***

***

Ads

Rabu, 12 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 212

“Dia keras kepala dan sampai pingsan dia sama sekali tidak mau mengaku,” kata Han Houw dengan sikap kehabisan akal.

“Paduka serahkan kepada hamba, dan hamba akan memaksa dia membuka mulut!” kata orang Mongol itu.

“Baiklah. Memang itu jalan yang terutama sekali. Kalau engkau bisa menundukkannya dan memaksanya mengaku, itu baik sekali. Kalau tidak, siksa dia sampai mampus!” kata sang pangeran penuh geram.

“Lebih baik jangan sampai dia mati dulu, mungkin dia masih berguna untuk kita, pangeran. Dalam keadaan seperti ini, sebaiknya kalau paduka menahan kemarahan dan bersikap teliti,” Hai-liong-ong memperhatikan.

“Pendapat itu benar, pangeran,” sambung orang Mongol yang lebih tua. “Wanita itu adalah satu-satunya orang yang dapat memungkinkan kita memperoleh kembali surat itu, maka tidak semestinya kalau cepat-cepat dibunuh. Boleh disiksa dan dipaksa mengaku, akan tetapi jangan sampai mati.”

Ceng Han Houw mengangguk-angguk.
“Memang aku terburu nafsu mengingat betapa dia telah mempermainkan aku, menipuku, bahkan mengkhianatiku dan membuat aku terancam bahaya begini hebat. Kau bawalah dia dan usahakan sekuatmu agar dia mengaku!” katanya kepada orang Mongol brewok itu.

“Harap paduka jangan khawatir, hamba tahu bagaimana harus memperlakukan wanita bandel!”

Orang Mongol itu tersenyum lebar, lalu menghampiri pembaringan dan memondong tubuh yang pingsan itu. Sinar matanya berkilat ketika dia mencium bau sedap dari leher Sun Eng dan melihat tonjolan dada yang padat di balik baju dan yang nampak membusung karena kedua lengan wanita itu ditelikung ke belakang punggung. Lalu dia melangkah dari dalam kamar itu sambil tersenyum dingin penuh kekejaman.

HAN HOUW kini berunding dengan orang Mongol tua dan Hai-liong-ong Phang Tek.
“Sebaliknya kalau Gaulana tidak berhasil memaksa wanita itu mengaku, paduka malam ini juga, atau selambat-lambatnya besok pagi-pagi benar, sebelum surat itu terjatuh ke tangan kaisar, paduka meninggalkan kota raja dan mengungsi ke utara sambil melihat perkembangannya kelak. Terlalu berbahaya kalau paduka berada disini. Hamba akan mengawal paduka.”

Hai-liong-ong Phang Tek menggeleng kepala.
“Hamba tidak setuju dengan usul itu, Pangeran. Andaikata benar surat itu ke tangan kaisar, paduka tidak perlu gentar atau tergesa-gesa pergi, karena kepergian yang tergesa-gesa tanpa pamit itu bahkan akan menambah kecurigaan, seolah-olah paduka sudah mengaku salah. Hamba kira, sri baginda kaisar tidak akan begitu mudah percaya laporan seorang wanita rendahan atau orang yang diberinya surat itu. Tentu sri baginda kaisar akan lebih mempercayai paduka dan andaikata pula kaisar menaruh curiga, tentu beliau akan bertanya dulu kepada paduka dan tidak akan melakukan tindakan ceroboh, mengingat bahwa paduka adalah saudara tiri!”

Han Houw mengangguk-angguk, dapat merasakan kebenaran pendapat ini.
“Akan tetapi, bagaimana kalau beliau memanggilku dan memeriksaku, bertanya tentang surat dari ayahanda Sabutai itu?” Akhirnya dia bimbang lagi dan suaranya membayangkan kegelisahan.

“Harap paduka tidak khawatir. Banyak sekali alasan yang dapat paduka pergunakan. Misalnya, menyangkal bahwa surat itu adalah surat aseli dari ayahanda paduka Raja Sabutai. Siapa yang dapat memastikan bahwa surat itu aseli? Paduka dapat mengatakan bahwa paduka mempunyai banyak musuh di dunia kang-ouw dan mungkin surat itu adalah surat palsu yang sengaja dibuat oleh musuh paduka untuk mengadu domba.”






“Ah, bagus sekali! Akal itu dapat dipakai, dan memang baik sekali! Engkau sungguh bijaksana, Phang-enghiong!”

Sebutan itu menjadi bersifat menghormat dan wajah orang pertama dari Lam-hai Sam-lo itu berseri.

“Bukan hanya itu saja, pangeran. Andaikata kaisar menaruh curiga, masih banyak waktu bagi paduka untuk bertindak waspada dan karena banyak teman-teman kang-ouw yang membantu paduka, maka apa sukarnya bagi paduka untuk menyembunyikan diri di sekitar sini tanpa harus melarikan diri ke utara? Dengan demikian baik atau buruknya akibat dari perbuatan selir paduka yang berkhianat itu, tetap saja gerakan paduka akan dapat dilanjutkan dengan baik!”

“Bagus! Wah, engkau akan kuangkat menjadi penasihat negara kalau gerakanku berhasil!” teriak sang pangeran dengan girang.

Mereka lalu berunding terus dengan asyik sambil makan minum karena kini sang pangeran tidak segelisah tadi setelah menerima petunjuk-petunjuk dan nasihat-nasihat dari Hai-liong-ong Si Raja Naga Laut itu.

Sementara itu, di dalam kamar lain, juga di dalam istana pangeran itu akan tetapi jauh di belakang, terjadi peristiwa lain yang mengerikan. Dengan berbagai cara, dengan bujukan dan pura-pura mengajak Sun Eng bersekutu, sampai kepada ancaman-ancaman yang paling menakutkan, orang Mongol yang bernama Gaulanu itu berusaha untuk membuat agar Sun Eng mau mengaku dimana surat itu disembunyikan atau kepada siapa diserahkannya. Namun semua bujukan itu tidak dijawab oleh Sun Eng yang sudah sadar.

“Nona, engkau adalah seorang wanita yang masih muda dan cantik,” demikian Gaulanu mencoba kembali dengan lemah lembut, dengan suaranya yang agak kaku berlogat asing, “dan percayalah, aku, Gaulanu bukan orang yang tidak dapat mengagumi wanita muda dan cantik. Aku kasihan kepadamu, nona. Aku diperintahkan oleh pangeran, untuk menyiksa, bahkan membunuhmu kalau engkau tidak mau mengaku. Kenapa engkau berkeras kepala, nona? Mengakulah dan aku bersumpah untuk menyelamatkanmu.”

“Aku tidak tahu...!” Sun Eng berkata singkat.

“Nona, kau tahu, kalau engkau menurut, aku bahkan akan mohon kepada pangeran agar engkau suka menjadi selirku. Kubawa engkau ke utara dan engkau akan hidup bahagia... hemmm, aku suka sekali kepadamu, nona.”

“Tutup mulutmu dan kalau mau bunuh, lakukanlah!” Sun Eng menantang marah.

Habislah kesabaran Gaulanu dan dia menyeringai, wajahnya yang penuh brewok itu nampak menyeramkan sekali.

“Perempuan tak tahu diri! Tahukah engkau, siksaan apa yang paling hebat bagi seorang wanita? Engkau pernah diperkosa? Ya? Pernah? Nah, aku akan memperkosamu, mempermainkanmu sesuka hatiku kalau engkau tidak mau mengaku!”

Sun Eng memejamkan mata. Dia tahu apa artinya itu. Dan dia memang sudah memperhitungkan kemungkinan itu. Tidak, dia akan menahan segala siksaan, juga perkosaan. Bukankah dia sudah membiarkan dirinya diperkosa berkali-kali oleh pangeran itu? Dia sudah kepalang berkorban, maka biarlah dia akan diapakan juga, akhirnya toh akan mati! Mati demi Lie Seng!

“Aku tak perduli!” bentaknya.

Wajah brewokan itu menyeringai.
“Ha, kau kira hanya diperkosa satu kali saja? Hemm, kau tidak tahu laki-laki apa Gaulanu ini. Aku akan memperkosamu sampai engkau tidak kuat bertahan lagi! Dan kalau aku kewalahan, akan kupanggilkan pengawal-pengawal yang paling kuat untuk meggantikan aku, bergilir sampai engkau mati, ya, tidak akan berhenti sampai engkau tidak kuat!”

Akan tetapi Sun Eng sudah nekat, sudah menganggap dirinya mati dan dia memejamkan matanya tanpa mau menjawab lagi.

“Brettttt...!”

Sun Eng hanya memejamkan mata lebih keras lagi ketika merasa betapa bajunya dirobek-robek, kemudian celananya juga. Tubuhnya hanya menggeliat sedikit ketika dia merasa betapa tangan dan muka brewok itu menjelajahi tubuhnya dengan belaian yang amat kasar.

Selanjutnya, dengan seluruh kekuatan yang ada, Sun Eng mematikan perasaannya dan dia rebah terlentang dengan mata terpejam dan lemas seperti telah menjadi mayat! Dia tidak merasa apa-apa lagi. Entah berapa lamanya orang Mongol kasar itu mempermainkan tubuhnya. Dia tidak tahu, dia tidak perduli lagi, yang dipermainkan seolah-olah bukan tubuhnya lagi, perasaannya sudah mati dan dia matikan pada saat itu.

Dia bahkan seperti dalam keadaan terlupa apa yang sudah terjadi atas dirinya, sampai tiba-tiba pipinya ditampar keras, membuatnya sadar dan pipinya terasa panas.

“Plakkk!” Tamparan ini disambung sumpah serapah dari mulut Gaulanu. “Phuh, perempuan hina, perempuan rendah, mayat hidup! Lebih baik bercinta dengan mayat
daripada dengan perempuan macammu!”

Dia melompat turun dari pembaringan, mengenakan pakaian lalu meninggalkan kamar itu sambil berkata,

“Lihat saja sampai dimana engkau dapat bertahan! Biarpun engkau seperti mayat, akan tetapi mayat yang cantik dan tentu banyak di antara mereka yang suka, ha-ha!”

Gaulanu keluar dari dalam kamar akan tetapi tidak lama terdengar langkah orang. Sun Eng tidak mau menengok melainkan memejamkan mata dan mematikan rasa. Dia memang sudah tahu apa yang akan terjadi dan benar saja. Ada tangan-tangan dan muka seperti serigala kelaparan menggerayanginya dan melakukan hal-hal yang sama
sekali tidak dirasakannya lagi. Bahkan dia tidak melihat siapa orangnya.

Hal ini berulang-ulang terus. Tubuhnya sakit-sakit, lelah bukan main, lemas dan akhirnya dia tidak ingat apa-apa lagi! Ketika air yang disiramkan ke kepalanya membuat Sun Eng siuman, dia mendengar suara Gaulanu memaki-maki,

“Bedebah! Iblis betina! Benar-benar tidak mau mengaku. Biarkan dia begitu dan ikat pula kakinya, hanya lepaskan ikatan kakinya kalau masih ada pengawal yang mau... ha-ha-ha, perempuan seperti dia tidak akan mati kalau hanya ditiduri! Tapi jaga, jangan sampai dia terlepas, dan... awas pula, jangan sampai dia mati. Pangeran menghendaki dia hidup!”

Gaulanu meninggalkan kamar itu dan kini Sun Eng menjadi permainan tangan-tangan
jahil dan cabul, akan tetapi kembali dia sudah terlelap ke dalam keadaan tidak sadar. Malam makin larut dan suasana menjadi sunyi sekali. Kesunyian yang mengerikan kalau orang melihat keadaan dalam kamar dimana Sun Eng seperti seekor domba yang direjang oleh banyak serigala buas! Bahkan lebih buas daripada serigala, karena binatang buas apapun juga di dunia ini membunuh mangsanya untuk dimakan, karena kebutuhan perut dan kebutuhan hidup, juga membunuh tanpa ada rasa benci. Sebaliknya, manusia dapat melakukan perbuatan yang lebih kejam daripada pembunuhan.

Tengah malam telah lewat. Di dalam kamar tahanan itu Sun Eng masih terlentang diatas pembaringan dalam keadaan telanjang bulat. Agaknya kini sudah tidak ada lagi pengawal yang bergairah untuk memperkosanya. Mungkin juga belasan orang pengawal yang bertugas jaga itu sudah mendapatkan giliran semua. Kini mereka makan minum dan menggunakan perut dan dada Sun Eng sebagai tempat menaruh mangkok dan cawan arak!

Kadang-kadang mereka memaksa mulut Sun Eng untuk dijejali daging atau dituangi arak, sampai Sun Eng terbatuk-batuk. Muka wanita yang cantik itu sudah matang biru bekas tamparan, bekas gigitan dan belaian-belaian kasar. Para pengawal makan minum sambil tertawa-tawa dan bersendau-gurau. Tentu saja Sun Eng yang menjadi sumber dan bahan gurauan mereka yang kotor.

Sun Eng tidak mendengar semua itu, dia dalam keadaan hampir tidak sadar. Yang terasa olehnya hanya rasa nyeri yang luar biasa, yang datang bertalu-talu bersama detaknya jantung, bersama denyutnya darah. Tiap denyut darah mendatangkan rasa nyeri yang menusuk-nusuk. Akan tetapi dia tidak mau mengeluh, bahkan makin dicurahkan perhatiannya kepada denyut darah yang bertalu-talu dan membawa perasaan nyeri yang sukar dilukiskan itu, rasa nyeri itu secara anehpun tidak terasa lagi olehnya. Yang ada hanya rasa nyaman!

Hampir dia tidak dapat percaya akan hal ini kalau tidak dirasakannya sendiri. Itulah perasaan tubuh yang mati? Nyaman dan tidak ada rasa apa-apa, seperti nikmatnya keheningan?

Pangeran Ceng Han Houw yang menerima laporan dari Gaulanu bahwa Sun Eng tetap
tidak mau mengaku biarpun telah diperkosa secara bergantian, penderitaan yang tiada taranya bagi seorang wanita.

“Dia itu iblis, bukan manusia, pangeran! Kalau manusia, tentu dia sudah menyerah dan mengaku! Kalau tidak ingat akan pesan paduka agar jangan dia sampai mati, tentu akan hamba bunuh dia. Dia itu iblis, sungguh!”

Han Houw merasa heran mengapa ada perasaan marah dan tidak sedap dalam hatinya
mendengar betapa Sun Eng diperkosa bergantian dan dalam keadaan terhina dan setengah mati. Akan tetapi juga ada perasaan kagum terhadap wanita itu. Seorang wanita yang selain cantik manis, pandai sekali dalam seni bermain cinta, seorang wanita yang penuh keberanian, cerdik bukan main, dan masih ditambah lagi berhati baja dan amat setia, entah kepada siapa kesetiaannya itu ditujukan. Sayang, sungguh sayang sekali, bukan kepada dia ditujukannya kesetiaan dan cintanya itu.

Mendapatkan cinta kasih seorang wanita seperti itu sungguh beruntung sekali! Dengan hati kesal dia menggerakkan tangan.

“Sudahlah, engkau harus mengepalai penjagaan malam ini agar jangan sampai dia lolos. Dan ini, kau minumkan kepadanya! Paksakan agar dia menghabiskan sebotol ini.”

Gaulanu menerima botol kecil berisi cairan biru itu sambil tersenyum menyeringai.
“Dia akan mati seketika, pangeran? Mengapa tidak menggunakan ini saja?” Dia mengacungkan tinjunya.

Sepasang mata pangeran itu menyambar dan Gaulanu cepat membungkuk.
“Mohon maaf, mohon ampun... bukan maksud hamba main-main...”

“Aku tahu,” kata pangeran itu kesal. “Engkau heran mengapa aku bersusah payah menggunakan racun untuk membunuhnya. Akan tetapi racun ini baru membunuhnya dalam waktu tiga hari, dan pukulanmu akan mematikan seketika. Mengerti sekarang?”

Gaulanu mengangguk-angguk lalu mengundurkan diri. Dengan kesal Han Houw lalu
menyuruh kedua orang pembantunya yang lain meninggalkannya, lalu memanggil semua selir yang lain dan diapun melupakan kekecewaan hatinya terhadap Sun Eng dengan membenamkan diri ke dalam peluk rayu para selirnya yang muda-muda dan cantik-cantik.

**** 212 ****
Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: