***

***

Ads

Rabu, 19 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 232

Mereka berempat lalu memasuki istana itu, Sin Liong bergandengan tangan dengan Bi Cu yang agaknya tidak mau lagi melepaskan tangannya. Setelah mereka tiba di ruangan dalam dan pangeran itu mempersilakan mereka duduk, Sin Liong lalu menjura kepada pangeran itu dan berkata, suaranya terharu,

“Ternyata ucapanmu terbukti benar, Houw-ko, maka terimalah ucapan terima kasihku. Aku sungguh bersyukur dan berterima kasih sekali bahwa Bi Cu berada dalam keadaan baik dan tidak terganggu.”

“Siapakah akan membohongimu. Liong-te? Apalagi setelah aku menjadi kakak iparmu pula. Si-moi, Liong-te, kalian berdua adalah saudara-saudara misan, keduanya adalah cucu ketua Cin-ling-pai, mengapa tidak saling tegur?”

Karena tidak mungkin lagi menyembunyikan dirinya, Sin Liong lalu menjura dengan hormat kepada Ciauw Si dan berkata merendah,

“Mana mungkin aku yang rendah berani mengaku adik misan Lie-lihiap?”

Ciauw Si memandang tajam. Ketika dia mendengar dari suaminya bahwa Sin Liong sesungguhnya adalah anak kandung pamannya, Cia Bun Houw, dia tidak percaya dan merasa ragu-ragu. Kalau benar pamannya itu mempunyai seorang putera, mengapa tidak ada seorangpun diantara keluarga mereka yang tahu? Pula, anak ini katanya pernah ikut kong-kongnya di Cin-ling-pai, bahkan katanya berkenan menerima ilmu-ilmu lengkap dari kong-kongnya itu, termasuk Thi-khi-i-beng! Akan tetapi kalau sudah begitu, mengapa masih juga belum ada yang tahu?

“Sin Liong, tidak perlu kiranya merendah atau merasa tinggi. Sebaiknya kalau berterus terang saja seperti kenyataannya. Aku telah mendengar dari pangeran bahwa engkau adalah putera kandung paman Cia Bun Houw. Sungguh hal ini aku tidak mengerti sama sekali dan tidak ada seorangpun diantara keluarga Cin-ling-pai yang tahu pula. Bagaimanakah sesungguhnya? Kalau engkau putera paman Cia Bun Houw, lalu siapakah ibu kandungmu dan bagaimana sampai tidak seorangpun diantara keluarga Cin-ling-pai yang tahu?”

Sin Liong tahu bahwa semua ucapan itu dikeluarkan oleh wanita perkasa itu dengan hati jujur dan tanpa prasangka buruk, akan tetapi dia mendengarnya dengan hati merasa tertusuk. Dia menundukkan mukanya lalu berkata lirih,

“Sesungguhnya rahasia ini takkan kuceritakan kepada siapapun juga, hanya tanpa kusengaja telah bocor sehingga diketahui orang. Maafkan, lihiap, aku tidak dapat menceritakan duduknya perkara, karena ini merupakan rahasia pribadi dari pendekar Cia Bun Houw.”

Dia menyebut nama ini dengan keras, menandakan bahwa hatinya marah kepada pendekar itu.

“Maka, kalau sampai urusan ini dibicarakan dan rahasia ini dibongkar, biarlah yang membongkarnya dan membicarakannya yang bersangkutan sendiri!”

Lie Ciauw Si dapat memaklumi keadaan Sin Liong yang agaknya diliputi rahasia yang tidak menyenangkan,

“Akan tetapi, engkau sudah pernah dididik oleh mendiang kong-kong. Kalau engkau putera kandung paman Bun How, berarti kong-kong Cia Keng Hong adalah kong-kongmu pula, bahkan engkau merupakan keturunan langsung! Engkau she Cia dan engkau laki-laki pula! Mengapa engkaupun tidak mau mengaku kepada kakekmu sendiri?”






Disebutnya nama kakek itu membuat Sin Liong merasa berduka. Dia menarik napas panjang dan berkata,

“Beliau yang sudah berada di tempat baka tentu sudi mengampuni aku. Aku memang sengaja tidak ingin menonjolkan diri sebagai keturunan Cin-ling-pai yang terkenal sebagai keluarga gagah perkasa! Sedangkan aku ini orang apakah? Hanya orang yang tidak diakui! Haruskah aku mendesak-desak untuk membonceng ketenaran nama besar Cin-ling-pai?”

Diam-diam Ciauw Si terkejut dan dia mengerutkan alisnya. Bocah ini sungguh memiliki watak angkuh, pikirnya. Akan tetapi dia tidak mendesak, juga tidak menegur karena dia dapat menduga bahwa tentu ada rahasia yang mungkin menyakitkan hati anak itu sehingga dia berkukuh tidak mau mengaku sebagai keluarga Cin-ling-pai. Selain itu, mana mungkin dia mau menerima pengakuan itu begitu saja bahwa anak itu adalah putera kandung pamannya kalau pamannya Cia Bun Houw itu sendiri tidak pernah mengakui hal itu?

Tiba-tiba Bi Cu yang merasa tidak enak mendengar percakapan itu dan melihat betapa kekasihnya seperti orang tidak senang kalau disinggung soal keturunannya, padahal selama ini Lie Ciauw Si sedemikian ramah dan baiknya, segera berkata,

“Ah, apa sih artinya keturunan? Bagiku, biar Sin Liong itu putera raja ataupun anak pengemis sekalipun sama saja. Menilai manusia bukan dari keturunannya, atau kedudukannya, atau keluarganya atau kekayaan melainkan kepandaiannya, bukan?”

Karena ucapan ini dikeluarkan dengan suara yang terbuka dan jujur, disertai dengan wajah yang cerah dan berseri, maka mereka semua yang mendengarnya menjadi kagum dan tersenyum, juga seketika mengusir suasana yang tidak enak yang ditimbulkan oleh percakapan antara Ciauw Si dan Sin Liong tentang keturunan itu tadi.

“Ha-ha-ha, memang tepat sekali ucapan nona Bhe. Dan ucapan itu sekaligus membuktikan bahwa cintanya terhadapmu sungguh tak terbatas, Liong-te! Biarlah aku mengucapkan selamat kepada kalian berdua!”

Tentu saja Sin Liong dan Bi Cu menerima ucapan selamat dengan minum arak ini dengan girang dan balas menghormat. Sin Liong adalah seorang pemuda yang jujur dan tidak mempunyai prasangka-prasangka buruk. Oleh karena itu, dengan adanya Ciauw Si di situ, juga melihat betapa sikap Bi Cu terhadap Ciauw Si amat akrab, melihat pula sikap pangeran yang demikian halus dan ramah, yang bicara seperti seorang pahlawan pejuang yang hendak memperjuangkan nasib rakyat dan hendak menentang kelaliman kaisar, maka diapun kena dibujuk.

Dia sanggup untuk membantu Ceng Han Houw ikut mengatur dan menjaga terlaksananya pemilihan bengcu itu, dan diam-diam diapun tidak mempunyai maksud untuk ikut memasuki pemilihan itu. Dia ingin melihat apa yang akan terjadi dan akan membiarkan kakak angkatnya itu menjadi bengcu dan berhasil merebut julukan jago nomor satu di dunia. Dia sendiri sama sekali tidak tertarik dan tidak ingin disebut apa-apa.

Mereka berempat lalu makan minum dalam suasana yang cukup menggembirakan! Diam-diam Sin Liong merasa heran mengapa pangeran itu tidak mengajak para pembantu lainnya untuk ikut pula berpesta. Dan diapun masih bingung apa yang akan
dilakukannya kalau dia melihat musuh-musuhnya, Kim Hong Liu-nio dan Hek-hiat Mo-li berada di situ.

Melihat tiba-tiba wajah pemuda itu kelihatan murung dan alisnya berkerut, Pangeran Ceng Han Houw yang cerdik itu agaknya sudah dapat menduga melihat adik angkatnya mencari-cari dengan pandang mata, kemudian Nampak termenung dan muram wajahnya.

“Liong-te setelah engkau mendengarkan semua keteranganku, maka engkau tentu sudah mengerti sekarang bahwa kita menghadapi suatu perjuangan yang amat penting
yang membutuhkan penghimpunan tenaga yang kuat dan kerja sama yang erat. Oleh karena itu, agaknya engkau tentu tahu pula bahwa dalam keadaan seperti ini, dimana kita amat membutuhkan kerja sama dari semua golongan rakyat untuk menentang kelaliman, maka semua urusan pribadi haruslah dikesampingkan lebih dulu.”

Sin Liong memandang wajah pangeran itu dengan pandang matanya yang tajam mencorong.

“Houw-ko, apa maksudmu dengan ucapan itu?”

“Liong-te, aku tahu bahwa engkau mempunyai musuh-musuh pribadi, dan terus terang saja, agaknya akan timbul perkelahian kalau engkau bertemu dengan suci Kim Hong Liu-nio dan subo Hek-hiat Mo-li. Aku tidak akan mencampuri urusan itu karena aku tidak mempunyai sangkut-paut dengan urusan pribadi itu. Bahkan isteriku sendiri, Lie Ciauw Si ini, tentu saja juga bermusuhan dengan mereka berdua. Akan tetapi, dalam keadaan seperti sekarang ini, kuharap engkau tidak akan menimbulkan keributan disini dengan menyerang mereka, karena hal ini akan memberi contoh yang buruk sekali kepada semua pembantu kita dan hanya akan melemahkan kedudukan kita yang sedang menyusun kekuatan dan kerja sama ini. Mengertikah engkau maksudku, Liong-te?”

Diam-diam Sin Liong terkejut. Pangeran ini sungguh amat cerdik dan berpemandangan tajam sehingga tepat sekali membicarakan apa yang sedang dipikirkannya. Dia lalu mengangguk dan berkata.

“Aku berjanji takkan membikin ribut, Houw-ko. Akan tetapi dengan syarat bahwa merekapun tidak boleh mengganggu aku dan Bi Cu seujung rambutpun.”

Pangeran itu tersenyum dan diam-diam diapun kagum. Kini Sin Liong benar-benar telah menjadi seorang dewasa yang gagah dan bersikap keras, bukan seperti anak-anak lagi. Maka dia akan bertindak hati-hati menghadapi orang yang dia tahu merupakan saingan paling berat baginya ini.

“Baik, akan kuperingatkan mereka, Liong-te. Sekarang, karena Liong-te baru saja tiba dan tentu lelah, persilakan Liong-te dan nona Bhe Bi Cu mengaso. Kamar kalian sudah dipersiapkan, tak jauh dari kamar kami.”

Tiba-tiba wajah Sin Liong menjadi merah sekali dan cepat dia berkata,
“Houw-ko, kami berdua memang saling mencinta, hal itu hanya Thian saja yang mengetahui. Akan tetapi kami belum menjadi suami isteri maka tak mungkin kami tinggalsekamar!”

“Aku akan tinggal di dalam kamarku sendiri yang biasa saja!” Bi Cu juga berkata, mukanya merah sekali dan dia menunduk.

“Akan tetapi harap Houw-ko berbaik hati untuk memberi sebuah kamar untukku yang tidak berjauhan dari kamar Bi Cu.”

Sin Liong tidak mengatakan bahwa dia ingin menjaga dan melindungi kekasihnya itu, akan tetapi hal ini sudah dimengerti oleh semua orang.

“Baik, baik, tentu saja akan kuatur itu. Maafkan, Liong-te, aku lupa betapa engkau adalah seorang laki-laki sejati dan bahwa kalian belum menikah.”

Kata pangeran itu sambil tertawa, teringat betapa dahulu Sin Liong amat “takut” terhadap wanita, dan sampai kinipun, biarpun sudah sama-sama saling mencinta, tetap saja dia tidak mau melakukan “pelanggaran”. Tentu saja bagi Ceng Han Houw, hal ini dianggapnya sebagai suatu sikap kekanak-kanakan dan hijau. Pangeran itu memberi kesempatan kepada Sin Liong dan Bi Cu untuk bicara empat mata, maka dia lalu mengajak Ciauw Si masuk,

Bi Cu lalu mengajak Sin Liong pergi ke sebuah taman di Istana Lembah Naga itu, sebuah taman yang indah dan terawatt baik, berbeda dari dahulu ketika dia masih tinggal di situ.

Setelah mereka berada berdua saja di dalam taman itu, Sin Liong dan Bi Cu tak dapat menahan lagi kerinduan hati masing-masing dan merekapun saling rangkul dan saling
berciuman sampai hampir kehabisan napas. Akhirnya, gelora hati yang rindu itu agak mereda dan mereka duduk berdampingan di atas sebuah bangku panjang, dekat kolam ikan di dalam taman itu.

“Sin Liong, aku merasa seperti hidup kembali melihat engkau datang. Untung aku belum mengambil keputusan nekat untuk bunuh diri.”

“Ihh!” Sin Liong terkejut dan merasa ngeri. “Jangan sekali-kali engkau melakukan hal itu, Bi Cu. Selama hayat masih dikandung badan, kita tidak boleh putus asa, dalam keadaan apapun juga. Lupakah akan cengkeraman maut terhadap diri kita di jurang itu? Buktinya kita berdua masih dapat menyelamatkan diri. Pula, bukankah engkau disini diperlakukan dengan baik dan patut sebagai tamu?”

“Memang benar, akan tetapi aku diculik! Dan aku dipisahkan darimu, Sin Liong! Jangankan baru tinggal di istana macam ini, biar disuruh tinggal di sorga sekalipun, tanpa engkau di sampingku, leblh baik aku berada di dalam jurang seperti dulu itu asal bersamamu.”

Sin Liong merasa terharu sekali dan memegang tangan Bi Cu. Jari-jari tangan mereka saling genggam dengan getaran perasaan yang amat mesra.

“Kita takkan berpisah lagi untuk selamanya, Bi Cu. Percayalah bahwa akupun tidak akan mau hidup tanpa engkau di dekatku.”

Bi Cu menarik napas panjang penuh bahagia dan dia menyandarkan kepalanya di dada kekasihnya. Sampai lama mereka tinggal duduk seperti itu, tanpa berkata-kata karena kata-kata sudah tidak ada artinya lagi dalam keadaan seperti itu. Kata-kata bahkan membuyarkan perasaan dan mengurangi kemesraan yang terasa sekali sampai di sanubari dalam keadaan hening dan sadar sepenuhnya akan kehadiran masing-masing itu.

Akhirnya Bi Cu berbisik,
“Sin Liong, hatiku merasa tidak enak kalau kita berada di sini. Betapapun baiknya pangeran ini, namun jelas bahwa dia hendak mempergunakan engkau maka dia menyuruh orangnya menculikku.”

“Akan tetapi, dia sekarang telah berubah sejak menikah dengan...”

“Enci Ciauw Si? Ah, kau tahu, enci Ciauw Si sendiri agaknyapun merasa tidak enak dan tidak suka dengan gerakan dari suaminya itu. Memberontak! Phuh...”

“Bukan memberontak, Bi Cu, melainkan berjuang melawan kelaliman kaisar...”

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: