***

***

Ads

Rabu, 12 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 215

Sun Eng mengangguk, lalu dengan suara tenang, karena memang hal ini sudah dipikirkan sejak tadi, dia bercerita secara singkat,

“Koko, sebelumnya kau maafkanlah aku sebesar-besarnya bahwa aku telah membuatmu banyak pusing dan duka. Aku merasa sakit hati terhadap pangeran terkutuk itu setelah apa yang terjadi pada keluarga enci Mei Lan. Maka aku lalu menggunakan akal sehingga akhirnya aku berhasil menyelundup ke dalam istana Pangeran Ceng Han Houw sebagai... sebagai selirnya.”

Dia berhenti dan menatap wajah Lie Seng, akan tetapi wajah itu biasa saja karena memang sudah diduga Lie Seng sedikit banyak tentang hal itu.

“Akhirnya aku berhasil mendapatkan rahasianya. Pangeran itu bercita-cita untuk menggulingkan kedudukan sri baginda kaisar dan merampas tahta kerajaan.”

“Ahh...?”

Tiga orang itu berseru kaget dengan berbareng, tak mengira bahwa ke situ jalannya cerita yang akan mereka dengar. Sun Eng lalu menceritakan tentang kedatangan Hai-liong-ong Phang Tek dan dua orang Mongol utusan Raja Sabutai yang membawa surat berisi rencana persekutuan antara Pangeran Ceng Han Houw dan Raja Sabutai, rencana penyerbuan mereka untuk merebut tahta kerajaan.

“Aku melihat kesempatan baik sekali, maka aku lalu melarikan surat itu berikut laporanku tentang fitnah yang dijatuhkan atas diri suhu dan subo, atas diri Yap Kun Liong locianpwe dan ibumu, koko. Semua itu lalu kularikan dan kuserahkan kepada Menteri Liang yang sebelumnya telah kuselidiki dan kutahu sebagai seorang menteri yang setia kepada kaisar. Aku menyerahkan itu dan mohon kepadanya agar secepatnya dilaporkan kepada kaisar. Kemudian aku bermaksud melarikan diri dari kota raja... akan tetapi... pangeran terkutuk itu menangkapku dan... dan aku disiksa... disuruh mengaku dimana adanya surat-surat itu, akan tetapi sampai matipun aku tidak sudi mengaku... biar mereka siksa aku, biar mereka bunuh aku...”

“Ah, muridku, engkau telah berjasa untuk kerajaan! Engkau sungguh mengagumkan, tidak mengecewakan menjadi murid kami!” Cia Bun Houw berseru kagum dan girang, juga bangga bahwa wanita ini adalah muridnya.

“Suhu terlalu memuji. Aku hanya seorang durhaka...”

“Eng-moi, jangan bicarakan hal itu lagi. Engkau telah dimaafkan, dan engkau pun harus memaafkan kami. Sekarang tidak ada apa-apa lagi, engkau akan menjadi isteriku yang sah...”

Sepasang mata yang agak biru karena pukulan itu terbelalak, seolah-olah dia tidak percaya akan apa yang didengarnya, lalu dia menggeleng kepala keras-keras.

“Tidak mungkin, koko... tidak mungkin... aku... aku terlalu hina dan rendah untukmu...”

“Eng-moi, apakah engkau masih tidak dapat melupakan sikap keluargaku yang lalu? Apakah engkau tetap bersakit hati dan tidak mau memaafkan?” Lie Seng memohon, “Aku mintakan maaf kepadamu untuk sikap ibuku yang lalu, Eng-moi,”

“Dan kamipun mengharapkan maafmu, muridku!” kata Yap In Hong.






“Ah, tidak... jangan salah sangka! Suhu dan subo, sikap suhu dan subo terhadapku memang sudah sepantasnya, aku bukan sakit hati kalau aku berkata bahwa aku... terlalu rendah dan hina bagimu, koko... lebih-lebih sekarang...”

“Sekarang engkau makin agung bagiku, moi-moi, aku makin mencintamu...”

“Tidak! Ingat, koko, aku telah menyerahkan diriku kepada pangeran terkutuk itu, membiarkan dia mempermainkan diriku sebagai selirnya dan aku telah melayaninya sebagai selir terkasih selama hampir dua bulan...”

“Cukup! Aku tidak perduli akan itu semua! Sekali waktu aku akan berhadapan dengan keparat itu. Aku tidak menyalahkan engkau, Eng-moi. Engkau melakukannya itu karena engkau hendak mengorek rahasianya, dan engkau melakukan hal itu dengan perasaan tersiksa, demi menyelamatkan keluarga Cin-ling-pai. Aku tahu benar akan hal itu!”

Wajah itu memandang dengan pucat dan sepasang matanya meredup.
“Koko, hal itu bukan apa-apa bagimu? Ahhh... tapi aku... aku telah mereka siksa... tahukah engkau apa yang dilakukan pangeran itu? Dia menyerahkan aku kepada Mongol brewok dan belasan anak buah pengawal, dan... dan mereka itu... mereka memperkosaku secara biadab, berganti-ganti sampai aku pingsan...”

“Jahanam mereka! Sudah kubunuh mereka semua!” Lie Seng mengepal tinju dan matanya berubah merah.

“Nah, engkau tahu sekarang betapa diriku semakin kotor, koko. Aku tidak berharga sedikitpun juga lagi bagimu, aku... aku...”

“Jangan bicarakan lagi hal itu, Eng-moi. Aku tetap mencintamu. Dengar... jangan engkau tidak percaya padaku, jangan memandangku seperti itu... aku mencintamu, bukan mencinta tubuhmu saja, aku akan tetap mencintamu biarpun engkau menjadi bagaimanapun juga!”

“Koko...!” Sun Eng menjerit, Lie Seng merangkul dan mereka berdua bertangisan.

Yap In Hong dan Cia Bun Houw saling pandang dan mata mereka juga basah. Belum pernah mereka menyaksikan cinta kasih antara pria dan wanita seperti kedua orang ini!

Perasaan hati Sun Eng seperti diremas-remas rasanya. Dia telah bertekat untuk mengorbankan diri bagi keluarga Lie Seng dan dia akan mati dengan hati tenteram, karena dia telah melakukan sesuatu, berkorban bagi pria yang amat dicinta dan yang amat mencintanya. Dia tidak akan menyesal mati, atau bahkan kalau sampai ditinggalkan oleh Lie Seng sekalipun.

Akan tetapi, ternyata cinta kasih Lie Seng tetap kepadanya, biarpun dia telah menyerahkan tubuhnya kepada Pangeran Ceng Han Houw, biarpun dia telah diperkosa begitu banyak orang secara amat menghina! Dia menjadi serba salah sekarang! Mana mungkin dia hidup di samping Lie Seng kalau ada kenangan seperti itu? Dia bisa menjadi gila. Mengapa dia melakukan kegilaan semua itu? Memang berhasil, akan tetapi Lie Seng... tetap mencintanya dan akan merana.

“Koko...!”

Dia hanya dapat mengeluh. Dengan hati-hati mereka membawa pergi Sun Eng yang belum mampu berjalan sendiri karena kedua telapak kakinya terluka berat. Mereka hanya melakukan perjalanan kalau malam saja, sedangkan di waktu siang mereka bersembunyi. Mereka takut kalau-kalau akan tersusul oleh orang-orang yang mengejar mereka, yaitu anak buah Pangeran Ceng Han Houw. Bukan takut melawan, melainkan karena mereka harus melindungi Sun Eng yang masih luka dan lemah, maka tidak baik kalau menghadapi lawan-lawan tangguh.

Tiga hari kemudian, mereka bersembunyi di lereng gunung kecil, di dalam gua yang cukup lebar. Keadaan Sun Eng sungguh mengkhawatirkan dan suami isteri pendekar itu merasa heran sekali. Mereka merasa yakin bahwa wanita bekas murid mereka itu tidak menderita luka di dalam tubuh lagi, akan tetapi mengapa kini menjadi semakin parah? Dan pada mukanya terbayang sinar kebiruan seperti orang keracunan!

Lie Seng amat gelisah, berlutut di samping Sun Eng yang direbahkan di atas lantai gua bertilamkan daun-daun kering yang mereka kumpulkan,

“Eng-moi, engkau kenapakah?”

“Koko...” dan Sun Eng tersenyum, “Hari ini adalah yang terakhir... aku... melihatmu...”

“Eng-moi...!”

“Sun Eng, apa artinya ucapanmu ini?”

Yap In Hong juga berseru kaget. Mereka bertiga merubung Sun Eng yang kelihatan semakin payah, napasnya terengah-engah dan kadang-kadang menyeringai seperti menahan rasa nyeri di ulu hatinya yang ditekannya dengan tangan.

“Hari... hari ini... aku akan mati... aku girang sekali...”

“Eng-moi...!”

“Aku girang karena berarti engkau akan bebas, koko. Aku tidak lagi membebanimu. Aku tidak patut kau cinta... aku kotor dan hina...”

“Eng-moi, ahhh, Eng-moi, jangan kau menyiksaku dengan kata-katamu itu...”

“Sun Eng, apa maksudmu bahwa hari ini engkau akan mati?” Cia Bun Houw juga bertanya dan memandang tajam. “Apakah engkau keracunan?”

Sun Eng mengangguk.
“Mereka telah mencekoki aku dengan racun cairan biru... dan si Mongol brewok itu bilang... aku akan mati tiga hari kemudian...”

“Eng-moi...!” Lie Seng berteriak dan menangislah laki-laki gagah perkasa ini.

“Sun Eng, mengapa engkau tidak mengatakan kepada kami kemarin dulu?” Yap In Hong menegur dan wanita sakti ini meletakkan tangannya pada ulu hati muridnya, akan
tetapi diam-diam dia terkejut sekali karena perasaan tangannya bertemu dengan hawa yang amat dingin!

“Memang kusengaja... aku tidak layak hidup lagi... hanya menyusahkan dan menyeret Lie Seng koko ke pecomberan saja... aku harus mati dan aku... aku puas mati dalam pelukanmu, koko...”

“Eng-moi...!” Lie Seng merangkulnya dan menangis. “Paman, bibi... tolonglah..., tolonglah...!”

Bun Houw dan In Hong memeriksa nadi dan pernapasan Sun Eng, akan tetapi mereka hanya menarik napas panjang dan menggeleng kepala.

“Racun ini hebat sekali, hawanya dingin tanda bahwa racun ini dari macam yang paling jahat. Apalagi sekarang, bahkan kemarin dulupun kalau tidak mendapatkan obat pemunahnya sukar untuk menyembuhkan...”

“Koko, jangan berduka. Aku memang lebih senang mati... kalau hidup di sampingmu, aku... aku akan selalu menyesal... aku bisa gila mengingat pengalamanku... koko, kau jangan berduka, kudoakan kau hidup bahagia... aku... aku...” Sun Eng terkulai dan pingsan.

Tiga orang pendekar itu berdaya upaya, akan tetapi Sun Eng tetap tak sadar sampai menjelang tengah hari dia menghembuskan napas terakhir dalam pangkuan dan pelukan Lie Seng.

Pemuda ini sudah kehabisan tangis, hanya termenung saja sambil memangku jenazah Sun Eng. Baru setelah dibujuk-bujuk oleh Cia Bun Houw dan Yap In Hong, dia mau melepaskan jenazah itu untuk dikubur di lereng bukit itu.

Setelah pemakaman selesai dan jenazah dalam peti sederhana yang mereka peroleh dari dusun di luar hutan itu mereka timbuni tanah, Lie Seng duduk bersila di depan makam, tidak bergerak seperti patung. Wajahnya pucat sekali dan pandang matanya kosong.

“Seng-ji, sudahlah, mari kita tinggalkan tempat ini,” kata Cia Bun Houw dengan suara membujuk.

“Benar pamanmu, Lie Seng. Mari kita pergi,” Yap In Hong menyambung. “Tiada gunanya dipikirkan lagi. Sun Eng sudah tidak ada, sudah mendahului kita.”

“Pergilah kalian, paman dan bibi. Tidak tahukah kalian bahwa seluruh hidupku, kebahagiaanku, segala-galanya, berada bersama Sun Eng? Biarkan aku sendiri disini bersamanya, dan jangan ganggu aku lagi... jangan ganggu aku lagi...!”

Kalimat terakhir ini diucapkan dengan suara setengah berteriak. Cia Bun Houw dan isterinya saling pandang, kemudian menarik napas panjang. Sejenak mereka memandang pemuda yang duduk bersila di atas tanah itu, kemudian Cia Bun Houw memberi isyarat kepada isterinya dan mereka pergi meninggalkan Lie Seng. Setelah jauh dari tempat yang menjadi makam Sun Eng itu, Cia Bun Houw berkata kepada isterinya.

“Biarkan dia sendiri. Dalam keadaan seperti itu, sukarlah untuk menghiburnya. Aku hanya khawatir bahwa kedukaan kehilangan kekasihnya itu akan membuat dia membenci keluarganya, karena jalan pikirannya tentu mengingat bahwa perjodohannya dengan Sun Eng telah ditolak keluarganya, bahkan Sun Eng mengalami kematian karena hendak membela keluarganya.”

“Maksudmu dengan keluarganya adalah kita berdua, Kun Liong koko dan enci Giok Keng?” Yap In Hong menegaskan. Suaminya mengangguk sambil menarik napas panjang.

“Dia sudah dewasa, biarkan dia mempertimbangkan semua itu. Dia harus sadar bahwa kita semua melakukan segalanya itu demi kebaikannya, dan andaikata itu salah, apa boleh buat karena kita menolak karena mengingat akan kepentingan Lie Seng.”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: