***

***

Ads

Rabu, 05 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 199

“Liong-te, apakah engkau sudah lupa menyebutku Houw-ko? Apakah engkau sudah lupa bahwa kita adalah saudara angkat? Bukan main, di manapun ada keributan, disitu pasti ada engkau! Sama sekali tidak kusangka bahwa engkau tahu-tahu berada di sarang Pek-lian-kauw, dan ketika aku melihat bayanganmu berkelebat, aku segera mengenalmu. Sayang aku terlalu sibuk dengan tosu-tosu pemberontak itu sehingga baru sekarang aku dapat menyusulmu.”

“Houw-ko, di antara kita sudah tidak ada urusan apa-apa lagi. Engkau... mengejarku dengan maksud apakah?” tanyanya, harap-harap cemas karena dia tidak tahu apakah Bi Cu sudah tertawan lagi oleh pangeran yang berwatak palsu ini.

“Ha-ha-ha, adik angkatku ini yang selalu menjauhi wanita, yang tidak pernah mau menerima cinta kasih wanita, yang alim dan suci, ternyata selalu menjadi pelindung wanita! Ha-ha, aku yakin bahwa sekali engkau jatuh cinta, engkau akan menyerahkan segala-galanya kepada wanita. Beberapa kali engkau mengorbankan diri untuk wanita-wanita, untuk dara bernama Bi Cu itu, untuk Kui Lan dan Kui Lin, ha-ha-ha, padahal engkau selalu menolak kalau kusuruh wanita-wanita cantik melayanimu. Sungguh engkau mengherankan hatiku, Liong-te.”

“Sudahlah, aku tidak ingin bicara tentang wanita. Sebetulnya, ada keperluan apalagi engkau menghadangku, Houw-ko? Masih belum puaskah hatimu telah menghinaku di depan banyak orang kang-ouw? Aku telah mengaku kalah, aku telah menerima penghinaanmu tanpa banyak melawan. Harap saja engkau tahu bahwa diantara kita sudah tidak ada urusan apa-apa lagi dan aku tidak ingin berurusan lagi denganmu.”

Pangeran itu menggeleng-geleng kepalanya sehingga hiasan di atas topinya yang terbuat daripada bulu itu bergerak-gerak melambai-lambai.

“Tidak, Liong-te, aku masih belum puas. Engkau tentu mengerti, tempo hari aku menghinamu dengan sengaja untuk memancing kemarahanmu agar engkau suka melawanku. Akan tetapi engkau memang manusia aneh, luar biasa sekali, tahan hinaan, tahan ujian. Engkau hebat dan inilah yang membuat aku penasaran, Liong-te. Sekarang, mau tak mau, engkau harus melayani aku untuk bertanding mengadu ilmu. Ingin sekali aku melihat apakah benar-benar engkau kalah olehku, bukan hanya pengakuan kosong belaka!”

Sin Liong merasa sebal dan muak. Dia menggeleng kepalanya dan diam-diam hatinya merasa lega. Agaknya pangeran ini belum melihat Bi Cu. Inilah satu-satunya hal yang penting baginya. Dia lalu berkata,

“Pangeran Ceng Han Houw, di depan banyak orang aku sudah menyatakan tidak akan melawanmu, sekarangpun, aku mengulang kembali pernyataanku bahwa aku tidak mau mengadu ilmu denganmu. Ilmu yang kupelajari bukan untuk diperlumbakan, bukan untuk disombongkan. Kalau engkau mau memborong gelar Pendekar Lembah Naga, atau Pendekar Nomor Satu di Dunia, silakan, kau boleh memilikinya semua. Aku tidak butuh akan segala gelar itu. Nah, minggirlah dan biarkan aku lewat.”

“Liong-te! Begini keras kepalakah engkau? Dengar, sekali ini, tanpa seorangpun saksi, aku memaksa engkau untuk kita saling menguji kepandaian. Mau tidak mau engkau harus melayaniku, kalau tidak engkau tetap akan kuserang sampai mati! Nah, kau sambutlah ini!”

Pangeran itu telah menerjang dengan hebatnya! Ada angin dahsyat menyambar ketika dia menyerang, padahal pukulannya itu masih jauh, dalam jarak hampir satu meter namun hawa pukulannya telah menyambar sedemikian hebatnya.






Sin Liong terkejut sekali. Maklumlah dia bahwa setelah mempelajari ilmu dari ouwyang Bu Sek atau lebih tepat lagi, dari Bu Beng Hud-couw, pangeran ini telah menguasai ilmu yang luar biasa. Pukulannya ini saja ampuhnya menggila! Maka diapun cepat meloncat ke belakang, kemudian dengan hati-hati dia menaruh bungkusan roti kering, botol arak dan pakaian berikut sepatu di bawah pohon.

Pada saat itu, Ceng Han Houw sudah menerjangnya lagi, penasaran karena pukulan pertama dihindarkan oleh Sin Liong dengan loncatan jauh ke belakang. Dia mengira bahwa pemuda itu gentar menghadapinya. Gentar atau tidak, mau atau tidak Sin Liong sekali ini harus melayaninya bertanding, kalau tidak, dia akan membunuhnya!

Dia maklum bahwa kalau belum dapat mengalahkan Sin Liong dia akan masih terus merasa penasaran. Dia sudah melihat kehebatan ilmu dari pemuda yang dianggap sebagai adiknya ini, ketika Sin Liong mengamuk dan merobohkan orang-orang kang-ouw dengan amat mudahnya.

Sin Liong kini sudah siap. Dia tahu bahwa tidak ada jalan lain untuk menolak serangan pangeran itu yang hendak memaksanya mengadu ilmu. Tentu saja dia tidak mau mati konyol dan juga sekarang tidak ada alasan untuk mengalah lagi. Sudah berkali-kali dia mengalah demi menyelamatkan nyawa orang lain, akan tetapi sekarang mereka berdua bertemu di hutan itu tanpa saksi, tanpa ada hal-hal yang memaksanya untuk mengalah, maka tentu saja dia tidak ingin membiarkan dirinya dipukul sampai mati.

Begitu pukulan Han Houw datang, pukulan yang dahsyat sekali karena kedua tangan pemuda bangsawan itu maju dengan kecepatan kilat, yang kiri memukul dengan tangan miring ke arah lehernya, yang kanan menusuk dengan jari tangan ke arah ulu hatinya, diapun cepat menggerakkan kedua tangannya yang melakukan gerak dan diisi dengan tenaga Thian-te Sin-ciang.

“Plak! Plakk!” Keduanya terpelanting!

“Bagus!”

Han Houw gembira bukan main. Memang dugaannya tidak kosong. Adik angkatnya ini kuat sekali sehingga tangkisannya tadi mengandung tenaga besar yang membuat dia terpelanting, sungguhpun tenaganya sendiripun membuat Sin Liong terpelanting pula. Dengan demikian, jelaslah bahwa dalam tenaga sin-kang, mereka memiliki kekuatan seimbang.

Namun, Han Houw masih belum merasa puas. Tenaga yang dikeluarkannya tadi belum sepenuhnya, baru tiga perempat bagian saja. Maka kini dia menggereng dan kembali dia menubruk dengan serangan pukulan dahsyat, menggunakan seluruh tenaganya, dengan kedua tangan dia mendorong ke arah dada Sin Liong untuk membikin pecah dada lawan itu.

Sin Liong mengerti bahwa kakak angkatnya ini merasa penasaran dan hendak mengadu tenaga. Baik, pikirnya. Dia telah mewarisi Thian-te Sin-ciang dari mendiang Kok Beng Lama, maka kini diapun menahan napas dan mempergunakan seluruh tenaganya dari pusat di bawah perut, menyalurkannya kepada kedua lengannya dan diapun mendorong untuk menyambut hantaman lawan.

“Desss...!”

Hebat bukan main akibat adu tenaga keras lawan keras itu. Keduanya terjengkang dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya, dan ketika keduanya meloncat bangun, wajah Sin Liong pucat sekali akan tetapi di ujung bibir kiri Ceng Han Houw nampak setetes darah segar!

“Bukan main! Tenagamu amat luar biasa!” kata Han Houw agak terengah.

“Houw-ko, perlukah pertandingan gila ini dilanjutkan?”

“Haiiitttt...!”

Pukulan yang datang disertai loncatan kilat ini benar-benar dahsyat bukan main. Saat itu Sin Liong sedang bicara, maka dia kurang cepat sehingga biarpun dia dapat menangkis pukulan itu, tetap saja hawa pukulan yang amat berat menghimpit pundaknya, membuat dia terpelanting dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya.

Han Houw girang sekali. Akalnya berhasil, yaitu menggunakan kesempatan selagi Sin Liong bicara tadi melakukan serangan kilat. Melihat tubuh lawan bergulingan itu dia sudah meloncat dan mengejar, mengirim pukulan lagi ke arah kepala Sin Liong ketika pemuda ini sedang bangun.

Sin Liong yang sudah waspada itu cepat miringkan kepala dan menerima pukulan itu dengan bahunya.

“Dukk...!”

Tangan kanan Han Houw tepat mengenai bahu kiri Sin Liong, akan tetapi tubuh Sin Liong tidak bergoyang, sebaliknya pangeran itu yang terbelalak.

“Aihhhh...!”

Dia terkejut bukan main karena begitu tangannya yang memukul itu mengenai bahu lawan, dia merasakan sesuatu yang lunak dan tiba-tiba tenaga sin-kangnya sudah membanjir keluar memasuki tubuh Sin Liong melalui kontak antara tangannya dan bahu adik angkat itu.

“Thi-khi-i-beng...!” serunya dan tiba-tiba tangannya itu menjadi lemas dan tentu saja tangan yang tidak lagi dipenuhi hawa sin-kang ini tidak dapat disedot oleh Thi-khi-i-beng dan dengan mudah Han Houw sudah dapat menarik kembali tangannya tanpa pengerahan tenaga.

Kiranya dia sudah bersiap-siap menghadapi ilmu mujijat itu dan memperoleh ajaran dari Hek-hiat Mo-li. Begitu tangannya terlepas, dia lalu mengirim tusukan dengan dua jari tangan kiri mengarah kedua mata Sin Liong.

“Syuuuttt...!”

Untung Sin Liong cepat melompat ke belakang. Kalau sampai kedua matanya terkena tusukan itu, tentu akan menjadi buta, tanpa dia dapat melindungi matanya.

Ceng Han Houw sudah mulai merasa penasaran. Tadi dia telah mengalami kekagetan ketika Sin Liong mempergunakan Thi-khi-i-beng dan sungguhpun sinkangnya tidak sampai tersedot banyak, namun dia menganggap hal itu sebagai kekalahan di fihaknya, kalah segebrakan.

Maka untuk menebus kekalahan ini, dia sudah meloncat ke depan, menerjang lagi dan memukul dengan tenaga pukulan Hok-liong-sin-ciang. Inilah sebuah diantara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari kitab Bu Beng Hud-couw dan dia memperoleh petunjuk sendiri dari “bayangan” kakek dewa itu, maka hebatnya pukulan itu bukan main.

Melihat pukulan yang mengeluarkan suara sampai bercuitan itu, dengan gelombang hawa berputaran menyambar ke arahnya, Sin Liong maklum bahwa pangeran itu benar-benar menyerangnya dengan sungguh-sungguh dan agaknya siap untuk membunuhnya, maka diapun tidak mau mengalah lagi. Diapun lalu mengeluarkan jurus dari Hok-mo Cap-sha-ciang, menyambut pukulan lawan itu sambil mengerahkan tenaga sepenuhnya.

“Desss...!”

Kembali mereka bertemu di udara karena keduanya meloncat, dan kedua tangan mereka saling bertemu didahului hawa pukulan yang luar biasa dahsyatnya dan akibatnya, kembali keduanya terjengkang, terbanting keras dan bergulingan ke belakang.

Merahlah sepasang mata Han Houw. Tadinya dia mengangkat dan memandang diri sendiri terlampau tinggi. Tak pernah dapat dibayangkannya bahwa dia sampai dibuat terbanting seperti itu, bahkan sudah dua kali padahal baru bertanding dalam beberapa gebrakan saja, sungguhpun lawannya juga sama-sama terbanting. Hal ini dianggapnya tak masuk akal, bahkan menghinanya!

Maka sambil mengeluarkan seruan nyaring melengking dia terus meloncat dan menyerang lagi, mengirim pukulan bertubi-tubi mengandalkan kecepatannya bergerak. Memang hebat sekali pangeran ini. Gerakannya cepat seperti seekor burung walet yang menyambar-nyambar, kaki tangannya bertubi-tubi mengirim serangan ke arah tubuh Sin Liong, mengarah bagian-bagian tubuh yang paling berbahaya karena lemah.

Namun, Sin Liong menyambut dengan sama cepatnya dan mereka saling serang dengan amat hebat. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan andaikata ada orang yang nonton pertandingan itu, dia tentu akan menjadi bingung karena sukarlah mengikuti gerakan mereka berdua itu dengan pandang mata, yang nampak hanya dua bayangan yang menjadi satu, berkelebatan dengan kecepatan yang luar biasa.

Agaknya Han Houw memang sengaja hendak menguras dan mencoba semua ilmu yang dimiliki adik angkatnya ini, maka dia tidak segera mempergunakan ilmu yang paling diandalkannya, yaitu Hok-te Sin-kun. Ilmu ini merupakan andalan terakhir, maka dia hendak menguji kepandaian Sin Liong dengan ilmu-ilmu yang lain lebih dulu.

Dan sebaliknya, biarpun di dalam hatinya dia mulai merasa penasaran kepada kakak angkat yang wataknya aneh ini, namun Sin Liong masih tetap teringat budi yang pernah diterimanya dari Han Houw, maka diapun tidak mengeluarkan jurus terampuh dari Hok-mo Cap-sha-ciang, melainkan melayani pangeran itu dengan ilmu-ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari kakeknya, Yaitu San-in Kun-hoat dan Thai-kek Sin-kun, kadang-kadang menggantinya dengan pukulan-pukulan Thian-te Sin-ciang.

Tiga macam ilmu silat ini adalah ilmu-ilmu silat tingkat tinggi, maka cukuplah untuk membendung semua serangan Han Houw, bahkan dapat mengirim serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.

Setelah mereka bertanding selama seratus jurus dan belum juga ada yang kalah atau menang, kedua lengan mereka sudah menjadi matang biru karena sering beradu dengan kekuatan seimbang, dan daun-daun pohon banyak yang rontok karena sambaran hawa-hawa pukulan mereka, Han Houw mulai merasa penasaran sekali.

Tahulah dia bahwa adik angkatnya ini benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh dan berat, dan kalau tidak dilenyapkan dari permukaan bumi, tentu akan menjadi penghalang terbesar baginya untuk dapat menjadi jagoan nomor satu di dunia. Maka dia mulai mempertimbangkan untuk mempergunakan ilmu andalannya yang terakhir, yaitu Hok-te Sin-kun.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: