***

***

Ads

Rabu, 12 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 211

“Saya sendiri sungguh mati tidak pernah dapat mengerti mengapa ayah kandung dan kakak tiri saya begitu tega untuk mencelakakan Lan-moi dan Lin-moi, menyerahkan mereka kepada pangeran keparat itu!” Akhirnya Beng Sin berkata sambil mengepal tinjunya. “Kalau saya berkepandaian, tentu akan saya tolong Lan-moi dan Lin-moi! Akan tetapi apa daya saya terhadap seorang seperti pangeran itu?”

“Tenangkan hatimu, Beng Sin,” kata calon ayah mertuanya. “Kedua orang adikmu itu telah selamat.”

“Eh? Bagaimana... eh, gak-hu (ayah mertua) bisa tahu...?”

Biarpun agak malu-malu, dia tidak ragu-ragu lagi menyebut ayah mertua sehingga menggirangkan hati Ciook-piauwsu.

“Mereka telah diselamatkan oleh kakak tiri mereka yang bernama Liong begitu, demikian menurut pendengaranku, dan mereka kini bahkan telah kembali ke rumah Ciang-piauwsu ketua Hek-eng-piauwkiok yang menganggap mereka seperti anak sendiri, bahkan mereka datang bersama ayah mereka.”

Muka yang gemuk itu memandang dengan melongo, terheran-heran akan tetapi juga girang sekali mendengar bahwa Lan Lan dan Lin Lin selamat.

“Ah, tentu Sin Liong yang menyelamatkan mereka! Sin Liong hebat sekali! Dan mereka berada di kota ini? Bersama ayah?” Pertanyaan terakhir ini bernada tak senang.

“Benar, dan mereka kini telah membeli rumah sendiri. Engkau harus cepat mengunjungi ayahmu dan adik-adikmu itu, Beng Sin. Kami girang bahwa engkau dapat berkumpul dengan keluargamu yang kini telah pindah ke sini. Sungguh kebetulan sekali dan mudah untuk mengesahkan perjodohan antara engkau dan Siu Lan.”

Akan tetapi wajah yang gemuk dan bulat itu menjadi muram dan dia menggeleng kepala.

“Saya tidak akan mengunjungi ayah...”

Suami isteri itu saling pandang, kemudian Ciook-piauwsu berkata, nada suaranya bersungguh-sungguh,

“Beng Sin, kami mengharap engkau tidak mengecewakan hati kami dengan melesetnya pandangan kami tentang dirimu. Kami memandangmu sebagai seorang pemuda gagah perkasa yang baik budi dan bijaksana. Akan tetapi, semua itu akan tidak ada gunanya kalau engkau sekarang hendak bersikap murtad dan kejam terhadap ayah kandung sendiri.”

“Akan tetapi, gak-hu..., hanya sayalah yang tahu betapa jahatnya dia... betapa kejamnya... ah, sudah terlalu banyak hal keji dilakukan ayah... saya merasa malu sendiri... bahkan puteri-puterinya sendiripun hendak diserahkan kepada pangeran itu, seperti domba-domba diserahkan kepada jagal untuk disembelih...”

“Cukup, Beng Sin!” Tiba-tiba Ciook-piauwsu berkata dengan suara keras dan tegas. “Kami tidak ingin mendengar keburukan-keburukan orang, apalagi kalau orang itu adalah ayah kandungmu. Betapapun banyak penyelewengan yang pernah dilakukannya, apakah engkau sebagai puteranya tidak menaruh hati kasihan dan tidak mau memaafkannya? Dia sekarang... ah, sakit parah...”

“Ahhh...?” Beng Sin terkejut.






“Benar, Beng Sin,” sambung ibu mertuanya. “Ayahmu itu sedang menderita penyakit yang payah, maka sebaiknya kalau engkau cepat menengoknya agar terhibur hati orang tua itu. Juga, kasihan dua orang adikmu itu yang merasa bingung melihat ayah mereka sakit.”

Mendengar betapa Kui Hok Boan sakit payah, dan dua orang gadis kembar itu menjadi bingung, timbul rasa kasihan dalam hati Beng Sin. Betapapun juga, ayah kandungnya atau bukan, Kui Hok Boan adalah orang yang telah melimpahkan banyak budi kebaikan kepadanya. Dan dia amat menyayang dua orang dara kembar itu, bahkan pernah dia jatuh hati kepada Lin Lin sebagai seorang pria yang mencinta wanita, sungguhpun kini cintanya itu berubah menjadi cinta seorang kakak terhadap seorang adiknya.

“Baik, saya akan pergi mengunjungi mereka.”

Giranglah hati ayah dan ibu mertua ini dan mereka lalu menunjukkan jalan ke arah rumah tinggal Lan Lan, Lin Lin, dan ayah mereka. Dengan jantung berdebar Beng Sin menuju ke rumah yang cukup besar itu.

Kiranya, dengan bantuan keluarga Ciang-piauwsu, Kui Hok Boan kini membeli sebuah rumah, tentu saja, yang mengurusnya adalah Ciang-piauwsu bersama Kui Lan dan Kui Lin, dan tinggal di rumah ini, Kui Lan dan Kui Lin mempergunakan uang hasil penjualan perhiasan untuk membeli rumah dan perabot-perabot rumah, kemudian sisa harta mereka itu mereka serahkan kepada ayah angkat mereka, Ciang-piauwsu ketua Hek-eng-piauwkiok, untuk “dijalankan” sehingga modal itu dapat menghasilkan keuntungan dan tidak akan habis dimakan menganggur begitu saja.

Ketika Kui Lan dan Kui Lin melihat siapa orangnya yang datang berkunjung, keduanya menjadi girang dan juga terharu. Mereka menubruk dan memegangi kedua tangan Beng Sin sambil menangis.

“Sin-ko...!” Kui Lan terisak.

“Sin-ko, kenapa baru sekarang kau muncul?” Kui Lin juga menangis.

Beng Sin tidak dapat menahan runtuhnya beberapa butir air matanya melihat dua orang dara kembar yang disayangnya ini.

“Lan-moi... Lin-moi... terima kasih kepada Thian bahwa kalian dalam selamat...” katanya berulang-ulang.

Dia terharu sekali memandang wajah Kui Lan yang ternyata sekarang adalah adik tirinya, sedarah dengan dia, seayah!

“Kami diselamatkan oleh Liong-koko,” kata Kui Lan.

“Dan Liong-koko yang menyuruh kami membawa ayah pindah ke sini,” sambung Kui Lin.

Sukar bagi mulut Beng Sin untuk bertanya tentang ayahnya. Ah, sudah tahukah dua orang kembar ini bahwa dia adalah saudara sedarah dengan mereka? Dan sudah dengarkah mereka tentang kematian Siong Bu? Yang paling buruk harus dibicarakan lebih dulu, pikirnya, maka dia lalu berkata,

“Lan-moi dan Lin-moi, aku... aku telah... membunuh Bu-ko...”

Dua orang dara itu mengangguk dan mengusap air mata,
“Kami sudah mendengar semua itu dari Liong-koko, Sin-ko,” kata Kui Lan.

“Bukan salahmu, Sin-ko, Bu-ko memang jahat dan dia tewas dalam perkelahian karena engkau membela kami... ah, kami sudah tahu akan semua itu dari Liong-koko dan dari... dari ayah...”

“Kamipun sudah tahu bahwa engkau adalah putera kandung ayah pula, seperti juga mendiang Bu-ko. Ah, kami sudah mendengar banyak, Sin-ko... tentang ayah... dia... dia...”

Kui Lan tak dapat melanjutkan kata-katanya dan menangis. Dari kata-kata ayah mereka yang sering mengigau dan bicara sendiri itu, akhirnya keluarlah semua rahasia Kui Hok Boan dan tahulah dua orang dara kembar itu betapa ayahnya dahulu adalah seorang yang amat kejam dan jahat, yang telah menganiaya dan merusak banyak sekali wanita. Ayah mereka adalah seorang laki-laki mata keranjang yang suka merayu dan menyia-nyiakan wanita yang telah menjadi korbannya. Bahkan mereka tahu pula bahwa pembunuh ayah Bhe Bi Cu, teman Sin Liong itu, juga adalah ayah mereka sendiri.

Beng Sin mengangguk-angguk. Agak ringan hatinya setelah mendengar bahwa dua orang adiknya inipun sudah tahu segala hal tentang ayah mereka.

“Bagaimana... ayah...?” tanyanya dengan kaku karena dia masih belum dapat menerima kenyataan bahwa Kui Hok Boan adalah ayah kandungnya sendiri. “Aku mendengar dari keluarga Ciook bahwa dia sakit payah?”

Kui Lan hanya mengangguk, akan tetapi Kui Lin menerangkan,
“Tubuhnya tidak apa-apa, Sin-ko. Jasmaninya tidak sakit akan tetapi...”

“Tetapi bagaimana?”

Beng Sin mendesak, alisnya berkerut dan jantungnya berdebar, dia hampir merasa dapat mengerti.

“Pikirannya... batinnya terpukul hebat dan dia... dia...”

“Seperti anak kecil, atau seperti orang bingung, selalu dalam duka dan sesal. Sungguh kasihan sekali dia, Sin-ko,” Kui Lan menyambung.

Beng Sin lalu diantar oleh dua orang adiknya, digandeng di kanan kiri, menuju ke dalam dan dengan hati-hati Kui Lan membuka kamar ayahnya.

Terharu bukan main hati pemuda gemuk yang memang berbudi ini ketika melihat orang tua itu. Kui Hok Boan yang dulu terkenal sebagai seorang pria tampan dengan pakaian yang selalu rapi itu kini seperti seorang jembel tua saja. Pakaiannya kusut, rambutnya kusut, tubuhnya kurus kering, matanya sayu dan biarpun kamar itu lengkap dengan pembaringan dan kursi, namun orang tua itu rebah di atas lantai kamar! Dia menoleh dan ketika bertemu pandang dengan Beng Sin, dia bangkit duduk dan melebarkan matanya.

“Ayah, ini Sin-ko datang menjenguk,” kata Kui Lan.

“Ayah, ini kakak Beng Sin. Lupakah ayah kepadanya?” Kui Lin mengingatkan.

“Beng Sin... Beng Sin... anakku...” kata orang tua itu lirih seperti berbisik.

Beng Sin tak dapat menahan keharuan hatinya. Dia menjatuhkan diri berlutut di depan orang tua itu sambil menitikkah air mata.

“Ayah...!”

Dia tidak dapat bicara apa-apa lagi kecuali menyebut ayah kepada orang tua itu. Mau bicara apakah?

“Beng Sin, engkau anakku... ya, engkau telah membunuh Siong Bu! Kenapa engkau tidak membunuh aku sekalian? Bunuhlah aku, Beng Sin, seperti aku telah membunuh ibumu, Tee Cui Hwa, seperti aku membunuh ibu Siong Bu, Kwan Siang Li, seperti aku telah membunuh Liong Si Kwi. Ya, ibu-ibu kalian telah mati di tanganku semua... hu-huk, mati karena aku... bunuhlah aku... hu-huk-huhhhh...” dan orang tua itupun menangis seperti anak kecil!

Beng Sin terkejut dan memandang dengan muka pucat. Kui Lin lalu menarik tangan Beng Sin, diajaknya bangun dan mereka lalu meninggalkan orang tua itu. Kui Lan menutupkan kembali daun pintu kamar itu perlahan-lahan. Suara isak tangis orang tua itu masih terdengar.

“Dia selalu begitu...” kata Kui Lin berbisik. “Kalau ditanggapi, makin menjadi-jadi. Sebaiknya didiamkan dan dia akan tertidur.”

Beng Sin menggeleng-geleng kepalanya.
“Sungguh kasihan sekali ayah kita... dia harus menderita batin seperti itu...”

“Itukah hukum karma? Siapa menanam bibitnya dia akan memetik buahnya?” kata Kui Lin meragu.

“Betapapun juga, itu merupakan pelajaran bagi kita. Ayah kita pernah melakukan kesesatan dalam kehidupannya, biarlah itu memperingatkan kita agar kita tidak sampai melakukan penyelewengan dan menjadi sesat,” kata Kui Lan.

Memang tiga orang anak dari Kui Hok Boan ini tadinya merasa tidak senang akan segala perbuatan jahat ayah kandung mereka dan ada perasaan benci dalam hati mereka. Akan tetapi setelah menyaksikan keadaan ayah mereka yang begitu mengenaskan, lebih menyedihkan daripada mati sendiri, hidup akan tetapi menderita dalam kedukaan dan penyesalan yang tiada habisnya, timbullah rasa iba.

Apakah artinya segala penyesalan setelah terlambat? Apakah gunanya penyesalan? Penyesalan dianggap benar oleh umum karena penyesalan akan membuat orang itu sadar kembali. Akan tetapi benarkah demikian? Ataukah penyesalan sekedar merupakan hiburan saja bagi si pelaku, hiburan untuk menutupi batinnya yang menderita akibat perbuatannya sendiri?

Betapa seringnya kita menyesal, akan tetapi betapa seringnya pula perbuatan yang sama kita lakukan dan kita ulang kembali! Orang yang berbatin lemah dan tumpul selalu berada dalam keadaan tidak waspada dan tidak sadar, sehingga mudah saja dibuai oleh bayangan kesenangan, dan kalau sudah menghadapi kesenangannya, maka tidak teringat apa-apa lagi, tidak teringat akan akibatnya.

Orang yang batinnya lemah dan tumpul seperti itu hanya mementingkan kesenangan. Baru setelah kesenangan yang dinikmatinya itu kemudian mendatangkan akibat yang tidak menyenangkan, dia merasa menyesal! Coba andaikata tidak ada akibat yang mendatangkan derita, apakah dia akan menyesali perbuatannya mengejar kesenangan itu? Tentu saja tidak!

Sama halnya dengan orang makan sambal. Setiap kali habis makan, kepedasan dan menyesal, menyatakan tobat dan kapok. Akan tetapi lain saat dia sudah makan sambal lagi! Demikian pula orang yang melakukan penyelewengan, menyesal dan menangis, bertobat melalui mulut kepada Tuhan. Akan tetapi begitu berhadapan dengan bayangan kesenangan yang sama, maka diulanglah perbuatan itu untuk kemudian menyesal dan bertobat kembali. Kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan dalam kehidupan kita sehar-hari, dapatkah kita menyangkal kenyataan yang benar ini?

Bukanlah penyesalan yang kita perlukan dalam hidup. Yang terpenting adalah kewaspadaan dan kesadaran yang timbul karena mengamati diri sendiri setiap saat. Pengamatan inilah yang akan menimbulkan kebijaksanaan dan kecerdasan, yang akan meniadakan penyelewengan dan kesesatan. Dan kalau tidak ada penyelewengan dan kesesatan, tidak perlu lagi ada penyesalan dan bertobat.

Kalaupun kecerdasan dan kebijaksanaan yang timbul dari kewaspadaan melihat bahwa apa yang kita lakukan tidak benar, maka seketika itu juga kita menghentikan perbuatan tidak benar itu dan habis sampai disitu saja. Tidak ada penyesalan, juga tidak ada kerinduan terhadap perbuatan yang lalu itu. Yang lalu sudah mati, sudah habis dan kewaspadaan adalah sekarang, saat ini, saat demi saat. Hidup adalah saat demi saat, bukan kemarin, bukan esok. Akan tetapi sekarang. Maka hidup waspada dan sadar adalah sekarang ini!

Yang teramat penting dalam hidup adalah sekarang ini. Sekarang benar! Apakah benar itu? Tak dapat diterangkan, karena yang dapat diterangkan adalah benarnya sendiri, benarnya masing-masing, maka terjadilah perebutan kebenaran sendiri-sendiri, dan jelas hal ini adalah tidak benar lagi!

Akan tetapi, apapun yang kita lakukan, kalau didasari dengan cinta kasih, maka benarlah itu! Dan cinta kasih tidak akan ada selama di situ ada si aku yang ingin benar, ingin senang, ingin baik dan sebagainya!

Melihat keadaan ayahnya, Beng Sin minta kepada calon mertuanya agar pernikahan diundurkan, menanti sampai ayahnya sembuh atau setidaknya agak normal keadaannya. Karena pada waktu itu, mendengar laporan anak-anaknya tentang perjodohan itu, dia hanya mengangguk saja atau menangis!

**** 211 ****
Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: