***

***

Ads

Senin, 17 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 223

Kita tinggalkan dulu dengan dada lapang Sin Liong dan Bi Cu yang sudah berhasil lolos dari bahaya maut itu dan mari kita mengikuti kembali keadaan Pangeran Ceng Han Houw di istananya di kota raja.

Biarpun pangeran ini melihat kegiatan-kegiatan dilakukan oleh istana, bahkan dia mendengar pula bahwa istana mengumumkan pengampunan dan kebebasan kepada keluarga Cin-ling-pai, namun tidak ada tindakan atau perintah sesuatu dari istana, yang ditujukan kepada dirinya.

Oleh karena itu dia merasa agak lega, sungguhpun semenjak peristiwa kehilangan surat Raja Sabutai itu dia tidak lagi berani mengadakan hubungan dengan utara maupun dengan sekutu-sekutunya yang lain. Dia harus bersikap hati-hati. Ada dua kemungkinan, pikirnya. Pertama, kaisar belum pernah menerima surat rahasia itu. Atau, sudah menerima akan tetapi tidak percaya sepenuhnya atau juga tidak mau menimbulkan keributan antara keluarga istana sendiri, maka kaisar memerintahkan tindakan-tindakan yang berhati-hati. Dan dia tahu siapa yang ditunjuk oleh kaisar untuk menanggulanginya. Tentu Pangeran Hung Chih!

Malam itu sunyi sekali di istana Pangeran Ceng Han Houw. Pangeran yang cerdik ini sudah lama menyuruh orang Mongol pergi dari istananya, bahkan diapun sudah menyuruh Hai-liong-ong Phang Tek kembali ke selatan. Dia tidak ingin menimbulkan kecurigaan istana dan hidup tenang di istananya seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

Akan tetapi para pengawalnya, yang merupakan orang-orang kepercayaannya, telah dipesan agar berjaga dengan hati-hati sekali jangan sampai kebobolan seperti ketika Sun Eng lenyap dilarikan orang malam itu. Dia mengganti para pengawalnya dengan orang-orang pilihan yang mempunyai kepandaian cukup boleh diandalkan.

Dan pada malam yang sunyi itu para pengawal dikejutkan oleh munculnya seorang wanita muda yang cantik jelita dan gagah, yang muncul secara terang-terangan di pintu gerbang dan minta kepada para pengawal agar disampaikan kepada Pangeran Ceng Han Houw bahwa dia hendak bertemu dengan sang pangeran pada waktu itu juga.

Ketika menyatakan ini, wanita cantik itu mengeluarkan sebuah cincin yang dikenal oleh para pengawal sebagai cincin sang pangeran, cincin tanda bahwa wanita ini adalah kepercayaan sang pangeran!

Tentu saja para pengawal bersikap hormat, lalu mempersilakan wanita itu menanti di dalam ruangan tamu sedangkan kepala pengawal tergopoh-gopoh melaporkan ke dalam istana.

Ketika Ceng Han Houw menerima laporan ini, ada dua macam perasaan mengaduk hatinya. Pertama tentu saja perasaan girang karena dia sudah dapat menduga siapa adanya wanita itu. Hanya ada satu wanita di dunia ini yang pernah diberinya cincin kekuasaan dan wanita itu adalah Lie Ciauw Si!

Dan kedua dia merasa curiga dan juga tegang. Dara perkasa itu adalah cucu dari mendiang ketua Cin-ling-pai dan biarpun saling mencinta dengan dia, akan tetapi kalau dara itu maklum bahwa dia dimusuhi pula oleh keluarga Cin-ling-pai, apakah dara itu akan tetap mencintanya dan apakah tidak akan memusuhinya pula?






Diam-diam dia lalu mengatur sikap dan secara kilat dia mencari siasat bagaimana untuk menghadapi dara cantik yang telah menarik hatinya dan yang membuatnya benar-benar jatuh cinta itu.

Setelah merapikan pakaiannya, Pangeran Ceng Han Houw lalu keluar menuju ke ruangan tamu untuk menyambut. Ketika dia membuka pintu, tamunya itu bangkit berdiri. Kini mereka berdiri berhadapan dan saling berpandangan. Tak salah dugaannya, dara itu memang Lie Ciauw Si. Nampak makin cantik dan makin gagah saja.

Sebaliknya, Ciauw Si juga memandang kepada pangeran itu. Alangkah tampannya pangeran itu, dalam pakaian yang gemerlapan dan indah!

“Nona Lie Ciauw Si...! Moi-moi, ternyata engkau datang mengunjungiku...!”

Akhirnya Han Houw berseru girang dan menghampiri, lalu memegang kedua tangan dara itu. Ciauw Si membiarkan tangannya dipegang karena dia sendiri juga merasa rindu kepada pria yang menjatuhkan hatinya ini dan merasa girang dengan pertemuan ini.

“Pangeran, engkau baik-baik selama ini, bukan?”

“Tentu saja! Ah, Si-moi, betapa rinduku kepadamu...!”

Dan pangeran itu merangkul, terus menciumnya. Akan tetapi hanya sebentar saja Ciauw Si membiarkan dirinya dicium, lalu dia mendorong dada pangeran itu perlahan.

“Cukup pangeran...” katanya sambil melangkah mundur.

“Tapi, Si-moi...”

“Pangeran, akupun rindu kepadamu. Akan tetapi ingat, kita masih belum menjadi suami isteri, oleh karena itu kita harus dapat membatasi diri...”

Pangeran itu maklum bahwa terhadap seorang dara seperti Ciauw Si, dia tidak boleh bertindak ceroboh. Pula, dia memang sungguh mencinta dara ini dan tidak ingin memperlakukan seperti wanita lain yang disenanginya hanya karena dorongan nafsu berahi semata. Terhadap Ciauw Si dia mempunyai perasaan lain. Bukan semata-mata nafsu berahi, melailnkan dia memang kagum dan suka sekali kepada wanita ini, dan kalau sekali waktu dia ingin mempunyai isteri, bukan selir, agaknya inilah pilihannya.

“Si-moi, mari masuk. Ahh, engkau malam-malam begini datang? Tentu belum makan malam.”

Pangeran itu lalu memanggil pelayan dan memerintahkan agar cepat disediakan hidangan malam. Kemudian dengan sikap mesra dan ramah dia mempersilakan Ciauw Si untuk masuk ke bagian dalam istananya.

“Saya tidak akan lama, pangeran, hanya akan membicarakan sesuatu yang penting, yaitu hendak mohon bantuanmu...”

“Aih, Si-moi! Kita baru saja berjumpa setelah berbulan-bulan kita saling berpisah. Masa engkau begitu datang lalu hendak pergi lagi? Itu namanya menyiksa perasaanku! Tidak, engkau harus menjadi tamu agungku, setidaknya untuk semalam dua malam, kita bicara nanti sambil makan malam. Nah, mari kuantar engkau ke kamar tamu, setelah mengaso dan mungkin hendak mandi dulu, kita makan dan bicara. Sungguh engkau tidak boleh menolak permintaanku ini, Si-moi.”

Ciauw Si memang tidak dapat menolak, juga tidak ingin menolak. Pangeran itu demikian ramah dan diapun sesungguhnya rindu kepada pria yang dikasihinya ini. Pula, apa salahnya tidur di istana yang mewah itu asal saja dia mendapatkan kamar sendiri? Tidur di rumah penginapanpun sama saja, tidur bersanding kamar dengan orang lain, malah orang-orang yang sama sekali tidak dikenalnya malah.

Bagi seorang gadis kang-ouw, tidur di manapun tidak ada halangannya. Apalagi tidur di dalam sebuah kamar tersendiri dalam istana pangeran ini! Dia mengagumi keindahan istana itu yang dengan perabot-perabot indah dan mewah, lukisan-lukisan yang amat indah.

“Silakan, inilah kamarmu, Si-moi. Engkau perlu pelayan?”

“Tidak, tidak... aku tidak biasa dilayani, pangeran. Cukup asal disediakan air hangat saja... dan...”

Seorang pelayan wanita yang muda dan cantik menghampiri,
“Perintahkan segalanya kepada saya, nona, dan saya akan mempersiapkan segala keperluan nona.”

Pangeran Ceng Han Houw tersenyum.
“Nah, dia itulah pelayanmu. Sampai nanti, Si-moi.”

Pangeran itu lalu membungkuk dan mengundurkan diri. Diam-diam Ciauw Si girang sekali. Kekasihnya itu selain tampan dan memiliki kepandaian tinggi, juga amat sopan dan lemah lembut, pikirnya penuh kebanggaan.

Ciauw Si mandi air hangat dan berganti pakaian yang dibawanya dalam buntalan. Tak lama kemudian, Pangeran Ceng Han Houw sendiri menjemputnya untuk diajak makan malam di kamar makan. Pangeran itu juga sudah berganti pakaian serba baru yang indah, sehingga diam-diam Ciauw Si merasa malu juga dengan pakaiannya sendiri yang biasa saja, pakaian seorang wanita perantau yang ringkas. Akan tetapi pangeran itu memandangnya penuh kagum.

“Engkau nampak makin cantik dan gagah saja dalam pakaian itu, Si-moi!”

Memang dia seorang pria yang pandai merayu, maka tentu saja diam-diam Ciauw Si merasa girang sekali. Wanita mana yang tidak akan merasa girang kalau dipuji? Apalagi yang memuji adalah pria yang dicintanya. Pedang Pek-kong-kiam yang memang tidak pernah berpisah dari tubuhnya, terselip di punggungnya.

Ketika mereka tiba di ruangan makan yang indah dan segar karena di mana-mana terdapat pot-pot bunga, disitu telah menanti enam orang wanita muda yang berpakaian mewah dan cantik-cantik sekali dengan sikap yang agak genit menyambut pangeran dan Ciauw. Si.

Hidangan telah diatur di atas meja, masih mengepulkan uap karena masih panas. Para wanita itu menyambut dengan ramah dan mempersilakan pangeran dan Ciauw Si duduk.

Sementara itu, di luar ruangan itu terdengar suara musik dan nyanyian yang dilakukan oleh beberapa orang wanita muda yang cantik pula. Seluruh ruangan itu penuh dengan bau semerbak harum yang keluar dari pakaian para wanita itu.

Ciauw Si tidak segera duduk, memandang ke sekelilingnya dengan alis berkerut, kemudian dia bertanya kepada Han Houw,

“Pangeran, siapakah mereka ini? Pelayan-pelayan?” tanyanya meragu karena tidak mungkin pelayan berpakaian begini indah, apalagi sikap mereka terhadap sang pangeran bukan seperti pelayan yang menghormat, melainkan sikap yang merayu!

Pangeran Ceng Han Houw tersenyum bangga.
“Mereka ini? Ah, mereka ini adalah selir-selirku, Si-moi. Dia itu adalah Hong Kiauw, yang itu Bwee Sian, dan itu...”

“Pangeran, suruh mereka pergi!”

Tiba-tiba Ciauw Si berkata dengan suara dingin dan sepasang matanya memandang marah. Para selirnya itu terkejut dan cemberut, juga Han Houw terkejut dan bingung.

“Eh... ini...” Dia tergagap.

“Cukup, suruh mereka pergi atau aku yang akan pergi dari sini!”
Melihat sikap yang tegas dan keras ini, Ceng Han Houw lalu melambaikan tangan menyuruh para selir itu meninggalkan ruangan makan. Para selir itu cemberut dan mengerling marah, akan tetapi tentu saja mereka tidak berani membantah.

“Yang main musik dan bernyanyi itu juga! Dan aku tidak mau dilayani, aku ingin bicara denganmu, pangeran!” kata Ciauw Si tegas.

“Baiklah... baiklah...!”

Pangeran Ceng Han Houw lalu memberi isyarat kepada para pemain musik, para pelayan dan pengawal untuk meninggalkan ruangan itu. Sebentar saja mereka sudah pergi semua dan mereka kini hanya berdua saja, Ciauw Si masih berdiri, belum mau duduk.

“Nah, mereka telah pergi, silakan duduk dan mari kita makan dulu sebelum bicara, Si-moi.”

Ciauw Si duduk, akan tetapi belum mau menyentuh makanan. Wajahnya muram dan pandang matanya masih marah. Tiba-tiba dia menatap wajah pangeran itu dengan tajam dan pertanyaannya mengejutkan pangeran itu,

“Pangeran, aku minta ketegasan. Apakah engkau cinta sungguh-sungguh kepadaku?”

Pangeran Ceng Han Houw mengerti bahwa wanita ini bersungguh-sungguh, bahkan cara bicaranya juga kasar terhadapnya, tanda bahwa perasaan wanita itu terganggu sekali. Dia tidak boleh main-main dan harus bersikap tegas pula.

“Tentu saja, Si-moi. Aku cinta padamu dengan sepenuh hatiku.”

“Pangeran, aku tidak menyalahkan engkau yang mempunyai banyak selir. Aku tahu bahwa memang itu sudah menjadi kebiasaan para bangsawan yang memelihara banyak selir, baik sebelum maupun sesudah menikah. Akan tetapi aku adalah seorang
wanita yang membela kebenaran dan keadilan, oleh karena itu, terus terang saja, aku tidak mau menjadi kekasih seorang pria yang mempunyai banyak selir! Aku hanya mau satu sama satu atau... tidak sama sekali! Nah, sebelum hubungan kita makin akrab, aku harap engkau suka memilih, pangeran. Pilihlah, aku ataukah selir-selirmu!”

“Tapi... tapi... apa artinya ini...?”

Pangeran berkata tergagap karena kata-kata yang dikeluarkan Ciauw Si itu sungguh-sungguh tak pernah diduganya.

“Artinya sudah jelas, pangeran. Kalau engkau mencintaku, itu berarti bahwa aku akan menjadi isterimu, dan kalau aku menjadi isterimu, aku tidak ingin melihat engkau mempunyai selir seorangpun. Inilah syaratku, tinggal terserah kepadamu sekarang, pangeran.”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: