***

***

Ads

Senin, 17 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 227

Muka Sin Liong menjadi merah. Dara ini baru saja sembuh sudah pandai mendesaknya
dengan omongan dan membuatnya tersudut!

“Aku... aku akan minta!”

“Uhhh, seperti aku tidak tahu saja. Minta kepada orang dusun yang miskin dan yang pakaiannya mungkin hanya yang menempel pada tubuh mereka?”

“Barangkali ada yang kaya di dusun, ada tuan tanahnya...”

“Dan kau benar-benar akan mengemis, minta begitu saja, dan apakah mereka akan mau memberimu? Sudahlah, Sin Liong, katakan saja bahwa engkau akan mencuri pakaian dan sepatu untukku!”

Sin Liong tersenyum dan terpaksa mengangguk.
“Atau kita pakai saja istilah pinjam dari orang kaya di dusun?”

“Tidak, kau beli saja, atau... tukar dengan ini!” Bi Cu melepaskan seuntai kalung dari lehernya, dan memberikan benda itu kepada Sin Liong.

Sin Liong memandang kalung emas dengan hiasan kepala burung walet bermata emas
itu.

“Ah, bukankah ini lambang dari julukanmu dahulu? Dahulu julukanmu adalah Kim-gan Yan-cu (Burung Walet Bermata Emas), seperti kalung ini!”

Bi Cu tersenyum.
“Justeru karena kalung itulah maka para pengemis di kota raja menjuluki aku demikian. Kalung itu pemberian mendiang suhu Hwa-i Sin-kai.”

“Ah, kukira julukan itu karena, matamu...”

“Mataku bagaimana?”

“Matamu indah sekali, Bi Cu, pantas dinamakan mata emas...” Sin Liong mendekat dan merangkul, mencium mata itu.

“Ihh, engkau perayu!”

Bi Cu mendorong perlahan dada Sin Liong dan pemuda itu lalu pergi sambil tertawa, menggenggam kalung itu erat-erat di dalam kepalan tangannya. Bi Cu berdiri memandang sambil tersenyum, hatinya senang sekali. Kemudian pergilah dara ini ke anak sungai yang jernih airnya itu untuk membersihkan diri, dan mencuci pakaian dan menjemur pakaian.

Ternyata dusun yang dicari-cari Sin Liong itu memang ada, akan tetapi jauh sekali dari hutan itu. Dan dia berhasil memperoleh pakaian wanita dan sepasang sepatu untuk Bi Cu, akan tetapi semua itu hanya ditukarnya dengan rantai kalung saja, sedangkan mainan kalung berupa burung walet bermata emas itu disimpannya.






Rantai kalung dari emas itu saja sudah lebih dari cukup untuk menukar barang-barang itu dan sudah menggirangkan pemilik pakaian dan sepatu yang tidak baru itu.

Matahari telah naik tinggi ketika Sin Liong tiba kembali dalam hutan. Ternyata Bi Cu telah memakai pakaiannya yang telah dicuci dan sudah kering, dan dara itu ternyata sedang sibuk memanggang daging ayam hutan.

“Ah, engkau masih lemah, Bi Cu. Mengapa sibuk menyiapkan makanan untuk kita? Biar aku yang...”

“Hemm, biarpun agak sukar dan sampai berkali-kali luput, akhirnya aku berhasil juga mendapatkan seekor ayam gemuk. Wah, pakaian dan sepatu itu bagus, Sin Liong!”

Bi Cu girang sekali dan mematut-matut diri dengan pakaian itu setelah kaus kaki dan sepatunya dia pakai dan ternyata pas besarnya.

“Semua itu kutukar dengan rantai kalung, dan mainannya masih kusimpan. Aku merasa sayang sekali untuk menukarkan itu, biar ditukar dengan seribu pakaianpun aku tidak rela!”

Sin Liong mengeluarkan mainan itu dari saku bajunya dan hendak menyerahkan kembali kepada pemiliknya. Bi Cu menggerakkan tangan menolak.

“Kau simpan sajalah, Sin Liong.”

Wajah pemuda itu berseri.
“Terima kasih, Bi Cu. Memang tadinya aku hendak mengajukan permintaan kepadamu!” Melihat dara itu sudah sehat benar bukan main lega rasa hati Sin Liong.

“Aku akan mencoba pakaian ini!” kata Bi Cu sambil berlari kecil menghilang ke balik semak-semak.

Sin Liong tersenyum duduk di atas batu dan memandang mainan burung itu sejenak, lalu mencium benda di telapak tangannya itu, menggenggamnya dan kemudian memasukkannya ke dalam saku baju sebelah dalam. Pakaiannya sendiri sudah kering
ketika dibawanya berlari cepat tadi.

“Wah, engkau memang hebat! Pas sekali pakaian ini, seperti juga sepatunya!”

Bi Cu berseru girang dan Sin Liong cepat menengok. Muka itu masih agak pucat, rambut yang agak basah itu masih kusut karena disitu tidak ada sisir, akan tetapi matanya bersinar-sinar dan mulutnya tersenyum. Manis sekali dan kelihatan segar, seperti setangkai bunga bermandikan embun di pagi hari.

“Kau... kau cantik sekali dengan pakaian itu, Bi Cu!” kata Sin Liong sambil bangkit berdiri.

Bi Cu meruncingkan mulutnya.
“Ih, engkau sekarang menjadi perayu benar! Jangan-jangan engkau akan ketularan penyakit kakak angkatmu itu, Sin Liong!”

Sin Liong menyambar lengannya dan di lain saat mereka sudah saling berangkulan.
“Bi Cu, engkaulah satu-satunya wanita di dunia ini yang akan selalu kurayu dan kupuji.”

Sejenak Bi Cu menyandarkan kepalanya di dada kekasihnya seperti ketika mereka kehujanan semalam.

“Sin Liong, jangan kau tinggalkan aku lagi. Jangan sampai kita saling berpisah, apapun yang akan terjadi. Mau kau berjanji?”

“Tentu saja, Bi Cu.”

“Biarpun engkau akan dipaksa oleh siapapun juga?”

Sin Liong mengangguk.
“Kita akan selalu berdampingan, baik dalam keadaan hidup ataupun mati?”

Sin Liong memegang kedua pundak dara itu, membalikkan tubuhnya dan mereka kini saling tatap dengan sinar mata tajam penuh selidik, seolah-olah hendak menjenguk isi hati masing-masing. Namun, pancaran sinar mata kedua orang insan ini penuh kemesraan dan cinta kasih, terasa benar oleh keduanya. Sin Liong perlahan-lahan mencium dahi dara itu, gerakan yang lembut dan halus, seperti mencium benda keramat.

“Perlukah aku bersumpah, Bi Cu?”

Bi Cu merangkul leher Sin Liong. Sejenak dia merangkul ketat, terasa oleh Sin Liong betapa dadanya bertemu dengan dada Bi Cu dalam kemesraan yang mendalam, terasa oleh mereka detak jantung masing-masing saling berlomba. Kemudian Bi Cu melepaskan rangkulannya, melangkah mundur dan aneh, wajahnya berubah merah.

Sin Liong memandang dan terpesona. Wajah yang tadinya pucat itu kini mulai menjadi
merah dan karenanya menjadi semakin manis dan menarik. Sinar mata itu semakin berseri penuh cahaya indah. Mata emas!

“Sin Liong, aku tidak butuh kata-kata sumpah. Kata-kata hanya kosong, dan aku lebih percaya kepada sinar matamu. Aku percaya kepadamu.” Lalu dia tersenyum dan suasana penuh hikmat itupun membuyarlah. “Heii, sudah sejak tadi daging itu matang. Mari kita makan!”

Sin Liong, makin gembira hatinya. Bi Cu benar-benar nampak sudah sembuh. Maka, sehabis makan, mulai terasalah olehnya betapa tubuhnya amat letih, betapa matanya amat mengantuk. Setelah semua kegelisahan batinnya hilang, barulah tubuhnya menuntut dan barulah dia sadar akan keadaan jasmaninya. Maka dia duduk melenggut bersandarkan batang pohon.

Sejak tadi Bi Cu maklum akan keadaan Sin Liong itu. Maka diam-diam dia memilih tempat yang sejuk di bawah pohon besar, lalu mengumpulkan rumput kering dan mengatur sebuah tempat tidur di tempat itu, menggulung pakaian lamanya sebagai bantal, kemudian dia mendekati Sin Liong dan menyentuh lengannya. Sin Liong membuka matanya yang mengantuk.

“Sin Liong, kau tidurlah dulu. Kau perlu beristirahat. Aku tidak perlu dijaga lagi. Nah, kau tidurlah!”

Bi Cu menarik tangannya sehingga terpaksa pemuda itu bangkit berdiri dan membiarkan dirinya digandeng, ke bawah pohon yang sejuk dan teduh itu. Melihat tempat tidur dari rumput kering dengan bantal gulungan pakaian itu, Sin Liong tersenyum dan makin beratlah kantuknya. Dia lalu merebahkan diri dan sebentar saja sudah pulas, membawa wajah Bi Cu yang tersenyum memandangnya itu ke dalam tidurnya.

Enak benar Sin Liong tidur, nyenyak tanpa mimpi. Sejenak matahari condong jauh ke barat, baru dia terbangun. Dia menggeliat dengan enak, mengejap-ngejapkan matanya, lalu menoleh ke kanan kiri. Tidak nampak Bi Cu di situ. Dia lalu bangkit duduk, kembali mencari-cari dengan pandang matanya. Dia melihat cuaca yang menunjukkan bahwa waktu itu telah hampir senja. Tentu Bi Cu sedang pergi mandi ke anak sungai, pikirnya. Dia menanti, bangkit berdiri dan berjalan-jalan hilir mudik melemaskan kedua kakinya. Akan tetapi sunyi saja di sekitar situ dan telalu lama baginya menanti munculnya kekasihnya itu.

“Bi Cu...!”

Dia memanggil ke arah anak sungai. Karena dia mengerahkan tenaga khi-kang, maka dia percaya bahwa panggilannya itu tentu akan terdengar oleh Bi Cu kalau dara itu sedang mandi di sana. Akan tetapi tidak ada jawaban!

Sin Liong mengerutkan alisnya. Dara itu suka bergurau dan menggoda orang. Maka dia lalu berindap-indap menuju ke anak sungai. Kalau dia melihat Bi Cu sedang mandi telanjang tentu dia akan pergi lagi. Kalau Bi Cu berpakaian dia akan menggodanya kembali. Akan tetapi, ketika dia tiba di tepi sungai, di situpun tidak nampak Bi Cu, dia mulai bimbang.

“Bi Cu...!”

Kembali dia memanggil, kini lebih nyaring. Tetap saja tidak terdengar jawaban. Dia mencari-cari dengan gerakan cepat kini, berlari dan berloncatan ke sana-sini. Kemudian dia kembali ke bawah pohon-pohon dimana biasanya mereka berada, di dekat api unggun. Dan nampaklah surat itu olehnya.

Sebuah sampul surat di dekat perapian yang telah menjadi abu. Dia yakin benar bahwa sampul itu adalah benda asing dan tidak mungkin berada di tempat itu kemarin. Tentu ada yang menaruhnya, dan agaknya Bi Cu juga tidak mungkin bias mempunyai sepotong sampul surat itu! Tentu orang lain yang menaruhnya! Dan Bi Cu tidak ada!

Jantungnya berdebar dan wajahnya menjadi agak pucat, secara cepat dia menyambar sampul itu. Sampul kuning yang halus dan berbau harum! Dibukanya sampul itu dan dikeluarkannya sepotong surat yang bertuliskan coretan huruf-huruf halus, tulisan wanita!

Cia Sin Liong!

Kalau menghendaki dara itu kembali dalam keadaan sehat, kami persilakan engkau menyusul ke Lembah Naga dan menghadap Pangeran Oguthai!

Surat itu tidak ditanda-tangani. Akan tetapi isinya cukup jelas bagi Sin Liong. Pangeran Oguthai? Siapa lagi kalau bukan Ceng Han Houw? Jelaslah kini, Bi Cu diculik orang ketika dia sedang tidur! Dia mengepal kedua tinjunya, matanya mengeluarkan sinar berapi. Pangeran Ceng Han Houw yang melakukan ini! Bukan pangeran itu sendiri yang datang, melainkan utusannya. Dan dia dapat menduga
siapa orangnya. Agaknya Kim Hong Liu-nio, melihat bahwa surat itu ditulis tangan wanita dan bau harum pada surat itu.

Akan tetapi bagaimana utusan Han Houw dapat mengetahui dia dan Bi Cu berada disitu? Padahal selama berhari-hari ini, ketika Bi Cu sedang menderita sakit, tidak ada seorangpun berada di sekeliling tempat sunyi itu? Ah, tentu ketika dia pergi ke dusun mencarikan pakaian dan sepatu pagi tadi! Begitu pikiran ini meamsuki benaknya, tubuhnya sudah mencelat dan berkelebat, lalu dia berlari secepat angin menuju ke dusun yang didatanginya tadi.

Bagaikan orang terbang saja Sin Liong mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk berlari cepat ke dusun itu dan memang hebat sekali dia. Sebelum malam tiba, dia sudah sampai di dusun itu, memakan waktu kurang dari setengahnya ketika mula-mula dia datang untuk mencarikan pakaian dan sepatu Bi Cu!

Dan mulailah dia bertanya-tanya di seluruh dusun itu apakah ada yang melihat seorang wanita cantik yang pakaian dan gelungannya seperti puteri istana dating ke dusun itu. Akhirnya, ada seorang petani tua yang menceritakan bahwa memang kemarin dia melihat dua orang wanita di luar dusun, seorang wanita cantik seperti yang digambarkan Sin Liong, dan yang ke dua adalah seorang nenek bermuka hitam yang menyeramkan.

“Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li!”

Sin Liong berkata penuh geram dan cepat dia berlari meninggalkan dusun itu. Dia mengepal kedua tangannya, berhenti berlari ketika tiba di hutan, mengacung-acungkan kepalan tangannya ke atas dan berkata penuh kemarahan,

“Ceng Han Houw! Kim Hong Liu-nio! Hek-hiat Mo-li! Aku bersumpah akan menghancurkan kepala kalian bertiga kalau kalian mengganggu Bi Cu-ku!”

Kemudian dia lari lagi ke utara. Dia harus cepat-cepat menyusul Bi Cu ke Lembah Naga, jauh di utara, di luar Tembok Besar.

**** 227 ****
Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: