***

***

Ads

Rabu, 12 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 217

Lie Seng duduk bersila di depan makam Sun Eng itu sampai dua hari dua malam, tak pernah dia meninggalkan tempat itu. Kadang-kadang timbul dalam hatinnya untuk duduk terus di tempat itu sampai mati! Makin dikenang segala kebaikan Sun Eng, segala pengorbanannya, makin tertusuk rasa hatinya dan berkali-kali dia menangis seperti anak kecil di tempat yang sunyi itu.

Wajahnya sudah pucat sekali dan tubuhnya kurus dan lemah, pandang matanya kosong dan sayu, pakaiannya kusut dan rambutnya awut-awutan. Keadaan pemuda ini sungguh amat menyedihkan. Dia telah putus asa, tidak melihat lagi sinar dalam kehidupannya yang dianggapnya gelap pekat tanpa harapan. Semangat dan gairah hidupnya telah lenyap terbawa pergi oleh Sun Eng.

Pada hari ke tiga, sejak semalam Lie Seng duduk bersila dengan mata dipejamkan dan berada dalam keadaan samadhi yang gelap. Dia tidak tahu betapa sejak tadi ada seorang hwesio tua menghampirinya, lalu memandang kepada makam baru itu dan berdiri di depannya, kadang-kadang mengangguk-anggukkan kepala, kadang-kadang menggeleng-geleng, menarik napas panjang.

Sampai lama hwesio tua itu berdiri disitu, memandang dengan sinar matanya yang lembut, wajahnya yang tenang dan mengandung seri kebahagiaan. Hwesio itu berjubah kuning. Usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, kepalanya yang tak berambut itu terlindung topi hwesio, tangan kirinya memegang tasbih dan pakaiannya amat sederhana dan kasar. Namun semua itu tidak mengurangi wibawa dan sikapnya yang agung.

“Omitohud... mengapa ada orang merusak diri sendiri seperti ini? Membunuh diri perlahan-lahan dengan membiarkan gelombang duka menyeretnya berlarut-larut...! Orang muda, apakah dengan membiarkan gelombang duka menghanyutkanmu ini kau
mengharapkan yang mati akan dapat bangkit kembali?”

Suara itu halus dan karena dikeluarkan dengan penuh perasaan maka mengandung getaran kuat dan mampu menembus dinding samadhi menyentuh kesadaran Lie Seng. Pemuda ini membuka mata dan mengangkat muka memandang hwesio tua itu dan alisnya herkerut.

“Hwesio, pergilah, tak perlu kau berkhotbah di sini!” katanya dengan marah.

Tidak biasanya Lie Seng bersikap seperti ini, akan tetapi dia tidak perduli apapun juga lagi. Dia sudah lupa diri, yang teringat hanyalah kedukaannya dan ini membuat dia kasar dan tidak bersahabat kepada siapapun juga.

Hwesio tua itu tersenyum akan tetapi pandangan matanya penuh rasa iba.
“Orang muda, pinceng tidak berkhotbah, pinceng merasa kasihan kepadamu, maka pinceng hendak mengingatkan bahwa tindakanmu yang terbuai oleh duka ini sungguh tidak tepat. Berduka atas kematian seseorang merupakan suatu kebodohan, dan tindakan menyeleweng daripada kebenaran.”

Pandang mata Lie Seng berapi karena marahnya ketika dia menatap wajah yang ramah itu. Dengan suara berat dan kesal dia menjawab,

“Bicara memang enak saja! Engkau tidak merasakan, maka engkau mudah saja mencela! Aku telah kehilangan cahaya hidupku, kehilangan semua kebahagiaan dan harapanku, maka perlu apa aku memperdulikan diri sendiri? Kalau aku harus mati, akan kuterima dengan rela! Pergilah, hwesio!”

Akan tetapi hwesio tua itu malah duduk bersila di depan Lie Seng, sikapnya tetap halus dan ramah.

“Omitohud... kegelapan menguasai batinmu, orang muda. Engkau bilang bahwa pinceng tidak merasakan maka mudah mencela? Wahai orang muda, siapakah di dunia ini yang tidak pernah mengalami kematian seseorang yang dikasihinya? Orang muda, mungkin engkau belum pernah mendengar dongeng tentang Sang Buddha dalam menghadapi kematian, dan kalau engkau pernah mendengarnya, biarlah dongeng ini menjadi penyadar bagimu. Seorang wanita kematian anak tunggalnya. Siapapun tahu bahwa cinta kasih seorang ibu kepada anak tunggalnya adalah cinta kasih yang paling murmi di antara segala macam cinta kasih di dunia ini. Maka berdukalah wanita itu dan diapun pergi menghadap Sang Buddha, memohon kepada Buddha untuk menghidupkan kembali anak tunggalnya”.






“Dengan tenang Sang Buddha lalu menyuruh wanita itu untuk minta segenggam gandum dari sebuah keluarga yang belum pernah kematian, karena hanya itulah obatnya yang dapat menghidupkan anaknya yang mati. Ibu itu berkelana, akan tetapi biarpun dia akan pergi mengelilingi dunia, dimana ada keluarga yang belum pernah kematian anggauta keluarganya? Akhirnya dia kembali kepada Sang Buddha dan insafkan. Kematian adalah suatu hal yang wajar bagi kehidupan. Ada hidup ada mati. Mengapa kematian harus didukakan benar? Bukankah kita semua akhirnya akan mati pula? Engkau dan pincengpun tidak akan terluput dari kematian. Mengapa kini ada yang mati engkau menyiksa diri dengan kedukaan? Apakah kedukaanmu itu akan dapat menghidupkannya kembali, orang muda?”

Perlahan-lahan ada sisa-sisa air mata menetes dari kedua mata Lie Seng. Tentu saja, dia pernah mendengar tentang cerita itu. Anehnya, kini keluar dari mulut hwesio itu, dengan suaranya yang halus lembut, cerita itu mempunyai pengaruh yang lain, menembus sampai ke dasar hatinya dan membuat dia melihat kenyataan itu.

“Losuhu... losuhu tidak tahu orang yang mati ini adalah kekasih saya, isteri saya... saya bukan seorang cengeng, losuhu dan sudah biasa menghadapi kematian, akan tetapi dia ini... ah, semasa hidupnya menderita begitu banyak kepahitan, dan selagi saya berusaha untuk membuatnya bahagia... dia telah mengambil jalan pendek, dia mengorbankan diri demi keluarga saya, demi kerajaan... ahh, betapa tidak akan hancur hatiku, losuhu...?”

Hwesio tua itu mendengarkan dengan tenang dan sabar sampai Lie Seng berhenti bicara dan menunduk, memejamkan mata. Kemudian terdengar suara hwesio itu, suaranya lantang namun lembut sekali.

“Orang muda, pandanglah baik-baik dan sadarilah. Lihatlah dengan waspada, siapakah yang kau tangisi itu? Siapakah yang kau kasihani itu? Bukankah sesungguhnya, di balik semua keteranganmu tadi, engkau menangisi dirimu sendiri, engkau mengasihani dirimu sendiri?”

Lie Seng mengerutkan alisnya, termenung sejenak lalu terkejut bukan main. Dia mengangkat muka memandang kepada hwesio tua itu dengan mata terbelalak marah.

“Berani kau menuduhku seperti itu...?”

“Tenang dan pandang sajalah, pandang dengan waspada dan jujur...” katanya menggerakkan tangan dan sikapnya yang lembut halus itu seolah-olah membuyarkan kemarahan Lie Seng.

Orang muda ini duduk termenung, memandang kepada diri sendiri dan jantungnya berdebar tidak karuan. Dia melihat, mula-mula secara samar-samar saja, akan tetapi makin lama menjadi makin jelas dan timbullah keraguan besar. Benarkah dia berduka karena kasihan kepada Sun Eng? Ataukah tidak lebih condong karena kasihan kepada diri sendiri? Dia tidak dapat menjawab. Dia bingung sekali dan kembali dia memandang kakek itu.

“Losuhu, mohon petunjuk...” akhirnya dia berkata.

“Orang muda, bukan maksud pinceng untuk mencelamu, melainkan untuk menyadarkanmu. Engkau sendiri menceritakan betapa kekasihmu hidup menderita banyak kepahitan. Sekarang dia telah meninggal bukankah berarti dia setidaknya terbebas daripada kepahitan-kepahitan itu? Maka, dengan alasan apalagi engkau merasa iba kepadanya? Yang jelas, engkau menangis dan berduka karena iba diri, karena engkau merasa kehilangan, karena engkau ditinggalkan dan merasa kesunyian. Tidakkah demikian?”

Lie Seng mengangguk-angguk, tak dapat membantah kebenaran kata-kata itu. Kini nampak nyata olehnya. Sun Eng hidup dalam keadaan sengsara karena menderita batin yang hebat. Sun Eng selalu menyesalkan penyelewengannya, yang membuatnya merasa rendah diri dan tidak berharga menjadi isterinya. Apa lagi keluarga Cin-ling-pai menolaknya!

Kemudian, untuk mengangkat harga dirinya, Sun Eng telah borkorban dan biarpun usahanya berhasil baik, namun dirinya telah mengalami penghinaan yang membuat dia merasa dirinya menjadi semakin kotor! Kalau Sun Eng tidak mati, sudah pasti Sun Eng akan semakin menderita karena merasa semakin tidak berharga baginya. Bukankah kematian itu bahkan merupakan jalan keluar yang baik bagi Sun Eng? Mengapa dia menangisinya? Apakah dia ingin melihat Sun Eng tetap hidup dalam keadaan menderita batin yang hebat itu?

“Duka tidak dapat dihilangkan melalui hiburan, tidak pula dapat dihilangkan melalui pelarlan, orang muda. Yang penting kita membuka mata melihat kenyataan, jangan membiarkan duka membutakan mata batin. Penglihatan yang terang dengan pengamatan yang waspada akan mendatangkan pengertian, dan hanya pengertian mendalam dan kesadaran yang akan meniadakan duka yang tiada guna dan melemahkan lahir batin itu.”

Untuk kurang lebih setengah jam lamanya Lie Seng mendengarkan suara kakek itu, suara yang lembut dan tenang, yang mendatangkan ketenangan dalam hatinya, yang membuat hatinya menjadi ringan dan lapang, yang membuat dia kini berani memandang makam Sun Eng tanpa kepedihan hati.

Akhirnya dia menjadi sadar benar-benar akan semua tindakannya yang hanya menurutkan kata hati dan perasaan yang terdorong oleh iba diri belaka. Dan tiba-tiba saja dia melihat masa depan yang cerah tanpa Sun Eng, yaitu masa depan menjadi seperti kakek ini, yang hidup bebas dalam arti yang seluas-luasnya. Maka dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

“Losuhu, perkenankanlah teecu ikut bersamamu mempelajari hidup dan masuk menjadi
hwesio di kuil yang losuhu pimpin.”

Hwesio tua itu tersenyum dan mengangguk-angguk.
“Orang muda, pinceng melihat bahwa engkau bukanlah orang muda sembarangan, melainkan seorang muda yang tentu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi, bukan? Pinceng sendiri bukan ahli silat, namun pinceng dapat mengenal orang pandai. Siapakah namamu dan dari keluarga manakah engkau, orang muda?”

“Teecu bernama Lie Seng, ibu teecu adalah puteri dari mendiang kong-kong Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai.”

“Omitohud... sudah pinceng duga. Kiranya engkau adalah cucu pendekar sakti itu, dan sekarang engkau ingin menjadi hwesio? Ah, bukankah itu hanya merupakan pelarian saja bagimu, untuk menghibur hatimu yang berduka dan putus asa? Masuk menjadi hwesio bukan hal yang main-main dan hanya untuk pelarian belaka, sicu.”

“Teecu melihat masa depan yang gelap, suhu. Teecu penuh dendam dan sakit hati, kalau teecu melanjutkan hidup ini seperti biasa, tidak dapat dihindarkan lagi teecu tentu akan mengakibatkan kekerasaan dan banjir darah karena teecu tentu akan mengamuk untuk membalas kematian kekasih teecu.”

Kakek itu mengangguk-angguk.
“Pinceng sudah melihat hal itu dan karena itulah maka pinceng berusaha menyadarkanmu. Kalau memang masuk menjadi hwesio itu timbul dari tekadmu sendiri, karena kesadaranmu, maka terserah. Pinceng memimpin Kuil Hok-seng-tong di kaki bukit sana. Marilah, sicu.”

Lie Seng bangkit dan setelah sekali lagi meraba-raba makam Sun Eng dan mengucapkan selamat tinggal kepada kekasihnya itu, kini dengan hati ringan dan lapang, diapun bangkit dan mengikuti hwesio tua itu turun gunung. Beberapa bulan kemudian, Lie Seng telah mencukur rambutnya dan berpakaian jubah lebar, menjadi hwesio yang tekun menekuni hidup dan kebatinan di dalam Kuil Hok-seng-tong di bukit sunyi sebelah selatan kota raja itu!

Betapa banyaknya di antara kita yang seperti Lie Seng itu! Melarikan diri sendiri dari kenyataan hidup! Melarikan diri dari kepahitan hidup! Lalu mengejar-ngejar kemanisan hidup! Padahal, pelarian dari yang pahit dan pengejaran yang manis itu tidak ada bedanya sama sekali. Melarikan diri dari yang pahit lalu berlindung kepada sesuatu itu berarti juga mengejar kemanisan yang diharapkan bisa didapatkan dari tempat berlindung itu.

Dan selama pengejaran akan sesuatu yang dianggap manis dan menyenangkan ini terjadi, maka kita akan terus menerus terseret ke dalam lingkaran setan yang tiada habisnya. Pelarian tidak akan melenyapkan duka, pelarian tidak akan melenyapkan kegelisahan dan rasa takut.

Mungkin saja dapat mendatangkan hiburan sesaat, namun duka itu, rasa takut itu, tidak akan lenyap, hanya untuk sementara waktu terselubung saja oleh hiburan yang didatangkan oleh pelarian. Setiap saat akan muncul kembali!

Kita semua mengenal apa penyesalan itu, apa kekecewaan itu, dan apa rasa takut serta kedukaan itu. Mengapa kita selalu harus mencari hiburan dimana kita dapat berlindung untuk melarikan diri dari hal-hal yang tidak enak itu? Mengapa kita tidak pernah berani menghadapi semua itu, menghadapi mereka di waktu mereka itu timbul, menghadapinya dengan langsung, memandangnya dan menanggulanginya di saat mereka muncul sehingga mereka itu akan lenyap di saat itu juga dan takkan pernah muncul kembali?

Penanggulangan ini bukan berarti mengusahakan agar mereka lenyap, sama sekali bukan. Melainkan menghadapi duka pada saat itu menyerang kita, memandang dan menyelaminya secara langsung, mengenal luar dalam apa sebenarnya duka itu! Akan tetapi sayang, kita selalu ingin senang, maka begitu timbul sesuatu yang tidak menyenangkan menurut anggapan kita, kita lalu melarikan diri.

**** 217 ****
Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: