***

***

Ads

Rabu, 12 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 219

“Kalau terlepas mengapa? Malah tidak lagi menderita hidup seperti kera kelaparan begini!” jawab Bi Cu berolok-olok.

“Engkau lapar, Bi Cu?”

“Kau kira perutku terbuat daripada batu? Tentu saja aku lapar. Kau tidak?”

“Mungkin.”

“Eh, mungkin bagaimana? Jangan berteka-teki engkau! Tinggal menjawab lapar atau tidak, mengapa mungkin? Habis rasanya bagaimana, lapar atau tidak?”

“Aku bilang mungkin, karena menurut patut tentu lapar, akan tetapi tidak terasa karena kalah oleh rasa nyeri di pundakku dan rasa khawatir di hatiku.”

“Apa sih yang kau khawatirkan?”

“Kau masih bertanya lagi? Tentu saja keadaan kita ini. Apakah engkau tidak khawatir?”

“Tidak! Sekarang kita masih hidup, bukan? Dan aman...”

“Hanya lapar.”

“Ya, hanya lapar. Sayang aku tidak bisa memburu kelinci. Ah, enaknya daging kelinci bakar dimakan panas-panas, apalagi bagian paha dan pinggul, hemmm... sedap...!”

Mau tidak mau Sin Liong tersenyum dan aneh, membayangkan gambaran itu, diapun mendadak merasa lapar! Akan tetapi hatinya masih khawatir sekali, bagaimana kalau gadis yang lincah itu menjadi lengah malam nanti, mengantuk dan terlepas lalu jatuh ke bawah sana. Dia menggigil kalau membayangkan kemungkinan ini, maka diam-diam di dalam keremangan senja, dia mulai menanggalkan bajunya dan dengan hati-hati dirobek-robeknya baju itu menjadi robekan panjang selebar tangan.

Dia merobeknya dengan tangan kanan dan giginya, kemudian dia menggulung robekan-robekan itu menjadi tali yang cukup kuat dan menyambung-nyambungnya. Setelah selesai, dia lalu menyodorkan satu ujungnya kepada Bi Cu.

“Bi Cu, kau terima ujung tali ini,” katanya.

Bi Cu menerima ujung tali itu, meraba-rabanya lalu berkata,
“Hemm, sejak tadi engkau diam saja ternyata engkau membuat tali ini? Dari apa kau buat?”

“Dari bajuku.”

“Lalu untuk apa?”






“Ikatkan ujungnya pada pinggangmu, yang kuat. Kalau engkau mengantuk dan terlepas, engkau tidak akan jatuh melainkan tergantung pada tali. Setelah kubelit-belitkan cabang-cabang yang kuat, ujung yang satu lagi akan kuikatkan pada pinggangku.”

Bi Cu tidak berkata apa-apa, akan tetapi dari tali yang bergerak-gerak Sin Liong tahu bahwa dara itu melaksanakan petunjuknya. Hatinya lega. Kini cuaca sudah gelap sekaii sehingga dia tidak dapat melihat Bi Cu. Bayangannyapun tidak, karena tidak ada bayangan apa-apa sama sekali. Gelap pekat malam itu, melihat tangannya sendiripun dia tidak mampu.

Lama mereka diam saja. Sin Liong selalu mengingat keadaan Bi Cu. Tadi dia sudah melihat betapa dara itu telah mendapatkan tempat yang enak, di antara dahan besar yang bercabang tiga, sehingga dara itu dapat duduk terjepit cabang dan tidak akan mudah jatuh dan dapat duduk dengan enak. Tentu saja seenak-enaknya orang metewatkan malam di atas pohon!

Dia telah melibatkan tali itu pada dahan yang kuat, baru ujungnya diikatkan pada pinggangnya. Dengan demikian, andaikata salah seorang di antara mereka terlepas dan jatuh, tentu akan tertahan oleh dahan itu dan tergantung, sedangkan orang yang akan dapat menarik dan menyelamatkan yang jatuh.

Dia merasa betapa ada gerakan-gerakan dari arah tempat Bi Cu duduk. Tali yang mengikat pinggangnya itu seolah-olah menghubungkan dia dengan Bi Cu, setiap dara
itu bergerak akan terasa olehnya. Hal ini menimbulkan perasaan lega pula. Akan tetapi sampai lama Bi Cu tidak bicara, dan dia tidak dapat bertahan lagi.

“Bi Cu, engkau tidak apa-apa, kan?”

“Tentu saja apa-apa, berada dalam keadaan seperti ini dikatakan tidak apa-apa! Aku sedang memikirkan betapa lucunya keadaan kita ini. Tidakkah engkau merasa lucu, Sin Liong?”

“Lucu?” Sin Liong mengingat-ingat akan tetapi tidak menemukan apa yang lucu.“Bagiku tidak lucu melainkan menyedihkan dan sengsara, terutama lengan kiriku.”

“Belum sembuhkah lengan kirimu, Sin Liong?”

“Sudah agak mendingan,” kata Sin Liong membohong. Pundaknya membengkak, nyerinya bukan main, akan tetapi letak tulangnya sudah benar. “Eh, Bi Cu, mengapa kau bilang lucu?”

“Bayangkan saja! Kita saling berpisah, lalu saling jumpa. Dan lihat, apa yang kita alami bersama. Kita terjatuh ke dalam jurang maut, akan tetapi tidak mati dan tersangkut pada pohon ini dan kita terpaksa menjadi dua ekor monyet di sini! Lucu tidak?”

“Mengapa engkau ikut meloncat ke dalam jurang? Sungguh bodoh sekali perbuatanmu
itu, mempermainkan nyawa sendiri,”

Sin Liong menegur karena memang marah dia kalau teringat betapa dara itu hampir membuang nyawa dengan sia-sia dan mati konyol.

“Apa?” Terdengar dara itu berkata marah. “Dan kau menghendaki aku berada disana, di atas sana bersama jahanam-jahanam itu sedangkan engkau sendiri enak-enakan berada di bawah sini?”

“Enak-enakan?”

“Ya, enak-enakan! Seribu kali lebih enak berada di sini daripada berada di atas sana bersama iblis-iblis itu!” Bi Cu membentak.

“Bi Cu...”

“Sudahlah, aku mau tidur!”

“Tidur...? Hati-hatilah, Bi Cu, jangan terlepas dan jatuh..., biarpun sudah terikat akan tetapi ngeri aku memikirkan kau jatuh...”

“Peduli apa? Biar jatuh dan mampus!”

Jawaban ini demikian penuh kemarahan sehingga mengejutkan Sin Liong. Dia tidak berani bicara lagi, hanya mengingat-ingat mengapa dara itu menjadi marah tidak karuan. Mungkin karena lapar, mungkin karena takut, dan diapun tidak boleh terlalu cerewet.

Sin Liong duduk dan mengumpulkan napas, mengerahkan hawa murni untuk mengobati lengan kirinya. Dengan pengerahan hawa dari pusar, ia mengirim hawa yang panas itu menjalar naik dan memenuhi lengannya. Dia melakukan hal ini sesuai dengan pelajaran dari kitab yang diwarisinya dari Bu Beng Hud-couw.

Dan ternyata hasilnya hebat sekali. Rasa nyeri di pundaknya perlahan-lahan lenyap, terbungkus hawa panas itu sehingga pundak yang tadinya berdenyut-denyut nyeri, kini menjadi nyaman dan denyut itu makin melemah dan akhirnya tidak terasa nyeri lagi.

Dia melanjutkan usahanya itu, melupakan keadaan sekelilingnya. Dia harus dapat sembuh semalam ini agar besok dia dapat mencari jalan keluar untuk menyelamatkan dirinya bersama Bi Cu.

“Sin Liong...”

Entah berapa lamanya mereka berdiam sampai Bi Cu memanggilnya itu. Mungkin kini telah lewat tengah malam. Siapa tahu? Dia tadi dalam keadaan setengah bersamadhi dan lupa segala sehingga lupa pula akan waktu. Panggilan suara Bi Cu itu mengejutkan dan seperti menarik dia kembali kepada kenyataan bahwa dia dan Bi Cu berada, di dalam pohon di atas jurang yang curam, di tengah malam yang gelap pekat.

Akan tetapi baru sekarang Sin Liong melihat perubahan bahwa cuaca tidaklah segelap tadi, bahkan dia dapat melihat bayangan tangannya sendiri sungguhpun dia tidak dapat melihat Bi Cu.

Di langit terdapat bintang-bintang berkelap-kelip. Aneh sekali melihat bintang-bintang ini, membuat dia hampir tidak percaya bahwa dia berada di dalam pohong “tergantung” antara langit dan jurang, bukan di atas bumi seperti biasa.

“Ada apakah, Bi Cu?”

“Apakah engkau tidak lapar?”

Tadinya Sin Liong sudah lupa segala, juga lupa akan perutnya yang kosong, maka begitu Bi Cu berkata lapar, otomatis perutnya lalu terasa perih dan lapar sekali. Akan tetapi bersama dengan itu, juga dia merasa lengan kirinya sudah sehat kembali, tidak nyeri sama sekali!

“Tentu saja aku lapar. Dan engkau?”

“Aku tidak lapar, aku sudah kenyang!”

Hemm, mengajak bergurau lagi, pikir Sin Liong.
“Engkau kenyang? Makan apa?” Dia melayani.

“Makan paha kelinci panggang dalam khayal!” Bi Cu tertawa. “Tapi aku benar-benar kenyang, aku makan daun.”

“Daun?”

“Ya, kau pilih daun-daun muda, di ujung ranting. Cobalah, enak tidak pahit dan banyak airnya, lumayan, Sin Liong.”

Sin Liong tertarik. Tangan kanannya meraih dan dengan meraba-raba dia dapat merasakan perbedaan antara daun tua dan daun muda yang lebih kecil dan lebih halus. Dipetiknya ujung ranting itu dan dengan hati-hati dimakannya sehelai daun muda. Tentu saja bau daun, akan tetapi tidak bau busuk dan tidak pahit, bahkan ada manis-manisnya sedikit. Maka dimakannya daun itu sampai beberapa helai.

“Bagalmana rasanya?”

“Kau benar. Daun ini cukup enak dimakan!”

“Hi-hik, engkau harus berterima kasih kepadaku, Sin Liong. Penemuanku ini memungkinkan kita hidup di atas pohon ini seperti dua ekor kera, bukan hanya untuk beberapa hari, bahkan mungkin untuk selamanya!”

“Apa? Selamanya? Mana mungkin?”

“Mungkin saja! Kita setiap hari makan daun muda, dan daun-daun muda itu tentu akan tumbuh lagi, demikian setiap hari. Kita tidak akan kehabisan daun muda. Daun itu mengandung air, jadi kita tidak akan kehausan pula, dan andaikata kehausan, kalau hujan turun, kita tinggal berdongak dan membuka mulut saja! Hi-hik!”

“Tapi mana mungkin kita dapat hidup dan makan daun-daun saja?”

“Siapa bilang tidak mungkin? Eh, Sin Liong, mengapa engkau begitu bodoh? Ingat, binatang-binatang yang terbesar dan terkuat di dunia ini, seperti kerbau, sapi, kuda, bahkan gajah itu makan apa saja? Tidak makan daging tidak makan capjai atau mi bakso, melainkan makan daun dan rumput saja. Akan tetapi mereka itu bukan hanya hidup, bahkan hidup lebih sehat dan lebih kuat daripada manusia!”

“Tapi kita ini manusia, bukan kerbau...”

“Memang, tapi otakmu lebih bodoh daripada kerbau!” Kembali Bi Cu berkata dengan nada suara marah.

“Bi Cu... aku...”

“Sudahlah! Memang aku yang cerewet dan tolol!” Kini suara itu bukan hanya marah, bahkan mengandung isak!

Sin Liong melongo. Untung cuaca masih terlampau gelap untuk mereka dapat saling melihat, kalau tidak tentu dia akan nampak lucu sekali. Dia benar-benar bingung menghadapi Bi Cu. Mengapa Bi Cu demikian mudah tertawa gembira, bergurau, akan tetapi di lain saat sudah marah-marah dan cengeng?

Hening lagi sampai lama Sin Liong merasa menyesal sekali bahwa dia begitu bodoh tidak dapat menyelami watak Bi Cu sehingga dia selalu membuat dara itu marah-marah. Padahal Bi Cu sudah begitu baik kepadanya.

“Bi Cu, kau maafkanlah aku kalau aku bersalah kepadamu dan membuatmu marah. Percayalah, aku sungguh mati tidak sengaja membikin engkau marah. Aku menyesal
akan kebodohanku.”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: