***

***

Ads

Senin, 10 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 206

Setelah tiba di ruangan dalam, mereka bertiga lalu berunding dengan wajah serius dan suara penuh kesungguhan.

“Pangeran itu benar-benar memiliki kepandaian yang amat lihai, sute. Aku sendiri, terus terang saja, akan sukar untuk dapat mengalahkannya!”

Ucapan yang sejujurnya dari suci ini membuat Lie Seng terkejut sekali. Sucinya itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, bahkan masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya sendiri, dan kini sucinya mengatakan bahwa dia tidak mampu mengalahkan pangeran ini!

“Bagaimanapun juga, kita akan melawannya, suci! Biarlah aku akan membantu suci, kurasa dengan majunya kita berdua, tidak mungkin dia akan dapat banyak berlagak!” kata Lie Seng, masih merasa terkejut.

Akan tetapi Souw Kwi Beng menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
“Hendaknya kalian berdua ingat bahwa yang kalian hadapi bukanlah seorang tokoh kang-ouw yang dapat dihadapi dengan tenaga dan ilmu silat. Akan tetapi kalau benar dia itu seorang pangeran yang memiliki kekuasaan besar, dan mengingat pula akan keadaan keluarga Cin-ling-pai yang dianggap pemberontak buronan oleh pemerintah, kita harus berhati-hati. Kita tentu saja dapat melawan musuh-musuh dari dunia kang-ouw dengan tenaga dan kekerasan, akan tetapi tidak mungkin kita dapat melawan pemerintah.”

Melihat wajah suaminya penuh kegelisahan itu, Mei Lan jadi ikut khawatir.
“Jadi, bagaimana sekarang baiknya?” tanyanya sambil memandang kepada suaminya, maklum bahwa suaminya yang amat mencintanya itu mengkhawatirkan keselamatan dirinya, bukan keselamatan diri sendiri.

Selagi tiga orang itu saling pandang dengan wajah khawatir, tiba-tiba masuk seorang wanita setengah berlari-lari, mukanya pucat dan napasnya terengah. Wanita itu ternyata adalah Sun Eng, dan melihat Lie Seng berada disitu bersama sucinya dan suami sucinya, Sun Eng mengeluh panjang dengan penuh kelapangan dada.

“Ahhhh... syukurlah kalian tidak apa-apa...” katanya terengah. “Aku... aku mendengar laporan bahwa kalian berkelahi... maka aku segera lari kesini...”

Lie Seng sudah merangkul kekasihnya dan membawanya duduk menghadapi meja.
“Tenanglah, Eng-moi. Kami tidak apa-apa, dan memang ada urusan yang amat penting dan mengkhawatirkan. Kau dengarlah.”

Lalu dengan singkat dia menceritakan tentang munculnya Pangeran Ceng Han Houw yang hendak menangkap Yap Mei Lan sebagai puteri pemberontak.

Tentu saja Sun Eng menjadi ikut gelisah sekali, dan dia yang pemberani dan berhati keras itu segera berkata,

“Kenapa kita tidak cari saja pangeran busuk itu dan membunuhnya?”

“Ah, tidak mungkin kita lakukan itu, Eng-moi. Engkaupun tahu betapa keluarga Cin-ling-pai difitnah. dituduh pemberontak. Kalau kita sampai membunuh seorang pangeran tentu dosa itu akan semakin dibesar-besarkan. Selain itu, pangeran itu amat lihai, bahkan suci dan aku sendiri tidak dapat menandinginya.”






“Ohhh...?” Sun Eng memandang pucat dan hampir tidak percaya bahwa ada pangeran yang memiliki kepandaian setinggi itu. “Habis, bagaimana baiknya?”

“Itulah yang sedang kami bertiga rundingkan ketika engkau tiba tadi,” jawab Lie Seng.

Kembali suasana menjadi hening, sunyi yang mencekam perasaan karena mereka merasa tegang dan khawatir.

“Melawan tidak boleh, jadi... apakah kita harus melarikan diri?” akhirnya Yap Mei Lan berkata, hatinya penuh dengan rasa penasaran.

“Agaknya itulah satu-satunya jalan, kalau kita sudah dimusuhi pula oleh pemerintah, tidak ada jalan lain...” kata suaminya.

“Tapi, engkau sudah begitu royal dengan hadiah-hadiahmu kepada boleh dibilang semua pejabat dari yang rendah sampai yang tinggi di Yen-tai ini! Hadiah yang kau berikan kepada mereka bahkan lebih besar daripada gaji yang mereka terima!” isterinya mencela.

Souw Kwi Beng menarik napas panjang.
“Isteriku, memang hubungan kita dengan para pejabat di Yen-tai ini sudah amat baik, dari mereka itu kita percaya akan memperoleh perlakukan baik. Akan tetapi, pangeran itu dari kota raja! Tentu kekuasaannya jauh lebih besar dan para pejabat disini tentu tidak dapat menentangnya. Betapapun juga, aku akan menghubungi mereka dan...”

Souw Kwi Beng menghentikan kata-katanya karena pada saat itu muncullah seorang pelayannya yang memberitahukan bahwa ada seorang tamu utusan Ciong-taijin mohon bertemu dengan tuan rumah. Empat orang itu saling pandang dan Kwi Beng lalu minta kepada pelayannya agar tamu itu langsung diantar masuk ke dalam ruangan itu.

Tak lama kemudian, seorang laki-laki tua yang berpakaian biasa memasuki ruangan itu dan cepat dia memberi hormat kepada Souw Kwi Beng dan yang lain-lain. Kwi Beng mengenal orang ini sebgai seorang kepercayaan Ciong-taijin, yaitu kepala daerah Yen-tai.

“Saya tidak dapat bicara banyak dan lama,” kata orang itu setelah dipersilakan duduk. “Saya diutus oleh taijin untuk menyampaikan kepada Souw-wangwe (hartawan Souw) bahwa ada bahaya besar mengancam keluarga wangwe. Taijin hanya mengatakan bahwa Pangeran Ceng Han Houw yang merupakan seorang pemegang kekuasaan dari kaisar sendiri, telah memerintahkan kepada penjaga keamanan kota untuk mengerahkan pasukan dan untuk mengawalnya menangkap keluarga wangwe! Taijin tak dapat menolong, dan tidak berani berbuat apa-apa selain mengutus saya untuk memberi tahu, dan taijin menganjurkan agar wangwe sekeluarga cepat-cepat pergi dari kota ini, kalau mungkin menyeberang lautan!”

Souw Kwi Beng yang sudah menduga akan hal itu mengucapkan terima kasih dan orang itupun cepat-cepat pergi melalui pintu belakang.

“Nah, tidak urung begini jadinya,” kata Souw Kwi Beng, “itulah jalan satu-satunya. Isteriku, cepatlah berkemas. Kita membawa barang-barang berharga saja dan terpaksa yang lain-lain kita tinggalkan kepada orang-orang kita. Sebelum keadaan menjadi dingin, biarlah kita lari menyeberang ke selatan.”

Yap Mei Lan nampak gelisah.
“Ah, lalu... bagaimana dengan engkau, sute?”

“Suci, cihu benar. Kalian harus melarikan diri. Tidak mungkin melawan pemerintah. Kalian memiliki perahu-perahu besar dan membawa bekal kekayaan, pula, cihu mempunyai banyak teman di luar negeri. Takut apa? Tentang aku...”

“Mari kalian ikut saja bersama kami!” kata Souw Kwi Beng.

Lie Seng menggeleng kepala.
“Terima kasih, cihu. Kalian sudah melimpahkan banyak kebaikan kepada kami. Dan memang agaknya kami belum boleh hidup tenang. Kalian berangkatlah, dan kami berdua akan mengambil jalan sendiri. Mari kubantu kalian berkemas, dan kau, Eng-moi... kau pulanglah dan berkemaslah sehingga kalau aku sudah selesai membantu suci sampai mereka berangkat, engkau sudah siap dan kitapun akan segera pergi hari ini juga.”

Sun Eng memandang kepada Mei Lan yang juga memandangnya. Kedua orang wanita ini saling pandang dan biarpun keduanya adalah wanita-wanita perkasa yang tidak berwatak cengeng atau lemah, namun menghadapi perubahan hidup yang tiba-tiba itu mereka menjadi terharu dan akhirnya Sun Eng menubruk Mei Lan dan keduanya berpelukan dan menangis.

“Enci, hati-hatilah di jalan...” Sun Eng berkata.

“Engkaupun berhati-hatilah, adik Eng... mari kau ikut ke kamar, engkau harus membawa bekal...”

Mei Lan menarik tangan Sun Eng memasuki kamarnya dan memberi banyak perhiasan-perhiasan berharga kepada Sun Eng yang menerimanya dengan terharu hatinya.

Akhirnya, dengan hati berat Sun Eng meninggalkan gedung itu untuk berkemas pula. Sedangkan Lie Seng sibuk membantu sucinya dan cihunya berkemas lalu mengangkuti barang-barang ke sebuah perahu besar milik Souw Kwi Beng yang sudah dipersiapkan. Kwi Beng mengumpulkan orang-orangnya dan menunjuk beberapa orang untuk mengatur perusahaannya.

Persiapan itu dilakukan secepatnya dan lewat tengah hari berangkatlah perahu itu meninggalkan pelabuhan, melakukan pelayaran ke selatan. Lie Seng berdiri di pantai dan melambaikan tangan yang dibalas oleh sucinya dan cihunya. Dia berdiri memandang sampai perahu itu hanya merupakan titik hitam.

Teringatlah dia kepada Sun Eng dan cepat dia berjalan pulang. Dia dan Sun Eng juga harus pergi secepatnya, karena kalau nanti pangeran itu mencari dan tidak menemukan Mei Lan dan Kwi Beng, tentu pangeran itu menjadi marah dan akan mencarinya.

Akan tetapi, ketika tiba di rumah, dia melihat rumahnya sunyi dan kosong. Sun Eng tidak dapat ditemukan di dalam rumah itu. Memang dia melihat buntalan-buntalan, dan nampak bekas-bekas Sun Eng berkemas. Anehnya, perhiasan-perhiasan pemberian Yap Mei Lan pun ditinggalkan oleh Sun Eng di dalam buntalan pakaiannya yang diletakkan di atas meja.

Jantung Lie Seng mulai berdebar penuh kekhawatiran ketika dia menemukan sesampul surat di atas buntalan pakaiannya. Dengan jari-jari gemetar dibukanya sampul surat itu dan wajahnya makin pucat ketika dia membaca surat tulisan tangan Sun Eng!

Kanda Lie Seng tercinta.

Terbuka kesempatan untuk melakukan sesuatu demi keselamatanmu dan keluargamu. Pangeran itulah yang menjadi sumber malapetaka bagi keluargamu. Maka tiba saatnya bagi kita untuk berpisah. Perkenankan aku menunjukkan harga diriku, koko. Aku harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai. Kalau aku gagal menempuh jalan halus, akan kucoba membunuh pangeran itu. Selamat tinggal, koko, aku selamanya cinta padamu dan kenekatanku sekali inipun karena cintaku kepadamu.

Yang mencinta selamanya,

Sun Eng

"ENG-MOI...!"

Lie Seng mengeluh. Ingin dia menjerit, dan ingin dia mengejar, memaksa Sun Eng kembali kepadanya. Akan tetapi kemana dia harus mencarinya? Apakah yang akan dilakukan oleh gadis itu? Sejenak dia termangu, terduduk di atas kursi dengan muka pucat dan mata tak bersinar. Dia mengingat-ingat apa yang menyebabkan Sun Eng mengambil keputusan nekat seperti itu. Nekat dan berbahaya! Kemudian dia mengerti.

Selama ini Sun Eng merasa rendah diri, merasa tidak patut menjadi jodohnya, apalagi melihat kebaikan yang dilimpahkan oleh Mei Lan dan suaminya kepada mereka berdua. Kini, mendadak muncul pangeran itu yang bukan hanya merupakan musuh besar keluarga Cin-ling-pai, juga pangeran ini yang menyebabkan keluarga Mei Lan terpaksa harus melarikan diri, bahkan menghancurkan pula kebahagiaan Sun Eng yang sudah hidup aman tenteram bersama Lie Seng di Yen-tai. Inilah agaknya yang menjadi pendorong besar, dan memang seperti yang ditulis oleh Sun Eng, dia melihat kesempatan baik.

Akan tetapi, apa yang akan dilakukan? Membunuh pangeran itu? Ah, lamunan kosong belaka dan sama dengan membunuh diri! Lalu apa? Apa yang dilakukan oleh kekasihnya itu?

"Sun Eng...! Eng-moi...!"

Lie Seng mengeluh dan tanpa memperdulikan buntalan-buntalan itu, dia meloncat keluar dan dengan nekat dia lalu mencari keterangan dimana adanya Pangeran Ceng Han Houw! Dia harus mencari kekasihnya, harus mencegah kekasihnya berlaku nekat. Kalau perlu, dia akan melindungi Sun Eng dengan taruhan nyawanya!

Tentu kekasihnya itu akan pergi ke kota raja untuk berusaha menghapus fitnah atas nama keluarga Cin-ling-pai itu. Bahkan dalam surat itu, Sun Eng mengatakan bahwa kalau usahanya gagal, dia akan mencoba untuk membunuh Pangeran Ceng Han Houw. Kemana lagi perginya kekasihnya itu kalau tidak ke kota raja? Akan tetapi, Lie Seng yang kini melakukan perjalanan cepat ke kota raja itu tidak tahu bahwa sesungguhnya Sun Eng masih berada di Yen-tai! Wanita ini setelah mengadakan pembicaraan dengan kekasihnya, Mei Lan dan Kwi Beng, ketika pulang ke rumahnya dan berkemas, tak pernah dapat membendung mengalirnya air matanya.

Mei Lan dan Kwi Beng demikian baik kepadanya, dan sekarang mereka itu menghadapi malapetaka! Dan sekarang dia harus bertindak! Tidak mungkin dia diam saja. Sekarang dia harus memperlihatkan baktinya terhadap keluarga Lie Seng. Dia harus melakukan sesuatu untuk mengangkat namanya sendiri, harus melakukan perbuatan yang akan menariknya keluar pecomberan yang pernah diciptakannya dengan penyelewengan-penyelewengannya sehingga ibu kekasihnya tidak sudi menerimanya sebagai mantu. Dia akan memperlihatkan kepada mereka bahwa biarpun dia pernah menyeleweng, namun dia masih memiliki kegagahan, masih memiliki harga diri yang ditimbulkan oleh perbuatannya yang membela Cin-ling-pai dan kalau perlu dia akan berkorban nyawa!

Tentu saja hatinya seperti disayat-sayat rasanya kalau dia teringat kepada Lie Seng, pria yang dicintanya dan amat mencintanya. Dia akan jauh dari pria itu, dia akan menderita rindu, dia akan merasa kehilangan cumbu rayu dan selangit kemesraan yang dinikmatinya bersama Lie Seng. Akan tetapi, dia mengeraskan hatinya, dia harus melakukan ini selagi terdapat kesempatan, karena kalau tidak, segala kemesraan dengan Lie Seng itu selalu akan tidak lengkap, selalu akan ternoda oleh rasa rendah diri!

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: