***

***

Ads

Senin, 17 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 229

Ciauw Si mengerutkan alisnya.
“Akan tetapi, suamiku. Kurasa amat tidak bijaksana kalau hendak mengangkat diri menjadi jagoan nomor satu di dunia. Di dunia ini terdapat banyak sekali orang pandai, namun tidak ada di antara mereka yang berani mengangkat diri menjadi yang paling pandai. Pangeran, yakin benarkah engkau bahwa kepandaianmu sudah setinggi itu sehingga tidak akan ada yang dapat menandingimu?”

Ceng Han Houw tersenyum bangga.
“Si-moi, tentu saja engkau meragu. Akan tetapi jangan engkau mengira bahwa kepandaianku sama dengan tingkatku ketika kita saling bertemu untuk pertama kali itu. Aku telah mewarisi kepandaian dari guruku, Bu Beng Hud-couw, dan kiranya tidak mungkin aku dapat dikalahkan!”

“Hemm, mudah-mudahan begitu,” kata Ciauw Si, akan tetapi alisnya masih berkerut tanda bahwa dia merasa bimbang.

Han Houw maklum akan isi hati Ciauw Si. Dia lalu menyuruh kusir kereta menghentikan kereta itu. Mereka berada di lereng sebuah bukit. Pasukan pengawal berhenti dan, menoleh heran, komandan pasukan lalu mendekatkan kudanya dengan kereta, memberi hormat dan bertanya,

“Ada perintah apakah, pangeran?”

“Berhenti dulu, beristirahat disini sebentar!” kata Pangeran Ceng Han Houw dan dia mengajak Ciauw Si untuk turun dari kereta, kemudian menggandeng tangan isterinya itu menjauhi kereta, ke tempat yang sunyi di padang rumput dekat puncak bukit itu.

“Si-moi, aku sengaja berhenti untuk memperlihatkan kepadamu agar engkau tidak bimbang ragu lagi.”

“Maksudmu, pangeran?”

“Engkau telah mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai, karena engkau dibimbing sendiri oleh mendiang kakekmu, pendekar sakti Cia Keng Hong, ketua Cin-ling-pai, bukan?”

“Ah, aku hanya mempelajari sedikit sekali dibandingkan dengan kepandaian mendiang kong-kong.”

“Betapapun juga, engkau merupakan seorang pendekar wanita yang jarang tandingannya, dan termasuk orang yang memiliki kepandaian silat tingkat tinggi di waktu ini. Oleh karena itu, kepandaianmu cukup untuk menguji sampai dimana tingkat kepandaianku yang kau ragukan itu, isteriku. Nah, sekarang kau boleh mencoba untuk mempergunakan seluruh kepandaian silatmu untuk menyerangku. Lihat, sampai berapa lama aku berhasil mencabut tusuk kondemu itu.”

Wajah Ciauw Si berseri-seri. Sebagai seorang wanita gagah, tentu saja dia paling senang bicara tentang ilmu silat, apalagi mencobanya.

“Eh, mencabut tusuk kondeku bukan hal yang mudah saja, pangeran! Itu melebihi sukarnya merobohkan aku! Karena untuk merobohkan aku banyak bagian tubuh yang dapat diserang dan sebaliknya, kalau aku mencurahkan perhatian dan pertahanan menjaga tusuk kondeku, mana mungkin engkau dapat mengambilnya?”






Suaminya tertawa.
“Itulah sebabnya maka aku sengaja hendak menguji diri sendiri. Kalau aku tidak dapat mengambilnya, anggap saja kepandaianku masih kurang jauh sekali dan akupun tidak akan berani mencalonkan diri menjadi jago nomor satu di dunia.”

Ciauw Si mengerutkan alisnya yang bagus. Tentu saja dia tidak akan tega membiarkan suami tercinta ini gagal. Akan tetapi, kalau dibiarkan berhasil dan kemudian suaminya menghadapi jagoan-jagoan lihai, tentu akan berbahaya juga. Maka dia menjadi serba salah.

“Ciauw Si, jangan kau ragu-ragu dan jangan memandang rendah kepada suamimu ini. Ketahuilah bahwa tingkat kepandalanku sekarang ini tidak kalah oleh bekas suboku, Hek-hiat Mo-li sendiri, bahkan aku berani berkata bahwa tingkatku tidak lebih rendah daripada tingkat kepandaian mendiang kong-kongmu!”

“Baiklah,” Ciauw Si berkata. “Akan tetapi, pangeran, kalau sampal lima puluh jurus engkau tidak mampu mengambil tusuk kondeku dari kepala, apalagi kalau sampai aku dapat menyentuh bagian tubuhmu yang berbahaya, berjanjilah bahwa engkau tidak akan ikut memasuki pemilihan jago nomor satu di dunia. Bagaimana?”

“Baik, Si-moi,” jawab pangeran itu sambil tersenyum, penuh kepercayaan akan diri sendiri. “Nah, kau mulailah!”

“Bersiaplah, pangeran. Lihat serangan!”

Ciauw Si mulai melakukan penyerangan dan dia bergerak cepat, menyerang ke bagian tubuh yang berbahaya. Tentu saja penyerangan itu tanpa disertai tenaga sin-kang, hanya dilakukan cepat saja karena tujuannya hanya untuk sekedar “menyentuh” bagian tubuh berbahaya untuk mendapatkan kemenangan.

Ceng Han Houw melihat gerakan yang cepat sekali ini juga segera mengelak dan menangkis, kemudian, membalas dengan sambaran tangan ke arah kepala yang dapat dielakkan pula oleh Ciauw Si.

Mula-mula, wanita lihai ini sengaja mengeluarkan Ilmu Silat San-in Kun-hoat yang amat hebat, yang terdiri dari delapan jurus pilihan. Jurus-jurus ini dipergunakannya untuk menyerang dan mendesak suaminya, dan selama dia bertualang, jarang ada lawan yang mampu mempertahankan diri kalau dia menyerangnya dengan ilmu silat yang ampuh ini.

Akan tetapi pangeran itu ternyata hebat bukan main. Gerakan-gerakannya aneh dan lincah lembut, dan setiap serangannya, sampai kedelapan jurus dari San-in Kun-hoat itu dipergunakannya semua, selalu dapat dielakkan dan ditangkis dengan mudah saja! Bahkan tidak hanya demikian, akan tetapi gerakan kedua tangan suaminya itu sedemikian cepatnya sehingga beberapa kali hampir saja gelung rambutnya dapat disentuhnya!

Ciauw Si merasa terkejut dan juga kagum sekali. Pangeran yang menjadi suaminya itu ternyata tidak membual, dan memang telah memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat sehingga ilmunya San-in Kun-hoat yang merupakan ilmu keturunan dari Cin-ling-pai itu sama sekali tidak berdaya terhadapnya. Maka kini Ciauw Si tidak lagi mencurahkan kepandaian untuk menyerang, melainkan untuk mempertahankan diri, mempertahankan agar jangan sampai tusuk kondenya dapat dirampas suaminya.

Maka dia merubah gerakannya dan kini dia bersilat dengan Ilmu Silat Thai-kekSin-kun yang gerakannya tenang dan mantap, tidak begitu cepat akan tetapi mengandung daya tahan yang sekuat tembok benteng!

“Bagus! Ini tentu Thai-kek Sin-kun yang amat terkenal itu!” kata Ceng Han Houw dan dia mempercepat gerakannya untuk merampas tusuk konde dari gelung rambut isterinya.

Akan tetapi ke manapun dia bergerak, selalu dia menghadapi pertahanan yang kuat. Apalagi memang Ciauw Si memusatkan pertahanannya kepada kepala sehingga semua sambaran tangan pangeran itu dapat ditangkisnya!

Tiga puluh jurus telah lewat dan tahulah Ceng Han Houw betapa kuatnya daya tahan
dari ilmu silat isterinya itu dan kalau dilanjutkan, jangankan hanya lima puluh jurus, biar sampai seratus jurus kiranya akan sukarlah baginya untuk merampas tusuk konde itu. Dan dia mengerti bahwa isterinya mati-matian mempertahankan untuk memperoleh kemenangan, karena isterinya itu agaknya khawatir kalau-kalau dia memasuki pemilihan jago nomor satu di dunia, mengkhawatirkan keselamatannya, tentu.

“Isteriku, kau hati-hatilah. Sebelum sepuluh jurus tentu tusuk konde itu akan dapat kurampas!” katanya.

Ciauw Si hanya tersenyum dan menganggap suaminya itu berkelakar atau menyombong saja. Sudah tiga puluh jurus belum mampu merampasnya, mana mungkin sekarang dalam sepuluh jurus akan dapat mengambil tusuk konde itu?

Tiba-tiba Ceng Han Houw mengeluarkan pekik nyaring dan gerakannya berubah sama
sekali. Kini setiap gerakannya mendatangkan angin berdesir, membuat pakaian Ciauw
Si berkibar-kibar seperti dilanda angin besar.

Wanita ini kagum dan terkejut, akan tetapi dia tetap mencurahkan semua daya tahan untuk melindungi kepalanya. Tiba-tiba tubuh pangeran itu berjungkir balik dan dia sudah memainkan Ilmu Hok-te Sin-kun yang luar biasa, yang didapatnya dari kitab-kitab Bu Beng Hud-couw itu.

Ciauw Si terkejut dan bingung sekali ketika yang menyerang ke arah kepalanya bukan dua tangan, melainkan dua buah kaki bersepatu! Akan tetapi dia tetap menangkis gerakan kaki itu dan tiba-tiba dia merasa tubuhnya lemas. Kiranya jari tangan pangeran itu telah menotok punggungnya dari bawah! Dan sebelum Ciauw Si roboh, pangeran itu sudah berdiri lagi, dengan kecepatan kilat tangan kirinya menangkap kedua tangan Ciauw Si yang dalam beberapa detik menjadi seperti lumpuh itu, tangan kanannya menyambar ke arah tusuk konde dan pada detik berikutnya Ciauw Si sudah mampu bergerak kembali, akan tetapi tusuk kondenya telah terampas!

“Empat puluh jurus...!” Ceng Han Houw tersenyum sambil mengacungkan tusuk konde
itu ke atas.

Ciauw Si tersenyum dan merangkul pinggang suaminya, memandang penuh kagum.
“Ah, tak kusangka engkau sehebat ini, pangeran! Akan tetapi... betapapun lihai ilmu silatmu, lihai dan aneh dan hal itu harus kuakui, akan tetapi... kalau engkau bertemu dengan lawan yang memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, apakah ilmu silatmu itu akan dapat menandinginya?”

Ceng Han Houw mencium isterinya dan menusukkan kembali tusuk konde itu ke gelung
rambut isterinya, mematutnya, kemudian dia tersenyum dan berkata.

“Kita tadi sudah saling menguji ilmu silat dan kelihaian gerakan. Kini, mari engkau menguji tenaga sin-kang yang kuperoleh dari pelajaran-pelajaran rahasia itu, juga ilmu
gin-kangku. Sebagai cucu mendiang ketua Cin-ling-pai, tentu tenaga sin-kangmu sudah kuat sekali, bukan? Nah, coba kau serang aku dengan tenaga sin-kangmu, Si-moi, tidak seperti tadi, engkau hanya mengandalkan kecepatan gerak saja.”

Ciauw Si menggeleng kepala.
“Main-main dengan tenaga sin-kang untuk saling serang adalah amat berbahaya.”

“Bukan saling serang maksudku, sayang, melainkan hanya mengukur kekuatan sin-kang masing-masing.”

“Baiklah kalau begitu, biar kita mengukur sin-kang dengam mempermainkan sehelai daun,” kata Ciauw Si gembira dan wanita ini lalu mengambil sehelai daun kering.

“Kita lihat berapa tinggi kita masing-masing dapat menahan daun ini!”

Dia melemparkan daun itu ke atas dan cepat menggerakkan tangan yang terbuka ke atas, seperti orang menyangga. Daun yang dilempar ke atas itu tentu saja melayang-layang ke bawah, akan tetapi begitu Ciauw Si menggerakkan tangan... daun itu tertahan, bahkan naik lagi ke atas!

Wanita muda itu terus menggerak-gerakkan kedua tangannya yang tergetar, penuh tenaga sin-kang dan sehelai daun kering itu terus naik sampai setinggi tiga meter dan bergerak-gerak seperti seekor kupu-kupu, setiap mau melayang turun seperti tertahan oleh tiupan angin dari bawah!

Setelah melihat bahwa daun itu tidak naik lebih tinggi lagi, Pangeran Ceng Han
Houw berseru,

“Bagus sekali, Si-moi. Sin-kangmu cukup hebat! Biar kunaikkan lagi daun itu!”

Diapun lalu menggerakkan sebelah tangan, yaitu tangan kirinya, ke arah daun itu dan seperti disambar angin yang amat kuat, tiba-tiba daun itu meluncur naik ke atas! Melihat ini, Ciauw Si terkejut dan kagum bukan main, maka dia lalu menurunkan kedua tangannya dan melangkah mundur, mengusap keringatnya yang membasahi dahi dan leher. Dia melihat betapa hanya dengan tangan kiri saja pangeran itu mampu membuat daun itu naik dan naik terus. Hampir dia tidak dapat percaya ketika daun itu terus melayang naik setiap kali pangeran itu menggerakkan tangan kiri sampai daun itu melayang-layang setinggi belasan meter!

Sungguh merupakan demonstrasi tenaga sin-kang yang selamanya belum pernah dilihatnya! Kini dia mulai percaya bahwa pangeran yang telah menjadi suaminya itu tidak membual ketika mengatakan bahwa dia tidak kalah lihai dibandingkan dengan mendiang ketua Cin-ling-pai! Sukar diukur lagi betapa kuatnya sin-kang pangeran itu yang mampu membuat daun melayang-layang sampai belasan meter ting-ginya itu.

Tiba-tiba pangeran itu menyusulkan tangan kanannya. Kini kedua tangan dengan telapak tangan di atas itu bergerak-gerak, dan tiba-tiba bergerak ke bawah. Daun yang ringan itupun tiba-tiba meluncur ke bawah seperti sepotong batu yang berat.

Setelah dekat, pangeran itu mengebutkan tangannya dan... daun itu lenyap dan berhampuranlah tepung halus. Ternyata daun itu telah dipukul dengan pukulan jarak jauh dan menjadi hancur seperti tepung!

Ceng Han Houw menoleh kepada Ciauw Si sambil tersenyum bangga.
“Bagaimana pendapatmu, Si-moi?”

Ciauw Si merangkul dengan penuh kebanggaan dan kasih sayang.
“Engkau hebat, pangeran, engkau sungguh hebat bukan main...” katanya.

“Nah, dalam ilmu silat dan sin-kang agaknya engkau sudah mulai percaya kepadaku. Sekarang akan kuperlihatkan gin-kang yang telah kupelajari. Kau boleh menyerangku secepat mungkin dan aku tidak akan menangkis, melainkan mempergunakan gin-kang untuk menghindarkan semua serangarimu. Kau boleh mempergunakan pedangmu!”

Akan tetapi Ciauw Si tentu saja tidak mau mencabut pedangnya, melainkan mengambil sebatang ranting pohon.

“Biar kupergunakan ini saja,” katanya dan mulailah dia menyerang dengan gerakan secepat mungkin.

Dan terjadilah keanehan. Pangeran Ceng Han Houw mempergunakan ilmu langkah Pat-kwa-po akan tetapi karena dia telah memiliki gin-kang yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Bu Beng Hud-couw, maka gerakan-gerakan yang aneh itu membuat tubuhnya seolah-olah naik sepatu roda, bergeser ke sana ke mari dengan cepat bukan main dan ke manapun ranting itu menyambar tubuhnya seperti telah lebih dulu terdorong oleh angin gerakan ranting itu, dan selalu dapat menghindarkan dengan lebih cepat lagi!

Sampai puluhan jurus Ciauw Si menyerang, dan selalu mengenai tempat kosong. Akhirnya dia membuang ranting itu dan merangkul suaminya penuh kebanggaan. Sambil bergandeng tangan mereka kembali ke tempat para pasukan pengawal menanti, dan mereka memasuki kereta. Pangeran itu memerintahkan pasukan bergerak lagi dan mereka melanjutkan perjalanan ke Lembah Naga.

Di sepanjang perjalanan, sepasang pengantin baru itu tiada hentinya bermain cinta, mencurahkan semua perasaan rindu mereka dengan penuh kemesraan. Ciauw Si makin tergila-gila kepada Pangeran Ceng Han Houw, sebaliknya sang pangeran itupun makin mendalam rasa cintanya kepada wanita ini, sama sekali berbeda dengan perasaannya terhadap semua selir yang pernah menghiburnya.

Diam-diam dia mengambil keputusan bahwa Ciauw Si adalah calon permaisurinya, dan kalau memang isterinya ini menghendaki, selamanya dia tidak akan mengambil selirpun tidak mengapa! Seorang Ciauw Si saja sudah cukup baginya, sudah mewakili seluruh wanita di dunia ini!

**** 229 ****
Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: