***

***

Ads

Rabu, 12 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 213

Tiga bayangan yang gerakannya gesit dan cepat laksana bayangan setan saja berkelebatan di sekitar istana Pangeran Ceng Han How. Istana itu terjaga ketat oleh para pengawal, namun gerakan tiga sosok tubuh itu benar-benar hebat luar biasa, sukar diikuti oleh pandangan mata sehingga tiga sosok bayangan itu berhasil memasuki taman bunga, di samping istana tanpa diketahui seorangpun pengawal.

Hal ini tidaklah mengherankan karena tiga sosok bayangan itu adalah bayangan dari tiga orang pendekar sakti, terutama sekali dua orang di antara mereka, pasangan pria dan wanita yang tampan dan cantik, adalah sepasang suami isteri pendekar yang untuk jaman itu sukar ditemui tandingannya. Mereka itu adalah Lie Seng, Cia Bun Houw dan Yap In Hong!

Seperti kita ketahui, Lie Seng menjadi gelisah sekali ketika kekasihnya, atau isterinya yang belum dikawininya secara sah, Sun Eng, pergi meninggalkannya tanpa pamit, hanya meninggalkan surat yang amat menggelisahkannya karena kekasihnya itu hendak mendekati Pangeran Ceng Han Houw dan kalau perlu membunuhnya!

Lie Seng tahu betapa lihainya pangeran itu dan tahu pula bahwa kekasihnya itu sengaja hendak berkorban diri untuk menolong keluarga Cin-ling-pai dan hatinya menjadi semakin gelisah ketika dia mencari-cari kekasihnya itu tanpa hasil. Dia mencari sampai ke kota raja, akan tetapi tidak mendengar dimana adanya Sun Eng.

Tentu saja dia tidak tahu bahwa Sun Eng pergi bersama pangeran itu, dan dia sendiri telah lebih dulu ke kota raja sehingga ketika dia melakukan penyelidikan ke istana Pangeran Ceng Han Houw, pangeran itu tidak ada, demikian pula tidak ada didengarnya keterangan tentang kekasihnya.

Dalam keadaan bingung ini Lie Seng lalu kembali ke selatan dan dia mencari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, dua orang guru dari Sun Eng untuk membantunya. Juga untuk minta pertanggungan jawab mereka karena dia anggap bahwa mereka itulah yang menjadi sebab sehingga terjadinya semua ini! Kalau mereka tidak mempengaruhi ibunya sehingga tidak menyetujui dia berjodoh dengan Sun Eng, tentu sekarang Sun Eng telah menjadi isterinya dengan sah dan tidak akan terjadi Sun Eng melakukan perbuatan nekat seperti itu!

Akhirnya dia dapat menemukan suami isteri pendekar sakti ini, juga ibu kandungnya dan Yap Kun Liong, di Bun-cou. Dia sudah menduga bahwa empat orang yang menjadi buronan itu tentu bersembunyi di Bun-cou, tempat dimana dulu Cia Bun Houw dan Yap In Hong bersembunyi, dimana mereka mengambil Sun Eng sebagai murid pula.

Ketika Lie Seng memperlihatkan surat peninggalan Sun Eng, semua pendekar itu merasa terkejut dan juga terharu. Demikian besar cinta kasih Sun Eng kepada Lie Seng sehingga untuk mengangkat harga dirinya, Sun Eng kini melakukan perbuatan nekat yang amat berbahaya dan mempertaruhkan nyawanya untuk menolong keluarga Cin-ling-pai.

“Saya tahu bahwa dia melakukan ini karena merasa rendah diri, karena menjadi isteri saya tanpa persetujuan keluarga, juga tidak secara sah! Dan dia kini hendak mengorbankan dirinya demi keselamatan keluarga Cin-ling-pai! Paman Bun Houw, bagaimanakah kalau sudah begini? Apakah saya harus turun tangan sendiri dikota raja tanpa ada bantuan sedikitpun dari paman berdua bibi yang menjadi guru-guru dari Sun Eng, bahkan yang sedikit banyak ikut bertanggung jawab atas kejadian ini?”

Cia Bun Houw saling pandang dengan isterinya. Mereka memang menyadari bahwa mereka berdua telah mencegah keponakan ini menikah dengan Sun Eng. Akan tetapi hal itu mereka lakukan dengan penuh kesadaran bahwa Sun Eng memang tidak pantas menjadi isteri keponakan mereka itu. Di dalam hati mereka kini tidak lagi membenci Sun Eng, bahkan merasa kasihan. Maka, mendengar penuturan Lie Seng, mereka merasa tidak enak sekali.






“Lie Seng, biarlah aku menemanimu untuk pergi mencari Sun Eng di kota raja, dan kalau memang benar dia disana dan terancam bahaya, kita berdua akan menyelamatkannya,” kata Bun Houw dengan tenang.

“Akupun akan ikut pergi,” kata In Hong, juga dengan tenang.

Nyonya yang usianya sudah tiga puluh lima tahun ini merasa tidak enak sekali. Watak pendekarnya bangkit maka diapun merasa betapa dia ikut mendesak bekas muridnya itu terdorong rasa bencinya, dan kini, mendengar betapa bekas muridnya itu melakukan tindakan nekat demi menolong dia sekeluarga dengan taruhan nyawa, dia harus ikut pula bertindak dan tidak mungkin dia mendiamkannya saja. Karena itulah maka dia serta merta, tanpa keraguan lagi, menyatakan keinginannya hendak ikut pergi.

Mendengar penurutan puteranya tentang gadis yang ditolaknya untuk menjadi mantunya itu, sejak tadi Cia Giok Keng, ibu Lie Seng, termenung dan tidak dapat berkata apapun. Bermacam perasaan mengaduk hatinya. Dia memang merasa terharu
mendengar gadis itu dengan nekat melakukan usaha untuk menyelamatkan mereka berempat, seolah-olah memasuki gua harimau, dan dia merasa berterima kasih sekali.

Akan tetapi, di lain sudut hatinya, tetap terdapat perasaan tidak rela kalau puteranya itu berjodoh dengan wanita yang pernah melakukan penyelewengan seperti yang didengarnya dari adiknya dan adik iparnya. Dia terlalu mencintai puteranya untuk membiarkan puteranya menikah dengan seorang wanita yang rendah budi dan hina!

Seperti itulah macamnya “cinta” yang berada dalam batin kita! Kita menganggap bahwa perasaan semacam itu adalah cinta kasih yang murni, cinta terhadap anak diwujudkan dengan keinginan melihat anak itu berbahagia SESUAI dengan keinginan kita! Kita selalu hendak mengatur kehidupan anak kita menurut selera kita, menurut pendapat kita, menurut pandangan kita. Kita merasa yakin bahwa anak kita akan berbahagia kalau dia itu menurut kehendak kita melakukan ini, tidak melakukan itu.

Semenjak anak kita masih kecil, kita ingin mengaturnya, membentuknya seperti kita membentuk boneka dari lilin atau lempung. Tanpa kita sadari sendiri, kita telah menyiksa anak-anak kita sendiri dengan bentukan-bentukan itu. Kita ingin melihat anak kita yang masih kecil itu bersikap sopan santun, cerdik, pintar, tahu aturan, pendiam dan sebagainya lagi, pendeknya kita ingin melihat anak kila menjadi “anak tauladan” seperti yang kita cita-citakan dan gambarkan.

Oleh karena itu, sejak dia masih kecil, kita tekan dan didik dia supaya cocok dengan bentuk gambaran kita. Kita lupa, tidak sadar bahwa semua ini sama sekali bukanlah tindakan cinta kasih, sama sekali bukan terdorong oleh cinta kita kepada anak kita itu, melainkan terdorong oleh cinta kepada diri sendiri!

Kita ingin mempergunakan anak kita sendiri sebagai jembatan untuk menikmati kesenangan berupa kebanggaan! Kitalah yang akan berbangga melihat anak kita begini dan begitu sesuai dengan kehendak kita! Kita akan senang sekali! Sama sekali kita tidak perduli apakah anak itupun senang bersikap yang kita gariskan itu. Sudah tentu saja dia tidak senang! Setiap orang anak ingin bebas, ingin bergembira-ria, ingin berloncatan, berteriak-teriak, bermain-main sesuka hatinya, bersama kawan-kawan sebaya.

Tidak ada seorangpun anak kecil yang normal akan merasa suka menjadi “anak tauladan” seperti yang digariskan orang tua, duduk diam seperti patung di depan orang-orang tua yang sedang mengobrol, duduk dengan sopan, bicara lemah lembut, tertawapun “diatur”, bernyanyi kalau disuruh nyanyi seperti yang telah diajarkan oleh orang tua di rumah sehingga orang-orang tua lain akan merasa kagum! Tidak mungkin seorang anak suka bersikap seperti itu. Dia ingin bebas gembira.

Namun apa daya, orang tua “yang amat mencintanya” itu mengajarkan lain, menghendaki lain. Bukan hanya terhadap anak kita yang masih kecil kita ingin mengatur, ingin membentuk, ingin agar anak itu hidup sesuai dengan kehendak kita, menurutkan garis yang kita buat untuk anak itu. Bahkan setelah anak itu dewasa sekalipun, selama kita masih dapat menguasainya, kita akan selalu membuat anak kita sebagai jembatan untuk mendapatkan kebanggaan dan kesenangan. Semua ini mungkin tidak kita rasakan lagi, tidak kita insyafi lagi karena kita tidak sadar akan kenyataan hidup ini.

Kita akan menganggap, bahwa semua itu kita lakukan demi cinta kita kepada anak kita itu! Inilah alasan yang paling kuat, merupakan alasan tradisional yang dipakai oleh kita orang-orang tua yang selalu merasa benar dalam hal apapun juga! Bahkan kalau anak kita sudah dewasa, dalam menentukan jodohpun kita selalu mau ikut campur, berdiri terdepan untuk melakukan pemilihan, untuk menerima atau menolak pilihan anak kita berdasarkan penilaian kita, pendapat kita, selera kita sendiri. Selera dan pandangan anak kita, sejak dia kecil, tidak kita perhatikan! Kita selalu menganggap bahwa selera dan keinginan anak kita itu salah belaka.

Semua sikap hidup ini harus kita amati, harus kita pandang sejujurnya, harus kita sadari. Kita sudah tidak merasa keliru lagi karena kita sendiripun diperlakukan demikian oleh orang tua kita semenjak kita masih kecil. Setiap orang tua akan senang sekali kalau anaknya menjadi seorang “anak penurut” dan setiap orang tua akan membenci anak yang “tidak penurut”, maka kitapun melanjutkan saja tradisi ini, sikap yang sudah mendarah daging selama ribuan tahun ini.

Maka, perlu kita mengenal diri sendiri, meneliti diri sendiri. SESUNGGUHNYAKAH KITA MENCINTA ANAK KITA? Ataukah yang kita namakan cinta itu sesungguhnya bukan lain adalah cinta terhadap diri sendiri, atau keinginan kita untuk memperoleh kesenangan, kepuasan, kebanggaan melalui anak-anak kita itu?

Sehingga kalau anak kita menurut dan menyenangkan hati kita, kita bilang cinta dan memuji-mujinya, sebaliknya kalau dia tidak menurut kita dan menyusahkan hati kita maka kita lalu membencinya, kita mengutuk dan memakinya sebagai anak tidak berbakti, anak durhaka, dan sebagainya lagi? Mungkinkah ada cinta kalau kita masih mementingkan diri sendiri, mencari kesenangan untuk diri sendiri?

Nah, marilah para orang tua, kita mawas diri, kita membuka lebar mata kita, memandang yang palsu sebagai yang palsu tanpa memperdulikan apa kata tradisi dan apa kata pendapat umum! Karena urusan ini adalah urusan kita sendiri, kita dengan anak kita, tidak ada hubungannya sama sekali dengan pandangan si A, si B, atau si Umum sekalipun!

Dan kalau kita benar-benar mencinta anak kita, kita akan berhenti memperlakukan dia sebagai jembatan untuk mencari kepuasan bagi diri kita. Dan cinta kasih yang demikian ini akan menciptakan tindakan-tindakannya sendiri, dan cinta kasih sudah merupakan pendidikan yang terutama.

Semenjak dahulu, ketika Lie Seng datang bersama Sun Eng lalu timbul keributan, diam-diam Yap Kun Liong sudah merasa kasihan kepada Sun Eng dan diam-diam dia melihat kesalahan yang tidak disadari dari isterinya, dari Cia Bun Houw dan Yap In Hong, sikap mereka yang tidak semestinya terhadap Lie Seng dan Sun Eng.

Oleh karena itu, melihat kesediaan suami isteri pendekar itu untuk pergi ke kota raja dan menolong Sun Eng dari ancaman bahaya maut, dia segera berkata,

“Memang tepat sekali kalau kalian berdua menemani Seng-ji (anak Seng) pergi ke kota raja menolong murid kalian itu, karena kota raja merupakan tempat berbahaya sekali dan untuk dapat menolong murid kalian dari tangan Pangeran Ceng Han How, kiranya
hanya kalian berdua yang akan sanggup. Biarlah kami berdua menjaga dan melindungi anak kalian Kong Liang di sini.”

Demikianlah, Cia Bun Houw dan Yap In Hong lalu pergi bersama Lie Seng, melakukan
perjalanan secepatnya ke kota raja. Akan tetapi ternyata mereka datang terlambat karena tepat pada malam hari mereka menyusup ke istana Pangeran Ceng Han Houw,
Sun Eng telah mengalami penyiksaan yang luar biasa hebatnya.

Baru lewat tengah malam tiga orang pendekar ini memperoleh kesempatan untuk memasuki istana itu. In Hong yang memiliki gerakan seperti seekor burung rajawali itu menerkam seorang peronda di dekat taman, menotoknya sehingga peronda itu sama sekaii tidak mampu bergerak maupun bersuara.

“Katakan dimana adanya wanita bernama Sun Eng!”

Lie Seng berbisik sambil mengancam penjaga itu dengan cengkeraman pada tengkuknya. Jari-jari tangan Lie Seng dibuat keras seperti baja sehingga penjaga itu ketakutan setengah mati. Ketika totokan pada lehernya dibuka dan dia dapat bersuara, dia menjawab dengan tubuh menggigil dan suara gemetar.

“Di... di... kamar tahanan... di belakang...”

“Hayo antar kami!”

Lie Seng berbisik lagi, jantungnya berdebar tegang. Dia tadi bertanya secara sembarangan saja karena tidak tahu harus mencari Sun Eng dimana. Dia telah mencari keterangan sebelum menyusup ke dalam istana itu, dan dari keterangan yang diperolehnya dia mendengar bahwa Pangeran Ceng Han Houw mempunyai seorang selir baru, akan tetapi sumber keterangan itu tidak menyebut nama.

Maka, setelah mengajukan pertanyaan secara untung-untungan itu dan mendengar bahwa Sun Eng telah berada di kamar tahanan, dia terkejut dan juga girang. Akhirnya dia memperoleh berita tentang Sun Eng, sungguhpun berita itu amat menggelisahkan hatinya.

Ketika akhirnya mereka bertiga tiba di tempat tahanan, mengintai dari balik jendela, hampir saja Lie Seng menjerit. Dilihatnya tubuh Sun Eng telanjang bulat terlentang seperti telah mati, dan seorang Mongol brewok bersama para pengawal yang jumlahnya sebelas orang sedang duduk makan minum di situ dan bersendau-gurau. Sendau-gurau mereka itu kotor sekali dan semua ditujukan kepada tubuh Sun Eng yang dijadikan semacam meja tempat menaruh mangkok dan cawan.

“Ngekk!” sekali menggerakkan tangannya, tawanan itu telah dibunuh Lie Seng!

Penjaga yang menjadi tawanan itu tewas tanpa sempat mengeluarkan suara dan kini, bagaikan seekor singa kelaparan, Lie Seng sudah menerjang masuk melalui pintu dengan kemarahan yang sudah tak dapat ditahannya lagi.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: