***

***

Ads

Senin, 17 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 221

“Ah, daun-daun keparat ini hanya mampu menahan lapar, tidak mampu menghilangkan haus! Tunggu, aku akan mencari tumbuh-tumbuhan lain!”

Diapun lalu sibuk sekali meneliti setiap tumbuh-tumbuhan di sekeliling tempat itu. Setiap macam rumput dicabut dan dimakannya, diisap-isap, dan kalau dia menemukan sesuatu larilah dia kepada Sin Liong sambil membawa beberapa batang rumput yang baru saia dicobanya.

“Coba ini. Sin Liong, agaknya manis rasanya!” teriaknya girang, dan Sin Liong lalu makan rumput itu dan mengisap-isap.

Memang agak manis, akan tetapi airnya sedikit sekali, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan daun pohon besar itu. Dan Bi Cu juga tahu hal ini, maka diapun mencari lagi dengan kecewa. Semua tumbuh-tumbuhan di sekitar tempat itu sudah dicobanya semua! Akhirnya dia kembali ke dekat Sin Liong dan duduk di atas rumput, kedua alisnya yang hitam kecil berbentuk indah itu berkerut.

Sin Liong merasa kaslhan sekali.
“Bi Cu... tidak ada jalan lain, kita harus makan daun-daun muda ini. Biarpun tidak cukup, akan tetapi lumayan untuk membasahi kerongkongan.”

“Iya...”

Jawab Bi Cu sunyi dan lirih lalu dengan enggan dia makan juga daun-daun muda itu satu demi satu dan rasanya makin tidak enak saja baginya. Makin perlahan dia mengunyah, matanya termenung memandang jauh, kemudian mulutnya berhenti bergerak dan air matanyapun berderai, akan tetapi dia belum terisak, hanya berkata lirih,

“Sin Liong... haruskan kita berdua mati di sini, mati kehausan...?”

Sin Liong mendekatinya dan menyentuh pundaknya.
“Tenanglah, Bi Cu. Daun-daun ini akan menyelamatkan kita untuk sementara waktu...”

“Dan kalau kita sudah tidak kuat bertahan lagi? Sekarangpun aku sudah hampir tidak kuat, Sin Liong, aku... haus bukan main...”

“Ke sanalah, mari... kita berlindung dari cahaya matahari yang panas...”

Dengan lembut Sin Liong lalu menarik tangan dara itu untuk diajak berdiri dan berteduh di dekat dinding batu sehingga mereka agak terlindung dari panas matahari. Bi Cu hanya menurut saja sambil mengusap air matanya. Dia menahan kesedihannya agar tidak membuat Sin Liong makin bingung. Mereka duduk berdekatan di bawah dinding batu itu.

“Bagaimana lenganmu?” Bi Cu menyentuh lengan kiri Sin Liong. Sentuhan itu lembut
dan penuh perhatian.

“Tidak nyeri... akan tetapi belum dapat dipergunakan. Tadi kucoba mengangkat batu, belum sanggup...”






“Kau kah yang menjajarkan batu-batu disana itu?” Bi Cu menuding. “Sudah kuduga demikian. Engkau terlalu baik kepadaku, Sin Liong, selalu menjagaku!”

Ada rasa girang menghujani perasaan Sin Liong, akan tetapi juga membuatnya malu-malu, maka dia lalu berkata,

“Kita disini hanya berdua saja, kalau tidak saling menjaga, habis bagaimana?”

Setiap hari Sin Liong melakukan siulian untuk mengumpulkan hawa murni dan mengobati lengan kirinya dengan penuh kesungguhan hati. Akan tetapi, mereka berdua sungguh tersiksa oleh kehausan. Mereka selalu makan daun muda dari pohon itu dan biarpun tidak dapat terlalu memuaskan perut, setidaknya mereka terhindar dari kelaparan.

Akan tetapi mereka dicekik kehausan, makin lama makin menghebat sehingga tubuh mereka menjadi lemah sekali, pandang mata berkunang dan kepala mereka pening. Kadang-kadang, di waktu siang hari, kalau matahari sedang panas-panasnya, Bi Cu terengah-engah kehausan, tidak dapat menangis lagi karena air matanyapun sudah kering, mukanya pucat dan cekung.

“Ahhh... kuda dan sapipun tidak bisa... hanya makan rumput dan daun saja... harus minum, aku harus minum... ah Sin Liong, aku tidak kuat, aku haus...” Hari itu adalah hari ke tiga dan siang hari, sedang panas-panasnya.

“Bi Cu, kuatkanlah...!” kata Sin Liong, padahal dia sendiri juga tersiksa hebat oleh kehausan.

Dia sudah membuka semua kancing bajunya, akan tetapi masih merasa panas dan tubuhnya terasa lemas sekali.

“Sin Liong... aku tidak tahan lagi... tapi aku tidak menyesal... aku rela mati disini bersamamu, Sin Liong...”

“Bi Cu...!”

Sin Liong merasa kasihan sekali dan dia merangkul dara itu, mendekap kepala dara itu ke dadanya. Sejenak mereka tak bergerak dalam keadaan seperti itu. Bi Cu merasa betapa nikmatnya bersandar pada dada Sin Liong, seperti lenyap rasa panas yang menyelinap ke seluruh tubuh dan kepalanya, terasa sejuk terlindung oleh tubuh Sin Liong dari sinar matahari. Dia merasa betapa tubuh Sin Liong tergetar, dan betapa dada pemuda itu menahan tangis kadang-kadang terisak.

Bi Cu mengangkat mukanya memandang. Dia melihat Sin Liong memejamkan matanya
kuat-kuat, akan tetapi ada dua titik air mata di bawah pelupuk mata pemuda itu. Diusapnya dua butir air mata itu dengan telunjuknya. Melihat dua tetes air di telunjuknya, tiba-tiba Bi Cu membawa telunjuknya ke mulutnya dan mengisap dua tetes air mata itu. Hanya lenyap di lidah, tidak sampai ke tenggorokannya yang kering.

“Sin Liong, jangan menangis...” lalu ia hendak menghibur pemuda itu dan mengalihkan pikirannya. “Eh, bagaimana dengan lengan kirimu...?”

Biarpun dia bersikap gembira yang dibuat-buat, namun suaranya lirih dan serak dan tubuhnya lemah sekali.

“Lengan...? Ah, sudah sembuh sama sekali... kau tunggu, aku akan mencari jalan...!”

Sin Liong bergerak hendak bangkit. Akan tetapi Bi Cu merangkulnya, dan menahannya.
“Tidak perlu sekarang... sedang panas-panasnya, tunggu kalau sudah tidak panas, Sin Liong. Aku... aku ngantuk sekali... biarkan aku tidur...”

Rangkulannya terlepas dan tubuhnya yang lunglai itu melorot ke bawah lalu dia rebah terlentang, berbantal paha Sin Liong.

Melihat keadaan Bi Cu, Sin Liong tidak bergerak, membiarkan dara itu tidur di atas pangkuannya dan diapun memejamkan mata sambil bersandar pada dinding batu. Keduanya diam saja, tak bergerak seperti tidur, seperti pingsan, seperti telah mati! Sin Liong masih dalam keadan setengah sadar, akan tetapi dia merasakan kenikmatan yang luar biasa ketika dia bersandar dan memejamkan mata, dengan sadar sepenuhnya bahwa Bi Cu tidur di atas pangkuannya, rasa nikmat dan nyaman yang belum pernah dirasakan sebelumnya, seluruh urat syaraf di tubuhnya mengendur dan lemas.

Akan tetapi tiba-tiba dia teringat bahwa keadaan ini amatlah berbahaya. Kelemasan seperti ini dapat membuat orang tertidur untuk tidak bangun kembali! Maka dia mempergunakan seluruh kekuatan batinnya untuk membuka mata dan terkejutiah dia. Kenapa pandang matanya menjadi gelap? Butakah dia, atau terserang penyakit buta, atau kehausan yang sangat itu membuat pandang matanya menjadi gelap? Dia mengangkat mukanya memandang ke atas. Langitpun gelap! Tidak ada lagi sinar matahari, padahal tadi amat panasnya.

Apa yang terjadi? Dia mencari-cari dengan matanya dan melihat awan mendung bergumpal-gumpal datang dari arah timur terbawa angin keras. Bagaimana mungkin siang yang tadinya terang benderang itu tiba-tiba tertutup mendung bergumpal-gumpal seperti itu?

“Bi Cu...! Bi Cu, bangun...!”

Hati Sin Liong penuh kekhawatiran. Bi Cu hanya bergoyang-goyang badannya yang lunglai, akan tetapi matanya tetap terpejam! Pingsankah dia? Atau... atau matikah...?

“Bi Cu! Ohhh, Bi Cu, bangunlah...! Bangunlah Bi Cu, demi Tuhan... bangunlah...!”

Sin Liong berteriak-teriak hampir menangis karena mulai takut kalau-kalau Bi Cu sudah mati. Akhirnya bibir yang kering itu bergerak.

“Hah...? Ada apa...? Kau... mengganggu... orang tidur...”

Bukan main lega rasa hati Sin Liong. Mau rasanya dia bersorak, dan diapun berseru seperti orang bersorak, akan tetapi tetap sambil mengguncang pundak Bi Cu yang masih memejamkan matanya.

“Bi Cu, lihat...! Mendung tebal...! Lihat dan bangunlah!”

“Hehhh...?” Bi Cu membuka matanya akan tetapi dia sedemikian lemahnya sehingga baru dapat bangkit duduk setelah dirangkul dan ditarik oleh Sin Liong. “Mana...? Ada apa...?”

“Lihat di atas itu...!”

Pada saat itu terdengar suara menggelegar disertai kilat. Bi Cu terkejut, memandang ke atas dan diapun melihat mendung bergumpal-gumpal dan kilat menyambar-nyambar disertai guntur meledak-ledak.

“Ada apa di sana itu?” Bi Cu masih bingung dan merasa ngeri juga karena cuaca menjadi gelap.

“Ada apa? Artinya akan hujan. Air!” Sin Liong berteriak.

“Air? Mana...?”

Pertanyaan Bi Cu ini dijawab dari udara karena tepat pada saat itu turunlah air hujan yang deras sekali.

“Air...!”

Bi Cu berteriak dan melepaskan dirinya dari Sin Liong, bangkit berdiri akan tetapi dia terhuyung dan tentu akan terbanting kalau tidak cepat dipeluk oleh Sin Liong.

“Air! Hujan turun!”

Sin Liong juga bersorak dan mereka berangkulan, menangis, menengadah sambil membuka mulut lebar-lebar, membiarkan air memasuki mulut mereka, mata mereka, hidung mereka sampai mereka tersedak-sedak, mereka tertawa-tawa dengan air mata bercucuran, mengeluarkan teriakan-teriakan girang yang tidak ada artinya.

“Bi Cu...!”

“Sin Liong...!”

Mereka seperti memperoleh tenaga baru setelah tubuh mereka basah kuyup, setelah perut mereka terisi air hujan, mereka berangkulan dan tanpa disengaja, tahu-tahu mereka telah berciuman! Sampai lama mereka berdekapan dan berciuman, ciuman yang sesungguhnya tidak disengaja, terjadi karena kegirangan mereka yang luar biasa, mulut mereka saling bertemu dalam keadaan tertawa gembira, lalu saling kecup, seperti tak dapat dilepaskan lagi.

Baru mereka saling melepaskan ciuman setelah napas mereka terengah-engah, lalu keduanya mundur selangkah, saling pandang dengan mata terbelalak diantara cucuran air hujan dan kilatan guntur di dalam cuaca yang remang-remang, dan keduanya seperti orang terkejut dan memang terkejut karena baru saja sadar betapa mereka saling cium seperti itu, dan tiba-tiba mereka merasa betapa muka mereka menjadi panas karena malu.

“Bi Cu...”

“Sin Liong...”

Mereka saling tubruk dan saling rangkul sambil menangis, entah mengapa mereka menangis mereka sendiri tidak mengerti. Ada rasa girang, ini sudah jelas karena jatuhnya air hujan itu seolah-olah mengembalikan nyawa mereka yang sudah hamper melayang, ada rasa girang yang lain yang mereka tidak mampu gambarkan, ada rasa haru, akan tetapi juga ada rasa sedih karena mereka menyadari bahwa mereka masih berada dalam ancaman maut, terkubur hidup-hidup dalam tempat yang tidak ada jalan keluarnya ini.

Tiba-tiba terdengar suara keras dari atas. Sin Liong menoleh dan cepat dia menarik tubuh Bi Cu, meloncat ke dekat jalan kecil menuju ke pohon besar. Untung dia bertindak cepat karena terlambat beberapa detik saja mereka berdua tentu akan tertimpa batu-batu dan lumpur yang terbawa air dari atas, dan tentu akan diseret masuk ke dalam jurang.

Sin Liong memegangi lengan Bi Cu, diajaknya dara itu merangkak hati-hati meninggalkan daratan sempit itu, kembali ke pohon, berpegang pada batang pohon itu, bersandar di situ sambil mmandang ke tempat mereka selama tiga hari berlindung itu, tempat itu kini menjadi sasaran batu-batu dan lumpur yang menimpanya dengan suara gedebukan, diseret air yang tercurah dari atas dan menyapu segala yang berada di atas tempat itu.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: