***

***

Ads

Senin, 17 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 226

“Bi Cu...! Bi Cu, apamu yang sakit...?”

Berkali-kali Sin Liong bertanya ketika dara itu siuman dan mengeluh lirih. Dia meraba dahi yang panas sekali itu dan Bi Cu berbisik-bisik, mengigau tidak karuan, gelisah dan kaki tangannya bergerak-gerak seperti orang hendak meronta.

“Bi Cu... tenanglah, Bi Cu, tenanglah...!”

Sin Liong membasahi kepala dara itu dengan air. Bukan main gelisahnya hati Sin Liong melihat keadaan Bi Cu yang mengigau dan tubuhnya panas sekali itu. Bi Cu diserang demam yang naik turun sampai sehari semalam lamanya. Sin Liong merasa amat khawatir.

Hutan itu kecil akan tetapi liar, tidak ada gua atau tempat berlindung yang baik untuk Bi Cu. Terpaksa dia merawat dara itu di bawah pohon-pohon, di dekat sebuah anak sungai yang airnya jernih. Dengan sambitan batu, Sin Liong membunuh beberapa ekor ayam hutan dan kelinci dan dia memanggang dagingnya, diberikan kepada Bi Cu. Akan
tetapi selama sehari semalam itu, jangankan makan, diajak bicarapun Bi Cu tidak dapat menjawab, keadaannya setengah sadar.

Dia sendiripun sama sekali tidak dapat makan, bahkan tidak pernah tidur sekejap matapun, terus-menerus menjaga Bi Cu, kalau malam membuat api unggun dan selalu membasahi kepala yang panas itu dengan air.

Pada keesokan harinya, barulah Bi Cu sadar dan tidak begitu gelisah lagi, sungguhpun tubuhnya masih panas sekali.

“Sin Liong...!” rintihnya.

Sin Liong girang bukan main. Diusapnya pipi yang basah air mata itu, disingkapnya rambut yang terurai lepas dan dia menatap wajah yang pucat itu.

“Bi Cu, engkau terserang demam. Jangan khawatir, aku menjagamu, engkau akan sembuh kembali.”

Bi Cu agak terengah, bibirnya yang pucat mengering itu berkata lemah,
“Aku... aku haus...”

Sin Liong cepat mengambil air yang sudah disediakannya dan memberi minum dara itu dengan air yang ditempatkan pada sehelai daun lebar yang dibentuk seperti cawan. Setelah minum air beberapa teguk, Bi Cu kelihatan lega dan tenang, lalu rebah kembali setelah tadi dibantu oleh Sin Liong bangkit duduk.

“Berapa lama aku sakit...?” bisiknya.

“Engkau dalam keadaan tidak sadar dan demam panas sehari semalam. Tapi engkau akan sembuh. Biar kubuatkan makanan untuk mengisi perutmu. Akan tetapi karena kita berada di hutan dan tidak ada dusun di dekat sini, terpaksa engkau hanya akan makan panggang daging kelinci, Bi Cu.”






Bi Cu mengangguk. Pikirannya sudah terang sekarang dan diam-diam dia merasa terharu melihat Sin Liong menjaga dan merawatnya seperti itu. Jelas Nampak betapa pemuda itu lelah sekali.

Biarpun Bi Cu sudah sadar kini, namun tubuhnya masih lemah dan panasnya masih kadang-kadang datang menyerang membuatnya gelisah sehingga selama beberapa hari dia masih belum dapat bangun karena kalau dia bangkit, kepalanya terasa pening
sekali dan pandang matanya berkunang. Oleh karena itu, selama empat hari empat malam lagi dia terus rebah dijaga Sin Liong siang malam tanpa pernah beristirahat!

Jadi sampai lima hari lima malam Sin Liong tidak pernah tidur dan makan sedikit, sama sedikitnya dengan Bi Cu karena dia hanya dapat makan kalau Bi Cu juga makan. Hatinya diliputi kekhawatiran melihat Bi Cu sakit agak payah di tempat sunyi itu.

Dan pada malam hari ke lima itu, lewat tengah malam menjelang pagi, kembali turun hujan lebat di hutan itu! Sibuk sekali Sin Liong berusaha melindungi badan Bi Cu dari siraman hujan.

Dengan hati penuh kekhawatiran Sin Liong melihat betapa dara itu kedinginan. Bi Cu bangkit duduk ketika hujan turun, kemudian dia membiarkan dirinya dipeluk oleh Sin Liong. Kilat menyambar-nyambar dan hujan turun seperti dituangkan dari atas. Derasnya bukan main sehingga sebentar saja pakaian mereka sudah basah kuyup!

Tidak ada tempat berlindung kecuali bawah pohon-pohon itu! Api unggun yang dibuat Sin Liong sudah sejak tadi padam dan tadi Sin Liong sibuk mengumpulkan kayu kering yang ditutupinya dengan daun-daun sedapat mungkin.

Tubuh Bi Cu menggigil dalam pelukan Sin Liong. Sin Liong mengerahkan sin-kangnya
sehingga dari tubuhnya keluar hawa panas. Ini banyak menolong walaupun pakaian mereka basah semua. Melihat kedua sepatu Bi Cu yang sudah pecah-pecah dan rusak-rusak ketika dipakai mendaki tebing tempo hari, kini basah kuyup dan malah menampung air yang membuat telapak kaki terasa luar biasa dinginnya,

Sin Liong berkata,
“Sebaiknya sepatumu dan kaus kaki yang basah semua itu ditanggalkan saja.”

Bi Cu yang menyembunyikan mukanya di dada Sin Liong hanya mengangguk dan Sin
Liong lalu melepaskan kedua sepatu dan kaus kaki dari kedua kaki Bi Cu. Dia merasa betapa tubuh yang dirangkulnya itu gemetaran dan terasa kecil lemah. Makin erat dia mendekap, dengan hati penuh kasih sayang.

Hujan turun sampai pagi. Setelah hujan berhenti, Sin Liong cepat membuat api menggunakan kayu-kayu kering yang tadi ditutupinya dengan daun-daunan. Untung masih terdapat kayu yang kering di tumpukan bawah. Maka dapat juga dia berhasil menyalakan api unggun yang mengepulkan asap. Akan tetapi makin lama, api unggun
itu makin terang dan menyala-nyala dan dia sudah duduk di dekat api unggun sambil memeluk tubuh Bi Cu.

“Engkau tentu dingin sekali, Bi Cu...” katanya penuh iba sambil merangkul dara itu.

Bi Cu menyandarkan kepalanya di pundak Sin Liong, tangan kirinya menjamah-jamah
pundak dan lengan pemuda itu, lalu berkata lemah, dengan suara gemetar kedinginan,

“Engkaupun basah kuyup dan kedinginan...”

“Tidak, aku sehat, engkaulah yang sedang sakit, mudah-mudahan engkau tidak jatuh
sakit lagi. Ah, baru saja engkau hampir sembuh, disiram hujan lebat...” Sin Liong berkata khawatir.

Melihat kekhawatiran pemuda itu terhadap dirinya, Bi Cu merasa semakin terharu, apalagi semalam dia mimpi, dan dalam mimpi itu dia membayangkan kembali peristiwa yang terjadi di bawah tebing ketika mereka menyambut hujan dengan bahagia sekali dan mereka telah berpelukan dan berciuman dalam keadaan hampir tidak sadar!

“Sin Liong, engkau... baik sekali kepadaku... kalau tidak ada engkau, aku tentu sudah mati dalam keadaan terlantar...” Suaranya mengandung isak.

Sin Liong menunduk dan memandang wajah yang dekat itu. Melihat betapa di antara
air hujan yang membasahi rambut dara itu dan masih menetes-netes di atas wajah yang pucat itu kini terdapat pula butiran-butiran air mata, dia memeluk lebih erat.

“Tentu saja, Bi Cu. Aku hanya mempunyai engkau di dunia ini...”

“Dan aku... akupun hanya mempunyai engkau... jangan engkau meninggalkan aku lagi
selamanya, Sin Liong...”

Sin Liong memeramkan kedua matanya menahan dua butir air mata yang membasahi kedua matanya itu. Dia menarik napas panjang untuk menekan perasaan harunya, lalu berbisik dekat telinga yang berada dekat dengan mulutnya itu.

“Tahukah engkau, Bi Cu, kata-kata yang sama seperti yang kata-kata itulah yang kuucapkan berulang-ulang selama beberapa hari engkau sakit ini. Aku selalu membisikkan kata-kata itu, agar engkau jangan meninggalkan aku, Bi Cu...”

Mereka tidak berkata-kata lagi. Tidak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan memang. Dengan berdiam diri, terasalah oleh mereka, terasa secara mendalam, akan kehadiran masing-masing bukan hanya di dekat tubuh, melainkan di dalam batin masing-masing.

Mereka merasa betapa mereka saling memiliki, saling membutuhkan, merasa seolah-olah mereka berdua itu telah bersatu dalam batin, seperti orang yang memiliki dan membutuhkan anggauta tubuhnya sendiri. Takkan terpisahkan lagi, senasib sependeritaan. Hal ini terasa sekali oleh mereka ketika berdekatan dan berdekapan dalam keadaan kedinginan itu. Akhirnya terdengar bisikan Bi Cu yang masih menyandarkan kepala di atas dada dekat leher Sin Liong,

“Sin Liong, kau khawatir kalau-kalau aku mati...?”

“Ya, ketika melihat engkau mengigau, tidak sadar... ah, khawatir sekali aku.”

“Aku tidak akan mati. Tidak, aku tidak mau mati sendiri tanpa engkau, Sin Liong. Seperti juga aku tidak mau hidup sendiri tanpa engkau di dekatku. Aku cinta padamu Sin Liong.”

Tanpa diucapkan sekalipun, hal itu sudah terasa amat jelasnya oleh Sin Liong. Dia mencium mata kiri dara itu.

“Akupun cinta padamu, Bi Cu.”

Mereka tidak bicara lagi sampai lama, seolah-olah pengakuan cinta itu adalah kata-kata terakhir di dunia ini dan setelah itu, tidak ada apa-apa lagi yang lebih patut dibicarakan!

Cinta memang maha indah! Bahkan sudah melampaui kebagusan dan keburukan, sudah melampaui segala yang dapat diperbandingkan, sudah melampaui penilaian dan perbandingan itu sendiri!

Cinta-mencinta membawa kita ke dalam suatu keadaan dimana tidak ada lagi baik buruk, susah senang, dalam keadaan yang mungkin oleh pandangan umum dianggap sengsara, bisa saja nampak indah oleh adanya cinta. Cinta membawa suasana nampak indah, di sekeliling kita, di dalam hati kita. Tidak ada lagi pertentangan, tidak ada lagi kekerasaan, tidak ada lagi susah atau senang. Yang ada hanya perasaan suka cinta, yang berbeda dengan kesenangan.

Kesenangan mempunyai sebab, mempunyai sesuatu yang menimbulkan kesenangan. Akan tetapi suka cita adalah perasaan hati yang nyaman dan sejuk tanpa sebab tertentu. Keadaan ini membuat kita penuh dengan sinar cinta kasih, penuh dengan kebajikan, dengan belas kasihan, dengan apa yang dinamakan prikemanusiaan. Cinta adalah kebahagiaan. Manusia dalam cinta adalah manusia yang sesungguhnya manusia, dan sinar kemanusiaannya cemerlang di waktu itu.

Sayang, biarpun kiranya hampir semua orang pernah memasuki keadaan ajaib seperti
itu, namun nafsu-nafsu kita terlalu besar sehingga menjauhkan cinta kasih dari batin kita. Hanya sebersit saja sinar cinta kasih menerangi batin, lalu batin sudah penuh lagi dengan segala kotoran nafsu. Bahkan celakanya, nafsu-nafsu menggantikan tempat dan memalsukan cinta, membuat cinta kasih yang suci murni menjadi cinta kasih yang palsu, cinta kasih yang sesungguhnya hanyalah cinta kepada diri sendiri belaka, keinginan menyenangkan diri sendiri belaka, seperti yang dapat kita lihat dengan jelas dalam kehidupan kita sekarang ini.

Cinta yang kita hambur-hamburkan sekarang ini melalui mulut hanyalah semacam pemalsuan untuk menutupi keinginan kita yang sebenarnya, keinginan untuk mendapatkan kepuasan melalui harta, melalui sex, melalui apa saja yang dapat menyenangkan diri kita sendiri. Dan orang yang kita cinta seperti keadaannya sekarang ini hanyalah kita pakai sebagai alat untuk menyenangkan diri saja. Cinta seperti ini tentu saja menimbulkan cemburu, menimbulkan benci yang dianggap sebagai kebalikannya. Padahal cinta kasih tidak mempunyai kebalikan! Cinta kasih bebas dari penilaian baik buruk, untung rugi, atau susah senang.

Hari itu cerah sekali, secerah hati Sin Liong dan Bi Cu. Dan anehnya, setelah kehujanan seperti itu, keadaan Bi Cu bukan menjadi semakin buruk, bahkan dia menjadi sembuh sama sekali! Hanya masih agak lemah tubuhnya, akan tetapi dia sembuh. Tidak panas lagi, tidak pusing lagi. Hujankah yang menyembuhkannya? Ataukah pertemuan dua hati yang disahkan dengan kata-kata dari mulut mereka, dalam pengakuan cinta mereka? Entahlah. Akan tetapi yang jelas, Sin Liong merasa girang bukan main.

“Bi Cu, engkau baru saja sembuh. Pakaianmu basah kuyup...”

“Hari ini agaknya akan panas, Sin Liong. Aku dapat melepaskan pakaian dan menjemurnya. Tapi...” Dia mengerling dan matanya bersinar-sinar, “engkau harus menjauh, tidak boleh mendekat!”

Sin Liong tertawa. Benar-benar sudah sembuh Bi Cu sekarang. Sudah mulai lagi dia bertingkah bengal! Sudah bersinar-sinar kembali kedua mata yang indah itu, kini penuh dengan kelincahan dan kejenakaan.

“Ha-ha, kau kira aku ini tukang intip? Akupun akan pergi memeriksa keadaan sekeliling hutan ini, kalau-kalau terdapat sebuah dusun.”

“Kalau ada dusun kau mau apa?”

“Mencarikan pakaian untukmu, dan sepasang sepatu.”

“Kau ada uang?”

Sin Liong menggeleng kepala.

“Habis bagaimana kau bisa mendapatkan pakaian dan sepatu?”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: