***

***

Ads

Senin, 17 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 222

Batu-batu, lumpur dan segala apa disapu dan diseretnya turun ke dalam jurang. Bi Cu bergidik dan mengeluh, lalu dirangkul oleh Sin Liong dan selanjutnya Bi Cu menyembunyikan muka dalam dekapan dada Sin Liong.

Akhirnya hujan berhenti. Akan tetapi air yang masih mengucur menimpa dataran sempit itu, walaupun kini tidak ada lagi batu yang jatuh menimpa. Matahari yang sudah mulai condong ke barat itu nampak lagi sinarnya, dan tepat menimpa dinding batu tebing di atas dataran yang sempit itu.

“Bi Cu, lihat...!”

Sin Liong mengangkat muka Bi Cu dan menuding ke arah dinding batu tebing itu. Bi Cu mengangkat muka dan memandang. Ada perubahan besar pada dinding batu itu. Banyak batu-batu yang tanggal, hanyut oleh air. Batu-batu yang tanggal ini membentuk bekas-bekas lubang dan terdapat celah-celahnya, tidak lagi rata seperti sebelumnya. Bahkan nampak akar-akar tumbuh-tumbuhan menonjol keluar karena tanah yang tadinya menutupinya terbawa oleh air.

“Hujan membuat tebing itu longsor,” bisik Bi Cu.

“Itulah! Dan nampaknya kini tidak sukar untuk mendaki ke atas!” kata Sin Liong.

Setelah air dari atas tebing itu berhenti mengalir, Sin Liong lalu menggandeng tangan Bi Cu, dengan hati-hati mereka kembali ke dataran sempit itu. Tempat itu menjadi bersih, bahkan rumput-rumput dan batu-batu lenyap, semua tinggal dataran batu seperti baru dicuci bersih.

Sin Liong memeriksa dinding tebing. Tidak licin lagi, melainkan kasar karena disapu air semua permukaannya dan memang benar, nampak celah-celah dan tonjolan-tonjolan yang memungkinkan mereka mendaki ke atas. Memang amat tinggi hingga bagian atas sekali tidak nampak jelas, akan tetapi yang sudah pasti terdapat perubahan besar pada dinding tebing itu.

“Biar kita tunggu semalam ini, biar tebing itu kering, baru besok kita mencoba untuk naik. Jangan putus harapan, Bi Cu. Selama nyawa masih ada pada tubuh kita, kita harus perusaha dan tidak boleh putus asa.”

Bi Cu mengangguk-angguk.
“Memang kita harus dapat keluar dari sini...” katanya termenung, “entah kapan lagi ada hujan turun...”

Malam itu mereka kedinginan! Akan tetapi Sin Liong yang sudah sehat benar dan sudah pulih kembali lengan kirinya, mendekap tubuh Bi Cu dan mengerahkan sin-kangnya sehingga ada hawa panas dari tubuhnya menjalar ke tubuh Bi Cu.

Dara itu dapat tidur dalam dekapan Sin Liong dan mereka berdua tidak ingat lagi akan sopan santun, karena mereka melakukan hal itu, tidur berdekapan sama sekali bebas daripada nafsu berahi. Yang ada hanya saling kasihan, saling menaruh kasih sayang dan iba, ingin saling melindungi dan ingin melihat masing-masing dalam keadaan selamat, tidak ada keinginan lain untuk kesenangan pribadi! Yang ada hanya cinta kasih!

Walaupun tidak diucapkan dengan kata-kata, walaupun dalam batin mereka sendiri tidak pernah ada pertanyaan tentang itu, tidak ada dugaan tentang itu, tidak ada sedikitpun bayangan nafsu mengotorinya.






Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali begitu matahari menyinari langit yang bersih, hari dimulai dengan pagi yang cerah dan bersih, seolah-olah hujan kemarin telah mencuci semua yang berada di atas bumi dan langit. Segalanya nampak bersih, baru dan dan bahkan batu-batu tebing yang baru terbongkar itu mengeluarkan bau tanah yang sedap.

“Bi Cu, kita mulai mendaki, mencari jalan keluar, mencari jalan hidup. Oleh karena itu ikatkan ujung tali ini pada pinggangmu. Kita tetap bersatu, terikat oleh tali ini. Satu hidup semua hidup, satu gagal semua gagal...”

“Satu mati semua mati!” sambung Bi Cu yang segera megikatkan ujung tali itu erat-erat pada pinggangnya yang ramping. Sin Liong juga mengikatkan ujung yang lain pada pinggangnya.

“Nah, kita mulai,” katanya kemudian, mendekati bagian celah terendah dari tebing itu.

“Nanti dulu, Sin Liong,” kata Bi Cu dan dara ini lalu menghampirinya dan merangkul kedua pundaknya.

Wajah mereka saling berdekatan dan mereka saling pandang, terlihat betapa wajah masing-masing amat kurus, cekung dan rambut mereka kusut. Wajah-wajah yang tak dapat dibilang tampan atau cantik dalam keadaan seperti itu.

“Ada apakah, Bi Cu?”

“Sin Liong, malam tadi...”

“Ya...?”

“Kita... telah... berciuman...”

Sin Liong merasa betapa wajahnya panas,
“Aku... aku tidak sengaja... maafkan...”

Bi Cu tersenyum.
“Akupun tidak sengaja... dan sekarang, sebelum kita menempuh jalan maut untuk hidup terus atau mati, aku... aku ingin... seperti malam tadi, akan tetapi sekarang kita sengaja...” Dia memandang dengan mata berkedap-kedip malu.

Sin Liong lalu mendekapnya, dan mereka berdua sama-sama mendekatkan muka dan merekapun berciuman. Ciuman yang canggung karena keduanya belum pernah melakukan hal ini selamanya, akan tetapi dorongan hati membuat mereka tahu apa yang harus dilakukan dan dua mulut yang saling mencinta itu berciuman dengan mesra dan lembut. Ciuman yang sama sekali bersih dari nafsu berahi, namun penuh getaran cinta kasih yang mendalam.

Kembali mereka baru melepaskan ciuman karena perlu bernapas. Kini pandang mata mereka mengandung kemesraan aneh dan mereka berdua merasa kuat dan berani menempuh apa saja asalkan berdua.

“Mari kita berangkat!” kata Bi Cu, suaranya mengandung kesegaran dan kegembiraan, seolah-olah mereka itu hendak berangkat pesiar ke tempat indah, bukan sedang hendak melakukan perjalanan yang amat berbahaya dengan taruhan nyawa!

“Mari! Engkau tunggu sampai aku naik setingkat, baru engkau mengikuti setiap jejakku. Mengertikah, Bi Cu.”

“Aku mengerti. Kalau engkau bergerak naik, aku diam menjaga. Sebaliknya kalau aku bergerak naik, engkau diam menjaga. Begitukah?”

“Benar sekali. Bedanya, engkau menjaga di bawah dan aku di atas. Sebaiknya kalau selagi aku naik, engkau melibatkan sisa tali pada akar atau batu untuk membantumu kalau-kalau aku terjatuh, demikian pula akan kulakukan kalau engkau yang naik.”

“Baik, aku mengerti. Marilah!”

Sin Liong mulai mendaki naik, akan tetapi baru menaruh kaki kanannya ke dalam celah di sebelah atas, dia menoleh ke bawah dan berbisik,

“Bi Cu, aku cinta padamu!”

Bi Cu yang berdongak itupun berbisik mesra,
“Sin Liong, akupun cinta padamu!”

Kata-kata yang diucapkan sebagai salam terakhir ini menambah tenaga yang bukan main, baik bagi Sin Liong maupun bagi Bi Cu. Sin Liong naik sampai dua meter di atas Bi Cu, lalu berhenti dan menanti sampai Bi Cu mengikuti jejaknya. Setelah itu, baru dia naik lagi. Bi Cu bergerak setelah Sin Liong berhenti.

Demikianlah, mereka melakukan pendakian yang luar biaisa sukarnya. Kadang-kadang
Bi Cu yang sudah melibatkan sisa tali pada akar atau batu menonjol, harus memejamkan mata melihat betapa Sin Liong melakukan pendakian yang amat sukar, bergantung pada batu dengan kedua kaki tergantung sedemikian rupa. Ketika tiba gilirannya melalui tempat sukar itu, Sin Liong membantunya dengan menarik tali yang mengikat pinggangnya sehingga baginya tidaklah sesukar Sin Liong yang naik lebih dulu.

Beberapa kali Sin Liong memesan agar Bi Cu jangan sekali-kali menengok ke belakang. Hal ini karena dia melihat betapa mengerikan kalau melihat ke belakang atau ke bawah. Dia sendiri terpaksa harus melihat ke bawah karena dia berada di atas Bi Cu. Akan tetapi dia tidak merasa takut melihat bawah, betapapun mengerikan, karena dia sudah bertekad untuk membawa Bi Cu keluar dari tempat ini!

Memang aneh luar biasa! Hujan kemarin itu benar-benar seperti membuka jalan bagi mereka! Biarpun masih sukar, akan tetapi toh bukan tidak mungkin mendaki terus ke atas seperti telah dibuktikan oleh dua orang muda yang keras hati itu.

Beberapa kali mereka seperti menghadapi jalan buntu. Di sebelah atas Sin Liong hanya ada batu rata menonjol yang tidak ada tempat berpegang tangan sama sekali. Untuk mendaki batu bundar ini jelas tidak mungkin. Maka sampai lama Sin Liong berhenti dan berpikir-pikir. Peluhnya sudah membasahi seluruh tubuh. Bi Cu yang berdiri di bawah kakinya, berpegang kepada akar pohon yang tumbuh miring itu, bertanya khawatir,

“Ada apakah, Sin Liong? Mengapa berhenti?” Sebenarnya dia sudah dapat menduga. Tentu Sin Liong menghadapi jalan buntu!

“Naik terus tidak mungkin,” Akhirnya Sin Liong menjawab, “Satu-satunya jalan hanya ke kanan itu dan kita harus melanjutkan pendakian dari situ!”

Dia menunjuk ke kanan dimana terdapat sebuah batu besar menonjol. Memang agaknya air kemarin mengambil jalan dari situ, karena ada bekasnya dan jalan mendaki dari atas batu menonjol itu tidak begitu sukar. Akan tetapi untuk mencapai batu menonjol itulah yang sukar, apalagi batu itu menjulur ke depan sehingga setengah tergantung di udara!

Jarak antara Sin Liong dan batu menonjol di kanan itu ada tiga meter dan yang memisahkan mereka adalah celah seperti gua yang tidak mungkin dapat dilalui. Meloncat? Mungkin saja dapat dilakukan dengan mudah oleh Sin Liong ditempat biasa, bukan di tempat seperti ini!

“Sin Liong, jangan meloncat ke situ!” Bi Cu berseru ketika dia membayangkan kemungkinan yang mengerikan ini.

Sin Liong menggeleng kepala.
“Tidak, terlalu berbahaya untuk meloncat. Bi Cu, kau lepaskan ikat pinggang itu, maksudku, tali yang mengikat pinggangmu.”

“Tidak, aku tidak mau berpisah darimu lagi!” jawab Bi Cu cepat-cepat.

“Jangan salah mengerti, Bi Cu. Aku hanya ingin menggunakan tali itu untuk mencapai batu di sebelah kanan itu, setelah aku tiba di situ, baru aku dapat menarikmu ke sana. Hanya itulah jalan satu-satunya agar kita dapat melanjutkan pendakian kita ke atas.”

Bi Cu mengerutkan alisnya dan mulutnya cemberut, tanda bahwa hatinya tidak senang, akan tetapi dia tidak membantah lagi dan melepaskan ikatan ujung tali itu dari pinggangnya. Sin Liong lalu menarik tali itu ke atas, kemudian menggulung ujung yang tadi mengikat pinggang Bi Cu menjadi laso dan dia mengayunkan ujung tali itu ke arah batu yang menonjol. Ayunannya tepat sekali, ujung tali itu dengan tepat menjerat batu dan ketika ditariknya, jeratnya mengencang dan ujung batu menonjol itu terikat sudah. Kemudian ia mencoba kekuatan tali itu dengan tarikan keras dan kuat, tidak kurang dari tiga ratus kati kuatnya dan ternyata tali maupun batu dapat bertahan.

Sin Liong memandang ke bawah dan Bi Cu juga sejak tadi mengikuti gerak-geriknya. Gadis itu tahu apa yang dilakukan Sin Liong, maka tak dapat ditahannya lagi, biarpun hatinya sedang tidak senang, dia berseru,

“Sin Liong, hati-hatilah...!”

Sin Liong tersenyum.
“Jangan khawatir, batu dan tali ini kuat sekali. Kau lihat bagaimana caranya agar nanti engkau mudah mengikuti jejakku.”

Setelah berkata demikian, dengan hati-hati dan perlahan-lahan dia mengayun dirinya ke kanan, perlahan saja agar tidak memberatkan tali itu. Tubuhnya terayun dan tergantung kepada tali yang bukan hanya mengikat pinggangnya, akan tetapi juga dipegangnya dengan kedua tangan itu. Dari bawah batu menonjol itu, mudah saja bagi Sin Liong untuk memanjat naik melalui tali dan menangkap tonjolan batu, terus mengangkat tubuhnya naik ke atas batu. Dia berhasil! Dan dengan mudah!

Cepat Sin Liong melepaskan tali yang mengikat pinggangnya, juga ujung lain yang mengikat batu, lalu ujung ini diikatkan kepada lengan kanannya. Dengan demikian dia merasa lebih yakin. Kemudian dilemparkan ujung tali itu kepada Bi Cu sambil berkata,

“Tangkaplah!”

Bi Cu menangkap ujung tali dan mengikatnya ke pinggangnya. Melihat dara itu nampak ragu dan takut-takut, Sin Liong berkata,

“Bi Cu, jangan takut. Mudah saja, dan kau lihatlah, ujung ini sudah mengikat lenganku, berarti kalau engkau jatuh ke bawah, aku akan ikut jatuh pula. Kita sudah bersama-sama lagi bukan?”

Ucapan itu menolong banyak, karena, kini Bi Cu mendaki naik ke tempat Sin Liong berayun tadi, kemudian dengan perlahan dia lalu mengayun diri ke kanan, memejamkan matanya karena dia sesungguhnya merasa ngeri bukan main. Dengan memegangi tali di atasnya dengan kedua tangan, Bi Cu merasa betapa tubuhnya terayun-ayun di udara!

“Nah, memanjatlah naik, perlahan-lahan saja, Bi Cu,” terdengar suara Sin Liong di atasnya dan tanpa membuka mata, Bi Cu memanjat hati-hati melalui tali itu dan akhirnya dia ditarik naik oleh Sin Liong yang sudah dapat menangkap pergelangan tangannya. Setelah tiba di atas batu itu, Bi Cu merangkul Sin Liong dengan tubuh menggigil!

Sin Liong membiarkan Bi Cu dalam dekapannya sampai beberapa lamanya, sampai Bi
Cu menjadi tenang kembali, tiada hentinya berbisik membesarkan hati,

“Kita berhasil! Engkau berhasil dengan baik sekali. Dan kita pasti akan sampai di atas!”

Setelah Bi Cu tenang kembali, mereka melanjutkan perjalanan mereka, mendaki seperti tadi, dengan kedua ujung tali mengikat pinggang masing-masing. Pendakian yang sama sekali tidak mudah dan setelah siang, akhirnya, dengan kedua telapak tangan lecet-lecet berdarah, napas terengah-engah, keduanya dapat tiba di atas, di daratan yang aman, di “dunia” yang lama.

Keduanya menggulingkan diri di atas tanah di tepi jurang, terengah-engah dengan mulut terbuka tertawa, akan tetapi dengan mata basah air mata.

“Kita selamat!” Sin Liong berkata.

“Terima kasih kepada hujan!”

Bi Cu berseru lalu dara itu berlutut dan menyembah-nyembah, ditujukan ke atas, ke udara karena dari sanalah datangnya hujan kemarin!

“Kepada hujan? Kepada Thian (Tuhan) maksudmu...?”

“Tidak, kepada hujan!” Bi Cu membantah. “Bukankah hujan yang menyelamatkan kita? Kalau tidak ada hujan kemarin, kita sudah mati kehausan, dan kalau tidak ada huian yang membuka jalan mana mungkin kita naik ke sini?”

“Tapi Tuhan yang membuat hujan! Tuhan yang mengatur itu semua sehingga kita tertolong.”

“Aku tidak tahu, akan tetapi yang jelas, air hujan itu menolong kita. Aku tidak tahu siapa yang mengaturnya, akan tetapi aku tahu benar, air hujan itu memungkinkan kita masih dapat hidup sekarang ini, maka aku berterima kasih kepada hujan kemarin!”

Sin Liong tidak mau membantah. Apa artinya berbantah tentang hal siapa yang mengatur air hujan? Ada dongeng yang mengatakan bahwa hujan diatur oleh Dewa Naga Pengatur Hujan, ada dongeng lain yang mengatakan bahwa dewa ini, malaikat itu, yang mengatur hujan, dan Tuhan hanya memerintahkan para dewa atau para malaikat untuk menunaikan segala macam tugas di alam ini.

Jadi siapa yang berjasa menyelamatkan mereka? Tidak ada artinya untuk bercekcok tentang teori itu karena bagaimanapun juga, tidak ada seorangpun manusia yang mengetahui dengan sesungguhnya tentang siapa yang mengatur hujan itu. Yang jelas seperti Bi Cu, air hujan kemarin itulah yang menyelamatkan mereka. Dan hal itu tidak dapat dibantah lagi, karena merupakan kenyataan sesungguhnya.

Apa yang terjadi di balik kenyataan itu adalah rahasia, dan memperbantahkan sesuatu yang rahasia, yang tidak diketahui, hanya merupakan perbuatan bodoh dan menimbulkan pertentangan saja. Dan dia jelas tidak ingin bertentangan dengan Bi Cu.

Akan tetapi, tiba-tiba Bi Cu mengeluh dan terguling roboh! Sin Liong terkejut sekali, menubruk dan merangkulnya. Ternyata tubuh dara itu panas sekali, akan tetapi ketika Sin Liong merangkulnya, dia menggigil seperti orang kedinginan. Tahulah Sin Liong bahwa Bi Cu tersereg demam! Inilah akibat perut kosong, tekanan batin yang amat hebat penuh ketegangan dan ketakutan, kemudian kehujanan dan kedinginan semalam dilanjutkan dengan keletihan dan ketegangan yang amat luar biasa ketika mereka mendaki selama setengah hari tadi.

“Bi Cu...! Bi Cu...!”

Sin Liong memanggil ketika melihat dara itu pingsan, memondongnya dan membawanya ke dalam hutan tak jauh dari tepi jurang itu. Dia harus mencari air, harus mencari makanan, harus mencari obat untuk Bi Cu. Sin Liong tidak merasakan betapa tubuhnya sendiri amat lelah dan lapar, yang diperhatikan hanyalah keadaan Bi Cu seorang.

**** 222 ****
Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: