***

***

Ads

Senin, 10 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 204

Sementara itu, di dalam kamar, Sun Eng juga bercerita kepada Mei Lan. Akan tetapi berbeda dengan cerita Lie Seng, wanita ini menceritakan segalanya tanpa ditutup-tutupi lagi. Dia menceritakan penyelewengannya ketika dia masih menjadi murid Cia Bun Houw, betapa melihat kedua orang gurunya itu dalam keadaan pengasingan diri tidak melakukan hubungan suami isteri, membuat dia merasa kasihan kepada Bun Houw dan dia telah mencoba untuk merayu gurunya sendiri.

Kemudian betapa dia terpikat oleh godaan kaum pria sehingga dalam kepatahan hatinya karena dibenci oleh kedua gurunya, dia melakukan penyelewengan-penyelewengan sehingga tidak diakui lagi sebagai murid suami isteri pendekar itu. Kemudian, diceritakan pula tentang penyesalannya, tentang usahanya menolong kedua gurunya itu sehingga dia bertemu dengan Lie Seng. Betapa dia sudah menceritakan semua pengalamannya itu kepada Lie Seng, dan mereka masing-masing berpisah selama satu tahun untuk menjajagi hati masing-masing dan kemudian bertemu lagi dan cinta mereka bahkan semakin mendalam.

“Demikianlah, enci. Aku tahu akan keadaan diriku. Aku mengenal sepenuhnya siapa diriku, seorang murid murtad, seorang gadis tak tahu malu yang hina dan rendah. Aku tahu benar bahwa aku tidak pantas menjadi isteri Lie-koko, dan aku sudah menyatakan hal ini terus terang kepadanya. Akan tetapi, dia begitu mencintaku, enci, dan aku... kalau engkau masih percaya kepada hati yang sudah rusak ini, aku... melihat betapa murni cintanya kepadaku, aku rela mati untuknya, enci. Ketika dia bentrokan dengan keluarganya, dengan ibu kandungnya sendiri, mau rasanya aku membunuh diri. Akan tetapi aku tahu, cara itu bahkan akan membuat Lie-koko menjadi makin berduka saja, maka aku menuruti segala kehendaknya dan demikianlah, kami berdua tiba disini. Agaknya, sekarang terletak dalam tangan enci nasib Lie-koko...” Dan menangislah Sun Eng.

Sejenak Yap Mei Lan termenung, membiarkan gadis itu menangis. Di dalam hatinya terjadi perang. Tentu saja dia tidak dapat menyalahkan ibu tirinya atau ibu kandung Lie Seng yang kini menjadi isteri ayah kandungnya, juga tidak menyalahkan suami Isteri Cia Bun Houw. Siapa orangnya yang merasa senang melihat puteranya berjodoh dengan seorang gadis yang begitu rusak batinnya, yang telah menjadi permainan kaum pria, bahkan yang begitu tak tahu malu untuk menggoda dan mengajak main gila kepada suhunya sendiri?

Akan tetapi, kalau mereka sudah saling mencinta di antara mereka berdua, dan terutama sekali dia tidak meragukan cinta wanita ini terhadap sutenya. Baginya, cinta kasih asmara adalah urusan dalam dari dua orang yang bersangkutan dan orang lain sama sekali tidak boleh menilainya, tidak boleh mencampurinya. Tentu saja kalau menurut suara hatinya sendiri, diapun akan merasa kecewa melihat sutenya berjodoh dengan seorang gadis yang sudah pernah menyeleweng seperti Sun Eng ini. Akan tetapi dia maklum bahwa campur tangan perasaannya ini tidaklah benar, setidaknya, tidak akan membahagiakan hati sutenya. Maka dia menarik napas panjang.

“Sudahlah, adik Eng. Yang terpenting bagi kalian adalah isi hati kalian masing-masing. Tentu saja kami akan suka menolong kalian, terutama kekasihmu adalah suteku yang tersayang. Mari kita temui mereka dan kita bicara lebih lanjut”.

Mereka lalu keluar dan kembali ke ruangan tadi. Melihat kekasihnya masuk bersama sucinya dengan kedua mata agak membengkak dan merah oleh tangis, mengertilah Lie Seng bahwa Sun Eng tentu telah menceritakan segala-galanya, termasuk penyelewengannya. Maka dia segera menyambut dan menggandeng tangan kekasihnya, meremas jari-jari tangan Sun Eng dan dari sentuhan ini seolah-olah dia telah menghibur dan membesarkan hati kekasihnya itu. Kemudian mereka duduk mengelilingi meja seperti tadi.

Memang tepatlah pendapat Souw Kwi Beng yang dikatakan kepada Lie Seng tadi. Yap Mei Lan dengan rela dan senang hati mau menolong sutenya dan dia setuju sepenuhnya kalau suaminya memberi pekerjaan yang layak kepada sutenya. Akan tetapi dia tidak berani kalau harus meresmikan pernikahan kedua orang muda itu.






“Hal itu tidak mungkin dapat kami lakukan, sute. Harap sute memakluminya, ibu kandungmu masih ada, pamanmu masih ada, mana mungkin aku berani bersama suamiku bertindak sedemikian lancangnya untuk menjadi walimu dan meresmikan pernikahanmu? Hal itu tentu saja menjadi lain kalau andaikata ibu kandungmu itu memberi kekuasaan dan persetujuan kepada kami. Harus kau ingat bahwa ibu kandungmu berarti juga ibu tiriku, maka aku sama sekali tidak berani. Ayah tentu akan marah kepadaku kalau aku sampai berani selancang itu. Maka, kau maafkanlah kami berdua, sute.”

Lie Seng dapat menerima alasan-alasan mereka itu dan demikianlah, mulai hari itu, Lie Seng diberi pekerjaan oleh Souw Kwi Beng. Karena perdagangan Kwi Beng meliputi perdagangan barang-barang hasil bumi yang diangkut dengan perahu-perahu, dan setiap hari banyak sekali perahu-perahu hilir mudik di pelabuhan Yen-tai, maka Lie Seng diberi tugas untuk mengawasi kelancaran pemuatan hasil bumi ke perahu-perahu itu, menjaga jangan sampai ada kecurangan. Selain pekerjaan, juga suami isteri yang kaya ini menyediakan sebuah rumah lengkap dengan segala perabotnya untuk Lie Seng dan Sun Eng.

Penyambutan yang amat baik ini makin mengharukan hati Sun Eng. Dia merasa semakin terpukul melihat kebaikan Mei Lan, suci dari kekasihnya. Makin dia kagum kepada Lie Seng dan keluarganya, makin dia merasa dirinya kecil dan tidak berharga, rendah dan tidak patut menjadi teman hidup seorang pendekar seperti Lie Seng!

Oleh karena itu, biar-pun pada lahirnya dia kelihatan berbahagia dan hidup sebagai suami isteri yang belum sah bersama Lie Seng, penuh dengan kemesraan dan cinta kasih, namun di dalam batinnya wanita muda ini selalu penuh dengan penyesalan terhadap diri sendiri!

Sudah menjadi kebiasaan kita pada umumnya, untuk selalu menilai perbuatan-perbuatan kita yang sudah lalu, menimbulkan penyesalan, rasa takut, dan sebagainya. Bahkan telah kita terima sebagai sesuatu yang benar dan mutlak penting bahwa penyesalan akan penguatan yang lampau dapat menyadarkan kita dan membuat kita tidak lagi melakukan perbuatan yang kita anggap keliru dan yang mendatangkan penyesalan itu. Akan tetapi, benarkah ini? Beharkah bahwa penyesalan dapat membersihkan kita dari perbuatan sesat di masa mendatang?

Penyesalan selalu datang kalau perbuatan itu SUDAH dilakukan. Dan biasanya, seperti yang dapat kita lihat setiap hari, di sekeliling kita, dalam kehidupan masyarakat, dalam kehidupan kita sendiri, penyesalanpun akan makin lama makin menipis dan kemudian hilang. Sementara itu, perbuatan kita masih saja penuh dengan kesesatan! Kemudian, setelah menilai dan mengingat, timbul penyesalan kembali.

Perbuatan sesat dan penyesalan hanya susul-menyusul belaka, seperti dalam lingkaran setan yang tiada putus-putusnya! Seperti kalau kita makan makanan yang pedas, yang terasa enak segar di mulut namun sesungguhnya tidak baik bagi perut. Ketika makan amatlah enaknya sehingga kita yang terlalu mementingkan keenakan itu tidak lagi ingat kepada perut kita sendiri. Baru setelah perut kita sakit melilit-lilit, kita merasa menyesal dan sadar bahwa terlalu banyak makanan pedas itu tidak baik untuk perut. Namun, penyesalan ini dalam sedikit waktu sudah terlupa lagi kalau kita menghadapi makanan pedas yang segar enak bagi mulut itu! Kenyataannya demikianlah!

Pengejaran kesenangan membuat kita buta dan baru setelah kesenangan itu terdapat lalu timbul hal-hal yang tidak menyenangkan, seperti segala macam kesenangan yang memiliki muka ganda sehingga senang dan susah tak terpisahkan, lalu timbul penyesalan! Jadi penyesalan itu pada hakekatnya timbul karena akibat dari kesenangan itu mendatangkan kesusahan kepada kita! Jadi bukanlah si perbuatan sesat itu sendiri yang kita sesalkan, melainkan si akibat yang buruk dari perbuatan yang mendatangkan kesenangan itu!

Semua ini akan nampak jelas sekali kalau kita waspada terhadap segala gerak-gerik lahir batin kita sendiri, kalau kita waspada terhadap segala sesuatu yang bergerak dalam pikiran kita. Kewaspadaan inilah kesadaran dan kesadaran inilah pengertian, dan pengertian melahirkan perbuatan yang spontan, perbuatan yang tidak lagi dikendalikan oleh pertimbangan dan penilaian pikiran.

Karena perbuatan yang dikendalikan oleh pikiran, oleh si aku, sudah pasti perbuatan itu berdasarkan untung rugi bagi si aku, dan perbuatan seperti ini sudah pasti menimbulkan konflik yang kemudian berakhir dengan kedukaan, termasuk penyesalan yang tiada gunanya itu. Kewaspadaan setiap saat terhadap diri sendirilah yang akan melenyapkan perbuatan-perbuatan sesat yang hanya terjadi dan hanya dilakukan dalam keadaan TIDAK SADAR. Bukan penyesalan yang melenyapkan kesesatan-kesesatan itu!

Yang amat penting untuk kita sadari adalah bahwa kewaspadaan setiap saat terhadap diri sendiri lahir batin ini haruslah tidak dikendalikan oleh si aku! Jadi yang ada hanyalah pengamatan saja, kewaspadaan saja, kesadaran akan diri sendiri tanpa ada aku yang mengamati, tanpa ada aku yang waspada dan sadar!

Karena kalau ada si aku yang mengatur dan mengendalikan semua kewaspadaan dalam pengamatan itu, maka itu hanya permainan pikiran atau si aku yang tentu mengandung pamrih dalam pengamatan itu, pamrih untuk sesuatu, untuk mencapai sesuatu, entah yang sesuatu itu dinamai kesenangan, kedamaian, kesucian dan sebagainya. Dan semua tindakan dari pikiran atau si aku yang selalu mengejar kesenangan pastilah menimbulkan konflik dan kesengsaraan.

Yap Mei Lan dan suaminya, Souw Kwi Beng, sedang duduk di ruangan depan rumah mereka. Setelah Lie Seng bekerja di tempat pemuatan barang-barang hasil bumi, yaitu di pelabuhan, maka banyaklah waktu bagi Kwi Beng untuk menemani isterinya di rumah. Sudah dua bulan lebih Lie Seng bekerja di situ dan suami isteri ini merasa senang dapat menolong Lie Seng yang nampak hidup cukup bahagia dengan Sun Eng, sedangkan bantuan Lie Seng itu ternyata juga membuat pekerjaan Kwi Beng menjadi ringan.

Sejak tadi suami isteri ini memandang kepada pemuda yang berdiri di atas jalan raya depan rumah gedung mereka itu. Pemuda itu tampan dan gagah, bertubuh tinggi tegap, memakai jubah kulit macan dan sebuah topi yang indah dari bulu rubah dan dihiasi bulu burung yang berwarna biru keemasan.

“Waspadalah, orang itu mencurigakan sikapnya,” bisik Yap Mei Lan kepada suaminya, namun pendekar wanita ini nampak tenang saja, pura-pura tidak melihat kepada pemuda itu akan tetapi biarpun tidak melihat langsung dari sudut matanya, dia selalu mengawasi gerak-geriknya.

Pemuda itu agaknya bimbang, akan tetapi kemudian dia melangkah memasuki pekarangan yang luas dan ditumbuhi banyak pohon sehingga kelihatan teduh itu, dengah langkah tenang dan lebar menghampiri ruangan depan dimana suami isteri itu sedang duduk.

Melihat betapa pemuda yang dicurigai isterinya itu memasuki halaman rumah mereka, Souw Kwi Beng lalu bangkit dari tempat duduknya melangkah keluar untuk menyambut. Pemuda ini mungkin seorang tamu, pikirnya. Souw Kwi Beng adalah seorang saudagar yang memiliki hubungan luas sekali, bahkan dengan luar negeri, maka tidaklah mengherankan andaikata pemuda asing yang pakaiannya aneh dan menyolok itu mengunjunginya. Dia tidaklah curiga seperti isterinya dan menyambut kedatangan tamu itu dengan senyum lebar di wajahnya yang tampan.

“Selamat datang di tempat kami, saudara. Tidak tahu siapakah saudara, datang dari mana dan hendak mencari siapa?” tegur Souw Kwi Beng dengan sikap ramah.

Pemuda jangkung tegap itu sejenak memandang kepada Kwi Beng dengan sinar mata tertarik dan kagum akan ketampanan pria peranakan Portugis ini, kemudian dia menoleh ke arah Mei Lan yang juga sudah bangkit dari kursinya dan menuruni undak-undakan di depan rumahnya. Ada sesuatu dalam sinar mata pemuda ganteng itu yang membuat kedua pipi pendekar wanita ini menjadi kemerahan.

Sepasang mata yang mencorong itu mengandung kegairahan yang kurang ajar, pikirnya. Kalau hanya mata pria yang memandangnya dengan kagum saja, hal ini sudah biasa bagi Mei Lan, akan tetapi pandang mata ini aneh sekali, seolah-olah sinar mata itu memiliki kekuasaan untuk menelanjanginya, seolah-olah sinar mata itu menggerayangi tubuhnya dan memandang tembus pakaian yang menutupi tubuhnya!

Pemuda tampan itu tidak menjawab pertanyaan yang diajukan secara sopan dan hormat oleh Souw Kwi Beng, melainkan kini dia memutar tubuh menghadapi Mei Lan, lalu terdengar dia bertanya dengan suara langsung dan lantang, sedikitpun tidak menunjukkan sikap sopan seperti patutnya seorang pria terhadap seorang wanita yang tidak pernah dikenalnya,

“Apakah engkau yang bernama Yap Mei Lan?”

Tentu saja suami isteri itu terkejut dan juga merasa tidak senang, terutama sekali Mei Lan yang mukanya menjadi semakin merah, kini bukan merah karena jengah atau malu, melainkan merah karena marah.

“Aku adalah nyonya Souw Kwi Beng!”

Akan tetapi pemuda itu sudah menggerakkan tangannya dengan kesal.
“Aku tidak ada urusan dengan Souw Kwi Beng, melainkan dengan Yap Mei Lan! Engkau orangnya, bukan?”

Mei Lan semakin marah dan dia sudah hendak menerjang dan menghajar pria kurang ajar ini, akan tetapi Kwi Beng sudah berdiri di dekatnya dan menyentuh lengannya, mencegab isterinya terburu nafsu, kemudian dia menghadapi pemuda itu.

“Kami tidak mengerti mengapa saudara yang tidak kami kenal bersikap seperti ini. Memang benar bahwa isteriku bernama Yap Mei Lan. Lalu saudara mau apa dan siapakah engkau?” Karena sikap orang itu, maka Kwi Beng juga menanggalkan penghormatannya.

Pemuda itu tertawa dan wajahnya memang tampan.
“Bagus! Yap Mei Lan, engkau puteri dari Yap Kun Liong, bukan? Nah, aku datang untuk menangkapmu! Ayahmu dan bibimu adalah pemberontak-pemberontak buronan, maka engkau harus menjadi tawananku.”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: