebatnya bayangan dan tahu-tahu ada seorang laki-laki berdiri di depannya, bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan senyum dikulum dan sinar mata penuh ejekan. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Sin Liong ketika mengenal orang ini yang bukan lain adalah Pangeran Ceng Han Houw!

“Pangeran...!”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: