***

***

Ads

Rabu, 12 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 220

“Siapa bilang engkau bodoh? Engkau terlalu pintar, engkau lihai bukan main, engkau seorang pendekar sakti yang bersikap sederhana dan bodoh, saking pintarnya maka engkau tidak memperhatikan seorang gadis tolol macam aku yang cerewet sehingga aku dibikin kesal...!”

“Maafkan, aku Bi Cu..., aku tidak mengerti mengapa aku selalu membuatmu marah... tadipun engkau sudah marah-marah...”

“Tentu saja aku marah, habis engkau selalu menghendaki aku tidak berada disini bersamamu, engkau lebih senang aku berada bersama iblis-iblis itu. Engkau sungguh tidak mau menghargai orang, aku suka bersamamu, hidup mati, dan engkau cerewet saja mengkhawatirkan diriku. Mengapa engkau tidak mengkhawatirkan dirimu sendiri?”

“Ahhh...!”

“Apalagi ah-ah!”

Sin Liong kini mengerti dan diapun sadar bahwa dia terlalu mengkhawatirkan keselamatan Bi Cu, tidak ingat bahwa Bi Cu memang tadinya sengaja menyusulnya untuk mati bersama!

“Tidak apa-apa, hanya aku sudah merasa salah. Engkau tentu mau memaafkan aku, bukan? Ataukah tiada maaf bagiku?”

“Sudahlah, perutku sudah kenyang, aku mau mengaso.”

Sin Liong lalu memetik lagi daun-daun muda dan mengisi perutnya yang kosong dengan daun-daun muda itu. Seperti sayur mentah, akan tetapi bukan tidak enak, dan lumayan untuk menahan perihnya perut. Akan tetapi semalam dia tidak tidur, mana mungkin dia tidur? Dia harus menjaga Bi Cu, siap menolong kalau-kalau dara itu terjatuh dan tergantung pada tali.

Timbul kekhawatirannya, jangan-jangan dara itu kurang kuat mengikat pinggangnya. Hampir saja mulutnya bertanya, akan tetapi ditahannya karena dia teringat bahwa hal itu malah akan membikin marah dara yang berwatak aneh itu. Maka diapun melanjutkan menghimpun hawa murni untuk mengobati lengan kirinya yang biarpun kini sudah tidak terasa nyeri namun dia masih belum berani untuk mempergunakannya dengan pengerahan tenaga.

Luka-luka di tempat sambungan tulang tentu belum pulih benar, pikirnya, maka berbahaya kalau dipakai untuk bekerja berat. Dan ternyata selanjutnya Bi Cu tidak lagi mengeluarkan suara, sungguhpun kadang-kadang dia masih melakukan gerakan perlahan. Dan tidak ada terdengar napasnya yang menyatakan bahwa dara itu tertidur. Tahulah Sin Liong bahwa Bi Cu memang sengaja diam saja sungguhpun dara itu juga tidak dapat tidur dalam keadaan seperti itu.

Pada keesokan harinya, begitu sinar matahari pagi mengusir kegelapan dan mereka dapat saling melihat, Bi Cu segera berkata.

“Bagaimana dengan lengan kirimu?”

Sin Liong menggerak-gerakkan lengan kirinya.
“Sudah tidak nyeri lagi, akan tetapi luka di sekitar sambungan masih belum pulih benar, kiraku belum mungkin dapat dipakai bekerja berat. Kalau sampai luka-luka itu pecah lagi, akan sukarlah pulihnya, tanpa obat.”






“Kalau begitu biar kita tinggal disini sampai kau sembuh betul!” kata Bi Cu akan tetapi Sin Liong masih dapat menangkap nada suara yang amat kecewa, yang ditutup dengan kemauan keras dan dara itu mengatupkan bibirnya kuat-kuat setelah berkata demikian.

Tentu dara itu telah menderita hebat sekali duduk semalam suntuk di atas dahan itu, pikir Sin Liong.

“Biarpun aku belum dapat bekerja berat dengan lengan kiriku, akan tetapi kiranya aku akan dapat mencarikan tempat yang lebih enak untuk kita, bukan di atas pohon ini, Bi Cu. Kau tinggallah di sini dulu, aku yang mencari tempat yang baik di tebing itu.”

“Aku tidak mau disini sendiri. Aku harus ikut!” kata Bi Cu dan Sin Liong tidak mau membantah. Dia melepaskan ikatan di pinggangnya.

“Baiklah, lepaskan ikatan di pinggangmu itu. Tali ini akan ada gunanya kelak.”

Bi Cu melepaskan tali yang diikatkan di pinggangnya. Baru tahulah Sin Liong bahwa ikatan itu kuat sekali sehingga sukar bagi Bi Cu untuk membuka simpulnya. Ternyata kekhawatirannya semalam tidak ada gunanya.

“Eh, kenapa kau masih memakai bajumu? Bukankah bajumu sudah kau robek-robek untuk dijadikan tali ini?”

“Itu baju dalamku yang terbuat dari sutera, lebih lemas dan lebih kuat.”

“Baju dalam sutera? Wah, tentu indah dan mahal sekali...!”

“Memang, itu baju adik angkat pangeran! Pemberian Pangeran Ceng Han Houw.”

“Ihhh!”

Bi Cu melepaskan ujung tali itu seperti orang merasa jijik. Sin Liong menggulung dan menyimpan di saku bajunya.

“Mari kau ikuti aku, tapi hati-hatilah, Bi Cu.”

Mulailah keduanya merangkak diantara dahan-dahan dan daun-daun pohon, Sin Liong di depan, diikuti oleh Bi Cu, mendekati tebing ketika mereka merangkak turun dari pohon yang tumbuh miring di tebing itu. Pohon itu besar dan cukup tinggi, dan batangnya ternyata besar dan kokoh kuat, tertanam di dalam tebing diantara batu-batu.

Sin Liong turun dari batang itu, matanya mencari-cari jalan dan diapun turun ke atas celah-celah batu yang besar. Dia menanti sebentar untuk memberi kesempatan Bi Cu juga turun.

Ketika Bi Cu sudah menaruh kakinya ke celah-celah batu besar dan memandang ke bawah, dia menjerit dan Sin Liong cepat merangkulnya. Tubuh Bi Cu menggigil dan mengertilah Sin Liong apa yang menyebabkan dara itu ketakutan seperti itu.

“Jangan melihat ke bawah! Pula, disini tidak berbahaya, di atas pohon itu lebih berbahaya lagi!” katanya menghibur dan akhirnya Bi Cu dapat tenang kembali akan tetapi dia tidak mau memandang ke bawah.

Memang mengerikan sekali kalau memandang ke bawah yang demikian curamnya. Membayangkan tubuh melayang ke bawah saja sudah membuat jantung berdetak dan kaki menggigil.

Sin Liong mencari jalan, dengan hati-hati karena lengan kirinya tidak dapat dipakai untuk bergantung, terlalu berbahaya untuk mencoba itu. Akhirnya mereka tiba di tepian yang lebarnya ada dua meter dan panjangnya empat meter, tempat datar sempit ini ditumbuhi rumput dan merupakan jalan buntu karena dikelilingi batu-batu yang bersusun rata sehingga tentu amat licin dan tidak mungkin didaki.

Jalan satu-satunya dari daratan sempit ini hanyalah jalan yang mereka lalui tadi, yang menuju ke pangkal batang pohon besar. Betapapun juga, menemukan tempat ini membuat mereka merasa lega.

Bi Cu gembira sekali dan diapun lalu menjatuhkan diri rebah terlentang dengan tarikan napas lega. Tubuhnya yang terasa lelah semua itu kini dapat berbaring sesukanya di atas rumput dan sebentar saja dara itu sudah tidur pulas, miring menghadap dinding batu!

Sin Liong merasa terharu dan kasihan sekali. Sampai lama dia memandangi wajah dara yang tidur pulas itu, tidur sambil tersenyum seolah-olah tiada apapun yang mengancam mereka. Dara itu agaknya merasa beruntung sekali dan lapang hatinya setelah menemukan tempat datar ini sehingga tidurnya demikian nyenyak dan enak.

Sin Liong lalu bangkit berdiri, mengambil keputusan untuk mencari jalan keluar dari tempat itu. Akan tetapi baru saja beberapa langkah dia meninggalkan Bi Cu, dia teringat dan cepat dia membalikkan tubuhnya, menghampiri batu sebesar sepelukan tangan dan mengangkat.

Akan tetapi baru sedikit dia mengerahkan tenaga pada lengan kirinya, dia hampir berteriak kesakitan, maka cepat dia melepaskan kembali batu itu. Untung tidak dipaksanya mengangkat tadi. Jelaslah bahwa lengan kirinya belum boleh dipergunakan untuk bekerja berat dan harus beristirahat beberapa hari sampai pulih betul.

Kini dia hanya menggunakan tangan kanannya, disusupkannya jari-jari tangannya ke bawah batu dan diangkatnya dengan ringan saja lalu batu itu dibawa dan diletakkan di tepi jurang. Dia memindahkan empat buah batu yang cukup berat dan cukup menjadi penjaga dan penahan tubuh Bi Cu kalau-kalau dara itu dalam tidurnya bergerak dan bergulingan sampai ke tepi jurang!

Setelah yakin bahwa Bi Cu tidak akan terancam bahaya terguling ke dalam jurang, baru dia meninggalkan Bi Cu dan mencurahkan perhatiannya untuk mencari jalan keluar. Ditelitinya semua bagian dari dataran sempit itu, melihat ke kanan kiri, ke atas bawah dan depan belakang, mencari-cari jalan yang dapat mereka lalui untuk mendaki ke atas.

Namun, dataran itu benar-benar merupakan jalan buntu, dan satu-satunya yang dapat dilalui hanyalah yang menuju ke pohon besar itu! Jalan naik ke atas tidak mungkin didaki karena batu-batu itu tersusun demikian rata sehingga merupakan dinding rata yang amat tinggi. Tidak mungkin mendaki tempat seperti itu. Dengan menggunakan sin-kang sekuatnya, mungkin juga dia dapat naik untuk beberapa belas tombak tingginya, akan tetapi tidak mungkin kuat bertahan sampai naik setinggi itu, puluhan, bahkan ratusan tombak tingginya.

Dan itupun terkandung bahaya, yaitu sekali kakinya terpeleset, tubuhnya akan jatuh dan biarpun dengan ilmu apa juga dia tidak akan dapat menyelamatkan dirinya lagi! Apalagi kalau harus menggendong Bi Cu. Dia tidak mau mengambil resiko berbahaya seperti itu!

Setelah memeriksa, meneliti dan mencari-cari sampai beberapa jam lamanya, akhirnya Sin Liong terduduk dengan pandang mata muram dan dia termenung. Tidak ada jalan keluar! Itulah kesimpulan sebagai hasil dari pemeriksaannya. Mereka sama dengan terkubur hidup-hidup di tempat itu!

Tali dari baju dalamnya yang panjangnya hanya kurang lebih empat lima meter itu tidak ada artinya sama sekali untuk membantu mereka keluar dari tempat ini. Matahari telah naik agak tinggi dan hawa udara cukup panas ketika Bi Cu terbangun dari tidurnya.

“Haus...!”

Demikian kiranya begitu dia membuka matanya. Tidak heran kalau dia kehausan karena tubuhnya sama sekali tidak terlindung dari panasnya sinar matahari. Peluhnya membasahi leher dan mukanya. Akan tetapi dia kini sudah sadar betul dan bangkit duduk, mengusap keringatnya dan memandang kepada Sin Liong yang menghampirinya.

“Wah, agaknya aku telah tertidur.”

“Nyenyak dan enak tidurmu,” kata Sin Liong tersenyum.

“Ya, segar rasanya tubuh sekarang, hilang sudah segala kelelahan semalam. Tapi, aku... aku haus bukan main...!” Dia menjilat-jilat bibirnya yang kering dan mengelus lehernya.

“Haus...?”

Sin Liong baru merasa betapa diapun haus bukah main, apalagi karena dia tadi bekerja mencari tempat yang dapat dijadikan jalan keluar dan baru sekarang dia merasa bahwa kerongkongannya juga kering sekali.

“Ahh, kemana kita harus mencari minum? Di sekitar sini tidak ada air, juga tidak ada jalan keluar...”

“Tidak ada jalan keluar...?” Bi Cu bangkit berdiri, memandang ke sana-sini.

“Engkau sudah pasti benar?”

“Entahlah, akan tetapi tadi sudah kuperiksa dan sungguh tidak terdapat jalan keluar dari sini, kecuali ke pohon besar itu. Ahhh... pohon itu! biar kupetik daun-daun muda untukmu...”

“Untukmu juga...!”

“Ya, untukku juga,”

Sin Liong lalu merangkak dengan hati-hati melalui jalan yang tidak mudah itu, jalan yang mereka lalui pagi tadi, kembali ke batang pohon dan dia memanjat pohon besar itu, memetik daun-daun muda. Setelah cukup, dia turun dan membawa daun-daun muda itu kepada Bi Cu.

Dengan lahap Bi Cu makan daun-daun muda, mengunyahnya lama-lama untuk mencari airnya. Dia tidak lapar, hanya haus. Dan celakanya biarpun daun itu mengandung air, namun rasa air daun itu tidak dapat dan tidak cukup banyak untuk menghilangkan hausnya. Sin Liong juga makan daun itu dan tahulah dia bahwa daun-daun itu tidak berhasil mengusir haus. Maka diapun duduk di atas batu sambil termenung.

Akan berapa lamakah mereka dapat bertahan dalam keadaan begini? Kasihan Bi Cu, pikirnya, akan tetapi mulutnya tidak menyatakan sesuatu karena dia maklum bahwa hal itu hanya akan membikin dara itu menjadi marah.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: