***

***

Ads

Senin, 10 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 203

“Sudahlah, jangan kau menangis saja. Hatiku menjadi makin bingung dan kacau kalau engkau menangis.”

Mereka duduk di dalam sebuah kuil tua. Sun Eng menangis sambil menyandarkan kepalanya di dada Lie Seng yang merangkulnya dan mengelus rambutnya yang hitam dan halus itu.

Akan tetapi Sun Eng menangis makin sedih.
“Betapa tidak akan hancur dan terharu rasa hatiku, koko...” Dia terisak-isak. “Melihat ada seorang pria di dunia yang kotor ini, pria seperti engkau yang begini mencintaku... dan aku... aku seorang hina yang ternyata kini malah membuat hidupmu menderita, menjauhkan engkau dari keluargamu, dari ibu kandungmu... aku merasa berdosa kepadamu, koko...”

“Sudahlah, Eng-moi, berapa kali engkau mengemukakan hal itu? Aku sudah bilang, aku tidak perduli semua itu! Yang terpenting dalam hidupku hanya engkau seorang, Eng-moi! Biar keluargaku sendiri, biar ibu kandungku sendiri, kalau tidak tepat pendapatnya, menghina dan memburukkanmu, biarlah aku menjauhkan diri dari mereka.”

Sun Eng merangkul dan mereka berangkulan. Lie Seng menciumi wajah kekasihnya itu, matanya yang basah air mata, bibirnya yang menyambutnya dengan penuh kemesraan dan terbuka, dan sejenak mereka tenggelam ke dalam perasaan cinta asmara yang menggelora. Tak pernah kedua orang ini merasa bosan untuk bermesraan, dimana saja dan kapan saja. Cinta mereka makin berakar mendalam.

“Hanya maut yang akan dapat memisahkan kita, Eng-moi!”

Sun Eng memegang tangan Lie Seng, menciumi jari-jari tangan itu dengan hati penuh perasaan terharu dan bersyukur.

“Lie-koko, engkau dari keluarga besar, engkau cucu dari pendekar sakti, ketua Cin-ling-pai, seluruh keluargamu terdiri dari pendekar-pendekar kenamaan, dan engkau... engkau telah mengangkat aku dari jurang kehinaan ke tempat yang amat tinggi, terlampau tinggi untukku...”

“Sudahlah, Eng-moi, jangan merendahkan diri sendiri.”

“Tidak, koko, akan tetapi akan selalu merasa rendah diri kalau aku tidak melakukan sesuatu untukmu, untuk keluargamu, bukan untuk mengangkat diri, melainkan setidaknya untuk mengimbangi selisih yang begini jauh antara engkau dan aku...”

Lie Seng mengecup bibir itu dan bertanya dengan suara main-main,
“Habis, apa yang akan kau lakukan, sayang?”

“Entahlah, koko, entahlah. Akan tetapi aku harus melakukan sesuatu demi engkau, demi keluargamu. Harus!”

Wanita yang masih basah kedua matanya itu mengepal tinju, akan tetapi dia segera tenggelam lagi ke dalam pelukan dan cumbu rayu Lie Seng.

Lama setelah gelora asmara yang bergelombang menenggelamkan mereka agak mereda, mereka sudah duduk kembali, Lie Seng menyandarkan tubuhnya pada dinding kuil tua itu, sedangkan Sun Eng bersandar kepadanya dengan kedua mata dipejamkan.






“Lie-koko, setelah aku mengakibatkan engkau terpisah dari keluargamu, lalu kemana kita sekarang hendak pergi?” terdengar Sun Eng bertanya halus.

“Kita akan ke Yen-tai!”

“Yen-tai di timur itu, di pantai?”

“Benar, Eng-moi, kita ke sana.”

“Mau apa kesana, koko? Ke rumah siapa?”

“Aku mempunyai seorang suci (kakak seperguruan) di sana, Eng-moi. Dia sudah menikah dan kini tinggal bersama suaminya di sana. Suaminya seorang pengusaha besar, maka biarlah kita ke sana, aku akan minta bantuan suci agar bisa mendapatkan pekerjaan di sana.”

Sun Eng girang sekali dan dia banyak bertanya tentang suci dari kekasihnya itu. Lie Seng lalu menceritakan siapa sucinya itu.

“Dia adalah puteri dari paman Yap Kun Liong, dia lihal sekali, dan suaminya juga seorang pendekar muda, peranakan Portugis akan tetapi baik hati dan gagah perkasa karena ibunya dahulu adalah seorang pendekar wanita yang kenamaan.”

Setelah banyak bercerita tentang Souw Kwi Beng dan Yap Mei Lan, Lie Seng lalu mengajak kekasihnya melanjutkan perjalanan menuju ke Yen-tai. Makin kagum sajalah hati Sun Eng mendengar penuturan itu. Kiranya, semua keluarga kekasihnya terdiri dari orang-orang hebat belaka, pendekar-pendekar kenamaan dan mengingat akan semua ini, makin menyesal hatinya, mengapa dia sebagai murid suami isteri pendekar Cia Bun Houw dan Yap In Hong sampai menyeleweng!

Andaikata tidak tentu diapun akan termasuk “keluarga besar” dari para pendekar itu, sebagai cucu murid ketua atau pendiri Cin-ling-pai! Dia makin merasa bahwa dengan masuknya ke dalam lingkungan keluarga perkasa itu sebagai kekasih Lie Seng, dia merupakan satu-satunya kambing hitam buruk di antara domba-domba berbulu tebal putih yang bersih dan indah!

Namun sikap yang amat mencinta dari Lie Seng, terutama sekali perasaan hatinya sendiri terhadap pemuda ini, membuat dia berani melanjutkan perjalanan bersama kekasihnya, biarpun hatinya merasa tidak enak dan merasa rendah diri.

Tentu saja Yap Mei Lan menyambut kedatangan sutenya itu dengan girang sekali. Demikian pula Souw Kwi Beng menyambut Lie Seng dengan gembira. Lie Seng dan Sun Eng dipersilakan masuk dan suami isteri muda yang kaya raya itu menjamu mereka dengan hidangan lezat dalam suasana meriah, karena Yap Mei Lan gembira sekali kedatangan sutenya.

Bagaimanapun juga, Lie Seng bukan hanya sutenya, akan tetapi lebih dari itu malah adik, yaitu termasuk adik tirinya. Bukankah ibu kandung sutenya itu, kini menjadi isteri dari ayah kandungnya sendiri?

“Bagaimana kabarnya dengan ayahku, sute? Dan juga bagaimana dengan ibumu? Juga bibi In Hong dan paman Bun Houw?” ketika mereka makan minum sambil bercakap-cakap, Mei Lan tidak dapat menahan diri lagi lalu menanyakan keadaan empat orang yang menjadi buruan pemerintah itu, dengan alis berkerut dan wajah khawatir.

Berdebar rasa jantung Lie Seng dan Sun Eng. Memang sejak tadi Lie Seng sudah hendak menceritakan tentang keadaannya dan tentang perselisihannya dengan keluarganya mengenai diri Sun Eng. Tadi hanya secara sepintas lalu ketika dia dan Sun Eng datang, dia memperkenalkan kekasihnya itu sebagai seorang sahabat dan suami isteri muda itu hanya tahu bahwa gadis ini bernama Sun Eng dan hanya menduga, melihat sikap dan gerak-gerik dua orang muda itu, bahwa agaknya ada apa-apa dalam persahabatan itu. Kini Mei Lan menanyakan tentang ibunya!

“Mereka... mereka baik-baik saja, suci, mereka tinggal dalam keadaan aman di Yen-ping...”

“Ehhh...?”

Yap Mei Lan kelihatan heran dan saling pandang dengan suaminya yang tampan dan yang sejak tadi hanya mendengarkan saja. Souw Kwi Beng mengerutkan alisnya memandang Lie Seng dengan penuh selidik, lalu diapun ikut bicara.

“Seng-te, sejak kapankah engkau berjumpa dengan ayah mertuaku?”

“Kurang lebih tiga bulan kami berdua baru meninggalkan Yen-ping dan mereka berempat masih berada disana dengan aman... eh, ada apakah?” Lie Seng bertanya, hatinya terasa tidak enak.

“Ah, kalau begitu engkau belum tahu, sute,” kata Mei Lan. “Mereka sekarang telah pindah lagi, setelah mereka diserbu musuh di Yen-ping. Baru saja kami menerima berita dari ayah tentang hal itu.”

Mei Lan lalu menceritakan berita yang didengarnya dari Yap Kun Liong. Ternyata keluarga pendekar yang sudah meninggalkan Yen-ping dan diam-diam melarikan diri dan bersembunyi di kota Bun-cou di Propinsi Ce-kiang itu diam-diam mengirim berita kepada Yap Mei Lan dan suaminya.

“Mereka diserbu musuh? Ah, lalu... mereka kini berada dimana?”

“Di Bun-cou, di Propinsi Ce-kiang.”

Mei Lan lalu menceritakan lagi dengan jelas dan Lie Seng mendengarkan dengan tangan dikepal.

“Kalau aku tahu, tentu aku tidak akan pergi dan akan membantu mereka menghadapi musuh!” katanya.

Diam-diam Sun Eng merasa gelisah sekali dan juga menyesal, karena kekasihnya itu terpaksa meninggalkan keluarganya demi dia!

“Sudahlah, sute. Mereka kini telah selamat dan karena berada di tempat yang semakin jauh dari kota raja, agaknya di selatan itu mereka dapat hidup aman. Aku sudah mengirim perbekalan dan uang kepada mereka, melalui orang kepercayaan suamiku yang mengadakan pelayaran ke selatan. Lalu, engkau sendiri dan adik Sun Eng ini, ada keperluan apakah kalian datang ke sini? Ataukah hanya untuk menengok sucimu ini?”

Lie Seng menarik napas panjang. Saat yang digelisahkan sudah tiba, dia harus menceritakan semuanya kalau dia menghendaki tinggal bersama kekasihnya di Yen-tai ini.

“Sesungguhnya, amat sukar bagiku menceritakan semua ini, suci. Akan tetapi karena agaknya aku sudah terpencil dan hanya engkaulah satu-satunya orang yang dapat kuharapkan akan mau mengerti keadaanku, maka aku sengaja datang mengunjungimu, suci, harap engkau berdua suamimu suka berbelas kasihan kepadaku.”

Tentu saja Mei Lan terkejut bukan main mendengar ucapan sutenya yang dikeluarkan dengan nada berduka itu.

“Sute, apakah yang telah terjadi? Tentu saja aku akan suka membantu sedapat mungkin!”

Tentu saja agak berat bagi Lie Seng untuk menceritakan urusannya dengan Sun Eng dan melihat keraguannya itu, Souw Kwi Beng yang tahu diri lalu berkata,

“Lie-te, kalau engkau merasa sungkan dan ragu untuk bercerita di depanku, biarlah aku mengundurkan diri dulu...”

“Ah, tidak... tidak sama sekali, suci-hu (kakak ipar),” Kemudian dia menoleh kepada Sun Eng lalu berkata, “Eng-moi, sebaiknya engkaulah yang bercerita kepada suci Yap Mei Lan, dan aku yang bercerita kepada suci-hu Souw Kwi Beng.”

Sun Eng balas memandangg kemudian dia mengangguk. Melihat ini, Mei Lan lalu bangkit dari duduknya, memegang tangan Sun Eng sambil berkata,

“Marilah, adik Sun Eng, kita bicara di dalam.”

Dua orang wanita itu lalu meninggalkan ruangan itu dan masuk ke dalam kamar Mei Lan. Setelah mereka pergi, Lie Seng merasa lebih leluasa dan berceritalah dia kepada Souw Kwi Beng tentang hubungannya dengan Sun Eng dan bahwa ibu kandungnya, juga pamannya, telah menyatakan tidak setuju dengan perjodohan mereka.

“Mereka itu tidak setuju karena Eng-moi tadinya adalah murid dari paman Cia Bun Houw dan menurut paman, Eng-moi pernah menyeleweng, pernah tergoda oleh kaum pria. Ibu tidak setuju aku menikah dengan seorang gadis yang bukan perawan lagi. Itulah persoalan kami, cihu, sehingga terpaksa aku bersama Eng-moi pergi meninggalkan mereka. Karena tidak tahu harus pergi kemana, maka aku mengajaknya kesini dengan harapan cihu suka menolongku dan memberi pekerjaan agar aku bersama Eng-moi dapat hidup di kota ini dan kalau mungkin, kuharap suci dan cihu dapat meresmikan pernikahan kami.”

Souw Kwi Beng mengangguk-angguk dan alisnya yang tebal itu berkerut. Dia sendiri merasa kecewa mendengar bahwa kekasih Lie Seng adalah seorang wanita yang pernah tergoda oleh kaum pria! Dia tidak dapat membayangkan sampai berapa jauhnya kata “menggoda” itu, akan tetapi kalau sampai gadis itu tidak perawan lagi, tentu godaan dan penyelewengan itu sudah terlalu mendalam. Namun, cinta kasih memang aneh dan dia sendiri tidak berani mencampuri.

“Tentu saja aku dapat menolongmu dengan pekerjaan yang kau perlukan, dan untuk engkau tinggal di kota inipun bukan hal yang sukar dan dapat kuatur sebaiknya. Hanya mengenai peresmian pernikahanmu, hemmm... agaknya hal itu amat sukar. Kurasa sucimu juga akan sependapat denganku bahwa kami tentu saja tidak akan berani bertindak selancang itu, melampaui ibu kandungmu dan ayah kandung isteriku untuk meresmikan pemikahanmu, seolah-olah mereka orang-orang tua itu sudah tidak ada saja. Tidak, Seng-te, kurasa hal ini tidak mungkin.”

Lie Seng menarik napas panjang.
“Andaikata tidak mungkinpun tidak mengapa. Kami sudah mengambil keputusan hidup bersama, dinikahkan secara resmi ataupun tidak, bagi kami sama saja!” Ucapan ini mengandung kepedihan hati akan tetapi juga mengandung keputusan nekat.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: