***

***

Ads

Rabu, 19 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 236

Beberapa hari sebelum hari yang ditetapkan untuk pertemuan para tokoh kang-ouw itu tiba, daerah Lembah Naga telah dibanjiri oleh banyak orang kang-ouw. Juga banyak partai-partai persilatan yang mengutus serombongan anak murid untuk datang berkunjung, bukan untuk memperebutkan kedudukan bengcu atau jago nomor satu di dunia, melainkan untuk menyaksikan pemilihan itu dan untuk melihat siapa yang akan menjadi bengcu.

Tentu saja para utusan itu diberi wewenang untuk menentang kalau pemilihan itu kurang tepat, dan tentu saja merekapun boleh turun tangan kalau untuk membela nama partainya sendiri.

Partai-partai persilatan yang termasuk golongan putih atau bersih tentu telah memesan kepada para utusannya agar tidak mencari permusuhan, dan membuka mata dan telinga dengan waspada menyaksikan perkembangan pemilihan bengcu itu.

Selain tokoh-tokoh kang-ouw perorangan, baik dari golongan hitam maupun putih, maka nampak bendera-bendera yang dibawa oleh para anak murid dari partai persilatan Kun-lun-pai, Bu-tong-pai, Hoa-san-pai, dan bahkan Siauw-lim-pai juga mengutus rombongannya. Selain empat partai besar ini, masih terdapat banyak pula partai-partai kecil.

Di antara banyak orang itu, yang jumlahnya hampir ada dua ratus orang, terdapat empat orang pendekar atau dua pasang suami isteri yang berpakaian sederhana, akan tetapi kalau para tokoh kang-ouw itu mendengar nama mereka, tentu orang-orang itu akan menjadi gempar. Dua pasang suami isteri ini adalah Yap Kun Liong tersama Cia Giok Keng, dan Cia Bun Houw bersama Yap In Hong.

Cia Bun Houw dan Yap In Hong terkejut bukan main ketika mereka bertemu dengan kakak-kakak mereka itu dan mendengar bahwa kakak-kakak mereka itu menerima surat dari Lie Ciauw Si bahwa dara itu telah menikah dengan Pangeran Ceng Han Houw dengan upacara pernikahan di kuil tanpa disaksikan keluarga!

Karena pangeran berada dalam keadaan terancam bahaya dan terdesak, maka kami terpaksa mengambil keputusan menikah di kuil, demikian antara lain bunyi surat Ciauw Si. Selain mohon maaf kepada ibu kandungnya, juga dara itu menyatakan bahwa dia dan sang pangeran sudah saling mencinta dan hanya kematian saja yang akan mampu
memisahkan mereka satu dari yang lain.

“Aihh, kenapa anak-anakku begitu bodoh...” keluh Cia Giok Keng, keluhan yang sudah dikeluarkan berkali-kali.

Hati ibu ini berduka sekali mengingat akan nasib Lie Seng dan Lie Ciauw Si, dua orang anaknya yang dianggap keliru memilih jodoh. Juga Cia Bun Houw dan Yap In Hong merasa penasaran sekali mengapa Ciauw Si dapat terpikat oleh pangeran pemberontak murid Hek-hiat Mo-li itu.

Hanya Yap Kun Liong seorang yang tidak mengeluarkan kata, akan tetapi di dalam hatinya pendekar yang sudah matang oleh gemblengan pengalaman hidup ini mengerti apa artinya orang jatuh cinta dan dia sama sekali tidak dapat menyalahkan Lie Seng maupun Lie Ciauw Si.

“Lalu apa yang harus kita lakukan, enci Keng?” Cia Bun Houw bertanya kepada encinya, “Kita datang ke Lembah Naga ini sebagai sebagai utusan kerajaan untuk menyelidiki dan kalau perlu menentang gerakan Ceng Han Houw, akan tetapi ternyata pangeran itu telah menjadi mantumu dan Ciauw Si berada di fihaknya sebagai isterinya!”






Memang amat sukar untuk mengambil keputusan, menghadapi keadaan seperti itu. Akan tetapi dengan suara gemetar tanda bahwa hatinya terguncang hebat, Cia Giok Keng yang kini mulai nampak tua dalam usianya lima puluh tahun itu, berkata lantang,

“Biar anak sendiri sekalipun, kalau salah harus kita tentang, dan biar orang sendiri, kalau benar juga haruslah kita bela!”

Yap Kun Liong merasa kasihan sekali kepada isterinya yang tercinta ini. Dia berkata dengan suara yang halus,

“Kita lihat saja bagaimana keadaannya nanti dan bagaimana perkembangannya. Sama sekali kita tidak boleh menurutkan dorongan perasaan hati. Seorang gagah harus adil dan bijaksana, oleh karena itu kita harus waspada dan dapat mengambil tindakan yang setepat-tepatnya. Menyalahkan atau membenarkan orang lain menurutkan perasaan hati sendiri sering kali menyesatkan.”

Tiga orang pendekar lainnya mengangguk dan diam-diam membenarkan ucapan itu. Memang teringat oleh mereka betapa keluarga Cin-ling-pai sejak dahulu dilanda kekecewaan-kekecewaan dan penyesalan-penyesalan, bahkan nyaris dilanda bahaya perpecahan karena pandangan-pandangan yang terlalu menurutkan perasaan hati sendiri.

Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng sudah mengalami pahit getirnya akibat dari pandangan seperti itu. Juga Cia Bun Houw dan Yap In Hong sudah merasakan betapa sampai bertahun-tahun mereka berdua meninggalkan keluarga Cin-ling-pai karena pandangan mendiang ayah Bun Houw yang menentang perjodohan itu. Kemudian, terjadi pula pada diri Lie Seng yang memilih jodoh yang tidak disetujui oleh ibu kandungnya dan keluarganya. Kini terulang kembali oleh Ciauw Si!

Dan justeru apa yang dilakukan oleh Ciauw Si merupakan puncaknya, yang paling hebat diantara semua keturunan Cin-ling-pai. Ciauw Si memilih sebagai jodohnya orang yang justeru menjadi musuh keluarga Cin-ling-pai, dan bahkan kini menjadi musuh kerajaan, menjadi pemberontak besar! Benar-benar sukar bagi mereka membayangkan
kemungkinan seperti ini.

Lembah Naga menjadi ramai dan kini tampaklah barisan penjaga yang berpakaian indah dan bersenjata lengkap, memenuhi kedua tepi jalan semenjak dari luar daerah sampai ke daerah Lembah Naga, berdiri dengan hormatnya menyambut para tokoh kang-ouw yang berbondong-bondong memasuki daerah itu.

Orang-orang kang-ouw itu diam-diam terkejut juga menyaksikan betapa tempat itu telah terjaga sedemikian kuatnya oleh pasukan yang ratusan orang jumlahnya, bahkan mungkin tidak kurang dari seribu orang!

Dan ketika mereka tiba di Istana Lembah Naga, ternyata tempat itu telah dihias dengan meriah seperti hendak mengadakan pesta besar. Ruangan depan yang amat luas dan dapat menampung seribu orang itu dihias dan nampak meja kursi dijajar rapi, sedangkan bagian tengahnya dibiarkan kosong.

Pangeran Ceng Han Houw memang cerdik. Dia segera tahu dari para penyelidiknya siapa-siapa yang menghadiri rapat itu, maka diapun sengaja menyuruh para pembantunya yang tidak terkenal untuk menyambut di depan istana dan mempersilakan semua tamu itu duduk ke ruangan depan.

Dengan demikian, maka diantara para tamu itu tidak ada yang merasa sungkan. Apalagi dia mendapat kabar bahwa empat orang pendekar Cin-ling-pai yang tadinya menjadi buronan pemerintah itupun datang! Kalau dia sendiri yang maju menyambut, tentu dia harus memberi hormat kepada ibu kandung Ciauw Si dan keluarganya, dan dia belum dapat membayangkan bagaimana sikap mereka setelah mendengar bahwa Ciauw Si menjadi isterinya.

Dan tindakannya ini melegakan hati banyak tamu, terutama sekali empat orang pendekar Cin-ling-pai itu yang juga belum dapat menentukan bagaimana sikap mereka seandainya pangeran itu sendiri yang menyambut. Mereka menyusup diantara banyak tamu dan memilih tempat duduk agak di sebelah luar sehingga tidak terlalu menyolok.

Ketika empat orang pendekar Cin-ling-pai ini sudah mengambil tempat duduk dan mereka mencari-cari dengan pandang mata mereka, tidak atau belum nampak adanya Pangeran Ceng Han Houw, atau Lie Ciauw Si. Bahkan juga Sin Liong tidak nampak.

Memang mereka masih berada di dalam istana, mereka berempat, yaitu Ceng Hang Houw, Lie Ciauw Si, Sin Liong dan Bi Cu. Baru saja Pangeran Ceng Han Houw mengumpulkan pembantu-pembantunya yang lain, yaitu Kim Hong Liu-nio, Hek-hiat Mo-li, Hai-liong-ong Phang Tek dan yang lain-lain, memberi perintah-perintah kepada mereka. Barulah dia kini mengadakan perundingan dengan isterinya, yang dihadiri oleh Sin Liong dan Bi Cu.

Wajah Ciauw Si nampak agak pucat. Jelas bahwa dia merasa gelisah sekali mendengar bahwa ibu kandungnya hadir pula di situ bersama ayah tirinya, paman dan bibinya.

“Aku... aku bingung sekali, tidak tahu bagaimana harus bertemu dengan ibuku,” katanya “Bagaimana kalau beliau dipersilakan masuk sehingga aku dapat menghadapnya disini saja?”

Ceng Han Houw menggelengkan kepalanya.
“Kurasa hal itu kurang biiaksana, Si-moi. Ingat bahwa beliau pada saat ini adalah tamu agung diantara orang-orang kang-ouw, maka kalau dipersilakan masuk, tentu beliau merasa tersinggung karena tentu akan menjadi bahan percakapan para tamu lainnya. Biarlah urusan pribadi dapat kita selesaikan kemudian, Si-moi. Yang terpenting sekarang kita harus menyelesaikan urusan perjuangan seperti yang telah kita rundingkan bersama sebelumnya. Kita berdua, ditemani oleh Liong-te, harus keluar menyambut tamu.”

Pangeran itu memandang isterinya yang sudah berpakaian indah.
“Kulihat engkau sudah siap, Si-moi, dan engkau juga, Liong-te. Kalian menemaniku keluar, sebagai isteriku dan sebagai adik angkatku, juga sebagai pembantu-pembantuku yang paling dapat kuandalkan. Hanya kalian yang mendampingi aku keluar. Engkau harap tinggal di dalam istana, nona Bhe, karena selain kurang baik memperkenalkan engkau sebagai tunangan Liong-te, juga kami menghadapi orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan berbahaya sekali, maka lebih aman kalau berada di sini saja.”

Bi Cu tidak menjawab melainkan memandang kepada Sin Liong. Jelas bahwa dia menyerahkan keputusannya kepada kekasihnya itu. Sin Liong memandang Bi Cu dengan mengangguk.

“Memang sebaiknya engkau menanti di dalam, Bi Cu. Di luar berbahaya kalau sampai terjadi keributan, kuharap saja tidak demikian,” katanya melirik kepada sang pangeran yang hanya tersenyum.

Mendengar ucapan ini, Bi Cu mengangguk.
“Baiklah, sungguhpun aku akan merasa jauh lebih aman kalau berada di dekatmu, Sin Liong. Akan tetapi akupun tidak mau menjadi pengganggu kalian.”

Setelah berkata demikian, Bi Cu bangkit dari kursinya dan kembali ke dalam kamarnya. Jelas bahwa dia kecewa sekali, akan tetapi Sin Liong merasa bahwa memang lebih baik kalau Bi Cu tinggal di kamarnya, daripada harus menghadapi peristiwa besar itu, dimana dia harus waspada dan siap untuk turun tangan apabila perlu, sedangkan kalau Bi Cu berada di depan, dia kurang leluasa karena harus melindungi kekasihnya itu.

Dengan jantung berdebar penuh ketegangan, Sin Liong dan Ciauw Si berjalan keluar mengapit sang pangeran yang tampak tenang-tenang saja, senyumnya tidak pernah meninggalkan bibirnya. Ciauw Si berjalan di sebelah kanannya, sedangkan Sin Liong berjalan di sebelah kirinya.

Semua tamu mengangkat kepala memandang ke dalam ketika terdengar pengumuman keras dari seorang komandan yang berpakaian gagah bahwa sang pangeran akan keluar menyambut para tamu terhormat. Pintu sebelah dalam ruangan itu terbuka lebar dan muncullah tiga orang muda itu yang membuat para tamu terbelalak penuh kagum.

Pangeran Ceng Han Houw nampak gagah dan tampan sekali dalam pakaiannya yang serba indah, pakaian seorang pangeran dari sutera biru dengan baju tertutup mantel bulu yang amat indah. Sebuah topi bulu yang sama dengan mantelnya itu menutupi kepalanya, dihias dengan sehelai bulu burung yang berwarna merah. Dia berjalan tegak dan halus, pandang matanya bersinar-sinar, menyambar-nyambar ke ruangan yang luas itu, mulutnya tersenyum dan sedikitpun dia tidak kelihatan canggung atau gugup, Sikap seorang pangeran tulen, juga sikap seorang yang gagah perkasa.

Lie Ciauw Si nampak cantik sekali dalam pakaiannya yang juga mewah dan indah. Wajahnya gemilang dan jelita sekali, dan diapun melangkah dengan sikap tenang dan gagah di samping suaminya. Sungguh seorang puteri yang cantik jelita dan agung, dan kelihatan begitu serasi dengan pangeran di sampingnya. Betapapun juga, karena maklum bahwa di antara ratusan pasang mata yang menatapnya itu terdapat sepasang mata ibunya, jantung Ciauw Si terasa berdebar kencang.

Cia Giok Keng tak dapat menahan diri dan dia cepat-cepat mengusap air matanya dengan saputangan ketika melihat puterinya demikian cantik dan agungnya di samping sang pangeran. Harus diakui bahwa pilihan puterinya itu memang tidak keliru. Pangeran itu amat tampan dan gagah. Akan tetapi kalau dia mengingat bahwa pangeran itu adalah seorang pemberontak, dan bahkan murid dari musuh besar Cin-ling-pai, hatinya seperti ditusuk. Dia merasa tangannya digenggam tangan lain dengan halus dan mesra. Tahulah dia bahwa tangan suaminya yang menggenggam tangannya itu maka dia menarik napas panjang dan dapat menahan perasaannya, dapat memandang pula dan air matanyapun berhenti mengalir.

Empat orang pendekar ini mengerutkan alisnya ketika melihat Sin Liong berjalan di samping sang pangeran pula. Hati mereka diliputi perasaan marah, bahkan Yap Kun Liong yang biasanya tidak mudah marah dan mempunyai pandangan yang luas itupun mengerutkan alisnya. Sungguh dia tidak dapat mengerti mengapa anak itu bisa diperalat oleh Pangeran Ceng Han Houw. Bukankah anak itu pernah menjadi pilihan orang-orang sakti seperti mendiang Cia Keng Hong dan mendiang Kok Beng Lama? Mungkinkah dua orang sakti itu salah pilih dan di dalam tubuh anak yang berbakat ini terdapat batin yang rendah? Dia bergidik melihat sepasang mata anak muda itu yang mencorong, lebih tajam daripada sinar mata sang pangeran sendiri, dan wajah pemuda itu membayangkan keteguhan dan kekerasan hati. Bagaimana mungkin wajah seperti itu kini dimiliki seorang yang dapat diperalat sedemikian mudahnya oleh pemberontak ini?

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: