***

***

Ads

Senin, 17 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 225

Pangeran Ceng Han Houw tidak berani memaksa. Dia mendekap kepala yang menangis di atas dadanya itu, mengelus rambut yang halus itu dan berbisik,

“Moi-moi, engkau tahu betapa besar cintaku kepadamu. Aku menghormati pendirianmu. Akan tetapi karena aku tidak ingin menderita sengsara dalam kerinduan, maka kuharap
engkau akan setuju kalau kita lebih dulu melakukan upacara pernikahan sekarang juga...”

Ciauw Si mengangkat muka dan memandang heran melalui matanya yang basah.
“Apa...? Bagaimana...?”

“Dengar, sayang. Kita dapat menikah sekarang juga di dalam kuil. Kalau kita sudah bersumpah di depan Tuhan, disaksikan Langit dan Bumi, upacaranya dilakukan oleh hwesio dalam kuil, bukankah pernikahan itu sudah sah pula namanya? Hanya belum dirayakan dan disaksikan keluarga dan manusia lain? Akan tetapi setelah disaksikan Tuhan, bukankah itu sudah lebih dari sah?”

Ciauw Si yang sudah bimbang itu dan sudah siap melakukan apa saja dengan kekasihnya, dan hanya melihat pernikahan sebagai hal satu-satunya yang menjadi penghalang, kini melihat jalan keluar ini, menjadi girang sekali.

“Tapi... tapi... dapatkah hal itu dilakukan, pangeran?”

“Tentu saja. Ketua Kuil Hok-te Seng-kun di kota raja adalah seorang sahabatku, dan kita malam ini juga dapat melakukan upacara pernikahan dan sembahyang itu di dalam kuilnya. Dengan demikian kita akan sah menjadi suami isteri.”

“Ohhh...”

“Dan engkau akan menjadi isteriku, calon permaisuriku...”

Pangeran itu mencium dan Ciauw Si lalu pasrah. Pergilah mereka keluar dari taman dan tak lama kemudian, mereka sudah mengendarai sebuah kereta pergi ke Kuil Hok-te Seng-kun di sebelah barat dalam kota raja itu.

Para hwesio itu tentu saja sibuk menyambut kedatangan pangeran dengan hormat sekali. Liang Sim Hwesio, ketua kuil itu menerima dua orang tamu agungnya di dalam kamar tamu dan ketika sang pangeran menjelaskan maksud kedatangannya dengan gadis cantik itu, sejenak sang hwesio tertegun. Sungguh permintaan yang aneh sekali dari pangeran itu untuk menikah saat itu juga, tanpa perayaan tanpa saksi, hanya cukup dengan sembahyang saja.

“Dapatkan losuhu melakukan hal itu untuk menolong kami yang hendak menikah secara resmi di kuil ini?” tanya sang pangeran, suara dan matanya menuntut dan mendesak.






“Tentu, tentu saja pinceng dapat melakukan itu, pangeran. Dengan senang hati dan pinceng merasa mendapatkan kehormatan yang besar sekali!” serunya sambil tersenyum lebar dan wajahnya berseri.

Siapakah tidak akan merasa girang kalau diberi kehormatan untuk melakukan upacara pernikahan seorang pangeran yang terhormat dan mulia?

Tiba-tiba Ciauw Si yang sejak tadi hanya mendengarkan saja dengan kedua pipi kemerahan dan jantung berdebar, merasa malu-malu dan tegang, kini bertanya, suaranya lirih dan agak gemetar, seolah-olah lenyaplah sifat-sifat gagahnya ketika menghadapi peristiwa yang amat mendebarkan dan menegangkan bagi seorang gadis ini,

“Losuhu... apakah... pernikahan seperti ini sudah sah...?”

Hwesio tua itu seperti terkejut mendengar pertanyaan ini, sepasang matanya memandang wajah Ciauw Si dan kemudian wajah sang pangeran. Begitu bertemu dengan sinar mata sang pangeran, diapun cepat merangkap kedua tangannya depan dada.

“Omitohud...! Tidak ada yang lebih sah daripada peneguhan dan pemberkatan di dalam kuil, disaksikan oleh para dewa dan malaikat, dengan sumpah di meja sembahyang kepada Thian sendiri, siocia!”

Lapanglah rasa hati Ciauw Si mendengar keterangan yang diucapkan dengan suara mantap itu. Dia merangkap kedua tangannya dan berkata,

“Terima kasih, losuhu.”

Mereka tidak usah menanti lama-lama. Segera meja sembahyang untuk keperluan itu dipersiapkan dan tak lama kemudian dua orang muda itu telah berlutut di depan meja sembahyang dengan penuh khidmat. Ketika mereka bersembahyang itu, Ciauw Si teringat akan keluarganya dan tak dapat ditahannya lagi menangislah “pengantin wanita” ini!

Betapapun juga, ia merasa sedih sekali karena menikah tanpa dikelilingi sanak keluarganya, bahkan tidak memakai pakaian pengantin dan tidak disaksikan oleh seorangpun kerabat. Dia memang sudah mengambil keputusan nekat. Biarpun bangkitnya gairah nafsu karena dirayu dan dibelai oleh kekasihnya itu merupakan pendorong utama, akan tetapi di samping itu juga ada kenyataan-kenyataan lain yang mendorong Ciauw Si menyerah kepada kekasihnya dengan sekedar upacara pernikahan yang sunyi di kuil itu.

Dia teringat akan peristiwa yang menimpa diri kakaknya, Lie Seng. Kakaknya itu saling mencinta dengan Sun Eng, akan tetapi ibu kandungnya dan keluarga Cin-ling-pai menentang sehingga terjadi peristiwa yang amat menyedihkan. Sejak semula dia membela kakaknya dan diam-diam dia tidak setuju dengan sikap orang-orang tua itu yang mau mencampuri urusan cinta kasih antara dua orang muda! Oleh karena kenyataan inilah maka Ciauw Si menganggap bahwa kehadiran keluarganya dalam pernikahannya sekarang inipun hanya merupakan soal ke dua belaka, yang penting adalah dia dan pangeran!

Dan dia tidak menyerahkan diri begitu saja, mereka berdua tidak akan berjina, melainkan bersatu melalui pernikahan yang sah, di depan hwesio, di dalam kuil, di depan para dewa, di depan Thian! Maka, halangan bahwa dia belum memberitahukan ibunya dan para keluarganya merupakan halangan yang tipis sekali, ditipiskan oleh peristiwa kakak kandungnya itu!

Apalagi karena diapun merasa sangsi apakah keluarganya akan menyetujui perjodohan antara dia dan Pangeran Ceng Han Houw yang dikenal oleh keluarganya sebagai murid Hek-hiat Mo-li, dan dianggap musuh itu! Biarlah, pikirnya yang mendorong kenekatannya. Andaikata keluarganya tidak setuju, seperti juga tidak menyetujui perjodohan kakak kandungnya, dia toh sudah menikah dengan sah di dalam kuil itu!

Karena semua halangan dan hambatan batin ini lenyap oleh pikiran-pikiran itu, maka setelah mereka selesai melakukan upacara sembahyang sebagai sepasang suami isteri, Clauw Si dan Pangeran Ceng Han Houw secepatnya kembali ke istana. Setibanya mereka di istana, kini tanpa ragu-ragu lagi Ciauw Si dengan rela membiarkan dirinya dipondong oleh suaminya ke dalam kamar dan dia menyerahkan dirinya dengan penuh kemesraan, penuh kasih sayang, dan penuh kerelaan yang pasrah.

Sepasang pengantin ini dibuai gelombang asmara yang menenggelamkan mereka dan membuat mereka lupa akan segala. Dan niat untuk bermalam satu malam saja itu menjadi berlarut-larut dan sampai tiga hari tiga malam mereka tidak pernah meninggalkan kamar!

Barulah pada hari ke empat, mengingat akan pentingnya tugas menyelamatkan keluarganya, dengan hati berat Ciauw Si berpamit dan berpisah dari suaminya. Perpisahan yang berat dan mesra. Seolah-olah pangeran itu tidak mau melepaskan isterinya dari dekapannya dan Ciauw Si pun segan meninggalkan dada suaminya.

Akan tetapi akhirnya Ciauw Si berangkat juga, dengan pakaian serba indah, dengan seekor kuda pilihan dan bekal yang cukup dari suaminya. Dia tidak mau dikawal dan pada pagi hari itu, diantar oleh pandangan mata mencinta dari Pangeran Ceng Han Houw, Ciauw Si membalapkan kudanya meninggalkan istana dan keluar dari kota raja.
Sedikitpun Ciauw Si tidak pernah mengira bahwa baru beberapa hari yang lalu, di istana pangeran itu, dimana dia menikmati “bulan madu” selama tiga hari tiga malam itu, terjadi peristiwa yang amat mengerikan atas diri Sun Eng!

Dia tidak tahu bahwa kakak kandungnya bersama paman dan bibinya, Cia Bun Houw dan Yap In Hong, telah mendatangi istana pangeran itu dan melarikan Sun Eng dari belakang istana.

Dan setelah Ciauw Si pergi, Pangeran Ceng Han Houw berdiri termenung, hatinya bimbang. Dia merasa girang bahwa dia telah berhasil menjalankan siasatnya, menarik hati Ciauw Si dan memperalat gadis itu untuk menarik keluarga Cin-ling-pai untuk menjadi pembantu-pembantu atau sekutunya.

Akan tetapi, disamping kegirangan ini juga dia merasa betapa sekali ini dia betul-betul jatuh cinta! Bahwa sekali ini baru dia bertekuk lutut kepada seorang wanita dan bahwa dia sungguh-sungguh mencinta Lie Ciaw Si dan menganggapnya sebagai isteri, bukan sekedar sebagai selir atau alat penghibur belaka. Maka timbullah kekhawatiran di dalam lubuk hatinya. Dia maklum bahwa dia telah bermain dengan api yang amat berbahaya! Dia telah menciptakan perang dalam hatinya sendiri. Di satu fihak dia sungguh-sungguh mencinta gadis itu, di lain fihak dia hendak memperalat gadis itu demi keuntungan diri sendiri.

**** 225 ****

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: