***

***

Ads

Jumat, 21 April 2017

Pendekar Lembah Naga Jilid 250

Sementara itu, Lie Ciauw Si masih tetap duduk seperti patung di kursinya yang tadi, sedikitpun tidak bergerak, tidak membantu suaminya, juga tidak menentang suaminya. Dia seperti orang kehilangan semangat menyaksikan keruntuhan cita-cita pria yang dicintanya itu dan diam-diam dia merasa ikut bersedih untuk suaminya itu. Semenjak tadi dia tidak melihat yang lain kecuali menonton suaminya yang masih bertanding dengan hebat dan serunya melawan Sin Liong!

Para tokoh Cin-ling-pai itu setelah merobohkan banyak orang dari golongan hitam dan kini ikut menonton pertandingan antara Sin Liong dan pangeran itu, mulai mendekat dan melihat mereka mendekat,

Sin Liong berkata, sambil tetap mendesak lawannya,
“Harap cu-wi dari Cin-ling-pai membiarkan saya menghadapi musuh besar ini sendiri.”

Mendengar ini, tiga orang itu berhenti dan hanya menonton dengan penuh kagum. Pertandingan itu sudah mencapai puncaknya, dan keduanya sudah mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga mereka untuk saling mendesak dan kalau mungkin merobohkan lawan. Ceng Han Houw masih mempergunakan ilmunya yang aneh, dengan berjungkir balik dia berusaha untuk mendesak lawan dengan kedua tangan dari bawah dan kedua kaki dari atas.

Namun, dengan ilmu Hok-mo Cap-sha-ciang, Sin Liong selalu dapat membuyarkan semua serangannya, bahkan serangan balasan Sin Liong selalu membuat tubuh yang berjungkir balik itu tergetar dan bergoyang, bahkan kadang-kadang memaksa pangeran itu untuk berloncatan ke belakang sehingga kepala yang menyentuh lantai itu mengeluarkan suara dak-duk-dak-duk.

Dengan sekilas pandang saja tahulah Pangeran Ceng Han Houw bahwa dia telah gagal total. Para tokoh kang-ouw golongan hitam yang membantunya telah roboh satu demi satu, para pembantunya yang dipercaya, seperti subo dan sucinya, telah tewas dan bahkan dua orang Lam-hai Sam-lo telah roboh pula. Dan dari gemuruh suara pertempuran antara pasukannya dan pasukan pemerintah, dia maklum pula bahwa pasukannya terus terdesak mundur, karena suara gemuruh itu makin lama makin dekat juga.

Hatinya menjadi sedih dan kecewa, akan tetapi kemarahannya terhadap Sin Liong mengatasi semua itu. Bocah inilah yang menjadi gara-gara kegagalanku, demikian pikirnya. Kini dia telah dikurung oleh tokoh-tokoh Cin-ling-pai. Dia harus dapat merobohkan Sin Liong lebih dulu, harus dapat menewaskan bocah ini. Maka, nekatlah Ceng Han Houw.

Dengan mengeluarkan pekik dahsyat yang melengking tinggi, tubuhnya yang berjungkir balik itu meluncur ke depan dan tiba-tiba tubuh itu meloncat tinggi kemudian dari atas tubuhnya meluncur turun dan dia menubruk ke arah Sin Liong seperti seekor harimau kelaparan menubruk seekor kijang! Tubrukannya ini hebat, cepat dan dilakukan dengan tenaga sepenuhnya, tenaga yang dipusatkan kepada dua tangan dan kepalanya karena dia hendak menyerang lawan dengan kedua tangan dan kepala!

Menghadapi serangan seperti ini, Sin Liong juga terkejut. Inilah serangan yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah nekat, yang tidak memperdulikan keselamatan diri sendiri, yang ingin mengadu nyawa kalau perlu dengan musuhnya!

Sin Liong maklum bahwa kalau dia menyambut serangan itu dengan kekerasaan pula, biarpun dia akan dapat merobohkan lawan, akan tetapi dia sendiri terancam bahaya maut. Tenaga yang dipergunakan Han Houw dalam serangan itu adalah tenaga yang dipusatkan, ditambah tenaga luncurannya yang kuat, sehingga amat berbahaya kalau disambut dengan kekerasan. Oleh karena itu, diapun lalu mainkan jurus terakhir dari Hok-mo Cap-sha-ciang yang memang khusus diciptakan untuk mempergunakan tenaga lemas melawan serangan dahsyat yang keras.






Sin Liong berdiri tegak, mengerahkan tenaga “Im” dan mula-mula dia hendak mempergunakan Thi-khi-i-beng, akan tetapi segera dibatalkan niat ini karena dia maklum bahwa ilmu ini akan membahayakan dirinya kalau ada tenaga sin-kang yang demikian kuat dan kerasnya membanjir masuk dengan kekuatan sepenuhnya, bisa merusak seluruh isi perutnya.

Maka dia lalu melakukan jurus terakhir itu, dan pula saat kedua tangan lawan sudah hampir mengenai dadanya, dia menangkis dari bawah dan pada saat itu, karena dia menyimpan tenaga, tidak terjadi benturan tenaga dan dia terjengkang atau sengaja melempar diri ke belakang sehingga dia terlentang dan karena lawannya meluncur dengan tenaga penuh, maka tubuh pangeran itu meluncur terus di atasnya tanpa dapat ditahan oleh pangeran itu sendiri. Saat itulah Sin Liong menggerakkan tangan kanan dari bawah, menghantam ke atas dan ujung-ujung jari tangannya dengan tenaga Thian-te Sin-ciang telah dengan cepat menampar perut lawan agak ke atas dekat ulu hati.

“Plaakkk!”

Tubuh pangeran itu masih meluncur terus akan tetapi kehilangan keseimbangan dan akhirnya terbanting ke atas tanah, bergulingan dan tidak bergerak lagi. Dari mulutnya mengalir darah segar dan sepasang matanya mendelik, napasnya empas-empis. Ternyata dia telah menerima pukulan yang amat hebat dan tepat sehingga sebelum tubuhnya terbanting, pangeran ini telah pingsan dan dia telah menderita luka dalam yang amat hebat.

“Pangeran...!”

Terdengar suara jeritan dan Lie Ciauw Si telah meloncat dan menubruk tubuh suaminya sambil menangis. Sin Liong berdiri dengan muka pucat, memandang kepada pangeran itu. Hatinya penuh dengan penyesalan dan kedukaan. Betapapun juga, dia teringat akan semua kebaikan pangeran itu dan sekarang, begitu melihat pangeran itu roboh pingsan dan dia tahu berada dalam keadaan gawat karena pukulannya tadi amat kuat dan tepat mengenai ulu hati, timbul rasa terharu dan kasihan dalam hatinya.

Dia tahu bahwa sebetulnya banyak terdapat sifat-sifat baik pada diri pangeran ini, hanya sayang, karena kemanjaan dan karena ambisi yang luar biasa besarnya maka pangeran itu tidak segan-segan melakukan segala kecurangan dan kejahatan. Dia menunduk dan memandang kepada Lie Ciauw Si dengan penuh iba, lalu berkata lirih.

“Piauw-ci... dia... semua ini adalah salahnya sendiri...”

Lie Ciauw Si menoleh dan memandang kepada Sin Liong. Pemuda ini sudah menduga bahwa tentu wanita yang amat mencinta pangeran itu akan membenci dan marah kepadanya. Akan tetapi dia terheran melihat betapa wanita yang pucat dan basah air mata itu memandangnya tanpa membayangkan kemarahan atau kebencian sama sekali.

“Aku tahu... dan terima kasih atas sikapmu. Engkaulah satu-satunya orang yang agaknya tidak membencinya, Sin Liong. Biarlah aku membawanya...”

“Silakan, piauw-ci...”

Ciauw Si dengan terisak lalu memondong tubuh itu, kemudian tanpa menoleh lagi kepada para tokoh Cin-ling-pai dia lalu meloncat dan membawa lari tubuh yang pingsan itu dari tempat itu.

“Ciauw Si...!”

Cia Giok Keng berseru dan hendak mengejar, akan tetapi lengannya dipegang dengan halus oleh suaminya.

“Jangan ganggu dia... pangeran itu tentu akan tewas, sebaiknya biarkan dia seorang diri dalam kedukaannya...”

Cia Giok Keng lalu menjerit dan menangis di atas dada suaminya yang merangkulnya. Sementara itu, pertempuran di ruangan itu telah berhenti dan semua tokoh kang-ouw golongan hitam telah dapat dirobohkan. Di antara para tokoh kang-ouw yang gagah perkasa dan yang menentang pangeran tadi, terdapat beberapa orang yang terluka dan kini mereka sedang dirawat oleh teman-teman sendiri.

Dan benar seperti dugaan Pangeran Ceng Han Houw, perang kecil-kecilan itupun tidak lama berlangsung karena fihak pasukan Lembah Naga jauh kalah kuat dan sisanya melarikan diri meninggalkan mayat teman-teman mereka. Orang-orang kang-ouw golongan sesat yang tadi sudah membuang senjata dan menaluk, setelah menerima peringatan dari komandan-komandan pasukan yang mewakili Pangeran Hung Chih, lalu dibebaskan.

Pangeran Hung Chih sendiri menghampiri tokoh-tokoh Cin-ling-pai dan dengan senyum lebar menghaturkan terima kasih, terutama sekali kepada Cia Sin Liong. Ketika dia mendengar bahwa pemuda itu adalah putera Cia Bun Houw, dia cepat menjura dan berkata kagum.

“Ah, seekor naga sakti tentu mempunyai turunan seekor naga pula!”

Setelah melakukan pembersihan di lembah itu, Pangeran Hung Chih menyuruh seorang komandan mengepalai pasukan kecil untuk melakukan penjagaan di Istana Lembah Naga, kemudian dia memimpin pasukannya kembali ke kota raja.

Yap Kun Liong, Cia Giok Keng, Yap In Hong, dan Cia Bun Houw menitipkan puteranya yang masih kecil di dalam istana Pangeran Hung Chih. Tentu saja rombongan keluarga Cin-ling-pai ini juga mengajak Cia Sin Liong dan Bhe Bi Cu yang telah diterima sebagai keluarga Cin-ling-pai, dan bersama-sama mereka pergi ke kota raja.

Di dalam perjalanan inilah, dalam keadaan gembira karena berhasil melaksanakan tugas membela negara, Sin Liong menceritakan semua pengalamannya semenjak dia kecil dan dipelihara oleh monyet-monyet besar di hutan-hutan sekitar Lembah Naga, didengarkan oleh semua orang dengan rasa penuh keharuan dan kekaguman.

Terutama sekali hati Cia Bun Houw menjadi terharu dan juga bangga. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa peristiwa yang terjadi antara dia dan Liong Si Kwi yang mencintanya pada saat dua puluh tahun yang lalu itu (baca cerita Dewi Maut), akan menghasilkan seorang anak seperti Sin Liong ini! Tak pernah diduga-duganya bahwa dia mempunyai seorang anak laki-laki seperti ini, ketemu sesudah dewasa.

Hanya Cia Giok Keng seorang yang mendengarkan dengan wajah lesu dan hati diliputi kedukaan. Betapapun juga, hati nyonya ini terasa prihatin dan berduka sekali kalau dia mengingat puterinya. Baru saja hatinya tertusuk dan berduka dengan peristiwa yang terjadi atas diri puteranya, Lie Seng. Kini, sebelum perasaan dukanya itu sembuh, dia tertimpa lagi oleh peristiwa ke dua yang menimpa diri puterinya. Diam-diam dia merasa berduka sekali mengapa dua orang anaknya, putera dan puterinya, mengalami kesengsaraan dan kemalangan dalam kehidupan mereka, dalam perjodohan mereka?

Ketika pada malam hari itu terpaksa rombongan harus bermalam di tengah jalan, di luar daerah kota raja di sebelah dalam Tembok besar, Yap Kun Liong yang mendapat kesempatan untuk berdua saja dengan isterinya, membiarkan isterinya menangis ketika mereka membicarakan tentang dua orang anak isterinya itu.

Yap Kun Liong, sebagai seorang pendekar yang sudah mengalami gemblengan hidup yang amat mendalam maklum sepenuhnya akan kesengsaraan hati isterinya, oleh karena itu dia tidak mencela dan tidak menegur isterinya yang membiarkan dirinya terseret oleh duka. Baru menjelang tengah malam, ketika dia berhasil menghibur isterinya dan perasaan duka tidak terlalu menghimpit hati isterinya sehingga mengaburkan kewaspadaan, dia mengajak isterinya bicara dengan hati terbuka.

“Isteriku, sungguhpun aku telah menganggap Seng-ji dan Ciauw Si sebagai anak-anakku sendiri, akan tetapi selama ini aku tidak berani mencampuri urusan antara mereka dengan engkau. Sekarang, semuanya itu telah terjadi, marilah kita bicara dari hati ke hati dengan hati terbuka, dengan kewaspadaan sepenuhnya untuk melihat peristiwa-peristiwa itu tanpa dicampuri oleh pendapat dari pikiran kita yang selalu ingin memenangkan diri sendiri dan membenarkan diri sendiri saja. Marilah kita memandang dengan mata terbuka dan mempelajarinya, menyelidikinya, dimana letak kesalahannya sehingga perjodohan kedua orang anak kita itu mengalami kegagalan seperti itu.”

Giok Keng mengangguk, kemudian berkata sambil menarik napas panjang.
“Apalagi yang perlu kita selidiki? Sudah jelas bahwa semua kegagalan dan kesengsaran itu diakibatkan oleh karena mereka itu terburu nafsu, terdorong oleh darah muda dan mereka salah pilih.”

“Isteriku yang baik, bagaimana kau dapat mengatakan bahwa mereka salah pilih. Pikirlah dengan tenang dan dengan teliti, penuh kebijaksanaan, apa sebabnya engkau mengatakan bahwa mereka salah pilih?”

“Tentu saja, mereka memilih jodoh tanpa melihat bagaimana keadaan orang yang mereka pilih. Lie Seng memilih seorang wanita yang sama sekali tidak berharga menjadi isterinya sehingga mengakibatkan bencana yang demikian hebat dan mematahkan hatinya, sedangkan Ciauw Si... ahhh... perlukan kukatakan lagi betapa kelirunya pilihannya itu?”

Tiba-tiba Kun Liong merangkul isterinya. Biarpun usianya sudah lima puluh lebih dan demikian pula isterinya, namun kedua orang suami isteri ini masih saling mencinta dan tidak jarang menunjukkan cinta kasih mereka melalui pandang mata, suara, maupun rangkulan mesra.

“Isteriku, katakanlah, apakah engkau cinta padaku?”

Sepasang mata Giok Keng terbelalak, lalu dia merangkul.
“Ah, jangan kau main-main. Perlukah hal itu ditanyakan lagi? Tentu saja aku mencintamu.”

“Akupun percaya akan hat itu. Engkau cinta sepenuh hati kepadaku seperti juga aku cinta padamu, Giok Keng. Nah, seandainya ada orang-orang lain yang mengatakan bahwa pilihanmu terhadap diriku itu keliru, bagaimana pendapatmu?”

“Aku tidak akan perduli! Aku cinta padamu dan aku tidak perduli siapapun yang akan mengatakan bagaimanapun tentang dirimu, tentang hubungan kita.”

“Nah, itulah! Dan dua orang anakmu itupun memiliki watak seperti engkau, setia dan penuh cinta kasih murni, dan aku kagum dan menghormat mereka seperti aku kagum dan menghormatimu, isteriku!” Kun Liong lalu mencium isterinya.

Pendekar Lembah Naga







Tidak ada komentar: